Sebenarnya wujud
Allah sudah nyata, bahkan suatu hakikat yang tidak perlu lagi diragukan
persoalannya, tidak ada alasan mengingkarinya. Wujud Allah Taala sudah terang
bagaikan terangnya matahari yang bersinar, juga sudah jelas sejelas-jelasnya
bagaikan cahaya fajar di waktu pagi yang cerah. Semua yang ada di lingkungan
alam semesta ini dapat menjadi bukti wujudnya Tuhan bahkan benda-benda yang
terdapat di sekitar alam semesta dan unsur-unsurnya dapat pula membuktikan bahwa
benda-benda itu pasti ada pencipta dan pengaturnya
Perhatikanlah
alam cakrawala yang ada di atas kita yang di dalamnya terlihat pula matahari,
bulan, bintang dan sebagainya, demikian pula bumi dengan semua isinya baik
berupa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda padat, adanya hubungan yang
erat dengan perimbangan yang pelik yang merapikan susunan di antara alam-alam
yang beraneka warna serta yang menguatkan keadaan masing-masing. Semuanya
merupakan tanda dan bukti wujudnya Allah swt. Selain menunjukkan adanya Zat
Allah swt. juga membuktikan keesaan dan ke Maha Kuasaan-Nya menciptakannya.
Kiranya tidak tergambar sama sekali dalam akal pikiran siapa pun bahwa
benda-benda itu terjadi tanpa ada yang menciptakan sebagaimana juga halnya
tidak mungkin tergambar bahwa sesuatu ciptaan tidak ada yang membuatnya.
Manakala akal
memustahilkan ada kapal terbang melayang-layang di udara atau kapal selam
menyelam di dasar lautan tanpa ada pembuatnya, akal akan menetapkan secara
pasti mustahil alam semesta yang amat indah permai ini ada tanpa ada yang
menciptakan serta mengatur segala urusannya. Sementara itu dapat kita kemukakan
tiga macam teori yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
mengemukakan sebab asal mula adanya alam semesta ini. Kiranya tidak mungkin ada
teori lain di balik ketiga macam yang kami sebutkan di bawah ini.
Pertama. Alam
semesta terjadi dari tidak ada kemudian ada dengan sendirinya.
Kedua. Ada suatu
jauhar (sel) inti yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang terdapat di
alam semesta yang molek ini.
Ketiga. Ada yang
mengadakan, yang menciptakan atau yang membuatnya.
Marilah kita
mengupas persoalan ini dengan menguraikan teori di atas satu persatu.
Teori pertama
jelas keliru dan salah jika ditilik secara sepintas dari asas atau pokoknya.
Ingatlah bahwa suatu pengaruh (musabbab) pasti erat hubungannya dengan
sebabnya, adanya suatu konklusi pasti erat pula hubungannya dengan premis atau
landasan pemikirannya.
Apakah kiranya
patut dalam gambaran akal pikiran kita, bahwa ada sesuatu pengaruh, tanpa ada
sebab yang mempengaruhinya. Patutkah ada suatu hasil tanpa permulaan atau ada
konklusi tanpa ada premis? Jadi timbulnya alam semesta dari tidak ada sama saja
artinya dengan mengatakan adanya pengaruh tanpa sebab atau adanya hasil tanpa
ada permulaan atau adanya konklusi tanpa ada premis. Jadi seolah-olah alam
semesta ini ada sendiri dan muncul, lepas sama sekali dari adanya sebab,
seperti pembuat.
Bahwa adanya
benda-benda dari dirinya sendiri, lepas sama sekali dari sebab, adalah suatu
hal yang amat mustahil baik dipandang dari segi akal atau kejadian yang lazim.
Sebabnya ialah karena adanya benda-benda dari dirinya sendiri terlepas sama
sekali dari sebab-sebabnya adalah memenangkan segi adanya dan mengalahkan segi
tidak adanya, tanpa bukti yang dapat digunakan untuk memenangkannya padahal
memenangkan dengan cara yang demikian ini adalah mustahil sekali.
Renungkanlah!
Andai kata kita mengatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya
terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya, maka ucapan semacam ini sama saja
dengan mengatakan bahwa ketiadaan itulah yang merupakan sebab keberadaannya.
