Selasa, 05 Juni 2012

Carl Gustav Jung
Tokoh psikoanalisis lainnya selain Freud adalahCarl Gustav Jung, dia adalah

pencetus ide ketaksadaran kolektif (collective unconscious). Sistem
psikologinya hampir sama dengan Freud, tapi memiliki beberapa jalan yan
berbeda. Dia menyebut sistemnya 'Psikologi analitik' (Analitical Psycology).

Perbedaan Utama pada Teori Libido.
Freud memperlihatkan libido terutama dalam konteks seksual, sedangkan Jung
memperlihatkan sex sebagai hanya salah satu bagian penggerak kekuatan dari
libido. Jung berpendapat bahwa libido sapat mengekspresikan dirinya salam
cara yang lain tergantung dari apa yang paling penting bagi individu pada
suatu saat. Jung menolak dasar teorinya sebagai seksual secara eklusif
yang memberikannya interpretasi pada kelakuan Feud yang mengekspresikan
hanya pada term seksual.

Contoh dari ini adalah selama pase pre-seksual (3-5 tahun pertama) Jung
berpendepat energi libido (libidinal energy) merupakan fungsi dari nutrisi
dan pertumbuhan, tanpa adanya pengaruh dari libido seksual seperti pada
pemikiran Freudian. Dia juga menolak Oedipal complex-nya Freud dan dia
lebih berpandangan terhadap penggabungan antara perasaan seksual dengan
tendensi pertahanan hidup daripada konsep Freud tentang ketergantungan
(misalnya: makanan, kelangsungan hidup) anak yang diperlihatkan pada
ibunya. Jung berpendapat bahwa perasaan sexual merupakan faktor yang
memberikan kontribusi, tapi bukan faktor yang utama.

Pandangan Jung terhadap Pikiran (mind)
Menggunakan psyche untuk merujuk pada pikiran. 3 level pikiran
1. Kesadaran (Conscious)
2. Ketidakesadaran personal (Personal Unconscious)
3. Ketidaksadaran kolektif (Collective Unconscious)

Jung percaya, terlalu banyak hal penting yang diletakan pada alam pikiran
sadar (conscious). Dia memperlihatkan ketaksadaran sebagai bagian yang
paling penting dalam alam pikiran (mind), dan membaginya kedalam dua
bagian:

Ketaksadaran Personal yang dimiliki tiap individu, dan berisi
impuls-impuls, harapan, dan pengalaman personal.

Ketaksadaran Kolektif yang merupakan bagian yang paling besar pada
ketaksadaran, dan merupakan teori intriguing terpenting dari Jung. Dia
menteorisasi bahwa ada bagian pokok ketidaksadaran dari pikiran yang penuh
ide dan pengalaman yang terbangun hingga sangat kuat, dan  tersembunyi
dalam sektor masing-masing alam pikiran ketidaksadaran kita yang dimulai
sejak keberadaan ras manusia.

Buku Schultz "A History OF Modern Psychology" menjelaskan teori ini
seperti sekumpulan kepulauan. Pulau-pulau muncul ke permukaan air seperti
kedaran individu, dan bagian dataran yang berada dibawah air seperti
ketidaksadaran personal.  Bagian dasar yang sangat luas adalah analogi
untuk ketidaksadaran kolektif.

Empat Pola Dasar (The Four Archetypes)
Jung meperkenalkan ketaksadaran kolektif sebagai pembentuk tendensi
pewarisan, yang dinamakannya "archetypes", dan ini adalah  "pre-existing
determinants of mental experience" yaitu berarti ketaksadaran kolektif
menentukan bagaimana kita berperilaku secara luas.
Acrhetypes adalah pengalaman, menurut Jung, layaknya emosi dan gambaran
mental. Jung dalam studinya tentang kultur dan cara berfikir menemukan 4
archetypes utama yang menonjol.

Persona
Merupakan sebuah penutup menyembunyikan orang sebenarnya. Orang
menggunakan ini untuk tampil berbeda pada orang-orang tertentu dan pada
situasi sosial dimana ia menginginkan interaksi yang lebih baik. Penutupan
seringkali tidak merefleksikan kepribadian orang itu sebenernya.

Anima dan Animus
Merupakan karakteristik gender manusia.  Animus berarti karakter maskulin
yang ada pada wanita, dan Anima berarti suatu karakteristik wanita
(feminim) yang ada pada pria.

Shadow
Merupakan bagian kepribadian yang seperti kepribadian hewan. Pola dasar
ini yang memberikan aspek tak bermoral (immoral) pada manusia. Jung
mengklain bahwa ketika kita melakukan sesuatu yang 'jelek' maka penyebab
perilaku tersebut adalah shadow personality.

Intro/Extroversion
Teori Jung yang paling populer adalah pembagian sifat manusia kedalam
sifat introvert dan ekstrovert.

