Sabtu, 16 Juni 2012


Catatan untuk Franz Magnis-Suseno
Apakah Abdurrahman Wahid Seorang Demokrat?!

Oleh: Sri-Bintang Pamungkas
(Kompas, 3 April 2001)

DALAM tulisannya di Kompas (23/3/01) Franz Magnis-Suseno menyebut Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai seorang demokrat yang memerintah secara demokratis, sehingga tidak layak untuk didemonstrasi.
Pak Franz mau menunjukkan, antara demonstrasi mahasiswa sekarang (terhadap Abdurrahman Wahid) dan demonstrasi tahun 1998 terhadap Soeharto berbeda besar. Yang didemo pada tahun 1998 adalah seorang diktator, sedang yang didemo pada tahun 2001 adalah seorang demokrat yang memerintah secara demokratis. Saya tidak sependapat dalam soal ini.
Menurut saya, Abdurrahman Wahid bukan seorang demokrat dan yang memerintah dengan cara demokratis. Kita semua masih ingat pada tanggal 21 Oktober 1999 Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden ke-4 melalui pemungutan suara terbanyak di MPR. Pemungutan suara terbanyak seperti itu tidak selalu berarti pemilihan secara demokratis. Atau secara umum, demokrasi bukan sekadar suara terbanyak. Maka tontonan sebagaimana kita lihat pada waktu pemilihan presiden di MPR itu akan selalu terjadi, pasti ada yang mendapat suara terbanyak.
Tetapi, mestinya, dalam "demokrasi" ada dimensi "moral", yaitu bahwa pemilihan yang mengandung sesuatu yang "a-moral" tentu tidak bisa disebut sebagai pemilihan yang demokratis. Kata "a-moral" di sini, mengambil istilah Pak Franz, antara lain, bisa berupa "akal-akalan". Di sinilah saya melihat banyak peristiwa "akal-akalan" yang sengaja dipaksakan dalam pemilihan presiden yang lalu (dan yang sebelumnya di zaman Pak Harto!) untuk keuntungan sesuatu pihak, sehingga menjadi tidak demokratis.
"Akal-akalan" itu sering mewarnai proses pengambilan suara, termasuk dalam proses pengambilan suara dalam pemilihan Presiden (dan Wapres Megawati).
Sebelum pemilihan presiden sudah tersebar rencana, dalam proses pemilihan itu masing-masing calon akan dikenai syarat, antara lain: (1) Harus sehat jasmani dan rohani. Syarat ini berlaku pula untuk menjadi anggota DPR/MPR; dan (2) Para calon presiden akan dipertandingkan dalam sebuah debat terbuka di muka sidang MPR, untuk menjelaskan pandangan dan programnya lima tahun ke depan. Ternyata dua syarat ini dihapuskan. Bagaimana proses penghapusan di sidang MPR dua syarat yang sudah menjadi pengetahuan umum itu tidak diketahui dengan jelas, proses penghapusan mana adalah sebuah bentuk "akal-akalan".
Penghapusan kedua syarat itu tentu menguntungkan para calon, khususnya Abdurrahman Wahid dan Megawati. Abdurrahman Wahid diuntungkan oleh penghapusan syarat pertama, dan Megawati diuntungkan oleh penghapusan syarat kedua. Selain tidak demokratis, di sini saya menilai, pemilihan presiden yang lalu menunjukkan betapa para anggota (khususnya pimpinan DPR/MPR) telah "bermain-main" dengan Republik demi kepentingan kelompoknya sendiri. Hasilnya, kita tahu sekarang: Republik ada di pinggir kehancuran!
Kalau Abdurrahman Wahid (juga Megawati) demokrat tulen, dia tentu tidak mau kedua syarat itu dihapuskan. Apalagi pemilihan ini menyangkut Republik dengan 200 juta rakyat. Seorang demokrat tulen tentu tidak ingin mengorbankan Republik demi keuntungan sendiri. Abdurrahman Wahid yang secara fisik sakit, mestinya tahu diri, dan berjiwa ksatria seperti Franco D Roosevelt dari AS atau Boris Yeltsin dari Rusia yang secara sukarela mundur. Bahkan, lebih baik kalau pada waktu itu dia mundur dari pencalonan presiden.
Demikian pula jangan sampai rakyat Indonesia "membeli kucing dalam karung", dengan memilih Abdurrahman Wahid (atau Megawati) yang tidak jelas mau mengajak rakyat Indonesia ke mana. Suatu pemilihan adalah demokratis, bila para pemilihnya tahu persis orang yang akan dipilihnya menjadi pemimpin mau membawa Republik ini ke arah mana. Republik ini sedang mengalami krisis multi-dimensi, sehingga membutuhkan seorang pemimpin yang bukan sekadar mendapat "suara terbanyak" tetapi juga mempunyai kemampuan, kesiapan, dan integritas sebagai pemimpin. Antara lain, itu bisa dilihat dari pandangan-pandangannya yang muncul dalam debat terbuka di muka sidang MPR. Bila debat terbuka itu benar-benar digelar dalam proses pemilihan presiden yang lalu, maka saya percaya rakyat Indonesia akan menyaksikan, baik Abdurrahman Wahid maupun Megawati tidak qualified sebagai presiden.