Patutkah ini dalam pikiran kita. Itulah sebabnya, maka teori pertama di atas
sangat keliru dan meleset, sebab selamanya tidak dapat dibuktikan bahwa
ketiadaan menjadi sebab adanya alam. Tanpa adanya benda, tentu tidak mungkin
dapat memberikannya. Inilah yang dimaksud oleh ayat Alquran yang berbunyi,
“Merekakah yang diciptakan dari tiadanya sesuatu, ataukah mereka sendiri yang
menciptakan? Atau merekalah yang menciptakan langit dan bumi? (Tidak),
melainkan mereka tidak yakin dalam kepercayaannya." (Q.S. Ath-Thur:35-36)
Maksudnya apakah
orang-orang itu diciptakan tanpa ada penciptanya? Artinya apakah mereka itu
sendiri yang menciptakan diri mereka sendiri, sehingga tidak membutuhkan pihak
lain yang menciptakan mereka? Hal ini jelas mustahil, tidak mungkin atau tidak
masuk sama sekali dalam akal pikiran yang sehat.
Selanjutnya mari
kita tinjau teori kedua, teori ini lebih tersesat dan lebih keliru lagi jika
dibandingkan dengan yang pertama, sebab jauhar (sel) tidak mungkin dapat
menimbulkan susunan yang serapi ini, sebagaimana yang kita saksikan. Tidak pula
dapat muncul kekuatan dan keindahan sebagaimana yang kita lihat. Coba
bayangkan, apakah benda inti atau sel yang bagaimana pun juga keadaannya dapat
menciptakan atau membedakan ciptaannya antara jenis lelaki dan perempuan,
jantan dan betina, juga dapat mempertautkan antara kedua jenis itu dengan rukun
seindah ini? Apakah patut sel itu yang membuat bumi ini dengan segala sesuatu
yang ada di situ, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda padat?
Apakah sel itu dapat menggantungkan bumi kita ini di cakrawala, juga
menjalankannya mengelilingi sumbunya yang sama sekali tidak pernah menggeser
dari jalannya sekali pun hanya sekedar sehelai rambut, padahal sudah berjalan
berjuta-juta tahun lamanya? Apakah sel itu pula menggerakkan jalannya
bintang-bintang dan planet-planet yang sedemikian besar dan banyak dan
perjalanannya sangat cepat, benar-benar mengherankan, tanpa pernah tabrakan
sama sekali antara satu dengan yang lain? Patutkah kiranya dalam akal pikiran
kita sel dapat mewujudkan atau membuat unsur-unsur lain yang merupakan sumber
alam semesta? Patutkah sel itu yang mengatur demikian rapi dan cermat seluruh
yang ada di jagat raya ini, menetap sampai suatu masa yang dikehendaki oleh
Allah Taala dan masih sanggup menetap untuk selama-lamanya jika Allah Taala
menghendakinya pula?
Coba renungkan!
Patutkah semua yang tersebut di atas itu terjadi sendiri? Sebenarnya, spesifik,
hal ihwal dan bentuk benda atom yang amat kecil sekalipun sudah sangat
membingungkan akal pikiran dan menakjubkan para ilmuan, karena menilik
susunannya yang demikian rapi dan indah. Pendek kata susunannya sangat ajaib,
bahkan hubungan yang terjadi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya
benar-benar membuat setiap orang yang menyaksikannya terpesona. Coba bayangkan
hal itu! Apakah layak adanya susunan, rangkaian dan hubungan itu berlaku dengan
kekuasaan sel sebagai benda mati?
Cobalah
perhatikan ucapan para ilmuwan yang bergelut dalam studi atom, apa yang mereka
katakan?
Tentang benda
atom, para sarjana mengatakan, “Sesuatu benda itu tersusun dari beberapa buah
atom dan atom ini tidak dapat dilihat sekali pun dengan menggunakan mikroskop
yang terkuat. Untuk membayangkan betapa kecilnya atom ini, bolehlah kita
membayangkan bahwa apabila kita menyusun secara rapi sekali atom demi atom,
ditumpuk satu dengan lainnya, jika kita berhasil menyusun sebanyak seratus juta
buah atom, panjangnya baru kira-kira sehelai benang sutera. Sebagai ilustrasi
dapat kita kemukakan bahwa dalam setetes air laut terdapat lima puluh juta buah
atom emas murni.
