Pertanyaan pertama yang muncul dari diskusi ini adalah apa
sebetulnya yang dimaksud dengan ekonomi rakyat. Menurut Shauki, ada tiga hal
yang dapat dilihat dari konsep tersebut. Pertama adalah dalam konsep tersebut,
dimensi/pendekatan selalu dari sisi produksi, bagaimana pengusaha kecil,
menengah dan besar, tetapi tidak dilihat dari sisi konsumen/demand-nya.
Kedua adalah dalam konsep ini penekanan lebih spesifik kepada usaha kecil.
Arah ke depan yang diharapkan adalah di masa yang akan datang
kekuatan massa ini akan muncul sehinga mendapatkan kontribusi yang seharusnya
terjadi dalam kasus yang benar.
Pertanyaan yang muncul
adalah bagaimana cara mencapainya dan kebijakan apa di masa lampau menciptakan
kondisi seperti sekarang ini ? Kita perlu mengidentifikasi masalahnya sehingga
dapat memberikan solusi yang tepat. Terjadi perubahan struktural secara
eskternal yang perlu kita perhatikan.
Ekonomi rakyat sebenarnya merupakan sesuatu yang sudah ada sebelumnya,
tetapi kita ingin memberikan terminologi baru dalam momentum baru, sehingga ada
landasan yang kuat untuk bertindak terutama dalam mempengaruhi kebijakan.
Selama ini, kebijakan ekonomi Orde Baru memang berpihak ke arah ekonomi skala
besar, meskipun tidak sejelas di Korsel. Tetapi hal tersebut bukan merupakan
konsekwensi dari kebijakan semata-mata, melainkan lebih disebabkan oleh sistem
kekuasaan di masa lampau, yaitu sistem tunggal di bawah rezim Orde Baru. Sistem
politik seperti ini terjadi turun menurun, sampai ke level pemerintah yang
paling rendah.Semua aktivitas ekonomi harus mendapat ijin dari pemerintah.
Sehinga sangat wajar bila yang bisa memanfaatkan adalah sekelompok kecil pihak
yang memiliki resources dan bisa menggunakan resources ini untuk
mempengaruhi kebijakan. Sementara UK yang jumlahnya sangat banyak sehingga resources
tersebar ternyata tidak bisa bersatu sehingga tidak bisa memadukan kekuatan.
Dengan demikian kesalahan bukan terletak pada kebijakan umum, tetapi pada
struktur politik yang ada dan implikasi dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pada implementasi kebijakan terjadi berbagai intervensi sehingga terjadilah
unsur-unsur KKN.
Dari fenomena tersebut ada
beberapa hal yang bisa diidenrifikasikan sebagai titik untuk memulai sesuatu. Titik
awalnya adalah sistem politik yang terpusat, yang merupakan akar permasalahan.
Saat ini sistem tersebut mulai berubah, dengan demikian diharapkan akan
menyelesaikan masalah. Tetapi hal ini masih berupa demokrasi politik, belum
demokrasi ekonomi. Ini menyebabkan terjadinya hal-hal sebagai berikut :
- Otonomi daerah yang masih tarik ulur
- Regulasi yang masih berlebihan. Keputusan ekonomi dari level
teratas sampai terendah selalu ada unsur keikutsertaan pemerintah.
- Fungsi dari BKPM dan BKPMD, usaha tidak diijinkan menentukan
sendiri daerah investasinya, masih harus ditentukan oleh pemerintah.
UK merupakan kelompok yang
paling dirugikan dengan adanya hal-hal tersebut di atas, terutama dengan adanya
regulasi yang berlebihan. UB bisa menggunakan regulasi tersebut untuk ber-KKN
sehingga dapat mempengaruhi kebijakan. Sementara UK tidak dapat
mengakomodasikan kepoentingannya, karena tidak punya kekuatan politik. Di
sinilah LSM mengambil eran sebagai tim advokasi bagi kelompok UK.
