[ Kilas Balik Gerakan Wanita Indonesia ( Gerwani)]
Pengantar:
‘Luka’
yang mengangah sejak 34 tahun lalu memang masih terasa dan belum sembuh benar.
Sebuah tragedi kemanusian telah terjadi, beribu-ribu ibu kehilangan anak dan
suami mereka, entah dipenggal kepalanya atau dibuang ke kamp konsentrasi
semacam Pulau Buru.
Di antara reruntuhan bangkai, darah dan air mata itu,
sebuah organisasi perempuan ‘revolusioner’ juga mengalami hal yang sama. Para
pimpinanya ditangkap, disiksa, diperkosa -- oleh orang-orang berseragam loreng,
bersenjata dan bersepatu laras-- dan akhirnya penjara menjadi ‘rumah’ mereka,
terpisah dari anak dan suami. Kini, ketika demokrasi mulai terkuak sedikit-demi
sedikit, mampukah gerakan feminis revolusioner bangkit kembali? Mampukah, bersama
kaum tertindas lainya, bersama bergerak menuntaskan revolusi demokratik yang
‘terinterupsi’?
***
1965. Tahun ini tidak hanya mulai masuknya
modal-modal asing ke Indonesia, tetapi juga merupakan sejarah kelam dalam
sejarah kemanusian negeri ini. Kekuasaan baru yang mengabdi pada modal asing
didirikan diatas 3 juta bangkai rakyatnya sendiri. Mereka dibantai – sebagian
besar petani di pedesaan yang progresif, pedagang-pedagang menengah kebawah,
buruh-buruh progresif, intektual dan mahasiswa progresif, perempuan
berpandangan maju, walaupun banyak juga yang tidak mengerti apa-apa dengan apa
yang terjadi -- semata-mata untuk
melapangkan masuknya modal asing agar lebih bisa dengan mudah menancapkan
‘kukunya’, untuk lebih memudahkan mengekploitasi kekayaan alam dan sumber daya
manusia di negeri ini. Rejim baru ini – yang ditopang oleh senjata dan modal
asing – memang dengan sengaja menciptakan suatu trauma sejarah, maka tidak
hanya manusia yang mereka habisi, organisasi-organisasi yang dianggap bisa menjadi batu sandungan bagi mereka, juga
dihabisi. Salah satunya adalah Gerakan Wanita Indonesia (gerwani), sebuah
organisasi perempuan progresif. Sejak saat inilah, perempuan Indonesia merupakan bagian dari
rakyat yang paling terhisap oleh sistem kapitalis yang militeristik.
Bailkah, kita melakukan kilas balik terhadap
gerakan perempuan Indonesia, bukan untuk sekedar romantisme atau menangisinya,
tapi guna membangun gerakan perempuan revolusioner, sesuai dengan kehendak
jaman. Memang kadang menyakitkan untuk melihat masa lalu, tapi sejarah tetaplah
guru terbaik, dari sinilah kita belajar agar tidak membuat kesalahan yang sama
dan ‘merenda’ sejarah yang lebih baik untuk kemanusiaan.
Apabila kita membuka-buka kembali lembaran
sejarah, sebetulnya gerakan perempuan di Indonesia sudah ada sejak akhir abad
ke-19. Kartini[1], seorang
perempuan priyayi yang terkena pengaruh politik ethik, sadar bahwa ternyata
kaumnya masih sangat terbelakang. Memang sungguh luar biasa, tidak hanya
ditengah kaumnya yang terbelakang, tapi
juga diantara jutaan rakyat yang masih diseliputi alam feodalisme, terbelakang
dalam berfikir, dalam ilmu dan pengertahuan, Kartini mempelopori jaman baru
bagi kaum perempuan dan sekaligus bagi bangsanya. Tidak ada kata lain buat
‘sang pemula’ ini, ibarat ‘pijar’ yang memberikan petunjuk bagi orang yang
berada dikegelapan malam. Selanjutnya, tepatlah apa yang dituliskan Kartini:
‘habis gelap pastilah terang’. Setelah Kartini, ‘lahirlah’ generasi berikutnya.