Atom tersusun
dari unit, yang di sekitarnya berkeliling listrik yang bermuatan negatif yang
disebut elektron. Pengelilingnya membentuk tata surya yang membulat. Antara
setiap dua buah elektron terdapat ruang kosong mirip kekosongan ruang angkasa
antara beberapa planet dengan matahari. Ini jika ditilik dari segi bentuk
perkiraan jarak jauhnya. Timbangan dari unit terringan dapat mencapai 1850 kali
timbangan elektron. Jika dua puluh ribu elektron disusun secara rapi antara
satu dengan lainnya, maka panjang daerahnya adalah seperti panjang daerah atom
itu. Dengan perkataan lain, bahwa perimbangan antara unit dengan atom itu
adalah bagaikan kepala tongkat bila dibandingkan dengan sebuah rumah yang
berukuran sedang.
Elektron itu
berputar mengelilingi unit dalam suatu susunan yang menyerupai susunan planet
di waktu mengelilingi matahari, hanya sajini lebih banyak pemberian pengaruhnya
tetapi lebih sedikit penentuan batasnya daripada susunan falak-falak planet
itu. Jika sekiranya suatu benda yang terdiri dari unit-unit atom itu disusun
satu dengan lainnya, tanpa ada ruang kosong di antara unit dan elektron-elektron
itu, maka timbangannya sama dengan sepotong uang dua ketip di sekitar 40 juta
ton.
Adapun unit itu
sendiri terdiri dari listrik yang bermuatan positif yang dinamakan proton.
Jumlahnya sama dengan jumlah listrik yang bermuatan negatif yakni elektron yang
berkeliling di sekitar unit itu sendiri.
Di luar proton
itu terdapat pula listrik-listrik lain yang bermuatan netral, inilah yang
disebut netron. Sekiranya kita dapat menguraikan ikatan ini yakni ikatan yang
ada antara proton dan netron atau lebih jelas lagi, andai kata kita dapat
menyediakan jalan untuk melenyapkan sebuah netron dari kumpulan netron-netron
yang mengelilingi proton itu, jika kita dapat memecahkannya, pasti akan
menimbulkan suatu kekuatan yang dahsyat sekali. Orang yang mula-mula memecahkan
ini ialah Profesor Einstein. Kekuatan itu sama dengan himpunan dalam perempatan
kecepatan sinar yang diperkirakan dengan sentimeter setiap detik, demikian
peliknya susunan atom itu. Selanjutnya jika kita berpindah dari persoalan atom
dan kita menengadahkan kepala ke atas sebentar untuk melihat matahari, maka
kita mendapatkan suatu keajaiban yang lebih luar biasa lagi.
Resapkanlah apa
yang dikemukakan oleh para sarjana kosmografi bahwa matahari adalah benda bulat
berbentuk bola yang penuh berisi zat api yang jauh lebih dahsyat dan lebih
dapat membakar dari semua api yang ada di bumi.
Matahari lebih
besar daripada bumi, lebih dari sejuta kali, jauhnya dari kita diperkirakan
kira-kira 92.500.000 mil. Sekalipun demikian keadaan matahari itu, ia tidak lain
hanya sebuah bintang saja dan bukan termasuk dalam golongan bintang yang
terbesar. Ada suatu persoalan yang musykil tetapi amat menakjubkan yaitu
pemecahan terakhir yang dilakukan akal pikiran para ahli falak dan
sarjana-sarjana perbintangan.
Sebagaimana
diketahui dari ilmu pembentukan lapisan bumi terdapat sebuah uraian yang
menyatakan bahwa matahari secara terus-menerus tetap memancarkan ukuran atau
kadar panasnya, selama berjuta-juta tahun. Jika panas yang diberikan adalah
hasil dari pembakaran, maka apakah sebabnya matahari tidak pernah kehabisan
bahan bakar padahal sudah dipakai sejak berjuta-juta tahun yang lampau? Dengan
keterangan ini jelas rasanya bahwa jalan pembakaran yang berlangsung pada
matahari itu tidaklah sebagaimana yang lazim kita ketahui, sebab andai kata
proses pembakaran itu seperti yang ada di bumi, maka untuk menerangi jagat ini
hanya cukup untuk digunakan selama 6000 tahun saja, setelah itu pasti akan
habis daya panasnya.