Langkah konkret yang dapat dilakukan adalah :
- Mengidentifikasi peraturan yang ada, terutama di tingkat
daerah, karena UK terutama beroperasi di skala ini. Misalnya tentang ijin
lokasi, apakah tidak lebih baik pemerintah menyusun rencana tata ruang
yang lebih jelas sampai di tingkat kabupaten sehingga dapat dijadikan
acuan pembangunan, dan bukannya menerapkan ijin-ijin seperti IMB? Dengan
acuan yang lebih jelas tersebut pemerintah tinggal mengidentifikasi
pihak-pihak yang melanggar.
- Melihat UK sebagai kelompok yang punya karakteristik sendiri.
Hal tersebut perlu dilakukan karena kita harus melihat di area mana kita
bisabekerja. Kita tidak bisa mengadakan generalisasi terhadap UK, karena
UK bukan merupakan kelompok yang homogen. Shauki membagi UK menjadi dua
kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang subsitens hanya untuk
survival. Permasalah pada kelompok ini lebih dilihat sebagai masalah
sosial. Kelompok kedua adalah kelompok yang ingin memanfaatkan resources
yang besar, dan punya potensi untuk berkembang dan menguntungkan, dan ini
yang seharusnya jadi sasaran kita
Implikasinya terhadap perubahan eksternal adalah:
- UK mengandalkan pada pasar lokal dulu, baru regional,
nasional, dan mungkin akhirnya baru ke internasional. Artinya, bagi sebuah
perusahaan kecil yang penting adalah pasar di dareah lokalnya karena itu
adalah sumber permintaan. Misalnya sebuah unit usaha di Sumut akan
melayani pasar Sumut dulu, baru mungkin ke Aceh dan Sumbar, tetapi
sebenarnya ada kemungkinan di Malaysia, yang lebih prospektif dibandingkan
dengan pasar di Ujungpandang atau Jawa. Pasar yang dilihat oleh UK dan
potensial tidak relevan jika dibicarakan pasar nasional.
- Liberalisasi seharusnya mempunyai dampak positip terhadap UK
(dengan kondisi di atas) jika diterapkan dalam kebijakan secara konsisten.
Namun yang terjadi adalah karena sistem politik yang sangat terpusat maka
potensi yang terjadi di segitiga ekonomi (Sijori misalnya) tidak
termanfaatkan secara optimal. Jika ingin membicarakan liberalisasi, AFTA
misalnya, harus dibicarakan secara spesifik permasalahan antara dua daerah
tersebut, misalnya antara Sumatra dan Malaysia, apa yang menjadi
penghambat untuk kedua daerah tersebut. Secara nasional mungkin seharusnya
tidak ada, tetapi mungkin di tingkat regional ada. Sehingga dengan konteks
tersebut, liberalisasi tidak harus dilihat secara negatif yang akan
mematikan usaha kecil. Liberalisasi bisa menciptakan realokasi kegiatan ke
tempat yang lebih efisien.
- Liberalisasi harus ditempatkan dalam konteks yang
multilateral, karena jika tidak dampaknya bisa jadi negatif. Misalnya
pajak pertanian diturunkan tiba-tiba dan tidak ada pihak lain yang berbuat
serupa atau memberikan kontribusi kepada kita maka liberalisasi tersebut
tidak akan membawa dampak positif.
Kesimpulan dari uraian tersebut di atas adalah :
- Advokasi ke depan adalah menyadarkan UK bahwa mereka adalah
kekuatan politik yang sangat besar dan dapat mempengaruhi policy supaya
policy yang dikeluarkan lebih bersahabat, dengan kondisi yang
win-win solution.
- Demokratisasi dalam bidang ekonomi penting, terutama mengenai
otonomi daerah. Penting juga kita tidak mengubah sistem yang lama yang
terkonsentrasi di pusat menjadi sistem yang terkonsentrasi di
daerah-daerah. Yang diinginkan adalah semangat deregulasi di mana
pemerintah hanya menempatkan diri di kegiatan yang menjadi tanggung
jawabnya saja.