Dewi Sartika[2] lahir diantara dinginnya kota Priyangngan,
dari ‘Tanah Rencong Aceh’ muncul Tjut Nyak Dien[3],
dll. Mereka memang berjahuan, namun disatukan oleh cita-cita yang sama,
membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan.
Sejarah terus berjalan, tidak ada satupun yang
bisa menghalanginya, seperti halnya tidak ada yang bisa menghalangi matahari
akan terbit dari ufuk Timur, begitu juga dengan gerakan perempuan, terus
berjalan sesuai dengan jamannya. Organisasi perempuan mulai tumbuh dan
menyebar, ibarat cendawan yang tumbuh dimusim hujan. Suasana negeri jajahan
seperti Indonesia dimana semangat nasionalisme mulai tumbuh, telah menjadi
‘penyubur’ bagi tumbuh dan berkembannya gerakan perempuan. “Benih itu ditanam
pada lahan yang subur”. Tidak mengherankan kalau memasuki awal abad ke-20,
mulailah berdiri organisasi perempuan modern. Tahun 1912 lahirlah organisasi
perempuan Putri Merdika [4]. Setelah organisasi ini berdiri,
bermunculanlah organisasi perempuan yang lain. Di Garut pada tahun 1920 berdiri Wanodyo Oetomo, sementara itu pada tahun 1925 berdiri Puteri
Serikat Islam, dll[5]. Mungkin
ada sedikit yang menarik disekitar tahun 1940, yaitu tentang berdirinya serikat
buruh perempuan[6]. Situasi
kemudian berubah ketika Jepang menggantikan Belanda menjajah Indonesia, semua
organisasi perempuan yang ada dibubarkan, hanya ada satu organisasi perempuan
yaitu Fujinkai Jawa Hokokai[7]. Memang masa-masa ini merupakan masa paling
menyakitkan bagi perempuan Indonesia, kadang sebuah ketragisan harus kita
terima. Harkat perempuan telah direndahkan lebih rendah daripada hewan,
dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang yang terkenal fasis itu. Sampailah
kemudian pada masa kemerdekaan. Kembali perempuan Indonesia terlibat dalam
usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dengan bergabung dengan laskar-laskar
rakyat.
Dari gambaran diatas, ada tiga hal yang perlu
kita perhatikan. Pertama, mulai tumbuh kesadaran bahwa keadaan
perempuan sangat terbelakang dan tertindas. Mereka mulai sadar bahwa posisi mereka hanya sebagai ‘manusia kedua’
setelah laki-laki. Kesadaran ini tidak bisa terlepas dari pengaruh politik
ethis sehingga banyak perempuan yang bisa mengeyam pendidikan dan akhirnya
mereka tahu bahwa kondisi perempuan Indonesia berbeda dengan kondisi perempuan
di Eropa. Kedua, mulai
tumbuh kesadaran untuk berorganisasi sebagai wadah perjuangan. Memang harus
diakui, secara ideologis, organisasi mereka belum begitu jelas, namun kesadaran
untuk berorganisasi ini merupakan satu langkah maju. Ketiga,
mereka juga terlibat dalam usaha-usaha untuk merebut ataupun mempertahankan
kemerdekaan. Memang, peran mereka masih sebatas menjadi tenaga sukarelawan dari
Palang Merah atau menjadi juru masak yang dibangun oleh laskar-laskar.