Introversion
Merupakan bagian libido yang mengatur kedalam diri (Inwards). Dengan
bagian ini individu mejadi lebih memiliki keinginan untuk berusaha,
berinstrospeksi, dan memiliki ketahanan terhadap pengaruh dari
luar. pengaruh dari luar. Kurang percaya diri ketika berhubungan dengan
dunia luar dan cenderung menjadi malu atau anti-sosial.

Extroverted
Merupakan libido yang mengatur keluar dari diri manusia, kejadian dan
situasi tertentu. Seseorang yang bertipe ini memiliki pengaruh yang sangat
kuat  pada lingkungannya dan sangat berdifat sosial, memiliki kepercayaan
diri yang baik pada banyak situasi.

Jung percaya bahwa kedua sisi tersebut ada pada individu secara luas, dan
kita tidak mungkin menemukan seseorang yang yang introvert total atau
extrovert total. Faktor-faktor eksternal cenderung memiliki pengaruh yang
besar pada sisi dominan mana yang akan muncul dan seberapa besar sisi
kepribadian tersebut  mendominasi seseorang. Sebagai contoh, orang yang
secara normal pemalu bisa menjadi extrovert pada situasi ketika dia merasa
benar-benar tertarik dan merasa nyaman.


Tulisan ini adalah terjemahan dr. Hudoyo H. Tidak lengkap tapi cokup informatif
untuk mengenal Pskologi Transpersonal yang banyak membicarakan tentang keadaan
spiritual manusia. -er-


INTRODUCTION TO TRANSPERSONAL PSYCHOLOGY Part One

John Davis, Ph.D. Department of Psychology Metropolitan State College of Denver


Halaman ini adalah  bagian dari situs  yang dikembangkan untuk  kuliah Psikologi
Transpersonal  saya  di  The  Metropolitan  State  College  Denver.  Tulisan ini
menyajikan  gambaran   umum  dan   ringkasan  beberapa   aspek  dari   Psikologi
Transpersonal. Saya berhadap tulisan ini bermanfaat untuk Anda.


DAFTAR ISI:

Bagian 1: Kata  Pengantar:   Sebuah  Contoh 

Bagian 2: Psikologi  dan Spiritualitas

Bagian 3: Sejarah Psikologi Transpersonal

Bagian 4: Beberapa Konsep  Dasar 

Bagian 5: Psikoterapi  Transpersonal 

Bagian 6: Aspek Multikultural dari  Psikologi Transpersonal 

Bagian 7: Psikologi dan Hal-Hal Transpersonal

Bagian 8: Psikologi Transpersonal dan Tradisi-Tradisi  Kearifan

Bagian 9: Alasan-Alasan Penolakan terhadap Psikologi Transpersonal

Bagian 10: Keterbatasan Psikologi Transpersonal

Bagian 11:  Evaluasi dan Kesimpulan 

Bagian 12:  Rujukan


KATA PENGANTAR: SEBUAH CONTOH

Klien itu berpakaian rapi dan mampu berbicara dengan baik, tetapi anehnya tampak
kusut. Tampak jelas  bahwa ia mengalami  banyak stres belakangan  ini. Ia tampak
tenang, tetapi duduk di pinggir kursinya seperti orang yang punya misi tertentu.
Sang psikolog menyimak dengan penuh perhatian sambil membuat catatan awal.

"Jadi  Anda   melihat  dan   mendengar  hal-hal   tertentu  yang   Anda  ragukan
kebenarannya?" tanyanya.  "Yah, tampaknya  cukup nyata  buat saya. Kadang-kadang
saya pikir  hal-hal  itu  tidak  nyata,  tetapi  sekarang  tidak  tahu.  Setidak
tidaknya,  hal-hal  itu  sangat aneh,"  jawab  klien  itu, sambil  menggelengkan
kepala. Suaranya  agak meninggi  karena stres  emosional itu,  dan ia  menggeser
duduknya di kursi.

"Dapatkah Anda menceritakannya kepada saya?"

"Saya melihat  sebuah semak  di gurun  pasir yang  tampak seolah-olah  terbakar,
tetapi tidak ada  asap. Saya  merasakan panasnya  dan melihat  api yang menjilat
jilat, tetapi semak itu tidak hangus. Lalu, tentu saja, ada suara Tuhan."

"Apa yang dikatakan suara itu?"

"Suara itu memberikan perintah-perintah  kepada saya dan menyuruh  saya memimpin
bangsa saya menuju Tanah Perjanjian."

"Baiklah," kata psikolog itu dengan nada welas asih. Ia membuat beberapa catatan
dengan  cepat:  halusinasi  visual  dan  auditoris,  ideasi  referensial,  waham
kebesaran, corak berpikir magis.

"Dapatkah Anda menceritakan tentang masa kecil Anda?" lanjutnya.

"Yah,  saya  tidak  pernah  mengenal ibu  maupun  ayah  saya.  Anda lihat,  saya
ditinggalkan ketika masih bayi. Dari cerita yang saya dengar, mereka  meletakkan
saya  di  rumpun-rumpun  bambu  di  tepi  sungai.  Saya  dipungut  oleh keluarga
Firaun..."