- Dalam konteks liberalisasi harus dicoba diidentifikasikan
permasalahan riil yang dapat menyebabkan liberalisasi tersebut tidak
membawa manfaat bagi usaha kecil.
Ekonomi Kerakyatan Cuma Retorika?
TANGGAL 27 Agustus 2001
Pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sepakat memperbarui
paket program kebijakan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi, tak satu pun butir
kesepakatan itu yang menyebutkan keinginan untuk memperkuat dasar ekonomi
rakyat. Bahkan, dalam Pidato Pengantar RAPBN 2002, Presiden Megawati
Soekarnoputri tak menyinggung strategi dasar dalam pengembangan ekonomi rakyat
dimaksud. Realitasnya, ekonomi Indonesia selama ini disangga secara
gotong-royong oleh pelaku usaha rakyat yang jumlahnya sangat banyak. Data BPS
tahun 2000 menunjukkan, terdapat 39,04 juta unit atau 99,6 persen dari total
unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja 74,4 juta orang. Jumlah ini merupakan
99,6 persen dari total angkatan kerja yang bekerja. Dari jumlah 30,04 juta di
atas, komposisi sektoral adalah pertanian (62,7 persen), dan jasa (3,9 persen).
Dari komposisi volume
usaha, sejumlah 99,85 persen volume usahanya di bawah Rp 1 milyar, 0,14 persen
di antara Rp 1 milyar sampai Rp 50 milyar, dan 0,01 persen yang di atas Rp 50
milyar. Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut
menyerap 88,66 persen, kelompok kedua menyerap 10,78 persen, dan yang ketiga
menyerap 0,56 persen. "Bukankah aneh kalau kebijakan tidak menempatkan
mayoritas pelaku usaha (ekonomi rakyat) di Indonesia dalam prioritas
utama," kata Adi Sasono, Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Bangkit.
Namun, dapat dimaklumi
jika pada 16 Agustus lalu Presiden Megawati menyatakan bahwa wacana tentang
pengertian, lingkup, dan isi konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat
belum jelas benar. Lebih jauh Presiden mengajak untuk memantapkan terlebih
dahulu pemahaman ekonomi rakyat terhadap hal-hal yang bersifat mendasar,
sebelum menyosialisasikan konsep tersebut.
Jadi, tampak bahwa
"kebingungan" tentang pengertian ekonomi rakyat atau ekonomi
kerakyatan tidak saja menghinggapi masyarakat dan para pelaku ekonomi, tetapi
juga para penentu kebijakan hingga Presiden Megawati.
Dari situ muncul pertanyaan, apakah di tengah
"kebingungan" tentang belum jelasnya pengertian ekonomi rakyat atau
ekonomi kerakyatan, lantas kita tidak membuat kebijakan-kebijakan yang
memperhatikan ekonomi rakyat? Rasanya, hal itu absurd. Soalnya, ada tidaknya
pengertian dan definisi baku tentang ekonomi rakyat, ia tetap bergerak dan
bertahan menggerakkan roda perekonomian, meski berskala kecil.
Apakah di tengah
"kebingungan" kita semua, lantas kita menyerahkan sepenuhnya
kebijakan-kebijakan ekonomi sesuai dengan kehendak pasar global yang liberal?
Padahal, kita pahami bahwa dalam pasar global, para pemilik modal besar telah
banyak melakukan kegiatan spekulasi.
Data menunjukkan bahwa
realitas perdagangan uang dunia telah berlipat sekitar 80 kali dibandingkan
dengan sektor riil. Ini fenomena "keterkaitan" antara sebagian besar
perputaran uang dengan arus barang dan jasa. Itu berarti telah terjadi secara
global apa yang disebut bubble economy, di mana kegiatan ekonomi dunia
didominasi oleh kegiatan spekulasi.
