oleh: B.Herry Priyono*
Di awal abad 20, seorang pemikir Italia, Antonio
Gramsci (1891-1937) menuliskan refleksinya tentang salah satu prasyarat setiap
proyek perubahan, terutama proyek revolusi sosial: kebutuhan akan kelompok
intelektual. Ia membedakan antara ‘intelektual organis’ dan ‘intelektual
tradisional’.
‘Intelektual tradisional’ lebih dimaksud sebagai
kelompok cerdik-pandai dalam pengertian klasik. Atau, mereka yang dalam tradisi
diikat oleh bahasa akademis universiter dan pendidikan tertentu yang kurang
lebih sama, serta keterpisahannya dari massa kebanyakan.
Sedangkan ‘intelektual organis’ lebih khas karena
kaitannya yang lebih erat dengan warga kebanyakan dan dengan proyek perubahan
sosial tertentu dalam gelombang peristiwa di masyarakat. Mereka terutama adalah
para anggota dari kelompok-kelompok progresif dalam masyarakat yang menyusun
dan menciptakan gagasan-gagasan untuk mendasari proyek perubahan yang sedang
diembannya.
Targetnya ialah agar kepentingan kelompok-kelompok
progresif menjadi arus cara hidup masyarakat luas. Dari situ juga berakar makna
istilah ‘hegemoni’ yang sedang luas dibicarakan. Hegemoni ialah cara dan
situasi penguasaan bukan lewat paksaan fisik (force), melainkan lewat cara pikir, rasa, dan kesetujuan (consent), sebagaimana dikehendaki oleh
kelompok-kelompok pembawa perubahan.
Dari observasinya, Gramsci menunjukkan bahwa
agama, media-massa, dan terutama sekolah (pendidikan) merupakan aparatus utama
dari pembentukan hegemoni dalam proyek-proyek perubahan, apapun namanya
(reformasi, revolusi, ataupun pembangunan). Demikian karena kantung-kantung
kelembagaan itu merupakan pembentuk cara berpikir, merasa dan berselera dalam
setiap masyarakat.
Selain mereka yang secara teoretis menciptakan
sistem pemikiran bagi proyek perubahan menurut kepentingan kelompok, kaum
‘intelektual organis’ juga bisa mencakup para birokrat, peneliti, dan
profesional-teknis (manajer, akuntan, insinyur, dan sebagainya). Di kemudian
hari, sesudah mengalami distorsi semantik, para profesional-teknis dalam
‘intelektual organis’ itu oleh Alvin Gouldner (1982) disebut sebagai
‘inteligentsia teknis’ (technical
intelligentsia) dalam masyarakat kapitalis. Makin kehilangan bobot dan
missi “sakral”nya sebagai arsitek perubahan progresif, kaum profesional-teknis
itu sekarang lebih dikenal dengan sebutan “para tukang berdasi yang loyo” dan knowledge workers.
Dalam masyarakat moderen, tumbuhnya lapis kelompok ini
biasanya seiring dengan gejala pembangunan teknokratis, karena keduanya memang
saling mengandaikan. Karena itu tidak mengherankan kalau gejala knowledge workers, kelas menengah, dan
teknokrasi di negara-negara sedang berkembang baru ramai di paroh kedua abad 20
ini.
Link and Match
Relevansi latar belakang di atas terutama menyangkut
masalah besar yang belakangan ini sedang luas kita perdebatkan, yaitu locus pendidikan dalam kaitan dengan
ketenagakerjaan dan perindustrian. Prinsip link
and match (kesesuaian dan kepadanan) antara ‘pendidikan’, ‘ketenagakerjaan’
dan ‘perindustrian’ adalah retorik yang khas dari proyek teknokrasi.
