Islam Amerika versus Islam Arab?
KH.Jalaluddin
Rakhmat
Sore itu, di sebuah restoran
hotel berbintang, saya berkumpul dengan sekelompok muslimah. Sambil makan
siang, kita merencanakan sebuah seminar internasional di Jakarta.
"Subhannalah sekali, yah, kita bisa berkumpul sekarang ini," kata
perempuan paling muda di situ, "Insya Allah, kita akan mengundang syaikh
kita. Masya Allah, beliau bersedia datang ke Indonesia ." Kemudian,
perempuan muda itu nyerocos memimpin rapat dengan memasukkan setiap ungkapan
bahasa Arab dalam setiap kalimatnya.
Saya segera menyela dengan
menanyakan apakah ia pengikut Ustadz Fulan. Saya mengenal ustadnya itu sebagai
orang yang sangat saleh. Kesalehan itu ditampakkan dengan banyak memasukkan
zikir dalam pembicaraan. Jika Anda datang ke pesantrennya, Anda akan menemukan
pengumuman semacam, "Toko 100 meter lagi, insya Allah,"
"Alhamdulillah, ini ruang makan," atau "Allahu Akbar, ini
mushalla." (Kalimatnya tentu saja tidak persis seperti itu. Saya mengubahnya
hanya supaya pesantren itu mudah-mudahan tidak teridentifikasi). Ustadnya
sendiri memakai pakaian Arab - jubah dan serban. Jika Anda agak dekat dengan
beliau, Anda akan mencium minyak kesturi, asli dibeli dari Madinah. Satu botol
kecil minyak itu pernah diberikannya kepadaku. Bila saya memakai parfumnya itu,
keluarga saya segera mendengus sambil berkata, "Bau Arab!"
"Kesalehan" perempuan
itu dan ustadznya mengingatkan saya kepada serangan kawan saya yang kejawen:
"Aku tidak mau mengikuti kamu, karena agama kamu itu agama Arab. Mungkin
lebih baik bagiku ikut Kristen saja." Saya menjelaskan kepadanya bahwa
Islam itu agama universal, melintas ruang dan waktu. "Omong kosong,"
kata dia, "buktinya kamu harus sembahyang dengan bahasa Arab. Dalam
Kristen kita membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia ,
dan sembahyang dengan menggunakan bahasa Indonesia ."
Untunglah waktu itu dan sampai
sekarang, walaupun saya sudah diberi gelar kyai, saya tidak pernah memakai
jubah atau serban yang dirancang gaya
Arab. Saya tegaskan bahwa bahasa Arab itu hanya dipergunakan untuk membaca
Al-Quran dan doa-doa standar dalam salat. Untuk menyampaikan doa sendiri, baik
di dalam maupun di luar salat, kita boleh menggunakan bahasa Indonesia .
Sambil sedikit menyerang balik, saya juga menyebut kebiasaan orang Katolik
untuk menyampaikan doa-doa baku
mereka dengan bahasa Latin atau para mahasiswa yang menyanyikan lagu Godiamus
Igitur atau kalangan kedokteran yang terus menerus menggunakan bahasa Latin.
Sekiranya saya berdebat lagi
dengan teman Kejawen itu sekarang, saya mungkin tidak berkutik. Ia akan
menyebut perempuan muda itu (maaf, saya berulangkali menyebutnya karena
kekaguman saya) dan berbagai contoh Islamisasi yang berbentuk Arabisasi: Protes
kepada Gus Dur karena mau mengganti assalamu 'alaikum dengan selamat pagi. Bank
Islam yang mengganti istilah-istilah perbankan dari bahasa Inggris ke bahasa
Arab. Hotel yang disebut Islami karena memasang kaligrafi Arab di setiap
ruangan. Organisasi yang disebut Islami karena menyebut Anggaran dasar dengan
Qanun Asasi. Sebuah buku Islam yang dikritik karena tidak ada tulisan Arab di
dalamnya. Pesta pernikahan yang memisahkan tamu pria dari tamu perempuan.
Lasykar Jihad yang gentayangan dengan jubah putih dan serban. Keharusan
berwajah brewok dan berjanggut. Perempuan yang menutup seluruh mukanya (Empat
contoh terakhir ini tidak berkaitan dengan penggunaan Bahasa Arab, tetapi
merujuk pada kebudayaan Arab).