***
Marilah kita lanjutkan untuk membahas Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani) yang mempunyai sejarah sendiri. Mungkin kemudian
yang menjadi pertayaan, mengapa Gerwani harus kita kupas lebih jauh – baik
secara politik, ideologi maupun organisasi? Pertama, secara
ideologi, Gerwani mempunyai ideologi yang lain dari gerakan perempuan yang ada
ketika itu. Ideologi mereka dapat dibilang ‘kiri’, gerakan Gerwani tidak hanya
memperjuangkan kaumnya semata – kaum perempuan--, akan tetapi juga terlibat
dalam dunia politik untuk mencapai tujuan pertama. Mereka melihat bahwa sistem
yang adalah yang menyebabkan kaum perempuan tertindas dan terbelakang, maka
tahap pertama, sistem yang menindas diubah terlebih dahulu. Kedua,
sebagai konsekuensi dari yang pertama, mereka tidak bisa menjadi gerakan
non-partisan tetapi harus menjadi gerakan yang partisan, artinya harus
bergabung dengan partai politik tertentu. Dalam bahasa Saskia, Gerwani masuk
dalam ‘keluarga komunis’ bersama BTI, SOBSI, Pemuda Rakyat, Lekra – yang berada
di bawah naungan PKI. Ketiga, Gerwani, bersama ‘keluarga komunis’
yang lain menjadi korban dari tragedi kemanusian 30 September 1965. Ratusan
anggota mereka dibunuh, dipenjarakan, sebagai ‘penyubur’ bagi tumbuhnya rejim
baru. Sampai saat ini tragedi kemanusian yang kemudian populer dengan G 30 S
ini belum terkuak. Dan kemudian menjadi tugas kita untuk menyelesaikan persolan
ini setuntas-tuntasnya, siapa saja yang terlibat harus menerima ganjaranya.
Perkembangan Gerwani tidak bisa dilepaskan dari
kondisi ekonomi-politik ketika massa setelah kemerdekaan. Dalam kurun waktu ini
bangsa Indonesia secara bertubi-tubi mendapat ‘cobaan’ dari sejarah – dari
Agresi Belanda I dan II, Provokasi Hatta kemudian meletus peristiwa Madiun
dimana kaum komunis menjadi korban – sehingga dapat dikatakan secara ekonomi
masih tersendat-sendat. Akan tetapi dalam politik agak berlainan, terjadi
dinaminasi yang lauar biasa, secara bergantian ideologi yang ada sempat
‘memimpin’ negeri ini. Tidaklah mengherankan, ketika itu semua ideologi dari
kanan sampai kiri boleh bersaing secara terbuka. Gerwani – yang sebelumnya
Gerwis lahir dalam situasi seperti ini. Memang dapat dikatakan ideologi
‘kirilah’ yang banyak mewarnai organisasi ini. Gerwani merupakan kelanjutan
dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis)[8] yang berdiri pada 4 Juni 1950. Memang pada
awalnya organisasi ini bermacam-macam karakter ideologi, namun lama kelamaan
perbedaan ini dapat dikikis sehingga menghasilkan organisasi dengan ideologi
yang sama. Sejak awal didirikan, Gerwis tidak hanya bergerak pada
program-program untuk kaum perempuan semeta, mereka juga terlibat aktif dalam
berbagai aktifitas politik. Aktivitas politik mereka semisal, protes terhadap
gerakan 17 Oktober 1952 yang dipimpin Nasution untuk mengkudeta Soekarno,
perlawanan terhadap Darul Islam, dukungan terhadap aksi buruh, petani,
mahasiswa[9].
Kedekatan dengan ‘keluarga komunis’ yang lain semisal BTI juga bisa kita lihat
sejak awal. Dapat kita ambil contoh dalam keterlibatan Gerwis dalam aksi-aksi
di desa termasuk perjuangan berdarah 1951 bersama Panitia Penghapusan Tanah
Partikelir di sekitar Semarang, dan perjuangan melawan Belanda yang memiliki
tanah-tanah di Kendal[10].
Dengan kaum buruh, mereka bekerja sama dengan Serikat Buruh Perkebunan Republik
Indonesia (Sarbupri). Mereka melancarkan kampaye tentang hak-hak buruh
perempuan, membantu menyelesaikan masalah perburuan dan perkawinan[11].