Sebagai prinsip, istilah link and match baru go public
belakangan ini, tetapi istilah itu sudah setua ingatan kita. Yang sangat
mengherankan ialah bahwa implikasinya dalam dunia pendidikan kita yang sudah
lama menggejala tetap saja lolos dari usikan para ahli pendidikan. Juga begitu
sedikit telaah, apalagi resistensi terhadapnya. Pada hemat saya, salah satu
alasannya ialah karena kebijakan pendidikan secara total ditentukan oleh
pemerintah. Dan setiap pertanyaan atau perspektif berbeda dengan mudah dikenai
stigma pembangkangan. Termasuk mungkin tulisan kecil ini. Apa yang baru dari link and match di negeri ini ialah bahwa
penerapannya dalam dunia pendidikan sekolah/universitas kita akan makin menjadi
proyek yang total-massif, dan karenanya seringkali brutal.
Sesungguhnya gejala proyek teknokrasi (tekhne-khratein: kata Yunani untuk
‘penguasaan oleh teknik’) ini sudah lama terlihat jejaknya, terutama dalam
lingkup pendidikan tinggi yang bercorak universitas, atau yang disejajarkan
dengannya. Sudah lama pengembangan ilmu-ilmu di universitas kita hanya
mengabdi, untuk tidak mengatakan ‘membudak’, pada proyek teknokrasi. Tidak ada
yang inheren baik atau buruk dalam proyek teknokrasi. Tetapi sebuah gejala
selalu relatif. Artinya, terkait erat dengan peta persoalan yang lebih besar,
yaitu peran pendidikan secara menyeluruh bagi masa depan bangsa. Dan di situlah
masalah besar segera nampak.
Bermainlah dengan indikator dari implikasi proyek
teknokrasi yang mulai berwajah buram dalam sistem pendidikan tinggi kita.
Ambillah gelar akademis sebagai contoh, yang meskipun sudah direvisi, tetap
luas dipakai dalam masyarakat. Apa artinya gelar ‘dr’, ‘drg’, ‘drh’, yang punya
status sosio-ekonomis lebih laris ketimbang ‘drs biologi’, meskipun biologi
merupakan ilmu dasar yang memungkinkan ilmu terapan kedokteran umum, gigi, dan
hewan?
Begitu juga gelar sarjana teknik terapan (Ir.)
dibanding gelar sarjana matematika atau fisika (drs.), meskipun tanpa
matematika dan fisika tidak mungkin lahir berbagai bidang teknik-terapan, entah
elektro ataupun arsitektur. Mengapa jurusan studi-pembangunan di fakultas
ekonomi pada universitas-universitas kita berstatus marjinal dibanding jurusan
akutansi dan manajemen? Apa arti krisis dari status jurusan sastra, sejarah,
ataupun filsafat (selain pada taraf elementer pun ilmu-ilmu itu secara
epistemologis sudah menghadapi soal abadi tentang paradigma)? Dan masih sederet
gejala semacam.
Sebuah kecenderungan besar sedang berlangsung: akuntan,
insinyur, ekonom, dokter dan manajer-manajer kita tidak pernah menjadi para
penemu, melainkan sekawanan tukang yang gagap berpikir. Bukan karena IQ-nya
jongkok, melainkan karena prinsip pendidikan kita memuja “hilir” tanpa
memikirkan “hulu”. Universitas-universitas kita telah menjadi sekedar tanggapan
impulsif terhadap mode pembangunan. Gejala ini sangat tercermin dalam alokasi
dana pendidikan universitas kita. Kalau pembangunan fisik sedang dilanda mode
industri petrokimia, maka membanjirlah dana pemerintah ke jurusan teknik-kimia.
Kalau pembangunan sedang trendy dengan
bisnis franchise California Fried Chicken atau McDonald,
maka meluaplah dana ke fakultas ekonomi jurusan marketing.
Tentu saja fenomen di atas merupakan implikasi
langsung dari logika pasar kerja. Tetapi ia juga sebuah cerminan myopia kita yang lebih mendasar dalam
memandang dan mengelola dunia pendidikan tinggi.
Dimensi Humaniora
Dari gejala di atas, saya kira ada satu masalah besar
yang selalu gelisah untuk diangkat, juga dalam rangka proyek teknokrasi: “di
manakah letak humaniora dalam pendidikan tinggi kita?” Sejak lahirnya sistem
pendidikan formal, humaniora merupakan bagian inheren dan paling basic dari proses penguasaan ilmu
pengetahuan dan sains.
