(TELAAH BUKU
"BERBAGAI BACAAN AL-QUR'AN" KARYA M.ARKOUN)
A. Latar Belakang
Al-Qur'an merupakan
panduan hidup bagi umat manusia. Banyak ilmu yang lahir dari Al-Qur'an, baik
itu yang berhubungan langsung dengannya seperti Ulumul Qur'an, Ilmu Tafsir dan
yang lainnya, atau tidak berhubungan langsung namun terinspirasi dari Al-Qur'an
seperti ilmu alam, ilmu ekonomi dan yang lainnya.
Al-Qur'an menekankan
pada kebutuhan manusia untuk mendengar, menyadari, merefleksikan, menghayati
memahami dan bermeditasi. Seluruh kata kerja tersebut mengacu pada aktifitas
intelektual yang yang membawa pada berbagai macam rasionalisasi yang
berdasarkan pada paradigma eksistensial yang diperlihatkan oleh sejarah
penyelamatan jiwa dari dosa.[1]
Melihat Al-Qur'an
sebagai panduan hidup bagi manusia, maka mau tidak mau Al-Qur'an harus mampu
menjawab berbagai problematika yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu
Arkoun mencoba berbagai pembacaan terhadap Al-Qur'an yang mana dari situ
diharapkan akan menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh
ilmuan muslim.
Arkoun merupakan
salah seorang pemikir Islam kontemporer dengan ide-ide islamologi terapannya,
yang diajukannya untuk mengimbangi islamologi barat yang menurutnya tidak
rasional pendekatannya; sedangkan islamologi klasikpun mempunyai kelemahan,
yaitu tidak memilki satu refleksi pemikiran dan metodologi. Ia mengkhususkan
dirinya dalam bidang teologi, filsafat, dan hukum.[2]
Ia banyak mengadopsi
ilmu-ilmu barat kontemporer dalam memahami Al-Qur'an. Baik itu ilmu linguistik,
sejarah, antropologi dan yang lainnya. Namun Arkoun tidak mengambil begitu saja
produk Barat tersebut, terkadang ia mengubah makna dari suatu konsep yang sudah
mapan pemaknannya. Dan juga tidak semua pemikiran orientalis ia terima,
terkadang ia mengambil sebagian pemikirannya dan tidak setuju dengan
pemikirannya yang lain.
Akibat menolak
biblical critism, maka dalam pandangan Arkoun, Studi Al-Qur'an sangat
ketinggalan dibanding dengan studi Bibel. Ia berpendapat Metodologi John
Wansbrough memang sesuai denga apa yang selama ini ingin ia kembangkan.[3]
B. Sekilas Biografi
Mohammed Arkoun lahir
pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan
daerah pegunungan berpenduduk Berber yang hidup dari hasil pertanian, ternak
dan berdagang kerajinan tangan. Berber sendiri merupakan sebutan untuk penduduk
yang tersebar di Afrika bagian utara. Semula – sebelum ter-arabkan – mereka
berbahasa dengan bahasa non Arab (‘ajamiyah).[4]
Melalui kegiatan
sufisme populer yang berkembang pesat, pelbagai bentuj kepercayaan dan ritual
animistik Afrika dan Barber, merasuk ke dalam Islam di Afrika;
"marabout" (murabit) kaum Barber, "manusia suci" atau
"pemimpin keagamaan" (alfa) Muslim hitam pada dasarnya adalah ambilan
dari pemujaan orang suci pra Islam, antara lain dokter-dokter dan fetisisme
negro.[5] Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme
dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[6]
Sebagai anak yang
dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik bahasa tidak tertulis
Kabilia yang merupakan alat untuk mengungkapkan tradisi dan nilai yang sudah
ribuan tahun usianya. Sebagai penduduk Aljazair, Arkoun juga mengenal baik
bahasa arab, yang merupakan bahasa keagamaan yang tertulis. Sedangkan sebagai
orang yang dididik dalam tradisi Perancis, ia menguasai bahasa perancis dengan baik
sebagai bahasa non keagamaan tertulis dan alat untuk mengenal nilai-nilai dan
tradisi keilmuan barat.[7] Kehidupan Arkoun dengan berbagai macam budaya dan
penguasaannya terhadap ketiga bahasa tersebut sangat berpengaruh bagi
perkembangan pemikirannya di kemudian hari.
Dari penguasaan tiga
bahasa ini Arkoun sadar bahwa bahasa bukan merupakan sarana teknis untuk
mengungkapkan diri, karena setiap bahasa mempunyai karakteristik yang berbeda
sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing. Terkadang ada satu bahasa
yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Arkoun merampungkan
pendidikan sekolah dasar di Kabilia, dan sekolah menengah di kota pelabuhan
Oran. Setamat SMA, ia menamatkan belajar di Universitas Aljir dengan
spesialisasi bahasa dan sastra arab. Sejak selesai dari universitas tersebut
(1954), Arkoun melanjutkan studi di Paris dengan masih konsen pada bidangnya.
Dan sejak itulah ia menetap di Paris. Pendidikan formalnya diselesaikan pada
tahun 1969 dengan meraih bidang doktor bidang sastra dari universitas Sorbone
Paris, tempat ia mengajar kemudian dengan disertasi mengenai humanisme dalam
pemikiran etis Miskawih.[8]
Pada 1961 Arkoun
diangkat menjadi dosen pada Universitas Sorbonne di Paris yang dijalani hingga
tahun 1969. Selanjutnya, dari 1970 hingga 1972, Arkoun mengajar di Universitas
Lyon, kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam. Berkaitan
dengan posisinya ini, Arkoun sering diundang untuk memberikan ceramah di luar
Perancis, [9]
Pemikiran Arkoun
sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode
historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern
hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[10] Referensi utamanya
adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi),
Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (gramatologi)., filosof
Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[11]
Secara cemerlang,
Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai
sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali
asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara
sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan
data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis
filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur
tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa
bertutur dalam sejarah.[12]
Sementara itu,
karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang: traduction francaise avec
introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan
Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe
(Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran
Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an), pour une critique de la
raison islamique (demi kritik nalar islami), Discours coranique et pensee
scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun
ditulis dalam bahasa Perancis.[13] Di sini hanya disebutkan karya-karya yang
berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca
Qur’an”nya pada khususnya
C. Tinjauan Dan
Perspektif-Perspektif Pengkajian Al-Qur'an
Dalam tinjauan
pengkajian Al-Qur'an, Arkoun memanfaatkan kitab al-Itqan karya as-Suyuti.
Alasan Arkoun menggunakan kitab ini karena dokumentasi yang diperoleh dan
dipergunakan oleh as-Suyuti jauh lebih kaya, lebih pasti dan lebih terbuka bagi
seluruh ilmu yang dikembangkan selama sembilan abad oleh berbagai generasi
spesialis.[14]
Arkoun tidak membahas
al-Itqan secara terperinci, ia hanya menimbang dafatar isi yang terdiri dari 80
kategori (nau'). Setelah melihat hal tersebut, maka poin-poin penelitian
dikelompokkan menjadi tema penyelidikan dan refleksi.
1. Suatau tatanan
dari hal yang tak dapat diketahui. Dalam hal ini Arkoun menggolongkan 80 nau'
menjadi 13 poin yaitu: Persoalan-persoalan kronologi; Cara-cara pewahyuan;
pengumpulan dan penyebaran; penyajian formal mushaf; persajakan dan
stuan-satuan teks; kosa kata; sintaksis; analisis logis semantis; retorika dan
gaya bahasa; tafsir; ilmu-ilmu yang dikembangkan dari Qur'an; catatan historis;
nilai-nilai pemujaan. Dari situ dapat dilihat ketidak sesuaian takaran yang
jelas antara ruang yang diberikan kepada sintaksis dan kosa kata di satu pihak,
dan tekanan yang diperoleh retorika dan analisis logis semantis (yang
dituntutoleh deduksi kualifikasi-kualifikasi hukum = ahkam dalam fikih) di
pihak lain.
2.
Pengetahuan-pengetahuan teknis dan nalar keagamaan. Salah satu sifat yang tetap
dari nalar keagamaan adalah bahwa nalar itu berusaha untuk membangun
koherensi-koherensi praktis di dalam suatu kungkungan teologis tanpa
mempertanyakan praduga-praduga, postulat-postulat dan keyakinan-keyakinan yang
memungkinkan kegiatan diskursif dalam kukngkungan itu. Dalam hal ini walaupun
al-Itqan menyentuh persoalan-persoalan kronologi dan penyebaran wahyu, namun
sulit kiranya berbicara mengeni suataupengetahuan historis di dalamnya.
3. Yang terpikir,
yanag tak terpikir, dan yang tak dipikirkan.[15] Dalam mengolah tiga anggitan
yang tidak dikenal baik dalam pemikiran Islam maupun dalam ilmu orientalis ini,
Arkoun mempunyai dua sasaran yang tidak dapat dipisahkan:
a. Memperkaya sejarah
pemikiran dengan membuktukan taruhan-taruhan kognitif, intelektual dan
ideologis dari ketegangan-ketegangan antara berbagai aliran pemikiran.
b. Mendinamiskan
pemikiran Islam masa kini engan menaruh perhatian pada persoalan-persoalan yang
telah dikekangnya.
Melalui titik tolak
pengamatan kronologis dan epistemis yang ditawarkan al-Itqan, kita dapat
mengenali tiga saaat perubahan tempat bergesernya batas-batas antara yang
terpikir, yang tak terpikir, dan yang tak dipikirkan sehubungan dengan Qur'an
yakni: periode pertama, saat pewahyuan (610-632); periode kedua, pengumpulan
dan pembakuan mushaf (12-324 H/632-936 M) dan periode ketiga, saat ortodoks
(324-.… H/936-…. M)[16]
Selanjutnya Arkoun
mengungkapkan sumbangan dan keterbatasan orientalisme. Menurutnya pengetahuan
ilmiah orientalis sedemikian eksklusif berpegang pada dat-data positif dari
sejarah Qur'an setelah tahun 632 dan pada kontekstualisasi linguistis dan
historis dari ayat-ayat. Hasila penelitian orientalis dipaparkan dengan jelas
dan ringkas, sehingga artikel itu menawarkan suatu tunjauan kritis dan satu
titik pijak bagi suatu perjalanan baru, atau penyelidikan-penyelidikan yang
sampai kini masih tersembunyi.[17] Inilah salah satu kelebihan Arkoun, ia bisa
menilai semua pihak secara obyektif. Baik itu dari kalangan orientalis maupun
dari pemikir Islam sendiri.
Adapun berbagai perspektif
yang ditawarkan oleh Arkoun yaitu:
1. Eksplorasi
Sinkronis. Mengetengahkan analisis terhadap status lingistis dari wacana
qur'ani, analisis semiotik, analisis sosio kritis, dan serta psiko-kritis.
2. Eksplorasi
Diakronis. Pada wilayah ini pembahasan Arkoun lebih mengarah pada penggarapan
Diri-atas-diri Masyarakat-masyarakat Kitab dan Tradisi kitab Suci dan
Tradisi-tradisi Etno-budaya.
3.
Perspektif-perspektif Antropologis.
4. Filsafat Fakta
Keagamaan.[18]
Istilah lain dari
bahasa yang digunakan Arkoun seperti langage, langue, dan parole. Namun kedua
istilah pertama tidak digunakannya dalam arti Saussure yang sudah menjadi
"klasik". Langue dirumuskan Arkoun sebagai "harta asal milik
bersama (suatu masyarakat)", sedangkan parole dipakai dalam arti sebuah
alat yang tersedia bagi manusia untuk mengungkapkan diri secara lisan atau
tertulis.[19]
D. Apakah Al-Qur'an
itu?
Sebelum membahas
pandangan Arkoun tentang Al-Qur'an, akan dibahas terlebih dahulu mengenai
wahyu. Konsepsi Islam tentang wahyu isebut Tanzil[20] (turun), sebuah metafora
fundamental karena umat manusia yang berpandangan vertikal diundang untuk
menuju Tuhan, transendensi. Tanzil murujuk kepada sebuah obyek dari sebuah
wahyu; Al Qur'an juga berbicara tentang wahyu, yang merupakan aksi dasar
pewahyuan oleh Tuhan kepada para nabi.[21]
Mengenai wahyu,
Arkoun membaginya dalam dua peringkat. Peringkat pertama adalah apa yang
Al-Qur'an biasanya menyebutnya sebagai Umm al-Kitab (Induk Kitab) dan peringkat
kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gospel, dan Al-Qur'an.[22]
Menurut Arkoun
konsepsi wahyu secara ortodoks dan tradisional – seperti yang kini dipakai
dalam ilmu keislaman dan seperti yang dilaporkan dalam sebuah buku, terutama
literatur eksegetik – bisa dirangkum dalam proposisi berikut ini:[23]
1. Allah telah
mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada umat manusia (makhluk manusia-Nya)
melalui para nabi.Untuk melakukan ini, Ia menggunakan bahasa-bahasa manusia
supaya orang dapat memahaminya, tetapi Ia menyampikan kalimat-kalimat dalam sintaksis,
retorika, dan kosakata-Nya sendiri. Tugas para nabi seperti Musa, Yesus, da
Muhammad hanyalah untuk mengucapkan wacana yang dinyatakan kepada mereka oleh
Allah sebagai bagian dari kalam-Nya yang tidak diciptakan, tidak terbatas, dan
sama-sama abadi – ini adalah teori ortodoks dalam Islam, berbeda dengan teori
lawannya yang dikembangkan oleh kaum Mu'tazilah sebelumnya, mengenai kalam
Allah yang diciptakan.
2. Sunah bersikeras
mengenai peran malaikat Jibril sebagai alat penghubung antara Allah dan Nabi
Muhammad.
3. Wahyu yang
diberikan dalam Qur'an melalui Muhammad adalah wahyu terakhir; ia melangkapi
wahyu-wahyu terdahulu yang diberikan kepada Musa dan Yesus, dan ia memperbaiki
teks yang telah diubah (tahrif) dalam Taurat (taurat) dan Injil.
4. Wahyu yang
dimanifestasikan dalam Qur'an sudah lengkap untuk semua kebutuhan orang-orang
yang beriman (secara potensial ini berarti seluruh umat manusia), tetapi tidak
lengkap mewakili seluruh firman Allah yang tersimpan dalam Kitab Surga (Umm
al-Kitab, Kitab yang paling pertama; al-lauh al-mahfudz, Daftar yang
tersimpan).
5. Konsep Kitab Surga
yang disajikan begitu tegas di dalam Qur'an merupakan salah satu lambang kuno
dari imajiner agama yang lazim di Timur Tengah kuno, seperti diungkapkan dengan
jelas dalam kajian Geo Widengren yang masih sah sampai sekarang (Muhammad, the
Apostle of God and His Ascnsion [Muhammad, Rasul Allah dan Mikrajnya], Uppsala
1995; dan The Ascension of The Apsotle and The Heavenly Book [Mikraj Rasul dan
Kitab Surga], Oppsala 1950.
6. pengumpulan Qur'an
menjadi satu buku yang nyata dan yang dipakai secara umum (mushaf), dipengaruhi
seluruhnya oleh prosedur manuisa yang tidak sempurna (misalnya, menyampaikan
secara lisan; penmggunaan bentuk gambar yang tidak sempurna; kedudukan sahabat;
dan bacaan yang tidak dilaporkan), tidak menjadi halangan untuk menjabarkan
teori Kalam Allah yang tidak diciptakan, wahyu yang diberikan secara lengkap
dalam Qur'an, dan adanya jalan langsung yang autentik bagi manusia menuju Kalam
Ilahi yang transendental ini.
Arkoun menyebutkan
adanyan tiga tingkat makna wahyu:[24]
1. Pada tingkat
pertama, wahyu adalah firman Allah yang transenden dan tak terbatas dan
biasanya diistilahkan dengan Umm al-Kitab.
2. Pada tingkat kedua
wahyu tak terbatas tersebut, menjelma ke dalam sejarah yang diwahyukan kepada
Muhammad dengan memakai bahsa Arab, dalam hal ini disebut wacana Qur'ani.[25]
3. Tingkatan ketiga
menunjuk kepada wahyu dalam bentuk Corpus Resmi Tertutup (CRT) atau wahyu yang
sudah tertulis dalam mushaf.[26] Yang dari pembacaan terhadap tingkatan ketiga
inilah lahirlah penfsiran-penafsiran yang disebut sebagai Corpus Interpretatif.
Firman Tuhan
(Umm al-Kitab)
Sejarah
Penyelamatan
Wacana Qur'ani CRT CI
Sejarah duniawi
(wahyu)
Komunitas
Interpretatif
CRT: Corpus Resmi
Tertutup
CI: Corpus
Interpretatif
Pemahaman seorang
Muslim atas Al-Qur'an yang paling umum adalah wahyu itu terberi (given/tanzil),
yakni wahyu yang diturunkan dalam struktur gramatika dan wacana (discourse)
Al-Qur'an. Inilah yang menyebabkan adanya sakralisasi yang berlebihan atas
Al-Qur'an di kalangan umat Muslim. Al-Qur'an dipersepsikan sebagai teks suci
dari Allah yang sacred dan transenden, sehingga makna tekstualnya harus ditaati
dan dijadikan petunjuk dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat wacana sosio-historis-nya
terlebih dahulu.
Wahyu dalam Qur'an
pertama-tama adalah hasil bukti linguistik: struktur sintaksis, semantis,
semiotis dalam ujaran Qur'aniah menciptakan jarak komunikasi yang sepenuhnya
dikaitkan untuk menetapkan suatu gagasan dan suatu isi wahyu. [27]
Secara linguistis,
Al-Qur'an adalah sebuah korpus yang selesai dan terbuka dari ujaran-ujaran
dalam bahasa arab, yang kita tidak lagi mempunyai jalan masuk kepadanya kecuali
melalui teks yang bentuk tertulisnya dibkukan setelah abad IV/X. Keseluruhan
teks yang dibakukan demikian itu telah diperlakukan sebagai sebuah karya.[28]
Arkoun kemudian
membuat hipotesis kerja dengan mengatakan bahwa:
1. Al-Qur'an adalah
sejumlah makna potensial yang diusulkan kepada segala manusia, jadi sesuai
untuk mendorong pembangunan doktrin yang sama beragamnya dengan keadaaan
sejarah pemunculannya.
2. Pada tahap
maknanya yang potensial, Al-Qur'an mengacu pada agama yang trans-sejarah, atau
dengan kata lain pada transendensi. Pada tahap makna yang diaktualisasikan pada
doktrin teologis, juridis, filsafat, politis, etis, dan sebagainya Al-Qur'an
menjadi mitologi dan ideologi yang kurang lebih dirasuki oleh makna
transendensi.
3. Al-Qur'an adalah
sebuah teks[29] terbuka. Tak satupun penafsiran dapat menutupnya secara tetap
dan ortodoks.
4. De jure, teks
Al-Qur'an tidak mungkin disempitkan menjadi ideologi, karena teks itu menelaah
khususnya berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih,
hidup, mati…[30]
Dari uraian di atas
dapat diketahui bahwa Arkoun kemudian membedakan teks menjadi dua; teks
pembentuk (al-Nass al-Mu'assis) dan teks hermeneutis (al-Nass al-Tafsiri).
Al-Qur'an adalah teks pembentuk yang kemudian melahirkan teks-teks hermeneutis
yang beragam.[31]
Dari uraian di atas
dapat di lihat bahwa menurut Arkoun Al-Qur'an yang ada sekarang merupakan teks
yang terbuka untuk dikaji ulang dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmiah
baik itu historis, linguistik dan yang lainnya.
E. Cara Membaca
Al-Qur'an
Dalam pemabacaan Al
Qur'an, Arkoun mengemukakan lima prinsip:
1. Manusia adalah
sebuah persoalan yang kongkret bagi manusia.
2. Pengetahuan yang
memeadai mengenai kenyataan (dunia, wujud, hidup, makna dsb.) adalah tanggung
jawab saya (Arkoun).
3. Pengetahuan itu –
dalam masa kini sejarah dan keberadaan ras manusia – merupakan suatu usaha
untuk mngatasi paksaan-paksaan biofisis, ekonomis, politis dan kebahasaan yang
membatasi kondisi wujud hidup (karenanya fana), wujud berbicara, wujud politis,
historis, dan ekonomis (dan karenanya wujud bekerja);
4. Penegetahuan itu
merupakan suatu jalan keluar yang diulang-ulang – karenanya merupakan resiko
permanen – dari keterkungkungan yang cenderung untuk membentuk setiap tradisi
budaya setelah suatu tahap penggarapan yang mendalam;
5. Jalan keluar itu
bersesuaian sekaligus dengan tindakan spiritual kaum sufi yang tidak pernah
mantap dalam tahap apa pun sepanjang perjalanan (suluk) mereka ke arah Tuhan;
dan dengan penolakan epistimologis peneliti-militan yang tahu bahwa setiap
wacana ilmiah merupakan sebuah pemikiran sementara.[32]
Prinsip diatas
merupakan prinsip Arkoun dalam pembacaan Al-Qur'an yang mana ia tidak setuju
terhadap prinsip-prinsip yang telah diajukan oleh kalangan pemikir Islam
klasik. Menurutnya juka masih tetap menggunakan prinsip yang diajukan oleh
pemikir Islam maka terjadi keputusan kenyataan, diluar setiap jalan kritis dan
teoritis.
Secara Umum Arkoun
melihat tiga cara untuk membaca teks Al-Qur'an:
1. Memperlakukan
secara ritual atau liturgis pada keadaan-keadaan tertentu, seperti salat atau
berdoa dengan tujuan untuk napak tilas terhadap ujaran pada masa Nabi (ujaran
1).
2. Pembacaan secara
eksegetis (sebagaimana tercantum dalam mushaf)
3. Cara baca yang
dilakukan dengan memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh
ilmu-ilmu kemanusiaan khususnya ilmu bahasa. Hal ketiga inilah yang dilakukan
oleh Arkoun.[33]
Untuk tujuan
pembacaan tersebut Arkoun memilih pendekatan kritik linguistik, khususnya
semiotika,[34] walaupun tidak semua ide-ide linguistik di gunakan semua oleh
Arkoun. Hal ini disadarinya karena adanya berbagai kelemahan pendekatan linguistik
terutama ketika berhadapan dengan kitab suci. Salah satunya adalah semiotika
telah mngebaikan sifat khusus dari teks-teks keagamaan.[35]
Dia menyatakan bahwa
analisa semiotika Al-Qur'an pada dasarnya mempunyai dua tujaan:
1. Untuk menampakkan
fakta sejarah dari bahasa Al-Qur'an.
2. Untuk menunjukkan
bagaimana arti baru dapat diperoleh dari teks Al-Qur'an tanpa dibatasi oleh
cara kajian tradisional.[36]
Untuk itu Arkoun
melakukan dua tahap; linguistis kritis dan hubungan kritis. Dalam tahap linguistis
kritis Arkoun mempergunakan sejumlah unsur linguistik yang disebutnya
modalisator wacana:
1. Determinan
2. Kata Ganti
3. Kata Kerja
4. Kata Benda dan
Nominalisasi
5. Sususnan-susunan
Sintaksis
6. Persajakan.[37]
Pemeriksaan terhadap
unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan
(actants), yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau
narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance)
dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,
dalam kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari dari
kategori hubungan antar aktan.
Dilihat dari kategori
ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting
adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan
“apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa
melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk
mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros
“pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk
mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang
atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai.[38]
Dengan kategori poros
aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah adalah aktan
pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim.
Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur)
pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi
hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah
menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat
sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh
narasi.
Sedangkan pada
tahapan hubungan kritis, hal ini bukan dimaksudkan untik napak tilas lewat
peran-peran yang ada dalam teks, melainkan diarahkan pada petanda terakhir.[39]
Untuk sampai pada petanda terakhir Arkoun menempuh dua langkah: Eksplorasi
historis dan eksplorasi antropologis dimana ia memakai analisis mitis.
Bila pada tahap
linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai
tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian
dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole). [40]
Untuk eksplorasi
historis ini Arkoun memilih tafsir besar Fakhr ad-Din ar-Razi yang menawarkan
keuntungan-keuntungan strategis yang nyata. Dengan tujan mengukur tingkat
kecocokan antara teks induk (TI) dan teks-kedua (T2), Arkoun bermaksud
mengenali berbagai macam kode yang mengendalikan pembacaan ar-Razi. Pembacaan
pertama atas teksnya memungkinkan kita untuk mengenali kode-kode sebagai
berikut:
1. Kode linguistik
2. Kode keagamaan
3. Kode Simbolis
4. Kode Budaya
5. Kode Anagogis[41]
Arkoun mengajak
pembaca untuk membaca Qur'an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat
diterapkan kepada semua teks doktrinal besar dan itu adalah:
1. Mengangkat makna
dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan
menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran
Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur yang ada
kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian
kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan
dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan
ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang
selalu berlaku;
2. Menetapkan suatu
kriteriologi[42] yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat
dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk
mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.
Dalam mengangkat
makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah
pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak
ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali
menghadirkan—sebisa mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup
tiga saat (moment):
1. Suatu saat
linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah
keteraturan yang nampak.
2. Suatu saat
antropologis, yakni mengenali dalam Qur'an bahasanya yang bersusun mitis.
3. Suatu saat
historis yang didalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas
tafsir-tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai
hari ini dicoba oleh kaum Muslim. :[43]
Muhammed Arkoun
sangat menyadari jika pendekatan historisitas akan menantang segala bentuk
pensakralan dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional.[44]
Menurut Arkoun, semua
ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan Perjanjian
Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:
1. "benar",
karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan
oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
2. efektif, karena
gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu
sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad
dan para sahabat yang solih (as-salaf as-salih);
3. spontan, karena
gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang
tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar
dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
4. simbolis, bisa
dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan
bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai
anggur dan madu. [45]
F. Analisa
Sebuah pemikiran
tidak akan lepas dari pro-kontra, demikian halnya dengan ide-ide liberal
Muhammed Arkoun yang notabene dapat dilihat banyak mengkritik berbagai pihak
baik itu dari pihak orientalis maupun pihak ulama muslim terutama masa klasik.
Pada analisa ini,
akan dibahas kritik-kritik yang dilontarkan oleh para pemikir terhadap
pemikiran Arkoun, disamping juga kelebihan-kelebihan dari pemikirannya ini,
Abdul Kabir Hussain
Salihu[46] melihat Arkoun dianggap begitu memberikan perhatian pada pentingnya
metodologi dalam kajian Al-Qur'an. Dia secara enerjik menyarankan penggunaan
metodologi multidisipliner untuk Al-Qur'an termasuk ilmu sejarah, ilmu-ilmu
sosial, psikologi, antropologi, linguistik dan semiotika. Hal ini dapat menjadi
sebuah pengharapan positif terhadap Al-Qur'an, khususnya karena kaum muslim
menganggap Al-Qur'an sebagai petunjuk dalam semua segi kehidupan dan Islam
sebagai pandangan hidupnya.[47]
Namun tujuan dari
penelitian Arkoun tidaklah jelas, apakah penelitiannya tersebut adalah kajian
Al-Qur'an atau kajian metodologi. Tidak sulit untuk melihat bahwa Arkoun tidak
mengkaji metodologi untuk kepentingan Al-Qur'an, tetapi dia mengkaji Al-Qur'an untuk
kepentingan metodologi.[48]
Disamping itu Adnin
Armas[49] menambahkan bahwa diantara pemikiran Arkoun yang liberal telah
membuat paradigma baru tentang hakikat teks Al-Qur'an. Kebenaran wahyu hanya
ada pada level diluar jangkauan manusia. Muhammed Arkoun mengakui kebenaran Umm
al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan
kredebilitas bentuk lisan Al-Qur'an, tetapi bentuk itu sudah hilang
selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan
historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada suatu yang
ahistoris.[50] Dan mencari kebenaran di dalam Al-Qur'an dengan menggunakan
hermeneutika Arkoun merupakan sebuah gagasan yang mengada-ada (utopis).[51]
Selanjutnya
penggunaan yang berlebihan berbagai terminologi asing dan terminologi baru
lainnya yang tidak semestinya, banyaknya pengulangan, kontradiksi dan
ambiguitas.[52] Membuat tulisan Arkoun tidak ramah, khususnya untuk banyak
intelektual muslim. Bagi pembaca yang tidak tahu apa itu semiotika, paparan
Arkoun ini akan tampak seperti matematika, bukan analisa teks.[53]
Gamal al-Banna
menyatakan bahwa dia setuju atas usaha Arkoun melakukan pembongkaran atas
kalangan ahli tafsir dan para orientalis. Hanya saja ketika dia mendekati
Al-Qur'an sebagai sebuah legsi atau teks biasa,[54] maka dia sudah persis
seperti kalangan orientalis yang tidak memberikan tempat bagi Tuhan. [55]
Dalam bukunya Tafsir
al-Qur'an al-Karim Baina al-Qudama wa al-Muhadditsin, Gamal al-Banna
menyatakan:
bahwasanya
keteledoran Arkoun dan kealpaan yang membuat dia menyebut Al-Qur'an memilki
struktur mitologis yang tinggi (dzu bunyatin ushturiyyatin muta'aliyah). Inilah
yang kemudian dia jadikan kunci pemikirannya tentang AL-Qur'an. Dia tiadak
mawas diri – dengan keterlibatannya dia dalam pemikiran Eropa – bahwa dia telah
meletakkan dirinya ke dalam satu parit dengan kaum Musyrik yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an tidak lebih adalah mitos para pendahulu (ashathirul
al-awwalin). Ketika dia sudah sadar akan hal itu, dia lantas berusaha untuk
menyelamatkan dirinya dengan mengambinghitamkan kesalahan pada soal
keterbatasan penerjemahan bahasa. Dia lantas membedakan antara kata myth/mitos
(al-usthurah) dengan kata mytologi/mitologi[56] (khurafat)[57]
Tapi meski banyak
yang dapat dikritik dari Arkoun, dia telah berhasil menarik minat kebanyakan
kalangan orientalis untuk mengkaji Al-Qur'an, dengan posisi yang cukup
terhormat dan keimanannya kepada Islam. Dia juga berhasil mengetangahkan sudut
pandang Islam yang dapat diterima lingkungan ilmiah Barat. Dan Arkoun juga
telah mencapai kesimpulan dalam beberapa kritiknya terhadap cara berpikir ahli
fikih konvensional Islam.[58]
[1] Muhmmed Arkoun,
Memikirkan Kembali Islam Saat Ini, dalam Peta Studi Islam: Orientalisme dan
Arah Baru Kajian Islam di Barat, Azim Nanji (ed), Terj. Muamirotun, Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003, hlm: 358
[2] Penyusun Suplemen
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Suplemen I: A-K), PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1999, hlm: 34
[3] Adnin Armas,
Metodologi Bibel Dalam Studi AL-Qur'an(edisi kritis), Gema Insani Press,
Jakarta, 2005, hlm: 64
[4] Waryono Abdul
Ghafur, Al-Qur'an Dan Tafsirannya dalam Perspektif Arkoun, dalam Studi
Al-Qur'an kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta,
Tiara Wacana, 2002, hlm: 168
[5] Fazlur Rahman,
Islam, University of Chicago Press, Chicago, 1979, hlm: 163 dalam Suadi Putro,
Muhammed Arkoun Tentang Islam & Modernitas, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm:
13
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm: 14
[8] Waryono Abdul
Ghafur, Op.Cit., hlm: 169
[9] Arkoun tercatat
dua kalidatang ke Indonesia, tepatnya ke Yogyakarta. Pertama sebagai peserta
semenar "Contemprary Expressions of Islam in Building", Oktober 1990.