Gerwis yang kemudian berubah nama menjadi
Gerwani adalah organisasi massa (ormas), sehingga siapa saja boleh menjadi
anggota. Memang, sebagian besar anggota Gerwani adalah anggota PKI karena
kedekatan mereka secara ideologis. Walaupun Gerwani adalah ormas, tetapi dalam
mendidik kader-kadernya sangat ketat, mereka harus melalui beberapa tingkat
pendidikan baik teori maupun pratek. Pendidikan kader Gerwani berisi empat hal:
sejarah gerakan nasional, sejarah gerakan perempuan Indonesia, sejarah gerakan
perempuan internasional, dan soal-soal Internasional[12].
Memasuki tahun 1960-an, Gerwani semakin condong
ke ‘kiri’, mereka mendukung program-program Soekarno yang juga didukung oleh
PKI. Dalam usaha untuk menyukseskan program pembebasan Irian Barat,
Gerwani berusaha mendaftar
perempuan-perempuan muda guna terlibat aktif dalam program tersebut[13].
Dari sini semakin kelihatan, bahwa Gerwani bukan hanya sekedar gerakan
perempuan ‘murni’ yang hanya memperjuangkan nasib kaumnya, tetapi juga semakin
terlibat aktif dalam aktifitas politik dan bahkan dalam perjuangan bersenjata.
Mereka juga terlibat aktif dalam kampaye konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini
dapat kita lihat dari kampaye-kampaye anti imperialisme Inggris yang mereka
lakukan. Bentuk aksipun juga bermacam-macam, semisal dalam mendukung
nasionalisasi perusahan Caltex milik Inggris, Gerwani dan SOBSI bersama-sama
mengorgasir pemogakan dengan tidak mau memasak dan membersihakan rumah majikan[14].
***
30 September 1965.
Sebetulnya tidak ada yang istimewa pada hari itu, Jakarta seperti biasa, panas
dan penuh dengan lalu lalang kendaraan. Namun, ditengah situasi yang tenang
ini, ada kekuatan yang mulai bergerak, berkeliaran seperi ‘drakula malam’ yang
mencari mangsanya. Keesokan harinya, kegemparan itu terjadi, 7 jendral telah
diculik oleh pasukan bersenjata dari rumah mereka masing-masing. Berita masih
simpang siur seperti daun nyiur yang diterpa angin pantai, dimanakah para
jendarl yang diculik itu? Apakah mereka masih hidup, atau sudah mati? 1 Oktober
1965, angin yang semula hanya sepoi-poi ini berubah mejadi badai topan ketika
ditemukan 7 mayat para jendral di dalam sumur di tengah perkebunan karet Lobang
Buaya, dekat lapangan terbang Halim Perdana Kusmua.
Tanggal 1 Oktober 1965, kantor Gerwani sepi,
seperti yang diceritakan Sulami dalam biorgrafinya, Perempuan-Kebenaran
dan Penjara:
Pagi
tanggal 1 Oktober 1965 itu pun sepi; tidak orang lain kecuali kami yang
tersebut diatas (seorang aktivis bagian terjemahan, dua orang sopir, seorang
pegawai poliklinik anak “Melati”, dan dua pembantu rumah tangga –pen). Memang
hari-hari biasa kesibukan luar biasa. Maklum Panitia Kongres Nasional Gerwani
ada di situ.
Jam enam,
salah seorang wakil ketua DPP datang dan secara mengejutkan memberitahukan
bahwa dini hari tadi telah terjadi
penculikan dan pembunuhan atas beberapa anggota Dewan Jendaral di Lobang
Buaya, tempat latihan para Sukwan Pertahanan Rakyat, oleh perwira-perwira berpandangan
maju. Katanya untuk menyelematkan Presiden Soekarno dari ancaman kup Dewan
Jendral.