Mengenai manfaat
yang diberikan oleh matahari kepada kita semua, dapat kita ketahui bahwa
matahari bukan hanya sebagai sumber cahaya dan api saja, tetapi matahari juga
merupakan sumber dari susunan tata surya dan sumber kehidupan kita. Bukankah
matahari yang menguapkan air lautan kemudian mengangkatnya ke atas dan berubah
menjadi awan dan selanjutnya berubah menjadi hujan dan turun di atas permukaan
bumi. Kemudian timbul saluran air sungai besar dan kecil yang dapat mengairi
sawah ladang kita, lalu menumbuhkan tanam-tanaman. Selain itu matahari juga
meniupkan angin, menyebabkan timbulnya gelombang lautan dan menjadikan udara
menjadi bersih. Ia pula yang menggerakkan kapal dan perahu di tengah samudra
besar, bahkan ia pula yang menjalankan kendaraan-kendaraan, memutar mesin-mesin
letup dan lain-lain lagi. Betul bahwa mesin-mesin itu dijalankan oleh arang
batu, tetapi bukankah arang batu itu berasal dari panas cahaya yang terpendam
sejak bertahun-tahun yang lampau. Setelah lama tersimpan baru dapat diambil
manfaatnya oleh manusia di kemudian hari.
Ringkasnya,
andaikata tidak ada matahari, pasti tidak akan ada kehidupan bagi binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Binatang-binatang menjadi bersemangat karena panas matahari,
burung-burung pun bersiul setelah tampak sinarnya, mengucapkan tasbih serta
memahasucikan Zat Yang Maha Menciptakannya. Juga karena panas dan sinar
matahari itu pula tanam-tanaman tumbuh, pohon-pohon menjadi kian hari kian
bertambah besar, bunga-bunga pun muncul, buah-buahan pun menjadi masak, dan
banyak lagi realita lain yang ditimbulkan.
Kita semua
berutang budi pada matahari, karena kita terpaksa menggantungkan hasil makan
dan minum kita semua kepadanya. Itulah sebab adanya kita di atas permukaan bumi
ini.
Jika kita
sekalian sudah puas melihat keindahan dan kedahsyatan matahari, maka mari kini
kita melihat ke benda lain. Kita akan menemukan bahwa sedekat-dekat bintang
yang ada di samping bumi kita ini setelah matahari sama dengan 260.000 kali
jauh matahari dari kita.
Ini dianggap
sebagai bintang yang tersuram cahayanya kalau ditilik dari galaksi Bimasakti
yang oleh orang-orang kuno disebutkan dengan nama “Jalan penanaman”. Bahkan
tata surya yang terdiri dari berbagai bintang yang merupakan tata surya kita
ini hanya dianggap sebagai sebuah atom kecil saja, jika dibandingkan dengan
gugusan Bimasakti itu, sebab isi kandungannya sebanyak seratus juta bintang
yang terpencar dan tersebar luas seolah-olah bagaikan suatu bidang yang luas
secara nisbi.
Pengarang buku
Ilmu Falak Umum yang bernama Herbert Spenser Jones berkata, “Cahaya memakan
waktu selama seratus ribu tahun untuk dapat sampai antara kedua tepi gugusan
bintang-bintang Bimasakti. Sebagaimana dimaklumi bahwa cahaya berjalan dengan
kecepatan 176.000 mil per detik atau 300.000 kilometer. Berdasarkan uraian ini,
maka ketentuan cahaya setahun sama dengan sepuluh bilyun kilometer. Padahal apa
yang dikenal dengan nama gugusan bintang-bintang Bimasakti yang sudah mencapai
ukuran sebagaimana diuraikan di atas, akal pikiran manusia sudah pasti tidak
akan meraihnya, kiranya tidak lain hanyalah salah satu dari sekian banyak
susunan yang ada di alam cakrawala yang sama sekali tidak dapat dihitung.”