Sementara ia terus  bercerita, psikolog itu  membuat catatan lagi:  ditinggalkan
orang tua waktu kecil, ikatan terputus secara mencolok.

"Tidak heran orang yang malang ini mengira dirinya dipilih Tuhan untuk  memimpin
bangsanya,"  pikir  psikolog  itu.  "Karena  putusnya  hubungan  dengan realitas
berlangsung relatif akut, mungkin kita  dapat melakukan sesuatu untuk Tuan  Musa
ini."

Dia  membuat  catatan  lagi dari  detail-detail  yang  diberikan oleh  kliennya.
Diagnosis  kemungkinan:  Skizofrenia  paranoid,  subkhronik,  kode  DSM: 295.31.
Tetapi, fungsi mentalnya tidak begitu terganggu. Kemungkinan: Psikosis Atipikal:
298.90.

*****

Kisah ini sangat mungkin pula mengenai Yesus, yang kembali dari 40 hari puasa di
padang liar,  kelaparan dan  kurang tidur  dengan visiun  Tuhan dan  Iblis. Atau
kisah Gautama, pangeran muda yang  mengalami "trance katatonik" di bawah  sebuah
pohon, dan ketika  bangun kembali menyatakan  bahwa tidak ada  yang eksis, bahwa
realitas adalah kosong, dan penuh kedamaian. Atau kisah Black Elk, sebagai  anak
muda yang  kembali dari  pengasingannya selama  beberapa hari  tanpa makanan dan
minuman, dan takut membicarakan  halusinasi yang dialaminya. Bisa  menjadi kisah
ahli mistik dan guru spiritual mana pun sepanjang sejarah.

Di  dalam  suasana  cara  berpikir psikologi  masa  kini,  orang-orang  ini akan
mengalami kesukaran untuk menawarkan  pengalaman mistikal mereka untuk  diterima
seperti apa adanya. Tidak heran bila kebanyakan dari mereka akan harus menjalani
pengobatan psikiatris melalui terapi rawat jalan untuk waktu lama.

Bandingkan  kisah-kisah ini  dengan suatu  contoh yang  lebih mutakhir.  Sehabis
diskusi  dalam  kelas  tentang  pengalaman  puncak  [peak  experiences], seorang
mahasiswi datang  kepada  saya untuk  menceritakan  pengalaman-dekat-maut  [near
death experience]  yang pernah  dialaminya. Waktu  itu ia  berumur 19 tahun, dan
setelah disengat seekor  lebah, ia mengalami  syok anafilaktik. Ia  dilarikan ke
bagian  gawat darurat  sebuah rumah  sakit dalam  keadaan koma.  Selama 24   jam
berikutnya ia  "mati", dan  beberapa kali  "dihidupkan" kembali  oleh staf rumah
sakit.  Ia menulis,  selama episode-episode  ini, ia  meninggalkan tubuhnya  dan
melayang-layang di bagian atas ruang  tempat ia melihat para dokter  dan perawat
sibuk menangani tubuhnya. Ia merasa dirinya tertarik menuju sebuah cahaya  putih
yang  cemerlang  dan  menceritakan  beberapa  unsur  yang  biasa  terdapat dalam
pengalaman-dekat-maut. Ia  melaporkan  suatu  pengalaman-di-luar-tubuh   [out-of
body-experience],  yang  di  situ  ia  bertemu  dengan  Tuhan,  yang menunjukkan
kepadanya bahwa hakikat alam semesta ini adalah cinta kasih. Ia merasakan  welas
asih  yang  dalam, kuat,  dan  mendasar terhadap  dirinya  dan terhadap  seluruh
kehidupan.

Untuk beberapa minggu ia  mencoba menceritakan pengalamannya kepada  orang lain.
Rasa cinta  kasih tanpa  syarat tidak  hilang, tetapi  mulai luntur.  Ia sendiri
mulai meragukannya. "Kalau itu begitu indah, mengapa tidak ada orang mau percaya
kepadaku?" Reaksi  orang beraneka  ragam, mulai  dari kaget  dan menolak  sampai
merasa kasihan, tetapi tidak  seorang pun yang diajaknya  bicara sungguh-sungguh
menyimak.  Ia menjadi  makin bingung  dan menderita.  Akhirnya, sebulan  setelah
pengalaman-dekat-mautnya, ia  menjadi putus  asa mencari  orang yang  mau diajak
bicara, dan konflik batinnya --"Apakah ini nyata? Apakah saya gila?"-- meningkat
sampai  menjadi  krisis.  Ia  pergi ke  pusat  kesehatan  jiwa  masyarakat untuk
menceritakan pengalamannya  dan kebingungannya.  Di situ  ia didiagnosis sebagai
mengalami episode  psikotik akut  yang dipicu  oleh keadaan  syoknya dan  diberi
resep  Stelazine.  Setelah  diobati  berbulan-bulan,  ia  belajar  untuk   tidak
menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Namun, di dalam batinnya ia  yakin
bahwa  pengalamannya itu  nyata, lebih  nyata daripada  segala yang  lain  dalam
hidupnya. Membicarakan pengalaman-dekat-mautnya dengan saya, dan menemukan bahwa
dia tidak sendirian dalam hal itu, merupakan pengalaman yang sangat menyembuhkan
baginya.**

PSIKOLOGI DAN SPIRITUALITAS

Sepanjang sejarah yang tercatat, manusia selalu melaporkan pengalaman-pengalaman
yang di situ diri dirasakan meluas melampaui batas-batas dan limit-limit normal,
dan  menyatu  dengan  kosmos. Pengalaman  mistikal  dan  transenden seperti  itu
biasanya  dihormati  secara  khusus  dan  sering  menjadi  pusat  kehidupan dari
individu  bersangkutan  beserta komunitasnya.  Sesungguhnya,  mayoritas penduduk
Amerika melaporkan pernah mempunyai pengalaman mistikal dalam salah satu  bentuk
(Greeley, 1987),  dan, dalam  penelitian kami,  79% dari  suatu sampel yang luas
melaporkan  pernah mengalami  pengalaman puncak  (Davis, Lockwood,  dan  Wright,
1991).  Pengalaman puncak  didefinisikan sebagai  pengalaman yang  paling  baik,
paling penting, dan paling bermakna  dalam hidup seseorang dan dalam  banyak hal
mirip dengan pengalaman mistikal dan spiritual. Kebanyakan pendekatan psikologis
masa kini mengkategorikan  pengalaman-pengalaman ini sebagai  fantasi, patologi,
atau  pikiran  terdistorsi.  Bergantung  pada  orientasi  teoretis bersangkutan,
pengalaman itu dilihat sebagai pemenuhan keinginan untuk dilindungi oleh seorang
Ibu  yang mahabaik,  sebagai akibat  dari abnormalitas  neurofisiologis  seperti
anoksia serebral atau kegiatan syaraf mirip-ayan, atau ketidakmampuan membedakan
gambar-gambar internal dari realitas lahiriah.

Namun,  sementara  psikolog  memandang pengalaman  mistikal  dan  motivasi untuk
transendensi-diri  sebagai aspek  penting dari  pengalaman manusia,  dan  dengan
demikian menjadi suatu topik yang patut dikaji oleh psikologi. Suatu  pendekatan
yang terfokus pada  pengalaman-pengalaman ini, disebut  psikologi transpersonal,
telah muncul  sejak 20  tahun terakhir.  Istilah 'transpersonal'  mengacu kepada
pengakuan bidang kajian  ini akan suatu  realitas psikologis yang  meluas keluar
dari  identifikasi  dengan   kepribadian  individual.  Psikologi   transpersonal
berupaya meneliti dan memupuk pengalaman spiritual di dalam konteks  psikologis,
serta memasukkan spiritualitas dan pengalaman spiritual ke dalam psikologi. Sama
seperti 'psikologi kesehatan' adalah  jembatan antara psikologi dan  kedokteran,
atau  'psikologi  industri'  adalah   jembatan  antara  psikologi  dan   bisnis,
'psikologi transpersonal' adalah jembatan  antara psikologi dan aspek  spiritual
pengalaman keagamaan (bukan aspek-aspek  sosial atau politik agama).  Bidang itu
mengintegrasikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode psikologis dengan
bahan kajian  dan praktek  berbagai disiplin  spiritual, misalnya, transendensi,
spiritualitas, tingkat kesadaran mistikal,  pengalaman tentang makna dan  tujuan
tertinggi, meditasi, kesadaran dan ritual shamanik.

Definisi ini menunjukkan sumbangan ganda dari psikologi transpersonal. Psikologi
memperoleh manfaat dari konsep-konsep spiritualitas, dan memberi kita  pemahaman
lebih lengkap tentang  pengalaman dan potensi  manusia. Di pihak  lain, berbagai
disiplin dan praktek spiritual memperoleh manfaat dari penggunaan  konsep-konsep
psikologis.  Misalnya,  kita dapat  lebih  mudah memahami  seluk-beluk  jiwa dan
perlawanan terhadap berbagai praktek spiritual dengan menerapkan apa yang  telah
diketahui oleh para psikolog. Baik psikologi maupun disiplin-disiplin  spiritual
dapat mengambil  manfaat satu  dari yang  lain melalui  psikologi transpersonal.
Dengan  meningkatnya  kontak  dengan  tradisi-tradisi  spiritual  dan  bertambah
matangnya  psikologi, ini  merupakan kesempatan  luar biasa  bagi pemahaman  dan
pengembangan yang lebih luas.***

SEJARAH PSIKOLOGI TRANSPERSONAL

William  James,  yang sering  dijuluki  psikolog Amerika  pertama,  adalah salah
seorang  yang  pertama  kali  meneliti  pengalaman-pengalaman  mistikal  sebagai
fenomena psikologis, alih-alih fenomena  religius. Dalam bukunya, The  Varieties
of Religious  Experience (1902,  cetakan ulang  1958), James  mengemukakan bahwa
pengalaman mistikal  adalah akar  dari semua  agama di  dunia, dan ini merupakan
dorongan [impulse] yang wajar dan sehat. Ia mengidentifikasikan empat sifat umum
dari  pengalaman  mistikal.   Namun  kemudian  Freud   dan  pengikut-pengikutnya
mengesampingkan pengalaman mistikal sebagai sekadar fantasi dan regresi ke dalam
keadaan  yang mirip  rahim. Kaum  psikolog Behavioris  awal, dengan  mengalihkan
fokus psikologi dari kesadaran kepada perilaku, menutup sama sekali  kemungkinan
penelitian ilmiah terhadap pengalaman-pengalaman ini.

Sekalipun  ada  kecenderungan  seperti  ini,  beberapa  psikolog  tetap berminat
terhadap transendensi. Yang terpenting di antara mereka adalah Carl Jung.  Dalam
salah  satu  tulisan  awalnya,  ia  menyebutkan  Bawah-Sadar  Kolektif   sebagai
"Ueberpersonliche (Transpersonal)  Unconscious".  Jung berpendapat  bahwa  Bawah
Sadar  Kolektif  ini  dimiliki  bersama  oleh  semua  orang;  melalui  itu  kita
berhubungan  satu sama  lain dan  dengan alam  semesta secara  mendasar dan  tak
terputuskan. Wujud-wujud  asali [archetypes]  seperti Diri,  Bayangan, Pahlawan,
dan Bayi Ilahi,  mewakili isi dari  Bawah-Sadar Kolektif dan  merupakan landasan
bagi  pengalaman transpersonal.  Sementara kita  biasanya mengalami  wujud-wujud
asali  itu  secara  tidak  langsung  melalui  mimpi,  ritual,  dan  simbol,   ia
berpendapat bahwa  pengalaman mistikal  adalah pengalaman  wujud-wujud asali itu
secara  langsung. Jung  sering kali  menulis bahwa  pengalaman spiritual  adalah
tanda  kesehatan  jiwa  dan, pada  akhirnya,  merupakan  satu-satunya obat  bagi
neurosis. Pengaruhnya terhadap psikologi transpersonal tetap kuat.

Abraham  Maslow,  yang  banyak  bertanggung  jawab  dalam  pembentukan psikologi
humanistik, juga berjasa dalam melahirkan psikologi transpersonal sebagai bidang
kajian. Ia menjulukinya "Psikologi Kelompok Keempat", berdampingan dengan ketiga
kelompok   psikologi   lainnya:  psikoanalisis,   behaviorisme,   dan  psikologi
humanistik.  Baginya, psikologi  transpersonal adalah  langkah selanjutnya  yang
logis dari Psikologi Humanistik. Dalam  tahun 1968 ia menulis, "Saya  menganggap
Psikologi  Ketiga  Humanistik,   sebagai  transisional,  suatu   persiapan  bagi
Psikologi Keempat yang 'lebih tinggi', yang bersifat transpersonal,  transhuman,
berpusat  pada kosmos  dan bukan  pada kebutuhan  dan minat  manusia, yang  akan
melampaui  kemanusiaan,  identitas,  aktualisasi-diri  dan  sebagainya."  Maslow
menemukan bahwa beberapa orang  yang mencapai aktualisasi-diri sering  mempunyai
pengalaman puncak atau  transenden, sedangkan yang  lain tidak. Ini  menunjukkan
perbedaan   penting   antara  aktualisasi-diri   dan   transendensi-diri.  Telah
dikemukakan  pula,   bahwa  ini   menunjukkan  pergeseran   melampaui  psikologi
humanistik menuju  psikologi transpersonal.  Dua dari  bukunya yang  belakangan,
Toward a  Psychology of  Being (1968)  dan The  Farther Reaches  of Human Nature
(1971),  memaparkan banyak  ide-ide transpersonalnya  dan masih  berharga  untuk
dikaji secara teliti.

Psikolog lain  yang berpengaruh,  yang konsep-konsepnya  sedikit banyak bersifat
transpersonal adalah Mary Calkins,  yang menganjurkan suatu pendekatan  holistik
dalam psikologi; Karen  Horney, yang mempelajari  Zen dan memperkenalkan  konsep
"Diri  Sejati";  dan  Victor  Frankl,  yang  karyanya  tentang  pencarian  makna
didasarkan  pada  paham   tentang  transendensi-diri.  Carl   Rogers  memasukkan
"kekuatan spiritual transenden" ke  dalam daftar karakteristik dari  orang-orang
yang  berfungsi  secara  penuh;  dan  Fritz  Perls,  pembangun  Terapi  Gestalt,
meluangkan  waktu  di sebuah  biara  Zen. Ide-ide  transpersonal  terjalin dalam
banyak teori dan metode psikologis tanpa dikenali sebagai transpersonal.

Para teoretikus  masa kini  memperluas psikologi  transpersonal, dan  yang lebih
penting lagi, menghubungkannya dengan konsep-konsep yang telah digunakan  secara
luas di dalam psikologi. Perkembangan itu mencakup karya Stan dan Christina Grof
tentang kedaruratan spiritual; Ken  Wilber tentang Model Spektrum  Developmental
yang memadukan berbagai model dari pertumbuhan kognitif, moral, kepribadian, dan
spiritual; serta kaum Ekopsikolog tentang integrasi dari psikologi transpersonal
dengan masalah-masalah ekologis.**

INTRODUCTION  TO  TRANSPERSONAL PSYCHOLOGY 

Part  Four: Some  Basic  Concepts of Transpersonal Psychology John Davis,  Ph.D.
Department of Psychology Metropolitan State College of Denver

Psikologi  Transpersonal menyelidiki  sejumlah besar  konsep (Walsh  &  Vaughan,
1993). Beberapa konsep dasarnya adalah:

(1)  PENGALAMAN PUNCAK, yakni istilah yang mula-mula dipakai oleh Maslow  (mis.,
1971).  Ia bermaksud  meneliti pengalaman  mistikal serta  pengalaman-pengalaman
lain pada  keadaan kesehatan  psikologis yang  optimal, tetapi  ia merasa  bahwa
konotasi-konotasi  keagamaan  dan  spiritualitas  akan  terlalu  membatasi. Oleh
karena itu ia mulai menggunakan 'pengalaman puncak' sebagai istilah yang netral.
Sebuah  pengalaman   puncak  memiliki   beberapa  (tetapi   tidak  semua)   dari
karakteristik berikut:

* emosi yang amat kuat dan mendalam mirip seperti ekstase;

* merasakan kedamaian atau ketenangan yang mendalam;

* merasa selaras, harmonis, atau menyatu dengan alam semesta;

* merasa tahu secara lebih mendalam atau memiliki pemahaman yang mendalam;

* merasa  bahwa itu  suatu  pengalaman yang  sangat  istimewa yang  sukar   atau
mustahil diceritakan secara memadai dengan kata-kata (tak terperikan).

Penelitian  tentang  pengalaman  puncak  telah  mengidentifikasikan   frekuensi,
faktor-faktor pemicu,  faktor-faktor psikososial  yang berkaitan  dengannya, dan
konsekuensi dari pengalaman  puncak. Misalnya, hampir  semua orang dalam  survei
representative melaporkan pengalaman puncak tertentu, dan suatu persentase kecil
melaporkan pengalaman puncak yang mendalam yang mirip dengan pengalaman mistikal
yang  klasik.  Telah   dibuktikan  pula  bahwa   orang  cenderung  untuk   tidak
membicarakan  pengalaman puncak  mereka dengan  orang lain.  Alasan yang  paling
banyak  adalah  bahwa mereka  merasa  pengalaman itu  bersifat  sangat personal,
intim, dan tidak ingin mereka bagi; bahwa mereka tidak mempunyai kata-kata  yang
memadai untuk  menceritakannya; atau  bahwa mereka  takut orang  akan melecehkan
pengalaman itu atau menganggap mereka  tidak waras (Davis, et al.,  1991). Under
-reporting dari pengalaman puncak ini mungkin ikut berperan menyebabkan hal  itu
tidak  dibahas  dalam  banyak   ilmu  psikologi,  dan  jelas   bahwa  memusatkan
pertimbangan pada  pengalaman puncak  tidak dianjurkan  dalam banyak  pendekatan
psikologis.  Psikologi  Transpersonal  mendorong  pemasukan  pengalaman   puncak
sebagai jendela yang penting bagi  kesehatan jiwa dan bagi berfungsinya  seorang
manusia secara penuh.

Menjelang  akhir  hidupnya,  Maslow  juga  memperkenalkan  istilah   "pengalaman
dataran" [plateau  experience]. Ini  adalah pengalaman  positif yang berlangsung
lebih  lama  dengan  intensitas  lebih  rendah  dibandingkan  pengalaman puncak.
Contohnya adalah  keadaan meditatif  dan kontemplasi  dalam keheningan.  Ia juga
menyebut-nyebut tentang "pengalaman nadir" [nadir experience], yakni lawan  dari
pengalaman puncak. Ini adalah pengalaman yang sangat negatif sekali yang berubah
menjadi  pengalaman  positif.  Upaya  mengidentifikasikan  dan   mengkategorikan
pengalaman-pengalaman  transpersonal masih  terus berlanjut.  Walsh dan  Vaughan
(1993) dan lainnya telah mulai memetakan secara sistematik sifat-sifat  berbagai
pengalaman itu.

(2)  TRANSENDENSI-DIRI, yakni keadaan kesadaran  yang di situ rasa tentang  diri
meluas melampaui definisi-definisi sehari-hari dan citra-citra diri  kepribadian
individual bersangkutan. Transendensi-diri mengacu pada pengalaman langsung akan
suatu koneksi, harmoni atau kesatuan yang mendasar dengan orang lain dan  dengan
alam semesta.  "Diri" yang  ditransendensikan adalah  kepribadian atau diri-ego,
yakni kumpulan konsep-konsep diri,  citra-citra diri, dan peran-peran  diri yang
berkembang  melalui  interaksi  diri  dengan  dunia  luar. Pendekatan-pendekatan
transpersonal  berpendapat bahwa  diri-ego ini  tidak sama  dengan hakikat  atau
esensi diri kita, dan bahwa transendensi-diri mengantarkan kita untuk  mengalami
hakikat yang lebih dalam itu.