Betulkah kita harus menjadi
orang Arab untuk menjadi Muslim yang baik? Betulkah nama apa pun sebaiknya
harus diganti dengan nama Arab, bila kita masuk Islam atau naik haji? Inilah
pertanyaan yang mengusik Dr. Jeffrey Lang (seorang mualaf yang menulis buku
Even Angels Ask tentang pengalamannya sebagai muslim di Amerika, --red.) ketika
ia masuk Islam. Ia memutuskan untuk tidak mengganti namanya, seperti Cassius Clay yang
menjadi Muhammad Ali. Ia juga tidak melepaskan dasi dan jasnya untuk diganti
dengan jubah dan serban seperti Cat Stevens, yang
mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. Ia juga pernah berusaha menggunakan
thank God sebagai pengganti alhamdulillah dalam percakapan ringan di sebuah
Islamic Center. Saya akan mengutip satu bagian dari buku Dr. Lang untuk Anda
-masih dalam bahasa Inggris.
At the Islamic Center one
evening, I was greeted by an American Muslim who asked me how things were
going.
"Very well, thank God. And
how are you?" I responded.
"Alhamdulillah!" (All
praise belongs to God) he answered. "And how are you?" he asked
again.
"Fine, thank God!" I
repeated.
He looked dissatisfied and a few
seconds later repeated his question, and I repeated my answer. Another few
conversation, and then the same question and answer. I realized he would not
give up until he received a satisafactory reply. I held on a little longer but
finally gave him the answer he wanted: "Alhamdulillah, "I sighed.
With an approving look on his
face he nodded, "Alhamdulillah."
Banyak orang Islam memang merasa
belum puas kalau belum menggunakan kata-kata seru --interjections-- dalam
bahasa Arab. Dengan jenaka, Dr. Lang menceritakan kawannya, yang tertarik
dengan Islam. Supaya diterima penuh dalam masyarakat Islam, kawannya itu sudah
menemukan kuncinya: "Pakai tutup kepala timur tengah, pelihara janggut
panjang, katakan al hamdu lillah, ma sya Allah, as salamu alaikum, jazakallahu
khayran dalam situasi yang tepat." Kawannya yang lain, yang sudah masuk
Islam, berkomentar bahwa orang Islam itu tampaknya menduga Tuhan hanya mengerti
Bahasa Arab.
Kesan bahwa Islam itu agama
orang Arab adalah salah satu di antar stereotip yang popular di Barat. Kita
menyebutnya setereotip, karena kesan itu terus bertahan walaupun "survei
membuktikan" bahwa lebih dari 85 persen umat Islam itu bukan Arab. Karena
itu, tidak mengherankan jika para mualaf umumnya, termasuk Dr. Lang dan
kawan-kawannya menangkap kesan itu.
Delapan tahun setelah masuk
Islam, Dr. Lang membawa semua keluarganya pergi hijrah ke Arab Saudi. Ia ingin
menikmati Islam dalam lindungan negara Islam, the land of the Prophet! Delapan
tahun ia hidup bersama komunitas Islam dalam lingkungan budaya Amerika. Ia
tertarik kepada Islam bukan karena perilaku orang Islam di Amerika. "My
only Muslim contacts for many years were drug users, adulterers, and gamblers,"
tulis Dr. Lang. Selama delapan tahun ia telah menyaksikan bagaimana Muslim yang
salih saling mendengki, saling memaki, dan saling memfitnah. Dengan sedih ia
harus menyaksikan kawannya, seorang Muslim bule juga, yang akhirnya pindah ke
agama Budha, karena dalam agama Budha ia menemukan pemeluk agama yang
mempraktekkan apa yang diajarkan agamanya. Dengen kecewa ia harus melihat di
depan matanya bagaimana orang-orang Islam yang saleh itu menjual --Dr. Lang
menggunakan kata "melacurkan"-- agamanya untuk tujuan-tujuan duniawi
(Hal yang tidak aneh di negeri kita dan juga di negeri-negeri Islam yang lain).
Ia melakukan hijrah ke Saudi
bukan untuk menemukan masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Ia tahu keadaan
masyarakat Islam seperti yang dipelajarinya dalam pengalaman hidupnya sebagai
Muslim. Ia pergi ke negeri Rasulullah untuk menemukan kedamaian dan ketentraman
dalam menjalankan ajaran Islam. Ia ingin menjalankan salat berjamaah, salat
Jumah, puasa Ramadan dan liburan-liburan Islam bersama saudara-saudaranya kaum
muslimin. Tetapi, setahun kemudian, ia terbang kembali, pulang ke kampung
halamannya, ke Universitas Kansas .