Peristiwa seputar 30 September memang serba
gelap, apakah yang terjadi sesungguhnya belum diketahui secara pasti hingga
saat ini. Namun, apa yang terjadi setelah peristiwa ini sungguh mengerikan.
Pembantaian-pembantaian masal hampir terjadi dipelosok-pelosok wilayah negeri,
khususnya yang menjadi basis PKI. Sungai-sungai telah berubah warnanya menjadi
merah darah, penuh dengan bangkai-bangkai manusia yang tidak lengkap lagi
bagian tubuhnya, kuburan-kuburan masal banyak digali untuk mengubur orang-orang
yang dianggap PKI atau ‘keluarga komunis lainya’. Tidak kerkecuali disini para
anggota dan simpatisan Gerwani. Organisasi ini disamping kedekatanya dengan
PKI juga dianggap langsung terlibat
dalam penyisaksaan yang berakhir dengan pembunuhan terhadap para jendral AD.
Tersiar kabar bahwa Gerwani ada dilokasi tempat pembunuhan para Jendral, Lobang
Buaya, Jakarta. Memang ada beberapa
anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat yang ada dilokasi itu, tapi apakah benar mereka
terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para Jendral? Marilah kita lihat lebih
jernih.
Seperti yang kita ketahui, tiga tahun sebelum G
30 S terjadi konfrontasi antara pemerintah Malaysia dan Indonesia. Sengketa ini berawal ketika Inggris hendak
memasukkan Serawak, Sabah dan Brunai bersama dengan menteri Persekutuan Tanah
Melayu sebagai embrio untuk membentuk negara baru yaitu Malaysia[15].
Perkembangan selanjutnya yang semakin memanas telah mendorong Soekarno untuk
membentuk Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Dari sinilah kemudian dibentuk
sukarelawan untuk ‘menyukseskan’ program Soekarno tersebut, dan salah satu
elemen dari sukarelawan Dwikora ini berasal dari Gerwani dan Pemuda Rakyat.
Lebih lanjut, Siregar dalam bukunya Holokaus: sebuah tragedi manusia dan
kemanusian, menuliskan:
Kehadiran
Pemuda Rakyat dan Gerwani di Halim dan Lubang Buaya adalah selaku
sukarelawan-sukarelawati. Keberadaan mereka disana bukan atas perintah Aidit
atau PKI, tapi karena panggilan Dwikora yang diserukan oleh Presiden Republik
Indonesia, Soekarno. Mereka dilatih secara militer, diindoktrinasi secara
politik dan dipersenjai tidak oleh organisasi mereka masing-masing atau PKI,
tetapi oleh aparat resmi negara, personil Angkatan Udara…..
Sedangkan seputar adanya orang-orang Gerwani yang melakukan
tarian telanjang sambil mengiringi penyikasaan para Jendral ada kisah yang
dituliskan oleh Saskia, dalam bukunya Penghancuran Terhadap Gerakan
Perempuan Indonesia:
….Pagi-pagi
jam sembilan saya ditangkap, dan diatahan dua minggu. Saya dipukuli dan
diintrograsi. Mereka memaksa kami membuka pakaian, dan menari-nari telanjang di
depan mereka, sementara yang lain mengambil foto kami. Lalu foto-fota itu
disiarkan…..(interviu 22)[16]
Sementara cerita lain diungkapkan oleh Sulami:
….
Seorang pelacur dari Kota Paris (Senen) Jakarta, buta huruf, ditangkap patroli
militer tengah malam dekat Jatinegara karena tanpa KTP. Dia menyetujui berita acara karangan
pemerikasa, yang menyatakan bahwa ia adalah anggota pengurus Gerwani Jakarta.
Dalam berita acara itu ia mengaku berada di Lobang Buaya. Tugasnya memberikan
konsumsi seks kepada 200 orang tentara pemberontak. Ia bubuhkan jap jempolnya
karena takut bedil[17]…….