Apa yang mau dicapai oleh humaniora adalah pijar-pijar
kemanusiaan (humanisme), logika, estetika, pemahaman, dan keprihatinan
menyeluruh serta kritis dalam memandang alam, teknik, manusia dan
masyarakatnya. Newton dan Einstein, Marx dan Descartes, adalah anak-anak dari sistem pendidikan yang
dibiakkan oleh etos humaniora itu.
Sistem pendidikan formal yang mau “mencetak” para
profesional-teknis tidak harus membuang humaniora dalam pola pendidikannya.
Tetapi itulah yang persis sedang makin berlangsung dalam pendidikan tinggi
kita. Humaniora dalam pengertian klasik bahkan mencakup apresiasi tinggi (jika
bukan “penguasaan”) pada techno-sciences.
Tetapi persis di situlah gerhana yang sedang melanda sistem pendidikan kita.
Dan itulah lampu kuning bagi proyek link
and match kita, yang dengan lugas-sederhana dapat dikatakan sebagai proyek
‘pendidikan teknis siap pakai’. Terhadap ideologi yang sedang meremuk itu, saya
kira perlu dikatakan hal berikut ini: tak ada pendidikan siap pakai di bawah
langit ini.
Kalau proposisi terakhir itu biasa diterima,
pertanyaan berikutnya adalah: “humaniora itu dimensi yang harus merasuki semua bidang, ataukah sebuah bidang tersendiri dalam republik
ilmu-ilmu?”
Bagi tujuan jangka panjang pendidikan dan proyek
teknokrasi sendiri, saya kira humaniora lebih cocok ditempatkan sebagai dimensi dalam keseluruhan sistem
pendidikan. Demikian karena otonomi dengan rasio-teknisnya punya kecenderungan
intrinsik untuk melakukan de-personalisasi (men-tidak-manusiawi-kan) alam,
manusia dan masyarakatnya. Artinya, tanpa humaniora, hukum internal dari
rasio-teknis dan teknokrasi selalu cenderung mengabaikan human costs dalam penerapannya.
Namun missi humaniora yang secara klasik diemban oleh
logika, filsafat, retorika dan sastra kini sudah menjadi “ilmu” tersendiri. Dan
persis bidang-bidang ilmiah pengemban humaniora itulah yang kini sedang disodok
ke status paling marjinal dalam republik ilmu-ilmu di perguruan tinggi kita.
Kecenderungan tersebut sangat nampak dalam kurikulum, dengan akibat terjadinya
gejala yang sudah disebut di muka.
Sebuah Proposal
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa sistem
pendidikan tinggi kita secara formal sedang mengasingkan anak didik dari cara
menyeluruh dalam memandang ilmu, profesi, alam, teknik, manusia dan masalah
masyarakatnya. Akibatnya, ‘pembangunan’ menjadi identik dengan menebangi hutan
atau mendirikan kantin Kentucky Fried
Chicken (KFC). Kalau kecenderungan itu terus berlangsung,
universitas-universitas kita tidak lebih dari technical schools (sekolah tukang). Maka juga tidak mengherankan
kalau, misalnya, etika (bukan ‘etiket’) bisnis dan politik tetap saja asing dan
tidak pernah menjadi bagian inheren dari perilaku bisnis dan politik.
Revisi terhadap semua gejala di atas sangat mungkin,
meskipun tidak menjanjikan hasil instan. Setidaknya policy pendidikan tinggi bisa menyediakan sistem formal yang
kondusif untuk meletakkan kembali humaniora sebagai dimensi pendidikan kita. Ada 2 langkah besar yang nampaknya bisa
dilakukan.