Perhimpunan Indonesia
Bangkit mencatat, dalam satu hari sekitar 1-2 trilyun dollar AS dana spekulasi
tersebut gentayangan mencari tempat yang paling menguntungkan di dunia. Dalam
hitungan setahun arus uang berjumlah sekitar 250 trilyun dollar AS. Hanya
sekitar lima trilyun arus barang dan jasa yang diperdagangkan. "Dengan desakan
liberalisasi yang kita terima secara taken for granted maka pemanfaatan
dana-dana spekulasi dalam kegiatan pasar modal dan uang semakin intensif,"
kata Adi Sasono yang mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Dengan begitu, pada
negara-negara yang sektor moneternya (pasar uang dan modal) semakin terbuka,
semakin berisikolah perekonomiannya terhadap segala gejolak ekonomi eksternal.
Inilah yang terjadi di Indonesia.
Lebih sadis lagi, dampak yang tidak menguntungkan dari kondisi
tadi adalah adanya ketergantungan ekonomi bangsa terhadap permainan pihak
asing. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan WTO-sebagai instrumen liberalisasi-telah
menjerumuskan negara-negara berkembang yang lemah ke dalam situasi
ketergantungan yang lebih intensif kepada kekuatan ekonomi pihak asing.
Ketergantungan ini
dimanifestasikan dalam bidang keuangan, perdagangan, dan teknologi. Khusus
tentang Indonesia, ketergantungan yang diantisipasikan oleh Dos Santos (1970)
akan langsung diderita rakyatnya. Pihak asing akan menentukan formulasi
kebijakan ekonomi dan sosial Indonesia, termasuk struktur kekuasaannya. Kedua,
penguasaan devisa akan kembali berada di tangan pihak asing dengan intensitas
yang lebih tinggi. Ketiga, penguasaan unit-unit ekonomi dan aset di Indonesia
oleh pihak asing akan bertambah intensif.
Yang dikhawatirkan Dos
Santos telah terbukti. Gara-gara kita "kebingungan", perekonomian
nasional diserahkan ke pasar yang liberal dan rakus: melalui IMF,
lembaga-lembaga keuangan internasional, hingga bangsa-bangsa asing yang ingin
mengisap kesuburan komparatif bangsa kita?
DALAM perkembangan
belakangan ini-akibat liberalisasi ekonomi yang begitu dahsyat- ekonomi
kerakyatan telah dituduh secara keliru sebagai buah pikiran yang tidak jelas
dasar teorinya. Selain itu, ekonomi kerakyatan dianggap sebagai beban dan biang
distorsi bagi kebijakan perekonomian nasional. Dalam konteks ini, catatan ini
ingin mengemukakan tiga landasan teori ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat
yang didasarkan pada pengalaman empirik.
Pertama, validasi teori
itu-kalau bersumber dari masyarakat yang berbeda-harus diuji terlebih dahulu,
tidak bisa main paksa untuk diterapkan di suatu masyarakat yang berbeda
konteksnya. Landasan teori ekonomi yang berkembang di fakultas-fakultas ekonomi
saat ini merupakan mainstream economy yang didasarkan pada paradigma
neo-klasik.
Teori itu lahir dan berkembang dengan latar Barat. Lebih tepat,
semua teori harus bersumber dari realitas sejarah dan situasi kondisi suatu
masyarakat atau suatu bangsa. "Sayangnya, yang berkembang selama ini di
Indonesia adalah teori ekonomi aliran tertentu," kata Adi Sasono.
Selain banyak ketinggalan,
kaku, dan ortodoks, aliran neo-klasik kelihatannya kurang memberikan ruang
untuk perdebatan seru, atau tarik-menarik yang bisa melahirkan pemikiran
alternatif baru yang cocok dengan konteks Indonesia.
Realitas empirik dari
kekuatan ekonomi rakyat dapat dilihat dalam dinamika ekonomi riil masyarakat.