Itulah kisah seputar Gerwani dan peristiwa 30
September 1965. Memang sebuah kisah kelam dalam perjalan sebuah gerakan
perempuan untuk membebaskan kaumnya dan
rakyat yang tertindas dari sistem dunia yang hanya menguntungkan oleh pemilik
modal. Tidak untuk ditangisi apa yang terjadi, melainkan untuk dipelajari agar
kita tidak membuat ‘luka’ baru yang memang menyakitkan. Bukan untuk disesali
apa yang terjadi, tapi dijadikan pelajaran untuk merenda sejarah masa depan
yang lebih gilang gemilang. Sejarah akan terus berjalan sesuai dengan hukumnya
sendiri, dan disitulah kita berperan sebagai manusia untuk menjalankan tugas
kemanusian. Seperti hanya kata Multatuli, ‘kita bersuka cita bukan karena
padi yang kita potong, kita bersuka cita karena padi yang kita tanam’.
Sekarang marilah kita dengan menegakkan kepala melangkah menuju masa depan yang
lebih baik.
Setelah Gelap Terbitlah Terang[18]
Marilah
sekarang kita menuju masa depan yang lebih cerah. Setelah penghancuran
terhadap gerakan perempuan progresif, Gerwani, hampir dapat dikatakan gerakan
perempuan Indonesia ‘mati suri’. Rejim Orde Baru yang kapitalistik-militeristik
membubarkan semua organisasi progresif, organisasi perempuan yang ada hanya
yang menjadi boneka dari rejim yang ada. Hampir sama yang dilakukan Jepang
ketika pertama kali masuk ke Indonesia, hanya ada satu organisasi perempuan Fujinkai
Jawa Hokokai. Sedangkan Orba
memiliki Darma Wanita[19] dan PKK[20].
Lumpuh sudah gerakan perempuan Indonesia untuk sementara waktu.
Tapi sejarah terus bergerak, begitu juga gerakan
perempuan. Fisik memang boleh direpresif tapi siapa bisa ‘mempenjarakan’
kemauan dan cita-cita. Memasuki tahun 1980, teori-teori tentang gerakan
perempuan progresif kembali dipelajari oleh aktivis-aktivis gerakan yang ada
ketika itu. Hal ini bersamaan dengan demam teori kiri yang masuk ke Indonesia
setelah pembungkaman gerakan mahasiswa ’78. Pada masa-masa ini yang banyak
berkembang adalah adalah kelompok-kelompok diskusi, maklumlah, saat itu situasi
represif. Situasi ketika itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Demoralisasi.
Bisa dikatakan demikian. Kembali ke
dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, --
membentuk NGOs (perlu diketahui saja pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO),
berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. Lahirlah bayi-bayi kiri
yang dicampakkan ibunya pada usia muda: NGO menjajakan kemanusiaan
borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup,
bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa--
kaum sekolahan yang baru pulang belajar dari luar negeri mengajarkan --di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum
muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis,
new-left….[21]
Dalam
kurun waktu ini memang kelompok-kelompok diskusi yang banyak bermunculan. Dari
sinilah kembali wacana tentang gerakan perempuan (feminisme) kembali
dibangkitkan. Kini, ditengah suasa yang lebih demokratis, gerakan perempuan
telah berani menampilkan ‘wajah’ mereka yang sesungguhnya, memang masih
‘kemerah-merahan’ karena baru ‘lahir’ kembali. Memang kadang terjadi
kejanggalan dan kelatahan, secara ideologipun harus diakuai masih sangat
memprihatinkan. Tidak mengherankan kalau kemudian dapat kita temukan
kegelian-kegelian, semisal pengusiran wartawan laki-laki yang meliput konggres
mereka. Begitu juga aktivitasnya, sebagian besar melakukan seminar-seminar di
hotel berbintang yang hanya bisa dihadiri oleh golongan menengah ke atas. Atau
mereka pergi ke kampung-kampung kumuh, memberikan beberapa bungkusan yang
berisi lauk pauk, beras dan pakaian. Juga bisa kita temukan ketika mereka
memberikan pelatihan kepada pelacur yang telah dibebaskan ‘dari lembah hitam’
dan karena tidak memecahkan persoalan pokok akhirnya pelacur lebih senang hidup
di ‘lembah hitam’. Haruslah diakui, gerakan perempuan saat ini masih banyak
berkutat pada gerakan sosial, kemanusian, belum kembali berani menyentuh bidang
politik seperti yang dilakukan Gerwani puluhan tahun silam. Apa yang harus
dilakukan oleh gerakan perempuan saat ini?