***

LALU, apakah Abdurrahman Wahid juga memerintah secara demokratis? Sekali lagi, ukurannya bukan sekadar memberi kemerdekaan terhadap orang untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Bahkan, kemerdekaan berbicara ini juga bukan "hadiah" dari Abdurrahman Wahid.
Era kemerdekaan berbicara ini tercapai karena rakyat dan mahasiswa "merebutnya" pada tahun 1998 dari tangan Soeharto. Ternyata di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (dan Megawati), Republik ini dibuat kacau. Tidak saja berbagai krisis tidak bisa diatasi, bahkan makin dalam dan luas skalanya, bahkan reformasi yang menjadi tuntutan ketika menjatuhkan Soeharto dulu juga hilang begitu saja. Abdurrahman Wahid juga berkelahi dengan semua orang, dengan menterinya, dengan anggota DPR, dengan umat Islam, dengan TNI, dengan Polri, dan dengan negara tetangga juga (Palestina, AS, Singapura, Australia). Seorang demokrat tulen tidak mungkin berkelahi dengan setiap orang. Bahkan dengan munculnya kasus IMF dan ExxonMobil, terbukti dunia juga ikut "mengutuk" Indonesia. Apakah ini kepemimpinan yang demokratis?!
Bahkan, akibat buruk dari kepemimpinan Abdurrahman Wahid (dan Megawati) semakin luas. Rakyat yang menunggu perubahan yang tak kunjung datang, akhirnya tidak sabar. Peristiwa Aceh dan Irian Jaya muncul dengan intensitas lebih besar, disusul Maluku yang juga tidak kunjung selesai; lalu Sampit, dan mungkin yang lain-lain lagi. Abdurrahman Wahid (dan Megawati) memang tidak siap dan tidak mampu memimpin Republik ini. Mereka telah gagal. Kalau mereka demokrat, dan memerintah dengan demokratis, mereka seharusnya mundur, seperti Charles de Gaulle ketika gagal dalam mengatasi Mei Merah tahun 1968!
Dari gambaran di atas, Megawati juga bukan contoh seorang demokrat. Meski dia secara jasmani sehat, rakyat pada waktu itu tidak tahu pemimpin "macam mana" dia. Bahkan, dia pernah ditolak menjadi presiden. Tetapi, ketika calon presiden Megawati tersingkir karena tidak memperoleh suara terbanyak, demi mencari kedudukan dia tidak malu "merendahkan" martabatnya dengan mencalonkan diri menjadi calon wakil presiden. Dan dia terpilih menjadi wakil presiden setelah ada "ancaman" cap jempol berdarah para pengikutnya!
Hanya cara pemilihan presiden (dan wakil presiden) yang "ngawur" yang menempatkannya dalam kedudukan wakil presiden. Pemilihan presiden dan wakil presiden seharusnya berpasang-pasangan (Pasal 6 Ayat 2 UUD 1945). Dari hasil pasang-pasangan ini (satu ideologi, satu partai), sekiranya presiden berhalangan tetap, maka wakil presiden bisa menggantikan presidennya (Pasal 8 UUD 1945). Tetapi pemilihan 21 Oktober 1999 yang lalu tidak dilakukan seperti itu (dus tidak sah!). Karena itu, bisa dimengerti, kalau hubungan antara Abdurrahman Wahid dan Megawati "tidak serasi", tidak saling mendukung.
Namun, kini rakyat sudah tahu, siapa Megawati. Dia tidak lebih baik dari Abdurrahman Wahid, sama-sama tidak mampu dan sama-sama tidak siap. Abdurrahman Wahid dan Megawati juga bukan tokoh-tokoh demokrat, sehingga bisa menjadi "korban terpilih" dari sebuah pemilihan yang tidak demokratis.
Oleh karena itu, demonstrasi menuntut Abdurrahman Wahid dan Megawati untuk mundur bukan mob power. Demonstrasi mahasiswa yang kemarin itu akan berkembang menjadi people power, karena yang akan diselamatkan dari kehancuran adalah Republik. Kali ini bukan dari tangan seorang diktator seperti Soeharto, tetapi dari orang-orang yang tidak mampu dan tidak siap seperti Abdurrahman Wahid dan Megawati. Di sini juga ada legitimasi people power. Bahkan, upaya Abdurrahman Wahid untuk mengerahkan "angkatan perang" swastanya, persis seperti ketika Megawati tidak terpilih menjadi presiden, itulah yang merupakan mob power. Karena itu, mereka sebaiknya mundur saja.
Upaya Pak Franz menyelamatkan Abdurrahman Wahid dan Megawati dengan menempatkan masing-masing sebagai kepala negara dan kepala pemerintah tentu bertentangan dengan sistem presidensial. Selain itu merupakan "akal-akalan", Republik ini kiranya sudah cukup mampu menduga apa yang bakal terjadi sekiranya dua tokoh itu tetap tidak tahu diri bahwa dalam waktu singkat Republik ini rusak di tangannya.
Dengan alasan sama, saya melihat Pemilu 1999 yang lalu bukan pula Pemilu yang demokratis. Antara lain, karena rakyat tidak memilih wakilnya dengan pengetahuan tetapi dengan emosi, asal pilih-pilih partai.
Oleh karena itu, seperti Pak Franz, saya juga menilai para anggota MPR/DPR yang kini tidak lebih daripada orang-orang "picisan" yang hanya memberi "tontonan yang me-malukan". Sebaiknya, mereka mundur juga, sebab, kalau diberi kesempatan lagi memilih presiden (dan wakil presiden), mereka akan melakukan kesalahan yang sama.
Memang ini menjadi sebuah pelajaran berat bagi bangsa ini, agar jangan suka "bermain-main" dengan Republik dan jangan pula suka "akal-akalan" dengan pemilu. Rakyat pula yang menderita akibatnya!
* Sri-Bintang Pamungkas, Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia

Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!