Sabtu, 16 Juni 2012


Gerhana Humaniora
oleh: B.Herry Priyono*

Di awal abad 20, seorang pemikir Italia, Antonio Gramsci (1891-1937) menuliskan refleksinya tentang salah satu prasyarat setiap proyek perubahan, terutama proyek revolusi sosial: kebutuhan akan kelompok intelektual. Ia membedakan antara ‘intelektual organis’ dan ‘intelektual tradisional’.  
‘Intelektual tradisional’ lebih dimaksud sebagai kelompok cerdik-pandai dalam pengertian klasik. Atau, mereka yang dalam tradisi diikat oleh bahasa akademis universiter dan pendidikan tertentu yang kurang lebih sama, serta keterpisahannya dari massa kebanyakan. 
Sedangkan ‘intelektual organis’ lebih khas karena kaitannya yang lebih erat dengan warga kebanyakan dan dengan proyek perubahan sosial tertentu dalam gelombang peristiwa di masyarakat. Mereka terutama adalah para anggota dari kelompok-kelompok progresif dalam masyarakat yang menyusun dan menciptakan gagasan-gagasan untuk mendasari proyek perubahan yang sedang diembannya.
Targetnya ialah agar kepentingan kelompok-kelompok progresif menjadi arus cara hidup masyarakat luas. Dari situ juga berakar makna istilah ‘hegemoni’ yang sedang luas dibicarakan. Hegemoni ialah cara dan situasi penguasaan bukan lewat paksaan fisik (force), melainkan lewat cara pikir, rasa, dan kesetujuan (consent), sebagaimana dikehendaki oleh kelompok-kelompok pembawa perubahan.
  Dari observasinya, Gramsci menunjukkan bahwa agama, media-massa, dan terutama sekolah (pendidikan) merupakan aparatus utama dari pembentukan hegemoni dalam proyek-proyek perubahan, apapun namanya (reformasi, revolusi, ataupun pembangunan). Demikian karena kantung-kantung kelembagaan itu merupakan pembentuk cara berpikir, merasa dan berselera dalam setiap masyarakat.
  Selain mereka yang secara teoretis menciptakan sistem pemikiran bagi proyek perubahan menurut kepentingan kelompok, kaum ‘intelektual organis’ juga bisa mencakup para birokrat, peneliti, dan profesional-teknis (manajer, akuntan, insinyur, dan sebagainya). Di kemudian hari, sesudah mengalami distorsi semantik, para profesional-teknis dalam ‘intelektual organis’ itu oleh Alvin Gouldner (1982) disebut sebagai ‘inteligentsia teknis’ (technical intelligentsia) dalam masyarakat kapitalis. Makin kehilangan bobot dan missi “sakral”nya sebagai arsitek perubahan progresif, kaum profesional-teknis itu sekarang lebih dikenal dengan sebutan “para tukang berdasi yang loyo” dan knowledge workers.  
Dalam masyarakat moderen, tumbuhnya lapis kelompok ini biasanya seiring dengan gejala pembangunan teknokratis, karena keduanya memang saling mengandaikan. Karena itu tidak mengherankan kalau gejala knowledge workers, kelas menengah, dan teknokrasi di negara-negara sedang berkembang baru ramai di paroh kedua abad 20 ini.
Link and Match       
Relevansi latar belakang di atas terutama menyangkut masalah besar yang belakangan ini sedang luas kita perdebatkan, yaitu locus pendidikan dalam kaitan dengan ketenagakerjaan dan perindustrian. Prinsip link and match (kesesuaian dan kepadanan) antara ‘pendidikan’, ‘ketenagakerjaan’ dan ‘perindustrian’ adalah retorik yang khas dari proyek teknokrasi.  
Sebagai prinsip, istilah link and match baru go public belakangan ini, tetapi istilah itu sudah setua ingatan kita. Yang sangat mengherankan ialah bahwa implikasinya dalam dunia pendidikan kita yang sudah lama menggejala tetap saja lolos dari usikan para ahli pendidikan. Juga begitu sedikit telaah, apalagi resistensi terhadapnya. Pada hemat saya, salah satu alasannya ialah karena kebijakan pendidikan secara total ditentukan oleh pemerintah. Dan setiap pertanyaan atau perspektif berbeda dengan mudah dikenai stigma pembangkangan. Termasuk mungkin tulisan kecil ini. Apa yang baru dari link and match di negeri ini ialah bahwa penerapannya dalam dunia pendidikan sekolah/universitas kita akan makin menjadi proyek yang total-massif, dan karenanya seringkali brutal.  
Sesungguhnya gejala proyek teknokrasi (tekhne-khratein: kata Yunani untuk ‘penguasaan oleh teknik’) ini sudah lama terlihat jejaknya, terutama dalam lingkup pendidikan tinggi yang bercorak universitas, atau yang disejajarkan dengannya. Sudah lama pengembangan ilmu-ilmu di universitas kita hanya mengabdi, untuk tidak mengatakan ‘membudak’, pada proyek teknokrasi. Tidak ada yang inheren baik atau buruk dalam proyek teknokrasi. Tetapi sebuah gejala selalu relatif. Artinya, terkait erat dengan peta persoalan yang lebih besar, yaitu peran pendidikan secara menyeluruh bagi masa depan bangsa. Dan di situlah masalah besar segera nampak.  
Bermainlah dengan indikator dari implikasi proyek teknokrasi yang mulai berwajah buram dalam sistem pendidikan tinggi kita. Ambillah gelar akademis sebagai contoh, yang meskipun sudah direvisi, tetap luas dipakai dalam masyarakat. Apa artinya gelar ‘dr’, ‘drg’, ‘drh’, yang punya status sosio-ekonomis lebih laris ketimbang ‘drs biologi’, meskipun biologi merupakan ilmu dasar yang memungkinkan ilmu terapan kedokteran umum, gigi, dan hewan?  
Begitu juga gelar sarjana teknik terapan (Ir.) dibanding gelar sarjana matematika atau fisika (drs.), meskipun tanpa matematika dan fisika tidak mungkin lahir berbagai bidang teknik-terapan, entah elektro ataupun arsitektur. Mengapa jurusan studi-pembangunan di fakultas ekonomi pada universitas-universitas kita berstatus marjinal dibanding jurusan akutansi dan manajemen? Apa arti krisis dari status jurusan sastra, sejarah, ataupun filsafat (selain pada taraf elementer pun ilmu-ilmu itu secara epistemologis sudah menghadapi soal abadi tentang paradigma)? Dan masih sederet gejala semacam.  
Sebuah kecenderungan besar sedang berlangsung: akuntan, insinyur, ekonom, dokter dan manajer-manajer kita tidak pernah menjadi para penemu, melainkan sekawanan tukang yang gagap berpikir. Bukan karena IQ-nya jongkok, melainkan karena prinsip pendidikan kita memuja “hilir” tanpa memikirkan “hulu”. Universitas-universitas kita telah menjadi sekedar tanggapan impulsif terhadap mode pembangunan. Gejala ini sangat tercermin dalam alokasi dana pendidikan universitas kita. Kalau pembangunan fisik sedang dilanda mode industri petrokimia, maka membanjirlah dana pemerintah ke jurusan teknik-kimia. Kalau pembangunan sedang trendy dengan bisnis franchise California Fried Chicken atau McDonald, maka meluaplah dana ke fakultas ekonomi jurusan marketing.  
Tentu saja fenomen di atas merupakan implikasi langsung dari logika pasar kerja. Tetapi ia juga sebuah cerminan myopia kita yang lebih mendasar dalam memandang dan mengelola dunia pendidikan tinggi.  
Dimensi Humaniora                  
Dari gejala di atas, saya kira ada satu masalah besar yang selalu gelisah untuk diangkat, juga dalam rangka proyek teknokrasi: “di manakah letak humaniora dalam pendidikan tinggi kita?” Sejak lahirnya sistem pendidikan formal, humaniora merupakan bagian inheren dan paling basic dari proses penguasaan ilmu pengetahuan dan sains.
Apa yang mau dicapai oleh humaniora adalah pijar-pijar kemanusiaan (humanisme), logika, estetika, pemahaman, dan keprihatinan menyeluruh serta kritis dalam memandang alam, teknik, manusia dan masyarakatnya. Newton dan Einstein, Marx dan Descartes,  adalah anak-anak dari sistem pendidikan yang dibiakkan oleh etos humaniora itu.
Sistem pendidikan formal yang mau “mencetak” para profesional-teknis tidak harus membuang humaniora dalam pola pendidikannya. Tetapi itulah yang persis sedang makin berlangsung dalam pendidikan tinggi kita. Humaniora dalam pengertian klasik bahkan mencakup apresiasi tinggi (jika bukan “penguasaan”) pada techno-sciences. Tetapi persis di situlah gerhana yang sedang melanda sistem pendidikan kita. Dan itulah lampu kuning bagi proyek link and match kita, yang dengan lugas-sederhana dapat dikatakan sebagai proyek ‘pendidikan teknis siap pakai’. Terhadap ideologi yang sedang meremuk itu, saya kira perlu dikatakan hal berikut ini: tak ada pendidikan siap pakai di bawah langit ini.  
Kalau proposisi terakhir itu biasa diterima, pertanyaan berikutnya adalah: “humaniora itu dimensi yang harus merasuki semua bidang, ataukah sebuah bidang tersendiri dalam republik ilmu-ilmu?”  
Bagi tujuan jangka panjang pendidikan dan proyek teknokrasi sendiri, saya kira humaniora lebih cocok ditempatkan sebagai dimensi dalam keseluruhan sistem pendidikan. Demikian karena otonomi dengan rasio-teknisnya punya kecenderungan intrinsik untuk melakukan de-personalisasi (men-tidak-manusiawi-kan) alam, manusia dan masyarakatnya. Artinya, tanpa humaniora, hukum internal dari rasio-teknis dan teknokrasi selalu cenderung mengabaikan human costs dalam penerapannya.  
Namun missi humaniora yang secara klasik diemban oleh logika, filsafat, retorika dan sastra kini sudah menjadi “ilmu” tersendiri. Dan persis bidang-bidang ilmiah pengemban humaniora itulah yang kini sedang disodok ke status paling marjinal dalam republik ilmu-ilmu di perguruan tinggi kita. Kecenderungan tersebut sangat nampak dalam kurikulum, dengan akibat terjadinya gejala yang sudah disebut di muka.
Sebuah Proposal    
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa sistem pendidikan tinggi kita secara formal sedang mengasingkan anak didik dari cara menyeluruh dalam memandang ilmu, profesi, alam, teknik, manusia dan masalah masyarakatnya. Akibatnya, ‘pembangunan’ menjadi identik dengan menebangi hutan atau mendirikan kantin Kentucky Fried Chicken (KFC). Kalau kecenderungan itu terus berlangsung, universitas-universitas kita tidak lebih dari technical schools (sekolah tukang). Maka juga tidak mengherankan kalau, misalnya, etika (bukan ‘etiket’) bisnis dan politik tetap saja asing dan tidak pernah menjadi bagian inheren dari perilaku bisnis dan politik.
Revisi terhadap semua gejala di atas sangat mungkin, meskipun tidak menjanjikan hasil instan. Setidaknya policy pendidikan tinggi bisa menyediakan sistem formal yang kondusif untuk meletakkan kembali humaniora sebagai dimensi pendidikan kita. Ada 2 langkah besar yang nampaknya bisa dilakukan.  
Pertama, ambillah pembagian sederhana dalam fakultas-fakultas di universitas kita: ilmu eksakta, ilmu sosial-ekonomi-politik, dan “ilmu” humaniora. Secara formal, model pendidikan tinggi dengan dimensi humaniora sangat mengandaikan pola lintas-ilmu dalam sistem kredit semester (SKS). Artinya, sekian persen dari jumlah kredit yang diambil harus berasal dari bukan fakultasnya sendiri. Seorang dari fakultas teknik, misalnya, wajib mengambil sekian mata-kuliah dari fakultas ilmu sosial-ekonomi-politik dan humaniora. Begitu juga sebaliknya, seorang dari jurusan filsafat wajib mengambil beberapa matakuliah dari fakultas sosial-ekonomi-politik dan eksakta. Tentu saja matakuliah yang wajib diambil di fakultas lain itu bukan berupa matakuliah yang sudah sangat terspesialisasikan. Pada sekolah tinggi dan akademi, revisinya membutuhkan langkah yang sedikit lain, tetapi berdasarkan garis-logika yang kurang lebih sama.  
Kedua, sulit untuk mengatakan sejauh mana “bahasa” (cara ungkap) humaniora klasik (misal: Tragedi Yunani, Serat Wirid, Shakespeare, dll yang dirumuskan dalam konteks kosmologi agraris itu) masih kena untuk menghembuskan roh humaniora pada kultur teknokratis. Tetapi satu yang cukup pasti: bahwa “bahasa” humaniora masa kini tidak bisa tidak mengambil berbagai unsur dari “bahasa” kultur teknokratis. Karena tanpa itu tak akan ada kesesuaian kognitif dan emosional, dan akibatnya humaniora tak akan pernah nikmat dimamah-biak oleh anak-anak yang dilingkupi, atau malah ‘dipenjara’, oleh udara teknokratis. Dengan demikian, meletakkan kembali humaniora sebagai dimensi pendidikan kita juga menuntut revisi-internal “ilmu-ilmu” humaniora sendiri dalam pem-bahasa-an.  
Jacques Ellul (1990), pemikir teknologi Perancis, melihat bahwa arus teknokrasi akan makin menjadi gelombang gertakan (bluff) terhadap arah bangsa manusia. Gertakan itu sangat besar, tetapi tetap saja hanyalah gertakan. Mengambil serius keprihatinan Ellul tidak berarti kita harus pulang ke masa lalu yang sering kita sangka lebih sederhana. Yang kita butuhkan adalah mencari “bahasa” baru humaniora bagi kultur teknokratis.  
Memandang serius atau tidak 2 sketsa proposal di atas, Antonio Gramsci benar bahwa pendidikan cenderung hanya menjadi hamba dari proyek kekuasaan dan penguasaan, for better or worse. Masalahnya, pada yang ‘worse’ seperti yang berlangsung di negeri ini, pengendali pendidikan kita tidak peduli apakah anak didik masih boleh bertanya “pendidikan untuk apa dan siapa?” Maka jangan heran kalau beberapa tahun lagi akan terjadi krisis besar ekonomi-politik di negeri ini. Dan para akuntan, manajer, arsitek dan insinyur kita hanya bisa terperanjat dan bengong. Lantas tergopoh-gopoh makin masuk ke ruang-siput yang bernama ‘empat tembok rumah’ dan ‘kepentingan-diri’, atau tergagap-gagap harus berbuat apa dalam krisis besar tersebut.  
Untuk itu refleksi yang berupa sketsa kecil ini saya maksud sebagai undangan bagi para ahli pendidikan agar membuka kembali akar masalah besar yang tersembunyi dalam kecenderungan sistem pendidikan kita dewasa ini: gerhana humaniora.
* B. Herry Priyono, saat ini seorang kandidat PhD pada London School of Economics (LSE), Inggris.
Pada saat tulisan ini dimuat di Harian Kompas, Mei 1993, penulis adalah
pengajar pada STF Driyarkara, Jakarta, dan peneliti pada Institut Sosial Jakarta.
  
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!