Pengertian  transendensi-diri adalah  bagian kunci  dari pemikiran  Maslow,  dan
merupakan akar  dari Psikologi  Transpersonal. Menjelang  akhir karirnya,  minat
transpersonal dari  Maslow mendorongnya  untuk menambahkan  tingkat keenam  pada
Hirarki Kebutuhan [Hiearchy of Needs]  yang terkenal. Tingkat keenam ini,  yakni
suatu  meta-kebutuhan  untuk  transendensi-diri  serta  motivasi  menuju   suatu
pengalaman   puncak,   meluas  melampaui   kebutuhan-kebutuhan   untuk  memenuhi
kekurangan dan kebutuhan aktualisasi-diri. Ia menemukan bahwa kebutuhan  seperti
itu terdapat pada beberapa, tetapi tidak semua, orang yang mencapai  aktualisasi
-diri. Suatu rasa  transendensi-diri adalah sifat  yang merupakan definisi  dari
pengalaman mistikal.

(3)   KESEHATAN  JIWA  OPTIMAL,  yang  melampaui  apa  yang  dimungkinkan  dalam
pendekatan-pendekatan  lain  dalam psikologi.  Kesehatan  jiwa biasanya  dilihat
sebagai penanganan yang memadai dari tuntutan-tuntutan lingkungan dan  pemecahan
konflik-konflik pribadi; namun pandangan Psikologi Transpersonal juga memasukkan
suatu kesadaran, pemahaman-diri, dan pemenuhan-diri yang lebih penuh.  Kesehatan
jiwa optimal juga mencakup  pengertian melayani orang lain.  'Pengalaman puncak'
dan  'pengalaman  dataran'  adalah contoh  pendek  dari  keadaan kesehatan  jiwa
optimal, namun kesadaran  yang meluas, kebebasan  dari konflik serta  kekurangan
internal, dan hubungan  otentik dengan orang  lain mungkin pula  dialami sebagai
sifat-sifat  yang  menetap.  Psikologi  transpersonal  berupaya  menyelidiki dan
memvalidasikan  keadaan-keadaan  batin  yang  sejak  dulu  disebut 'pencerahan',
'kebangkitan',  atau  'pembebasan' oleh  disiplin-disiplin  spiritual. (Walsh  &
Vaughan, 1993)

(4)   KEDARURATAN  SPIRITUAL,  yakni  suatu  pengalaman  yang  mengganggu   yang
disebabkan oleh  suatu pengalaman  (atau "kebangunan")  spiritual. Pada umumnya,
Psikologi Transpersonal berpendapat bahwa krisis-krisis psikologis dapat menjadi
bagian dari suatu kebangkitan yang  sehat dan bahwa kejadian-kejadian itu  tidak
selalu merupakan  tanda-tanda psikopatologi.  Berkaitan erat  dengan ini  adalah
pandangan bahwa orang yang bersangkutan adalah sehat secara intrinsik, dan bahwa
kesehatan  jiwa  ini  mungkin  termanifestasi  sedemikian  rupa  sehingga tampak
patologis. Di dalam  cara berpikir dan  perilaku yang paling  patologis terdapat
intisari yang sehat. Psikoterapi  transpersonal berupaya menggali dan  mendukung
intisari ini.

Suatu contoh  spesifik dari  pandangan transpersonal  tentang krisis  psikologis
telah  dikembangkan  oleh  Stan  Grof,  yang  juga  telah  memberikan  sumbangan
-sumbangan penting lainnya kepada teori transpersonal, dan Christina Grof  (Grof
&  Grof,  1989).  Mereka  melihat  bahwa  suatu  pengalaman  transpersonal, atau
kebangkitan spiritual,  dalam kondisi-kondisi  tertentu, mungkin  menjadi begitu
mengganggu  dan  menggoncangkan   sehingga  terasa  lebih   sebagai  kedaruratan
spiritual dengan  banyak karakteristik  dari beberapa  psikopatologi (lihat juga
Bragdon,  1987).  Lukoff  (1985)  dan  lainnya  telah  memperlihatkan  bahwa ada
manfaatnya membedakan antara  "pengalaman mistikal disertai  ciri-ciri psikotik"
(mystical experiences with psychotic features -- MEPF) dengan psikosis dan mania
reaktif jangka  pendek. Sebagian  berkat hasil  penelitian-penelitian ini, versi
terbaru dari Diagnostic and Statistical Manual (DSM-IV) sekarang memuat kategori
"Psychospiritual Problems", yang mencakup pengertian MEPF. Suami-istri Grof  dan
lainnya telah mengembangkan buku panduan untuk merawat orang dengan  kedaruratan
spiritual,  dengan menyadari  kedua sisi:  baik penderitaannya  saat ini  maupun
potensinya untuk pertumbuhan yang  mendalam. Bagi orang-orang demikian,  seperti
contoh  perempuan  yang diceritakan  pada  awal makalah  ini,  yang telah  salah
didiagnosis  sebagai  mengalami  breakdown  psikotik  padahal  mereka  mengalami
breakthrough spiritual, pembedaan itu dapat bermakna sangat banyak.

(5)  SPEKTRUM PERKEMBANGAN, yakni suatu pengertian yang memasukkan banyak konsep
psikologi dan filsafat ke dalam kerangka transpersonal. Secara filosofis,  model
ini adalah contoh  dari Filsafat Perenial.  Pandangan ini mengisyaratkan  adanya
tingkat-tingkat    realitas,    dari    tingkat    material    melalui   tingkat
psikologis/mental sampai ke tingkat  spiritual, dan bahwa masing-masing  tingkat
yang  berturutan mencakup  sifat-sifat dari  tingkat-tingkat sebelumnya  bersama
sifat-sifat yang  baru muncul.  Ini telah  menjadi dasar  dari kebanyakan sistem
filsafat  dan  spiritual,  dan  juga  ditemukan  dalam  hampir  semua pendekatan
psikologis (Wilber, 1993).

Secara psikologis,  model ini  tersusun dari  berbagai deskripsi tingkat-tingkat
perkembangan,  seperti  yang  diajukan  oleh  Freud,  Erikson,  Piaget,  Maslow,
Loevinger,  Kohlberg, dan  Gilligan. Perkembangan  secara psikologis,  kognitif,
motorik, sosial, dan moral berlangsung melalui urutan tingkat-tingkat yang dapat
diramalkan.  Para  psikolog  transpersonal  mengemukakan  bahwa  model-model itu
adalah akurat  sejauh itu,  namun biasanya  tidak sampai  pada pemahaman  secara
lengkap. Misalnya,  kebanyakan model  psikologis beranggapan  bahwa terbentuknya
suatu ego yang stabil, terintegrasi  dan terindividuasi adalah tahap akhir  dari
perkembangan. Psikologi  Transpersonal menyelidiki  tingkat-tingkat perkembangan
kepribadian yang meluas melampaui ego individual ke dalam lingkup transpersonal.
Model  Spektrum Perkembangan  (mis.: Wilber,  Engler &  Brown, 1987)  membedakan
berbagai  tingkat perkembangan  "Pra-personal", sebelum  terbentuknya rasa  diri
yang stabil; tahap-tahap "Personal",  yang di situ perkembangan  dan penghalusan
rasa  diri individual  diperoleh; dan  tahap-tahap "Transpersonal",  berdasarkan
identifikasi dengan suatu keseluruhan yang lebih besar daripada ego  individual.
Patut pula dicatat bahwa,  terlepas dari Psikologi Transpersonal,  beberapa ahli
teori perkembangan, seperti Kohlberg dan Erikson, memperluas model-model  mereka
ke dalam wilayah transpersonal.

(5)  MEDITASI, yakni berbagai  praktek untuk memusatkan atau  menenangkan proses
-proses  mental dan  memupuk keadaan  transpersonal. Sama  seperti  conditioning
merupakan  metode  kunci  dalam  behaviorisme,  'interpretasi'  serta 'katarsis'
merupakan metode kunci  dalam psikoanalisis, maka  meditasi adalah metode  kunci
bagi Psikologi Transpersonal. Diadaptasikan dari tradisi-tradisi spiritual  dari
Timur  dan Barat,  kebanyakan bentuk  meditasi menyangkut  entah perhatian  yang
terfokus pada satu  obyek (seperti napas  sendiri atau sebuah  kata yang diulang
-ulang  dalam  hati),  entah memperhatikan  dengan  sadar  semua isi  kesadaran.
Teknik-teknik  spesifiknya  berbeda-beda,  tetapi  kedua  bentuk  meditasi   itu
mempunyai  tujuan  akhir   yakni  meluasnya  kesadaran   dan  transendensi-diri.
Transendensi-diri, menyelidiki hakikat batin  dan identitas, dan meluaskan  rasa
diri sejak dulu merupakan tujuan  tradisional dari meditasi dan tetap  merupakan
nilai primer meditasi  di dalam kerangka  transpersonal. Namun, meditasi  sering
pula  digunakan sebagai  teknik relaksasi  atau teknik  psikoterapeutik.  Banyak
riset empiris telah diterbitkan selama tahun-tahun belakangan, yang  menguraikan
dan memvalidasikan berbagai efek  meditasi, baik untuk pengendalian-diri  maupun
untuk memperluas kesadaran. Terlepas  dari apakah sistem transpersonal  mencakup
praktek meditasi formal atau  tidak (dan kebanyakan sistem  memang mencakupnya),
pelatihan  dan  penanganan  kesadaran  dari  saat-ke-saat  merupakan  salah satu
landasan Psikologi Transpersonal.***

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!