Masih ada yang
tertinggal yang perlu kita maklumi yakni bahwa sedekat-dekat tata surya yang
mendampingi tata surya kita ini jauhnya tujuh ratus ribu tahun cahaya. Kini setelah
kita mengetahui dan memahami uraian di atas, mari kita renungkan kemudian
bertanya, “Apakah mungkin diterima akal bahwa semua keadaan semacam susunan
tata surya dan lain-lain itu timbul hanya dari sel atau dengan jalan proses
yang ditumbuhkan oleh sel belaka? Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa
sel itu permulaan adanya alam semesta, yang sedemikian itu sungguh-sungguh
tidak dapat tergambar oleh akal yang sehat, tidak pula cocok dengan ilmu
pengetahuan yang hakiki dan agaknya tidak seorang pun yang akan mengatakannya
melainkan jika ia telah kehilangan ciri khas yang membedakan antara manusia
dengan yang bukan manusia. Manusia semacam ini rasanya sudah tidak dapat
menemukan kebenaran dan tidak pula dapat membedakan sesuatu dari yang lainnya.”
Seorang filosof
bangsa Jerman, bernama Edward Harenman wakil dari Syopenhor berkata dalam
bukunya yang bernama Aliran Darwin, “Sebenarnya pendapat yang menetapkan
ketidaksengajaan dalam alam semesta ini yang dianut oleh pengikut Darwinisme
adalah suatu pendapat yang sama sekali tidak dapat dibuktikan. Itu hanyalah
disebabkan karena adanya angan-angan salah yang sama sekali tidak ada dasarnya
dalam penyelidikan ilmu pengetahuan.”
Profesor Von
Bayer dari Jerman dalam bukunya yang berjudul Kedangkalan Aliran Darwin
mengatakan, “Apabila golongan Darwinisme melancarkan suara sekeras-kerasnya
bahwa memang tidak ada kesengajaan dalam pembuatan atau penciptaan alam semesta
ini, atau dengan kata lain bahwa alam ini terjadi hanya karena suatu proses
kebetulan belaka yang semata-mata terpimpin oleh kedaruratan yang buta, maka
saya berkeyakinan bahwa salah satu kewajiban saya ialah saya harus menyatakan
di sini apa yang telah menjadi keyakinan dan kepercayaan saya dalam persoalan
ini. Keyakinan saya itu adalah sebagai kebalikan sama sekali dari yang tersebut
di atas. Saya berpendapat bahwa semua kedaruratan inilah justru yang
membuktikan bahwa di sana ada berbagai tujuan yang luhur dan besar."
Imam Muhammad
Farid Wajdi, rahimahullah, setelah menguraikan ini, di akhir katanya
menyebutkan, “Jika sekiranya kita dapat merasa puas dengan beratus-ratus puncak
ilmu pengetahuan dan filsafat mengenai pendapat tidak adanya unsur kesengajaan
dalam penciptaan alam semesta dan jagat raya ini, maka tentulah kita tidak
diharuskan untuk mengikuti yang itu lebih dari apa yang sudah jelas tertera
dalam nas-nas agama (dalil naqal).” Oleh sebab itu, manakala sudah tetap bahwa
penciptaan alam semesta ini memang karena adanya kesengajaan, maka tetap
pulalah perihal adanya Tuhan yang mengatur dan bijaksana dari jalan yang
sama-sama dapat dirasakan.”
Dengan demikian
tidak ada jalan lain untuk membantah atau mengingkarinya dan ini tepat sekali
dengan apa yang difirmankan oleh Allah Taala, “Apakah dalam Zat Allah masih ada
keragu-raguan, yaitu Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi?" (Q.S.
Ibrahim:10)
Kini kita
kembali kepada perbincangan mengenai tiga macam teori di muka. Jika yang
pertama dan yang kedua sudah dapat diyakinkan ketidakbenarannya, sebab memang
nyata-nyata keluar dari areal yang dapat diterima oleh akal pikiran serta cara
penyelidikan dan ilmu pengetahuan, maka tidak ada lain yang dapat digunakan
sebagai pegangan kecuali teori yang ketiga. Adapun isi dari teori ini ialah
bahwa jagat raya yang maujud ini pasti ada penciptanya dan pengaturnya. Inilah
yang pasti sesuai dengan akal pikiran serta cara penelitian yang sehat.
Pendapat semacam itu pula yang menyebabkan Socrates mempercayai serta beriman
kepada Allah, juga yang dapat menundukkan Aristophanes yang mengingkari adanya
tuhan. Keduanya pernah mengadakan suatu polemik yang kami kutip sebagai
berikut:
Socrates: Adakah
orang-orang yang mengherankan Tuan karena kepandaian mereka atau karena
keindahan karyanya?