Ia menyadari bahwa "there was no escape for being American." Karena
alasan yang tidak bisa dipahaminya, Arab Saudi telah mencekiknya secara
ruhaniah:
Di negeri yang menyaksikan
kebangkitan Nabi Muhammad, yang mengandung dua kota Islam yang paling suci dan
Ka'bah yang menjadi arah salat saya, negeri yang didominasi oleh kaum muslimin,
dan tanah air bagi kebudayaan yang dipenuhi agama, saya merasa beku secara
spiritual, tanpa harapan sama sekali. Di Arab Saudi, Islam berhenti sebagai
kekuatan untuk perkembangan kepribadian, dan iman saya segera kehilangan daya
hidupnya. Bukan karena negeri itu kekurangan orang-orang saleh dan beragama --sebaliknya,
saya banyak berjumpa dengan kaum Muslimin yang ihklas dan taat di sana-- tetapi
dalam pandanganku, gerakan Islam di kerajaan Saudi diarahkan menuju masa lalu
yang diidealisasikan. Saya tidak bisa menjadi bagian daripadanya; sesuatu
pemahaman agama yang didasarkan pada penafsiran Islam, yang secara cepat
kehilangan kepercayaanku.
Dr. Lang ingin meninggalkan
watak keamerikaannya dan menjadi Muslim. Ia gagal. Tetapi ia berhasil menemukan
pencerahan baru. No escape for being American. Ia tidak perlu lari dari
keamerikaannya. Menjadi Islam tidak berarti harus menanggalkan semua latar
belakang budaya kita. Islam tidak pernah datang pada suatu vakum kultural.
Karena itu, kita menemukan Islam Arab, Islam Iran ,
Islam India , Islam Cina,
Islam Indonesia .
Mengapa tidak boleh ada Islam Amerika?
Sebelum Dr. Lang sampai ke situ,
di benua Eropa seorang mantan Komunis yang menjadi Muslim, Dr. Roger Garaudy
menegaskan bahwa ada hambatan besar bagi kaum muslimin untuk mengembangkan
ijtihad: keterikatan kepada masa lalu dan taklid kepada Barat. Yang pertama
melihat masa lalu sebagai rujukan ideal. Pemikiran Islam terdahulu, hasil
ijtihad orang-orang Islam ratusan tahun yang lalu dianggap begitu sakral
sehingga sebagian kaum Muslim dengan bangga menyebut dirinya Salafi (Secara
harafiah berarti merujuk kepada yang terdahulu, masa lalu, masa yang sudah
lewat. Menurut Kamus, salafa berarti to be over, be past, be bygone, precede,
antecede). Karena ratusan tahun pertama sejarah Islam bergabung dengan sejarah
Arab, maka Islam masa lalu berjalin berkelindan dengan kearaban. Dari sinilah
muncul anggapan bahwa menjadi Muslim adalah menjadi orang Arab. Mereka tidak
bisa memisahkan antara kebudayaan Arab dengan ajaran Islam. Islam yang melintas
ruang dan waktu sekarang dibatasi pada Ruang Arab dan Waktu yang lalu.
Dr. Lang pernah ditegur oleh
orang Maroko karena tidak berpakaian yang sesuai dengan Sunnah. Pakaian yang
"menyunnah" itu mestilah jalabiyah gaya orang Maroko. Ia mengingatkan kawannya
bahwa bahkan pakaian yang dikenakan oleh orang Saudi sekarang tidak sama dengan
pakaian Hijaz abad keenam, pada zaman Rasulullah. Saya teringat kepada
jenis-jenis busana Muslim sekarang ini. Menurut kawan saya dari Jemaat Tabligh,
yang di situ Lang pernah menjadi salah seorang anggotanya, pakaian Islam bagi
pria itu adalah pakaian orang India
(Pakistan );
yakni, kemeja yang memanjang sampai ke atas lutut. Bagi kebanyakan orang Indonesia ,
busana Muslim untuk salat dan acara keislaman adalah baju koko tanpa kerah.
Bagi saudara saya dari Lasykar Jihad, pakaian Islami adalah pakaian orang Arab
Selatan. Bagi saudara saya yang lain, yang terpengaruh Syiah, busana Muslim
adalah apa yang dipakai oleh para mullah di Iran. Maka sah-sah saja kalau Dr.
Jeffrey Lang mengusulkan agar busana Muslim bagi orang Barat ialah pakaian
lengkap, dengan jas dan dasi.
Tapi, jika kita menerima usulan
Lang, tidakkah kita jatuh pada hambatan besar kedua: mengekor Barat? Memang, di
samping kaum "fundamentalis" yang mengekor kebudayaan Arab, kita
menemukan juga kaum "liberal" yang mengekor Barat. Kelompok ini
melihat Barat sebagai puncak peradaban. Mereka kemudian membungkus kebudayaan
Barat dengan kemasan Islam. Saya pernah mendengar seorang mubalig --yang
sekaligus doktor lulusan Amerika-- bercerita di depan saya bahwa di Amerika
Islamnya banyak tetapi Muslimnya sedikit; di Arab Saudi, Muslimnya banyak tapi
Islamnya sedikit. Dari pemujaan kepada Barat yang berlebihan tidak jarang
sebagian di antara mereka meninggalkan sebagian syariat, yang dianggapnya bukan
ajaran Islam. Kelompok kedua ini juga jatuh pada jebakan kelompok pertama:
tidak dapat memisahkan antara kebudayaan Arab dan ajaran Islam.