Pertama,
secara ideologi harus kembali dibuka perdebatan, apakah yang dipakai selama ini
sudah tepat atau belum. Kita haruslah mencari persoalan utama kenapa perempuan
mengalami penindasan. Apakah hanya sekedar dominasi laki-laki atau ada sebab
lain? Apa bila kita cermati lebih mendalam, perempuan mengalami peninadasan
karena adanya sistem dunia yang juga menindas, ketika alat produksi dikuasi
oleh segelintir orang. Ketika dahulu kala alat produksi masih dimiliki oleh
kolektif, peranan perempuan sangat menonjol. Merekalah yang menghasilkan
produksi barang-barang untuk kebutuhan sendiri, maupun masyarakat disekitarnya,
sedangkan peranan laki-laki lebih di luar rumah dengan melakukan kerja berburu
binatang di hutan. Dari sini seharusnya jelas, bahwa tujuan gerakan perempuan
tidak hanya menuntut kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga
menghilangkan sistem dunia yang menghisap.
Kedua,
secara politik. Gerakan perempuan harus
kembali memasukkan program politik disamping program yang menyakut kepentingan
mereka sendiri. Karena apa? Tanpa mereka terlibat dalam gerakan politik mereka
tetap tidak akan berperan dalam pengambilan keputusan negara. Disamping itu,
gerakan perempuan juga mempunyai kepentingan agar demokrasi di negeri ini bisa
berjalan sepenuh-penuhnya. Misalnya dalam hal Dwi Fungsi ABRI, selama ini,
sebelum dicabut maka demokrasi akan tetap berjalan secara tersendat-sendat.
Sejarah juga mencatat, karena adanya Dwi Fungsi ABRI lah perempuan menjadi
korban kekerasan – dari Timtim, Aceh, Lampung, Marsinah, Tanjung Priok,
Marsinah, Kerusuhan Mei ’98 – dari tentara. Mungkin salah satu program politik
yang harus kita cermati adalah tentang usulan Gus Dur tentang pencabutan Tap
MPRS No XXV/MPRS/1966. Tap MPRS inilah yang menyebabkan trauma berkepanjangan
bagi bangsa Indonesia dan juga legitimasi pada awal pemerintahan Orba untuk
melakukan penghancuran dan pembantaian, termasuk terhadap gerakan perempuan
progresif, didalamya terdapat Gerwani. Juga hal yang penting, sebelum Tap ini
dicabut kita akan kesulitan untuk membuka apa sebenarnya yang terjadi ketika
itu, kita juga akan kesulitan untuk mengadili orang-orang terlibat dalam
pembantaian.
Ketiga,
secara organisasi. Tanpa sebuah organsiasi perjuangan akan mustahil menuju kemenangannya.