Aristophanes: Ya
ada, seperti dalam hal sajak atau puisi saya sangat kagum kepada syair-syair
cerita dari Homero, dalam bidang lukisan kepada Zoxes dan dalam hal pembuatan
patung kepada Polextic.
Socrates:
Pencipta-pencipta manakah yang kiranya patut lebih dikagumi, apakah pencipta
gambar-gambar yang tidak dapat memberi akal dan kehidupan ataukah pencipta
makhluk yang mampu memberinya akal pikiran serta kehidupan?
Aristophanes:
Tentu saja patut lebih dikagumi pencipta makhluk yang dapat merasakan
kenikmatan dan memiliki akal pikiran serta kehidupan. Tetapi itu terjadi
sebagai hasil dari kebetulan belaka!
Socrates: Apakah
kiranya patut dianggap sebagai hal yang kebetulan, jika sekiranya
anggota-anggota tubuh ini digunakan untuk maksud dan tujuan tertentu. Misalnya
mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, lidah untuk
merasakan. Lihat pula seperti mata ini di sekitarnya terdapat berbagai
penjagaan, karena sangat sensitif dan sangat lemah. Oleh karena itu di waktu
tidur pasti tertutup atau di waktu ada keperluan, dilindungi pula dengan bulu
mata dan alis di atasnya. Demikian pula telinga, di dalamnya diberi suatu alat
penerima yang dapat menampung segenap macam suara dan masih banyak lagi contoh
yang lain. Cobalah tuan pikirkan, patutkah itu semua terjadi sebagai hasil dari
kebetulan? Selain itu dapat pula dikemukakan adanya kecondongan dalam hati
untuk mempunyai keturunan, begitu pula perasaan iba dan kasih sayang yang ada
di dalam kalbu setiap ibu terhadap anaknya, padahal suatu hal yang amat jarang
sekali bahwa seorang ayah atau ibu dapat menerima balasan atau keuntungan dari
anaknya. Sementara itu bagaimana hal-ihwal seorang bayi yang dengan sendirinya
lalu dapat memperoleh pengertian untuk menyusu dan cara menyusunya, sebentar
setelah ia dilahirkan. Apakah menurut pendapat Tuan hal itu semua terlaksana
hanya sebagai hasil yang didapat secara kebetulan?
Aristophanes:
Tentunya bukan karena kebetulan. Yah, saya baru mengerti sekarang dengan secara
pasti bahwa di sana memang ada petunjuk akan adanya penciptaan. Tetapi yang
pasti ialah bahwa yang menciptakan itu tentu bersifat sangat agung sekali, yang
mencintai akan adanya segala yang hidup. Namun masih ada yang membingungkan
otak saya mengapa kita semua tidak dapat melihat yang menciptakan itu?
Socrates: Kalau
begitu kita sudah menemukan titik yang sama yaitu mengakui adanya pencipta yang
agung dan mencintai kehidupan di alam semesta ini. Tentang persoalan mengapa
kita tidak dapat melihat pencipta itu, maka saya ingin mendapat jawaban Tuan,
apakah Tuan merasa mempunyai nyawa, sebab kalau Tuan tidak bernyawa, tentunya
Tuan sudah mati. Punyakah atau tidak?
Aristophanes:
Ya, tentu saja saya punya. Mengapa?
Socrates: Jika
demikian sudah mudah pemecahannya. Mengapa Tuan sendiri tidak dapat melihat
nyawa yang menguasai diri Tuan sendiri. Jadi kalau Tuan tidak pernah melihat
nyawa Tuan, apakah ini berarti kita boleh mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan
yang timbul dari diri Tuan itu adalah semata-mata disebabkan karena secara
kebetulan semua tanpa ada pemikiran sebelumnya?
Sampai di sini
selesailah percakapan kedua orang ahli filsafat itu, yang sungguh-sungguh
berfaedah untuk diresapkan dan direnungkan dalam-dalam. Maha Benar Allah swt.
yang berfirman, “Dan setengah daripada tanda-tanda (ayat-ayat) mengenai adanya
Allah ialah malam dan siang, serta matahari dan bulan. Janganlah kamu semua
bersujud kepada matahari atau kepada bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah
yang Maha Menciptakan semuanya itu, jika kamu semua benar-benar menyembah-Nya.”
(Q.S. Fushshilat:37)
0 komentar:
Posting Komentar