Agar tidak jatuh kepada
jebakan-jebakan itu, Dr. Lang menganjurkan agar kita tetap mengembangkan sikap
kritis. Ia menulis, "The most effective way to counter either danger is
not to discourage questioning and criticism, but, on the contrary, the Muslim
community should encourage both. We are most prone to error when we refuse to
be self-critical." Kita harus selau bertanya dan mempertanyakan. Even
Angels Ask, bahkan malaikat pun bertanya! Lihatlah, bagaimana malaikat yang
sangat dekat dengan Tuhan "berani" mempertanyakan kebijakan Tuhan
untuk menujuk khalifah di muka bumi: Apakah Engkau akan jadikan di sana makhluk yang berbuat
kerusakan dan menumpahkan darah (QS. Al-Baqarah; 30).
Pertanyaan malaikat inilah yang
sangat mengesankan Dr. Jeffrey Lang. Ini juga yang membawanya kepada Islam.
Jika ia ditanya mengapa masuk Islam, jawabannya singkat saja: Al-Quran. Bacalah
Al-Quran dengan terus bertanya. Pada Bab 2 dari buku Even Angels Ask, Dr. Lang
menunjukkan bagaimana setiap pertanyaan yang mengusik dia dijawab oleh
rangkaian ayat-ayat Al-Quran satu demi satu. Membaca Al-Quran menjadi dialog
ruhani yang menyejukkan.
Pada akhir bukunya, Dr. Lang
menyarankan agar Islam Amerika harus menciptakan iklim intelektual yang
mendukung penelitian kritis. Ia menyaksikan pada masyarakat Muslim di Amerika
ada keengganan untuk menerima kritik satu sama lain. Mereka cenderung saling
menuduh dengan tuduhan kafir atau bid'ah. Di antara sesama Muslim disebarkan
desas-desus dan fitnah, berita dusta, dan pergunjingan. Seorang mualaf baru
kawan Lang pernah berkata kepadanya bahwa hiburan favorit orang Islam adalah
bergunjing dan menyebarkan fitnah.
Membaca buku ini dari awal
sampai akhir adalah mengikuti perjalananan spiritual bukan saja seorang Muslim
Amerika tetapi juga perjalanan intelektual Muslim di mana pun, ketika ia
dihadapkan pada kegelisahan karena benturan Islam konseptual dengan Islam
aktual. Dr. Lang menulis buku ini untuk anaknya. Ia sudah menjawab beberapa
pertanyaan yang mengganggunya. Ia ingin agar anaknya melanjutkan penelitian
kritis ini dengan berpijak pada hasil kajian kritisnya.
Apa saja yang sudah ia
pertanyakan dan sudah ia temukan jawabannya? Secara singkat, ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Betulkah menjadi Muslim berarti menjadi
Arab? Betulkah setiap Muslim harus berjuang mendirikan negara Islam, kalau
perlu dengan menghancurkan negara Amerika? Betulkah Islam agama yang misoginis
--yang membenci perempuan? Bagaimanakah strategi dakwah Islam di Barat, agar
kita menarik non-Muslim ke pangkuan Islam dan sekaligus mempertahankan
putra-putra Islam dalam pangkuan Islam? Seluruh buku ini menjawab pertanyaan
itu dengan jawaban yang sangat menakjubkan. Ia menulis dengan sangat persuasif.
Ia meyakinkan kita tidak saja dengan argumentasi yang logis dan tidak
terbantahkan, bukan hanya dengan dalil akli dan nakli. Ia juga menyentuh emosi
kita dengan kisah-kisah yang terkadang jenaka, terkadang mengharukan.
Seperti Dr. Murad Hofmann, muslim Jerman yang menulis
Islam als Alternative, saya juga ingin menggaris-bawahi anjuran Lang agar kita
tidak bersandar secara membuta pada masa lalu kita, tidak mendogmakan pendapat,
kecuali kalau kita ingin jatuh pada atrofi dan kehancuran. Dengan latar
belakang budaya kita masing-masing, marilah kita kembangkan Islam yang kontekstual,
Islam yang tumbuh subur pada tanah mana pun. Bukan hanya Islam Arab, tetapi
juga Islam Amerika, Islam India ,
dan tentu saja Islam Indonesia .
Kata Pengantar KH. Jalaluddin
Rakhmat pada terjemahan bahasa Indonesia dari buku Jeffrey Lang, Even Angels
Ask; A Journey to Islam in America ,
yang akan segera diterbitkan.
0 komentar:
Posting Komentar