Jumat, 15 Juni 2012



Konsep tentang perempuan sering digambarkan terlalu romantis oleh sebagian buku-buku Islam. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah lembut sehingga perlu mendapat perlindungan dari ayah atau suaminya. Mengapa gambaran seperti ini terlalu romantis? Karena “perlindungan” yang didapat perempuan di lapangan tidak lebih dari domestikasi dan dominasi. Lemah lembut juga lebih jauh diartikan sebagai lemah akal pikirannya (baca: bodoh dan tidak mampu mengambil keputusan) serta lemah imannya (baca: lebih dekat dengan perbuatan dosa dan mempengaruhi orang lain untuk berbuat dosa). Pada akhirnya, persoalan perempuan berakar pada mitos-mitos patriarkhis yang terus dilestarikan. Parahnya, mitos-mitos tersebut dilegitimasi oleh agama.
Di dalam Islam, aturan itu ada dua macam. Pertama, peraturan yang tathawwu`an (sukarela, Red). Itu berdasarkan kesadaran sendiri. Kedua, bersifat karhan, dengan paksaan. Nah, kita kadang-kadang harus memaksa diri sendiri. Misalnya, ketika datang waktu salat zuhur, kita harus salat empat rekaat. Tapi kalau kita malas dan hanya mau menjalankan dua rekaat saja, kita harus memaksa diri sendiri untuk tetap salat empat rekaat.
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah mak-na menjadi pakaian penutup aurat perem-puan semenjak abad ke-4 H.
Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah ‘milik’  Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan isti-lah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Pandangan yang mengatakan bahwa jibab itu tak wajib bisa kita baca di buku ini. Bahkan Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.

Karena itu tak heran, dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijâb berawal dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya.
Nah, berbeda dengan konsep hijâb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam, hijâb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam konsep Islam, hijâb dan menstruasi pada perem-puan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Aksentuasi hijâb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke persoalan substansi ajaran. Pelembagaan hijâb dalam Islam di-dasarkan pada dua ayat dalam Alqur’an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33: 59 dan QS. An-Nur/24: 31.


Categories:

1 komentar:

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!