Pertama, ambillah pembagian sederhana dalam
fakultas-fakultas di universitas kita: ilmu eksakta, ilmu
sosial-ekonomi-politik, dan “ilmu” humaniora. Secara formal, model pendidikan
tinggi dengan dimensi humaniora sangat mengandaikan pola lintas-ilmu dalam
sistem kredit semester (SKS). Artinya, sekian persen dari jumlah kredit yang
diambil harus berasal dari bukan fakultasnya sendiri. Seorang dari fakultas
teknik, misalnya, wajib mengambil sekian mata-kuliah dari fakultas ilmu
sosial-ekonomi-politik dan humaniora. Begitu juga sebaliknya, seorang dari
jurusan filsafat wajib mengambil beberapa matakuliah dari fakultas
sosial-ekonomi-politik dan eksakta. Tentu saja matakuliah yang wajib diambil di
fakultas lain itu bukan berupa matakuliah yang sudah sangat terspesialisasikan.
Pada sekolah tinggi dan akademi, revisinya membutuhkan langkah yang sedikit
lain, tetapi berdasarkan garis-logika yang kurang lebih sama.
Kedua, sulit untuk mengatakan sejauh mana “bahasa”
(cara ungkap) humaniora klasik (misal: Tragedi Yunani, Serat Wirid,
Shakespeare, dll yang dirumuskan dalam konteks kosmologi agraris itu) masih
kena untuk menghembuskan roh humaniora pada kultur teknokratis. Tetapi satu
yang cukup pasti: bahwa “bahasa” humaniora masa kini tidak bisa tidak mengambil
berbagai unsur dari “bahasa” kultur teknokratis. Karena tanpa itu tak akan ada
kesesuaian kognitif dan emosional, dan akibatnya humaniora tak akan pernah
nikmat dimamah-biak oleh anak-anak yang dilingkupi, atau malah ‘dipenjara’,
oleh udara teknokratis. Dengan demikian, meletakkan kembali humaniora sebagai dimensi pendidikan kita juga menuntut
revisi-internal “ilmu-ilmu” humaniora sendiri dalam pem-bahasa-an.
Jacques Ellul (1990), pemikir teknologi Perancis,
melihat bahwa arus teknokrasi akan makin menjadi gelombang gertakan (bluff) terhadap arah bangsa manusia.
Gertakan itu sangat besar, tetapi tetap saja hanyalah gertakan. Mengambil
serius keprihatinan Ellul tidak berarti kita harus pulang ke masa lalu yang
sering kita sangka lebih sederhana. Yang kita butuhkan adalah mencari “bahasa”
baru humaniora bagi kultur teknokratis.
Memandang serius atau tidak 2 sketsa proposal di atas,
Antonio Gramsci benar bahwa pendidikan cenderung hanya menjadi hamba dari
proyek kekuasaan dan penguasaan, for
better or worse. Masalahnya, pada yang ‘worse’
seperti yang berlangsung di negeri ini, pengendali pendidikan kita tidak peduli
apakah anak didik masih boleh bertanya “pendidikan untuk apa dan siapa?” Maka
jangan heran kalau beberapa tahun lagi akan terjadi krisis besar
ekonomi-politik di negeri ini. Dan para akuntan, manajer, arsitek dan insinyur
kita hanya bisa terperanjat dan bengong. Lantas tergopoh-gopoh makin masuk ke
ruang-siput yang bernama ‘empat tembok rumah’ dan ‘kepentingan-diri’, atau
tergagap-gagap harus berbuat apa dalam krisis besar tersebut.
Untuk itu refleksi yang berupa sketsa kecil ini saya
maksud sebagai undangan bagi para ahli pendidikan agar membuka kembali akar
masalah besar yang tersembunyi dalam kecenderungan sistem pendidikan kita
dewasa ini: gerhana humaniora.
* B. Herry Priyono, saat ini seorang kandidat PhD
pada London School of Economics (LSE), Inggris.
Pada saat tulisan ini dimuat di Harian Kompas, Mei 1993, penulis adalah pengajar pada STF Driyarkara, Jakarta, dan peneliti pada Institut Sosial Jakarta.
Pada saat tulisan ini dimuat di Harian Kompas, Mei 1993, penulis adalah pengajar pada STF Driyarkara, Jakarta, dan peneliti pada Institut Sosial Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar