IAIN memiliki cita-cita luhur:
menghasilkan ulama yang disegani. Namun dalam perkembangannya, malah berubah
menjadi sarang pergumulan beragam pemikiran, dengan alasan wacana, ijtihad dan
kebebasan berpikir.
"Saya Saidiman, mahasiswa
Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin. Hari ini juga keluar dari Islam."
Ucapan lantang itu membuat peserta acara Dialog Publik bertajuk "Jilbab
Yes or No: Problematika Pewajiban Berjilbab di UIN Jakarta", Jum'at
(24/05), terhenyak. Aula Insan Cita, Ciputat, menjadi senyap seketika. Saidiman
bermaksud menanggapi protes keras atas bergulirnya wacana penghapusan pewajiban
jilbab. Menurutnya, Islam sangat menjunjung kebebasan bagi siapa pun untuk
memaknai kehidupan ini dengan penghayatan keagamaan model apa pun, sesuai
dengan tafsir yang diyakininya. Cuma, harus atas dasar pilihannya sendiri dan
tidak di bawah paksaan seseorang atau institusi. "Seandainya saya
mempunyai keyakinan bahwa orang yang tidak memakai jilbab akan membuat ia masuk
neraka, tetap saja saya tidak bisa memaksanya untuk ke surga," tambahnya.
Kasus di atas, cuma sekelumit contoh
pergulatan pemikiran yang sedang berkembang di IAIN. Dimulai dari Harun
Nasution dengan pemikiran Islam Rasionalnya-yang terinspirasi dari pemikiran
Mu'tazilah yang dibawa Washil bin Atha' dan mendapat penetangan habis-habisan
oleh para ulama generasi awal, lalu berlanjut dengan Nurcholis Madjid dengan
ide-ide sekularisasinya. Dan kini ada Islam Liberal yang juga diawaki oleh
sebagian civitas akademika IAIN. Tahun 1986, Munawir Sadzali, yang kala itu
menjabat Menteri Agama, mengirim enam orang dosen se-Jawa ke Amerika Serikat
mengambil pasca sarjana untuk mata kuliah studi keislaman (Islamic Studies)
dengan dalih peningkatan kualitas ulama yang nantinya dihasilkan IAIN.
Hasilnya? Pemikiran-pemikiran nyeleneh
dan menyimpang dari mainstream keyakinan Islam terus berkembang dari rahim
institusi ini. Apa yang datang dari Barat selalu dicap sebagai ilmiah dan punya
metodologi. Padahal, metodologi yang digunakan Barat adalah filsafat yang
menggunakan pendekatan sesuai dengan karakter sosial dan sejarah mereka.
Ide pemisahan wilayah publik dan
wilayah privat yang diusung kelompok liberal, misalnya, adalah model dikotomi
yang berlaku di Barat (agama adalah soal individu, sedang soal publik adalah
hak negara). Hal seperti itu, di sana wajar saja. Sebab, agama Kristen yang
dianut mayoritas bangsa Eropa tidak mempunyai penjelasan integral tentang
berbagai aspek kehidupan.
Pengaruh para dosen alumnus Barat ini
diakui Daud Rasyid, pakar hadits yang di masa Harun pernah mengajar di Program
Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Menurutnya, ide-ide liberal itu dimulai
sejak zaman Harun.
Namun pendapat ini ditampik Prof.
Endang Soemantri, Rektor IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. "Jangan
menganggap kalau dosennya banyak lulusan Barat maka pemikirannya akan menjadi
Barat. Kita tetap akan berusaha mempertahankan jati diri yang sudah ada,"
bantahnya.
Tapi, apa yang terungkap dalam acara
Seminar Islam Rasional bertajuk "Membincang Pembaharuan Pemikiran Islam
Prof. Dr. Harun Nasution," Kamis (23/05), barangkali membuka mata kita.
Dalam sesi tanya jawab, seorang mahasiswa semester II jurusan Akidah-Filsafat,
mempertanyakan rasionalitas dosen-dosen agama. Ia mengaku sering mendapat arahan
di kelas untuk berpikir rasional. Tapi ketika terjun langsung di masyarakat, ia
bersinggungan langsung dengan cap-cap kafir, murtad, dan lain sebagainya.
"Dosen-dosen sih enak, cuma di kampus saja," keluhnya yang disambut
tawa hadirin.
Fakta lain, juga diungkapkan oleh Nur
Hasanah, Ketua Keputrian LDK-IAIN. Menurutnya, ia tidak banyak mendapatkan
nilai-nilai keimanan, akhlak, di bangku kuliah. Yang banyak justru kebebasan
berpikir. Ia mencontohkan mata kuliah Teologi Islam yang membebaskan mahasiswa
menggali berbagai macam aliran. Sementara dosennya membiarkan semua mengambang
dan menyerahkan sepenuhnya pilihan pada mahasiswa. "Ada banyak teman-teman
yang malah jadi gamang, Ada banyak juga yang menggali filsafat, kemudian malah
tidak shalat. Yang sering didengung-dengungkan adalah bahwa agama itu adalah
hak individu," jelasnya.
Ide-ide liberal yang berkembang di
IAIN semakin mengkristal dengan munculnya protes atas diwajibkannya jilbab oleh
pihak UIN yang dimotori Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII), dan Lembaga Studi Arus Demokrasi Indonesia (LS-Adi).
Menurut Formaci, seperti diungkapkan beberapa pengurusnya dalam diskusi dengan
SABILI, harus ada pemisahan antara wilayah privat yang merupakan hak individu
dengan wilayah publik yang merupakan hak umum. Jilbab adalah wilayah privat,
yang karenanya tidak boleh diinstitusionalisasikan.
Formaci membuat wacana tandingan
sekaligus gerakan menolak campur tangan ke dalam wilayah publik atas nama
agama. "Ruang publik harus bebas dari teologial," tegas Iqbal
Hasanuddin, Ketua Formaci.
Alasan lain, jilbab mempunyai banyak
penafsiran, seperti pendapat bahwa jilbab adalah kultur Arab. "Jika IAIN
mewajibkan jilbab, berarti memihak pada salah satu penafsiran dan menolak
penafsiran lain. Harus ada kesejajaran tafsir wajib dan tidak wajib atas
jilbab. Dalam perspektif civil liberty (kebebasan sipil), IAIN itu milik
publik" ujar Iqbal.
Betulkah kewajiban jilbab soal
penafsiran saja?
Dalam al-Qur'an, Allah tegas
memerintahkan kepada setiap muslimah yang sudah baligh untuk mengenakan jilbab.
"Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka,'" (QS al-Ahzab: 49). Para ulama sejak generasi sahabat
hingga saat ini sepakat tentang wajibnya jilbab. Konsensus ini dikenal dalam
khazanah yurisprudensi Islam dengan Ijma', yang merupakan salah satu sumber
hukum yang disepakati umat. Sehingga, kewajiban jilbab adalah qath'i
(mutlak) dan tidak bisa diinterpretasi lagi.
Kebebasan berpendapat tidak boleh
menjadi dalih untuk menafsirkan sesuatu yang sudah baku dalam Islam. Seperti
diungkapkan Dr. Daud Rasyid, awalnya kebebasan di IAIN itu disepakati secara
salah. Kebebasan dalam Islam itu bukan bebas berpikir semaunya. Harus ada
koridor berpikir yang didasarkan pada kaidah al-Qur'an dan Sunnah Rasul dengan
bingkai pemahaman ulama. Baru setelah itu diberi kebebasan menelaah berbagai
persoalan sehingga tidak bebas tanpa koridor.
Yang menggelikan, Harun Nasution yang
selama ini dijadikan kiblat bagi ide-ide liberal oleh kalangan IAIN, masih
mengakui adanya koridor dalam penafsiran. Menurutnya, perbedaan yang terjadi di
antara ulama itu bukan pada persoalan yang absolut, baik al-Qur'an atau hadits.
Perbedaan mereka terletak pada cara menginterpretasi ayat-ayat atau
hadits-hadits yang memang terbuka untuk diinterpretasikan.
Kalangan Formaci juga mengaku
berijtihad dengan ide-idenya. Untuk diketahui, ijtihad merupakan proses
elaborasi terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah
sesuai dengan perangkat bantu yang telah disepakati, semisal ilmu fiqh, ushul
fiqh, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, dll. Tidak semua orang
berhak melakukan proses ijtihad. Ketatnya proses ijtihad inilah yang menjaga
kualitas produk hukum yang dihasilkannya dari kemungkinan sesat apalagi
menyesatkan.
Tak heran jika Rasulullah saw menjamin
bahwa mujtahid yang benar mendapat dua pahala, sedang yang salah tetap mendapat
satu pahala (HR Hakim).
Tentang penerapan Syariat Islam,
Formaci tegas menolak. "Bagi orang seperti saya, tak setuju. Jika syariat
Islam berlaku di IAIN, maka itu akan mengeksekusi orang seperti saya.
Teman-teman di HMI, PMII, Forkot, nggak setuju juga," jelas Iqbal
Hasanuddin. Hal ini dapat dipahami, sebab menurut mereka segala sesuatu yang
datang dari al-Qur'an dan Sunnah harus ditimbang dulu sebelum diterima.
"Sami'na wa fakkarna, baru wa atha'na," (kami dengar, kami pikirkan
baru kami taati-red) tutur salah seorang pengurus Formaci pada SABILI.
Persoalannya sekarang, bukan sekadar
wacana dan diskusi, tapi pemikiran yang sudah diyakini dan sedang
bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan bernuansa liberal. Model pemikiran
liberal yang meniru seniornya, Jaringan Islam Liberal yang dipelopori Ulil Abshar
Abdalla juga jauh dari metodologi apalagi orisinalitas. Sangat sulit untuk bisa
survive sebagai pemikiran yang disegani.
Banyak kalangan berharap agar masalah
protes terhadap pewajiban jilbab ini segera berakhir. "Mudah-mudahan tidak
terlalu berkepanjangan," tutur Prof. Nasaruddin Umar, Pembantu Rektor III
UIN Syarif Hidayatullah.
Sebagian
mahasiswi berpendapat lain lagi. Menurut mereka, tindakan Formaci dan
kawan-kawan hanya sekadar mencari sensasi. "Ngapain kita begitu-begitu
segala, sudah tahu kita kuliah di IAIN yang Islam," ujar Nisa, mahasiswi
semester VI jurusan Manajemen Pendidikan Islam.
Para civitas akademika IAIN
se-Indonesia diharapkan dapat serius melahirkan produk ulama yang merupakan ide
awal didirikannya IAIN. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Agama Prof Said Agil
al-Munawwar. "Agama ini basic. Ini kita kembangkan dalam rangka
globalisasi. Mau tidak mau kita harus bersaing," tutur Prof. Said yang
juga menjabat Direktur Pasca Sarjana UIN. Akhirnya, semua kalangan harus terus
mengingatkan lembaga keilmuan Islam ini, yang diharapkan melahirkan dai-dai
yang dapat menjelaskan Islam di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan tuntunan
al-Qur'an dan Sunnah. Bukan malah membingungkan masyarakat. #
M. Nurkholis Ridwan
0 komentar:
Posting Komentar