Minggu, 17 Juni 2012


Dampak Liberalisasi, Globalisasi Terhadap Perekonomian Rakyat
Pertanyaan pertama yang muncul dari diskusi ini adalah apa sebetulnya yang dimaksud dengan ekonomi rakyat. Menurut Shauki, ada tiga hal yang dapat dilihat dari konsep tersebut. Pertama adalah dalam konsep tersebut, dimensi/pendekatan selalu dari sisi produksi, bagaimana pengusaha kecil, menengah dan besar, tetapi tidak dilihat dari sisi konsumen/demand-nya. Kedua adalah dalam konsep ini penekanan lebih spesifik kepada usaha kecil.
Arah ke depan yang diharapkan adalah di masa yang akan datang kekuatan massa ini akan muncul sehinga mendapatkan kontribusi yang seharusnya terjadi dalam kasus yang benar.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara mencapainya dan kebijakan apa di masa lampau menciptakan kondisi seperti sekarang ini ? Kita perlu mengidentifikasi masalahnya sehingga dapat memberikan solusi yang tepat. Terjadi perubahan struktural secara eskternal yang perlu kita perhatikan.
Ekonomi rakyat sebenarnya merupakan sesuatu yang sudah ada sebelumnya, tetapi kita ingin memberikan terminologi baru dalam momentum baru, sehingga ada landasan yang kuat untuk bertindak terutama dalam mempengaruhi kebijakan. Selama ini, kebijakan ekonomi Orde Baru memang berpihak ke arah ekonomi skala besar, meskipun tidak sejelas di Korsel. Tetapi hal tersebut bukan merupakan konsekwensi dari kebijakan semata-mata, melainkan lebih disebabkan oleh sistem kekuasaan di masa lampau, yaitu sistem tunggal di bawah rezim Orde Baru. Sistem politik seperti ini terjadi turun menurun, sampai ke level pemerintah yang paling rendah.Semua aktivitas ekonomi harus mendapat ijin dari pemerintah. Sehinga sangat wajar bila yang bisa memanfaatkan adalah sekelompok kecil pihak yang memiliki resources dan bisa menggunakan resources ini untuk mempengaruhi kebijakan. Sementara UK yang jumlahnya sangat banyak sehingga resources tersebar ternyata tidak bisa bersatu sehingga tidak bisa memadukan kekuatan. Dengan demikian kesalahan bukan terletak pada kebijakan umum, tetapi pada struktur politik yang ada dan implikasi dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Pada implementasi kebijakan terjadi berbagai intervensi sehingga terjadilah unsur-unsur KKN.
Dari fenomena tersebut ada beberapa hal yang bisa diidenrifikasikan sebagai titik untuk memulai sesuatu. Titik awalnya adalah sistem politik yang terpusat, yang merupakan akar permasalahan. Saat ini sistem tersebut mulai berubah, dengan demikian diharapkan akan menyelesaikan masalah. Tetapi hal ini masih berupa demokrasi politik, belum demokrasi ekonomi. Ini menyebabkan terjadinya hal-hal sebagai berikut :
  • Otonomi daerah yang masih tarik ulur
  • Regulasi yang masih berlebihan. Keputusan ekonomi dari level teratas sampai terendah selalu ada unsur keikutsertaan pemerintah.
  • Fungsi dari BKPM dan BKPMD, usaha tidak diijinkan menentukan sendiri daerah investasinya, masih harus ditentukan oleh pemerintah.
UK merupakan kelompok yang paling dirugikan dengan adanya hal-hal tersebut di atas, terutama dengan adanya regulasi yang berlebihan. UB bisa menggunakan regulasi tersebut untuk ber-KKN sehingga dapat mempengaruhi kebijakan. Sementara UK tidak dapat mengakomodasikan kepoentingannya, karena tidak punya kekuatan politik. Di sinilah LSM mengambil eran sebagai tim advokasi bagi kelompok UK.
Langkah konkret yang dapat dilakukan adalah :
  • Mengidentifikasi peraturan yang ada, terutama di tingkat daerah, karena UK terutama beroperasi di skala ini. Misalnya tentang ijin lokasi, apakah tidak lebih baik pemerintah menyusun rencana tata ruang yang lebih jelas sampai di tingkat kabupaten sehingga dapat dijadikan acuan pembangunan, dan bukannya menerapkan ijin-ijin seperti IMB? Dengan acuan yang lebih jelas tersebut pemerintah tinggal mengidentifikasi pihak-pihak yang melanggar.
  • Melihat UK sebagai kelompok yang punya karakteristik sendiri. Hal tersebut perlu dilakukan karena kita harus melihat di area mana kita bisabekerja. Kita tidak bisa mengadakan generalisasi terhadap UK, karena UK bukan merupakan kelompok yang homogen. Shauki membagi UK menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang subsitens hanya untuk survival. Permasalah pada kelompok ini lebih dilihat sebagai masalah sosial. Kelompok kedua adalah kelompok yang ingin memanfaatkan resources yang besar, dan punya potensi untuk berkembang dan menguntungkan, dan ini yang seharusnya jadi sasaran kita
Implikasinya terhadap perubahan eksternal adalah:
  • UK mengandalkan pada pasar lokal dulu, baru regional, nasional, dan mungkin akhirnya baru ke internasional. Artinya, bagi sebuah perusahaan kecil yang penting adalah pasar di dareah lokalnya karena itu adalah sumber permintaan. Misalnya sebuah unit usaha di Sumut akan melayani pasar Sumut dulu, baru mungkin ke Aceh dan Sumbar, tetapi sebenarnya ada kemungkinan di Malaysia, yang lebih prospektif dibandingkan dengan pasar di Ujungpandang atau Jawa. Pasar yang dilihat oleh UK dan potensial tidak relevan jika dibicarakan pasar nasional.
  • Liberalisasi seharusnya mempunyai dampak positip terhadap UK (dengan kondisi di atas) jika diterapkan dalam kebijakan secara konsisten. Namun yang terjadi adalah karena sistem politik yang sangat terpusat maka potensi yang terjadi di segitiga ekonomi (Sijori misalnya) tidak termanfaatkan secara optimal. Jika ingin membicarakan liberalisasi, AFTA misalnya, harus dibicarakan secara spesifik permasalahan antara dua daerah tersebut, misalnya antara Sumatra dan Malaysia, apa yang menjadi penghambat untuk kedua daerah tersebut. Secara nasional mungkin seharusnya tidak ada, tetapi mungkin di tingkat regional ada. Sehingga dengan konteks tersebut, liberalisasi tidak harus dilihat secara negatif yang akan mematikan usaha kecil. Liberalisasi bisa menciptakan realokasi kegiatan ke tempat yang lebih efisien.
  • Liberalisasi harus ditempatkan dalam konteks yang multilateral, karena jika tidak dampaknya bisa jadi negatif. Misalnya pajak pertanian diturunkan tiba-tiba dan tidak ada pihak lain yang berbuat serupa atau memberikan kontribusi kepada kita maka liberalisasi tersebut tidak akan membawa dampak positif.
Kesimpulan dari uraian tersebut di atas adalah :
  • Advokasi ke depan adalah menyadarkan UK bahwa mereka adalah kekuatan politik yang sangat besar dan dapat mempengaruhi policy supaya policy yang dikeluarkan lebih bersahabat, dengan kondisi yang win-win solution.
  • Demokratisasi dalam bidang ekonomi penting, terutama mengenai otonomi daerah. Penting juga kita tidak mengubah sistem yang lama yang terkonsentrasi di pusat menjadi sistem yang terkonsentrasi di daerah-daerah. Yang diinginkan adalah semangat deregulasi di mana pemerintah hanya menempatkan diri di kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya saja.
  • Dalam konteks liberalisasi harus dicoba diidentifikasikan permasalahan riil yang dapat menyebabkan liberalisasi tersebut tidak membawa manfaat bagi usaha kecil.
 
Ekonomi Kerakyatan Cuma Retorika?
TANGGAL 27 Agustus 2001 Pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sepakat memperbarui paket program kebijakan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi, tak satu pun butir kesepakatan itu yang menyebutkan keinginan untuk memperkuat dasar ekonomi rakyat. Bahkan, dalam Pidato Pengantar RAPBN 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri tak menyinggung strategi dasar dalam pengembangan ekonomi rakyat dimaksud. Realitasnya, ekonomi Indonesia selama ini disangga secara gotong-royong oleh pelaku usaha rakyat yang jumlahnya sangat banyak. Data BPS tahun 2000 menunjukkan, terdapat 39,04 juta unit atau 99,6 persen dari total unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja 74,4 juta orang. Jumlah ini merupakan 99,6 persen dari total angkatan kerja yang bekerja. Dari jumlah 30,04 juta di atas, komposisi sektoral adalah pertanian (62,7 persen), dan jasa (3,9 persen).
Dari komposisi volume usaha, sejumlah 99,85 persen volume usahanya di bawah Rp 1 milyar, 0,14 persen di antara Rp 1 milyar sampai Rp 50 milyar, dan 0,01 persen yang di atas Rp 50 milyar. Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut menyerap 88,66 persen, kelompok kedua menyerap 10,78 persen, dan yang ketiga menyerap 0,56 persen. "Bukankah aneh kalau kebijakan tidak menempatkan mayoritas pelaku usaha (ekonomi rakyat) di Indonesia dalam prioritas utama," kata Adi Sasono, Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Bangkit.
Namun, dapat dimaklumi jika pada 16 Agustus lalu Presiden Megawati menyatakan bahwa wacana tentang pengertian, lingkup, dan isi konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat belum jelas benar. Lebih jauh Presiden mengajak untuk memantapkan terlebih dahulu pemahaman ekonomi rakyat terhadap hal-hal yang bersifat mendasar, sebelum menyosialisasikan konsep tersebut.
Jadi, tampak bahwa "kebingungan" tentang pengertian ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan tidak saja menghinggapi masyarakat dan para pelaku ekonomi, tetapi juga para penentu kebijakan hingga Presiden Megawati.
Dari situ muncul pertanyaan, apakah di tengah "kebingungan" tentang belum jelasnya pengertian ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan, lantas kita tidak membuat kebijakan-kebijakan yang memperhatikan ekonomi rakyat? Rasanya, hal itu absurd. Soalnya, ada tidaknya pengertian dan definisi baku tentang ekonomi rakyat, ia tetap bergerak dan bertahan menggerakkan roda perekonomian, meski berskala kecil.
Apakah di tengah "kebingungan" kita semua, lantas kita menyerahkan sepenuhnya kebijakan-kebijakan ekonomi sesuai dengan kehendak pasar global yang liberal? Padahal, kita pahami bahwa dalam pasar global, para pemilik modal besar telah banyak melakukan kegiatan spekulasi.
Data menunjukkan bahwa realitas perdagangan uang dunia telah berlipat sekitar 80 kali dibandingkan dengan sektor riil. Ini fenomena "keterkaitan" antara sebagian besar perputaran uang dengan arus barang dan jasa. Itu berarti telah terjadi secara global apa yang disebut bubble economy, di mana kegiatan ekonomi dunia didominasi oleh kegiatan spekulasi.
Perhimpunan Indonesia Bangkit mencatat, dalam satu hari sekitar 1-2 trilyun dollar AS dana spekulasi tersebut gentayangan mencari tempat yang paling menguntungkan di dunia. Dalam hitungan setahun arus uang berjumlah sekitar 250 trilyun dollar AS. Hanya sekitar lima trilyun arus barang dan jasa yang diperdagangkan. "Dengan desakan liberalisasi yang kita terima secara taken for granted maka pemanfaatan dana-dana spekulasi dalam kegiatan pasar modal dan uang semakin intensif," kata Adi Sasono yang mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Dengan begitu, pada negara-negara yang sektor moneternya (pasar uang dan modal) semakin terbuka, semakin berisikolah perekonomiannya terhadap segala gejolak ekonomi eksternal. Inilah yang terjadi di Indonesia.
Lebih sadis lagi, dampak yang tidak menguntungkan dari kondisi tadi adalah adanya ketergantungan ekonomi bangsa terhadap permainan pihak asing. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan WTO-sebagai instrumen liberalisasi-telah menjerumuskan negara-negara berkembang yang lemah ke dalam situasi ketergantungan yang lebih intensif kepada kekuatan ekonomi pihak asing.
Ketergantungan ini dimanifestasikan dalam bidang keuangan, perdagangan, dan teknologi. Khusus tentang Indonesia, ketergantungan yang diantisipasikan oleh Dos Santos (1970) akan langsung diderita rakyatnya. Pihak asing akan menentukan formulasi kebijakan ekonomi dan sosial Indonesia, termasuk struktur kekuasaannya. Kedua, penguasaan devisa akan kembali berada di tangan pihak asing dengan intensitas yang lebih tinggi. Ketiga, penguasaan unit-unit ekonomi dan aset di Indonesia oleh pihak asing akan bertambah intensif.
Yang dikhawatirkan Dos Santos telah terbukti. Gara-gara kita "kebingungan", perekonomian nasional diserahkan ke pasar yang liberal dan rakus: melalui IMF, lembaga-lembaga keuangan internasional, hingga bangsa-bangsa asing yang ingin mengisap kesuburan komparatif bangsa kita?
DALAM perkembangan belakangan ini-akibat liberalisasi ekonomi yang begitu dahsyat- ekonomi kerakyatan telah dituduh secara keliru sebagai buah pikiran yang tidak jelas dasar teorinya. Selain itu, ekonomi kerakyatan dianggap sebagai beban dan biang distorsi bagi kebijakan perekonomian nasional. Dalam konteks ini, catatan ini ingin mengemukakan tiga landasan teori ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat yang didasarkan pada pengalaman empirik.
Pertama, validasi teori itu-kalau bersumber dari masyarakat yang berbeda-harus diuji terlebih dahulu, tidak bisa main paksa untuk diterapkan di suatu masyarakat yang berbeda konteksnya. Landasan teori ekonomi yang berkembang di fakultas-fakultas ekonomi saat ini merupakan mainstream economy yang didasarkan pada paradigma neo-klasik.
Teori itu lahir dan berkembang dengan latar Barat. Lebih tepat, semua teori harus bersumber dari realitas sejarah dan situasi kondisi suatu masyarakat atau suatu bangsa. "Sayangnya, yang berkembang selama ini di Indonesia adalah teori ekonomi aliran tertentu," kata Adi Sasono.
Selain banyak ketinggalan, kaku, dan ortodoks, aliran neo-klasik kelihatannya kurang memberikan ruang untuk perdebatan seru, atau tarik-menarik yang bisa melahirkan pemikiran alternatif baru yang cocok dengan konteks Indonesia.
Realitas empirik dari kekuatan ekonomi rakyat dapat dilihat dalam dinamika ekonomi riil masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang menghidupi kita. Setiap hari yang kita hidangkan di meja makan adalah bahan-bahan hasil produksi rakyat. Beras sampai garam, sayur-mayur sampai bumbu, merupakan produksi perekonomian rakyat, bukan produksi ekonomi konglomerat.
Jadi, perekonomian rakyatlah yang menghidupi, dan menjadi pendukung kehidupan bangsa selama ini. Jika sekiranya perekonomian nasional terus-menerus menghadapi krisis, ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan akan masih bisa hidup, betapa pun subsistemik. Malah, sejak zaman perjuangan fisik melawan kolonial, ekonomi rakyat yang memberi makan pejuang kita.
Ekonomi rakyat pula yang membuat bangsa Indonesia mampu survive sampai memperoleh pengakuan kedaulatan. Dalam masa krisis sekarang, tatkala buruh-buruh sektor besar dan modern terkena PHK, mereka sebagian besar "diterima" dan "dihidupi" oleh ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat telah menjadi "penjaga gawang" dalam perekonomian nasional. Ekonomi rakyat telah menampung kesusahan-kesusahan dan beban ekonomi modern yang diwakili para konglomerat.
Landasan empirik lain dari wujud usaha ekonomi kerakyatan dapat dilihat dalam kegiatan usaha kecil dan koperasi. Usaha kecil dan koperasi sangat besar kontribusinya dalam perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari aspek-aspek, seperti, peningkatan kesempatan kerja, sumber pendapatan, pembangunan ekonomi perdesaan, dan peningkatan ekspor nonmigas. Jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia cukup besar dan bergerak di berbagai sektor ekonomi, serta tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam konteks ini perlu pula dibedakan apa itu ekonomi kerakyatan, perekonomian rakyat, dan pemberdayaan rakyat. Sebenarnya ekonomi kerakyatan adalah istilah yang relatif baru untuk menggantikan istilah ekonomi rakyat yang distigmakan negatif dan didiskriminasikan.
Stigma muncul karena ekonomi rakyat didikotomikan dengan ekonomi konglomerat, dan diskriminatif karena "dirancang" untuk terang-terangan memihak pada salah satu sektor tertentu: ekonomi rakyat yang lemah dan terpinggirkan. Jadi, yang banyak dipakai adalah ekonomi kerakyatan.
Terlepas dari pemakaian istilah ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang digunakan dalam wacana, yang jelas, ekonomi kerakyatan dapat didefinisikan sebagai sektor ekonomi yang berisi kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat. Sementara itu, perekonomian rakyat adalah sistem ekonomi di mana rakyat dan usaha-usaha ekonomi kerakyatan berperan integral dalam perekonomian nasional: produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah kepemimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat, berdasarkan aturan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam Bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Pemberdayaan rakyat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat, yang dalam kondisi sekarang, tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah upaya memampukan, memartabatkan, dan memandirikan rakyat.
Pelaku ekonomi kerakyatan ini pada umumnya tertinggal di dalam proses pencapaian keadaan yang sejahtera, adil, dan makmur. Pelaku ekonomi kerakyatan ini ada yang formal, ada yang informal. Yang formal dapat dilihat dari sisi legalitasnya, seperti, koperasi, usaha kecil, dan menengah yang memiliki surat izin atau semacamnya. Yang informal dapat dilihat dari sisi: tidak memiliki legalitas, misalnya para pedagang kaki lima dan pedagang informal. Mereka belum bebas dari kemiskinan, sementara arus revolusi teknologi informasi modern telah mendera mereka.



             


Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!