Kedua pada "International Converence on Cultural Tourism", November
1992. Lihat Meuleman " Pengantar dalam Arkoun Nalar Islami hlm: 96 dalam
Suadi Putro, Op.Cit.,hlm: 25
[10] Luthfi
Assyaukany, Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca Modern: Pendekatan menuju
kritik Akal Islam dalam Jurnal Ulumul Qur'an, Nomor 1, Vol. V 1994, hlm: 25
dikutip Cecep Ramli Bihar Anwar, Muhammed Arkoun: Cara Membaca Al-Qur'an,
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=313
[11] Haji Johan H.
Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan pemikiran Muhammad
Arkoun. Dalam Jurnal Ulumul Qur'an,Nomor 4 Vol. IV 1993, hlm: 94 dikutip oleh
Ibid
[12] Ibid
[13] Suadi Putro,
Op.Cit., hlm: 18-19
[14] Muhammed Arkoun,
Berbagai Pembacaan Quran, terj. Machasin, INIS, Jakarta, 1997, hlm: 11.
Selanjutnya akan disebut Arkoun, Berbagai Pembacaan……,
[15] Yang dimaksud
dengan "yang tak terpikirkan" adalah hal-hal yang mungkin umat Islam
memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara hal-hal "yang
tak terpikirkan" adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran
agama dengan praktek kehidupan. Lihat Jihan Hendrik Meuleman,
"takarir", Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan
Pemikiran Muhammed Arkoun, INIS, Jakarta, 1995, hlm: 316 dikutip Cecep Ramli
Bihar Anwar, Loc.Cit
[16] Arkoun, Berbagai
Pembacaan……, Op.Cit., hlm: 13-19. Bandingkan dengan Muhammed Arkoun,
Introduction: An Assesment of and perspectives on the study of the Qur'an dalam
The Qur'an Style and Contents, Andrew Rippin (ed)., Ashgate, Aldershoot, 2001,
hlm; 45;57 dikutip Adnin Armas, Op.Cit., hlm: 67-68
[17] Arkoun, Berbagai
Pembacaan….., Op.Cit., hlm: 30
[18] Arkoun, Berbagai
Pembacaan……, Op.Cit., hlm: 35-39
[19] Johan Hendrik
Meuleman, hlm: 14 dalam Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid:, Kritik Teks
Keagamaan,eLSAQ Perss, Yogjakarta, 2003, hlm.: 15
[20] Menurut Muhammad
Shahrur, dalam proses turunnya Al-Qur'an dikenal istilah Al-Ja'l,[20]
Al-Inzal,[20] dan Al-Tanzil. Istilah pertama terjadi ketika Allah hendak
memberikan Al-Qur'an kepada manusia, maka tahapan pertamanya adalah pengubahan
wujud primordial Al-Qur'an ini pada bentuk yang dapat dicerap pengetahuan
manusia secaa relatif, dengan kata lain Al Qur'an mengalami perubahan struktur
eksistensi (taghyir fi al-shairurah). Proses perubahan struktur eksistensi ini
dalam linguistik arab disebut istilah al-ja'l. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
إنا
جعلناه قرأنا عربيا لعلكم تعقلون (الزخرف: 3)
Selanjutnya Al-Qur'an
dipindahkan menuju wilayah yang dapat diketahui. Perpindahan ini berlangsung
dalam proses Al-Inzal. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
إنا
أنزلناه قرأنا عربيا لعلكم تعقلون (يوسف: 2)
Peristiwa Al-Ja'l dan
Al-Inzal terjadi secara bersamaan.
Adapun proses
Al-Tanzil yaitu ketika Al Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
malaikat jibril yang berlangsung selama 23 tahun. Allah berfirman dalam
Al-Qur'an:
تنزيل
الكتاب من الله العزيز الحكيم (غافر: 2)
Lihat Muhammad
Shahrur, Al-Kitab wa Al-Qur'an: Qira'ah Muashirah, terjemahan oleh Sahiron
Syamsuddin, dan Burhanuddin Dzikri, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur'an
Kontemporer, eL-SAQ, Yogyakarta, 2004, hlm: 200-201
[21] Muhammed Arkoun,
Rethinking Islam: Common Question, Uncommon Answers, terjemahan oleh Yudian W.
Asmin dan Lathiful Khuluq, Rethinking Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996,
hlm: 46. Selanjutnya akan disebut Arkoun, Rethingking Islam.
[22] Abdul Kadir
Hussain Salihu, Hermeneutika Al-Qur'an menurut Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik,
dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus
2004, hlm: 21
[23] Muhammed Arkoun,
Gagasan Tentang Wahyu: Dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat Kitab dalam Studi
Islam di Perancis: Gambaran Pertama, INIS, Jakarta, 1993, hlm: 39-40
Selanjutnya akan ditulis, Arkoun, Gagasan Tentang Wahyu.
[24] Lihat Arkoun,
Rethinking Islam, Op.Cit., hlm: 59
[25] Memimjam
analisis tokoh linguistik Perancis Ferdinand de Saussure, jika pada tingkat
pertama wahyu mengacu pada parole Tuhan dan pada tingkat kedua ini bisa
dikatakan sebagai dimensi langue dari Al-Qur'an.