Harus diakui sampai saat ini belum ada gerakan perempuan bersekala nasional,
yang ada hanya gerakan perempuan lokal, itupun masih dengan ‘isi kepala’ yang
berbeda-beda, sehingga gerakan yang ada masih terpecah-pecah. Watak
organisasinyapun juga tidak boleh
sektarian, dalam artian harus terlibat aktif dengan gerakan sektor rakyat
tertindas lainya – buruh, tani, kaum miskin perkotaan, mahasiswa. Sekali lagi
haruslah dipahami bahwa masalah penindasan terhadap perempuan, bukan masalah
perempuan semata, tapi juga masalah dari rakyat tertindas lainya. Juga harus
menjadi kesadaran, sudah saatnya membangun jaringan dengan gerakan perempuan
yang ada di negara lain, apa yang dirasakan perempuan di Indonesia juga
dirasakan oleh perempuan di negara lain.
Kalau
bukan sekarang, kapan lagi kita memulainya. Tidak ada kata lain, bersama
bergerak membebaskan negeri ini dari ketertindasan. Jangan sampai kita menyesal
kemudian hari, penyesalan memang datang kemudian.***
[1] Yang pada tanggal 21 April
ini kita peringati sebagai hari kelahiranya. Semoga bukan hanya ‘kelahiran’
secara fisik, tapi ‘kelahiran’ semangatnya untuk membebaskan kaumnya dan rakyat
tertindas lainya dari sistem dunia yang mengisap si lemah.
[2] Dewi Sertika merupakan orang
pertama yang mendirikan sekolah bagi perempuan diantara sembilan sekolah
perempuan yang ada pada tahun 1912.
[3] Salah satu pemimpin rakyat
Aceh melawan imperialisme Belanda. Hal ini adalah menarik, bahwa ternyata perempuan di Indonesia pada awalnya
tidak hanya mendirikan sekolah-sekolah untuk membebaskan kaumnya dari
ketertindasan, tetapi juga terlibat dalam usaha melawan imperialisme dengan
mengangkat senjata. Di samping di Aceh, keterlibatan perempuan dalam melawan
imperialisme juga dapat kita dapatkan dalam perlawanan rakyat Bali ketika
mempertahankan wilayahnya.
[4] Tujuan organisasi ini
memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan agar terampil di depan umum, membuang rasa ‘takut’ dan ‘mengangkat’
perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki, lebih lanjut lihat tulisan
Saskia E.W, dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya,
1999.
[5] ibid
[6] Serikat buruh perempuan itu
bernama Pekerja Perempuan Indonesia. Anggotanya terdiri dari pekerja di kantor,
guru, buruh pabrik. Disamping program mereka latihan kerja, mereka juga
melakukan perlawanan terhadap diskriminasi dalam kenaikan pankat dan upah.
Lebih lanjut baca tulisan Saskia E.W, dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di
Indonesia, Garba Budaya, 1999.
[7] Tujuan utama Fujinkai adalah
membantu memobilisasi perempuan guna kepentingan Jepang untuk perang Asia Timur
Raya. Akan tetapi, dalam kenyataanya perempuan-perempuan ini dijadikan wanita
‘penghibur’ oleh serdadu Jepang. Mereka dijadikan pemuas hawa nafsu tentara
Jepang.
[8] Gerwis merupakan gabungan
dari 6 organisasi perempuan. Keenam organisasi tersebut: Rukun Puteri Indonesia
dari Semarang, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia dari Kediri,
Wanita Madura dari Madura, Pejuang Puteri Republik dari Pasuruan.
[9] Penghancuran Gerakan
Perempuan di Indonesia, Saskia EW, Garba Budaya, 1999.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Holokaus, MR Siregar,
Progress
[16] Penghancuran Gerakan Perempuan
di Indonesia, Saskia EW, Garba Budaya, 1999.
[17] Perempuan-Kebenaran dan
Penjara, Sulami, Cipta Lestari, Juni 1999.
[18] Salah satu judul kumpulan
surat Kartini kepada sahabatnya.
[19] Darma Wanita adalah
organisasi instri penjabat atau pegawai negeri rejim Orba.
[20] Sedangkan PKK adalah
organisasi ibu-ibu rumah tangga.
[21] Marlin, LINK
0 komentar:
Posting Komentar