Realitas menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat merupakan
kegiatan ekonomi yang menghidupi kita. Setiap hari yang kita hidangkan di meja
makan adalah bahan-bahan hasil produksi rakyat. Beras sampai garam, sayur-mayur
sampai bumbu, merupakan produksi perekonomian rakyat, bukan produksi ekonomi
konglomerat.
Jadi, perekonomian rakyatlah
yang menghidupi, dan menjadi pendukung kehidupan bangsa selama ini. Jika
sekiranya perekonomian nasional terus-menerus menghadapi krisis, ekonomi rakyat
atau ekonomi kerakyatan akan masih bisa hidup, betapa pun subsistemik. Malah,
sejak zaman perjuangan fisik melawan kolonial, ekonomi rakyat yang memberi
makan pejuang kita.
Ekonomi rakyat pula yang
membuat bangsa Indonesia mampu survive sampai memperoleh pengakuan kedaulatan.
Dalam masa krisis sekarang, tatkala buruh-buruh sektor besar dan modern terkena
PHK, mereka sebagian besar "diterima" dan "dihidupi" oleh
ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat telah menjadi "penjaga gawang" dalam
perekonomian nasional. Ekonomi rakyat telah menampung kesusahan-kesusahan dan
beban ekonomi modern yang diwakili para konglomerat.
Landasan empirik lain dari
wujud usaha ekonomi kerakyatan dapat dilihat dalam kegiatan usaha kecil dan
koperasi. Usaha kecil dan koperasi sangat besar kontribusinya dalam
perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari aspek-aspek, seperti,
peningkatan kesempatan kerja, sumber pendapatan, pembangunan ekonomi perdesaan,
dan peningkatan ekspor nonmigas. Jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia
cukup besar dan bergerak di berbagai sektor ekonomi, serta tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.
Dalam konteks ini perlu
pula dibedakan apa itu ekonomi kerakyatan, perekonomian rakyat, dan
pemberdayaan rakyat. Sebenarnya ekonomi kerakyatan adalah istilah yang relatif
baru untuk menggantikan istilah ekonomi rakyat yang distigmakan negatif dan
didiskriminasikan.
Stigma muncul karena
ekonomi rakyat didikotomikan dengan ekonomi konglomerat, dan diskriminatif
karena "dirancang" untuk terang-terangan memihak pada salah satu
sektor tertentu: ekonomi rakyat yang lemah dan terpinggirkan. Jadi, yang banyak
dipakai adalah ekonomi kerakyatan.
Terlepas dari pemakaian
istilah ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang digunakan dalam wacana,
yang jelas, ekonomi kerakyatan dapat didefinisikan sebagai sektor ekonomi yang
berisi kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat. Sementara itu, perekonomian rakyat
adalah sistem ekonomi di mana rakyat dan usaha-usaha ekonomi kerakyatan
berperan integral dalam perekonomian nasional: produksi dikerjakan oleh semua
untuk semua di bawah kepemimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat,
berdasarkan aturan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam
Bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Pemberdayaan rakyat adalah
upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat, yang dalam
kondisi sekarang, tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah upaya memampukan,
memartabatkan, dan memandirikan rakyat.
Pelaku ekonomi kerakyatan
ini pada umumnya tertinggal di dalam proses pencapaian keadaan yang sejahtera,
adil, dan makmur. Pelaku ekonomi kerakyatan ini ada yang formal, ada yang
informal. Yang formal dapat dilihat dari sisi legalitasnya, seperti, koperasi,
usaha kecil, dan menengah yang memiliki surat izin atau semacamnya. Yang
informal dapat dilihat dari sisi: tidak memiliki legalitas, misalnya para
pedagang kaki lima dan pedagang informal. Mereka belum bebas dari kemiskinan,
sementara arus revolusi teknologi informasi modern telah mendera mereka.
0 komentar:
Posting Komentar