[26] Mushaf adalah
konsep teologis sebagai sarana untu mengatakan bahwa teks Al-Qur'an dianggap
sebagai firman Tuhan yang tidak tersentuh, tak terpikirkan, dan tak dismapikan.
Ia dianggap telah muncul tanpa aplikasi usaha dan metode-metode manusia. Lihat
Arkoun, Rethinking Islam, Op.Cit., hlm: 63
[27] Arkoun, Gagasan
Tentang Wahyu, Op.Cit., hlm: 41.
[28] Arkoun, Berbagai
Pembacaan….., Op.Cit., hlm: 91
[29] Istilah teks
(text, wording, phrase) dalam bahasa arab disebut al-nass. Dalam bahasa arab
klasik kata "nass" tersebut berarti "mengangkat" (to raise,
to lift). Dari itu sudah jelas bahwa kata nass setara dengan apa yang disebut text.
Untuk itu sebuah pernyataan yang menegasakan bahwa "tidak diperkenankan
untuk melakukan ijtihad ketika masih terdapat teks" (la ijtihad fi ma fihi
al-nass), adalah sebagai prinsip yang menegasakan Istilah teks pada makna
semantik masa klasik saja. Padahal prinsip itu tidak dapat digunakan pada
wacana Islam kontempore. Apabila prinsip dari pemaknaan tersebut diberlakukan,
maka merupakan suatu bentuk manipulasi semantik, terutama ketika kata nass
hanya diterapkan pada Al-Qur'an belaka. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, The Textuality
of The Quran: an Introduction to The Translation, hlm: 1 dalam Hilman Latief,
Op.Cit., hlm.: 15
[30] Muhammed Arkoun,
Nalar Islami, hlm: 194-195 dalam Waryono Abdul Ghafur, Op.Cit., hlm: 185
[31] Ibid., hlm: 186
[32] Arkoun, Berbagai
Pembacaan….., Op.Cit., hlm: 97
[33] Sepeti dikutip
dari St. Sunardi, Membaca Al-Qur'an Bersama Muhammed Arkoun, dalam Meuleman
(penyunting), Tradisi Kemodernan da Metamodernisme, LkiS, Yogyakrta, 1996, hlm:
69 dalam Waryono Abdul Ghafur, Loc.Cit.,
[34] Pendekatan ini
dipandang tepat pertama-tama berkaitan dengan yang dihadapi (objek
pembicaraan), yaitu dunia ciptaan yang sering disebut sebagai ayat Tuhan dan
kitab atau teks wahyu yang merupakan himpunan tanda. Berikutnya karena
pendekatan linguistik semiotis memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan
sebagai suatu sistem dari hubungan-hubungan intern dan membuat kita mendekati
suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau praanggapan. Lihat
Meuleman, Sumbangan dan Batas Semiotika dalam Ilmu Agama, dalam Tradisi Kemodernan
da Metamodernisme, LkiS, Yogyakrta, 1996, hlm: 69 dalam Waryono Abdul Ghafur,
Loc.Cit.
[35] Waryono Abdul
Ghafur, Op.Cit., hlm: 187
[36] Abdul Kadir
Hussain Salihu, Op.Cit., hlm: 24
[37] Arkoun, Bernagai
Pembacaan ……, Op.Cit., hlm: 99-106
[38] St. sunardi,
Membaca Al-Qur'an bersama Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammed Arkoun,
LkiS, Yogyakarta, hlm: 72-73 dalam Cecep Ramli Bihar Anwar, Loc.Cit.
[39] Disinilah salah
satu letak perbedaan antara Arkoun dengan Derrida. Derrida tidak mengajui
adanya petanda terakhir atau petanda transendental, sedangkan Arkoun
mempercayainya. Dalam hal ini ia sepakat dengan Saussure. Lihat Waryono Abdul
Ghafur, Op.Cit.,, hlm: 188
[40] Untuk
menghindari terjadinya kebingungan dan kerancuan mengenai alur pemikiran
Arkoun, disini perlu diuraikan secara singkat pengertian mengenai tanda (sign),
simbol (symbol0 dan mitos (myth). Tanda adalah segala sesuatu yang menunjuk
diluar dirinya. Lima huruf r, u, m, a, h adalah tanda yang bisa menunjuk
(designare) sesuatu diluar dirinya, yaitu rumah dan realitasnya. Simbol juga
semacam tanda. Setiap simbol adalah tanda tetapi tidak setiap tanda adalah
simbol. Sebab, simbol mempunyai ciri khas: rujukan ganda. Merah misalnya, tidak
saja berarti merah buat darah, tapi juga untuk simbol keberanian. Maka merah
menjadi simbol karena memilki rujukan ganda. Mitos adalah mirip simbol. Mitos
adalah sejenis simbol yang diungkapkan dalam kisah atau cerita, yang terjadi
dalam waktu dan tempat. Mitos adalah wahan orang untuk bisa cerita tentang
kehidupan eksestensial dirinya sendiri, masyarakat, alam yang mendalam dan
rumit. Karenanya struktur cerita mitis sangat kental dan sublim. Lihat St.
sunardi, Membaca Al-Qur'an bersama Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman,
Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammed
Arkoun, LkiS, Yogyakarta, hlm: 81-82 dikutip Cecep Ramli Bihar Anwar, Loc.Cit.
[41] Arkoun, Bernagai
Pembacaan ……, Op.Cit.,hlm: 107-109
[42] kriteriologi
(criteriologie): himpunan dari berbgai kriteria atau ukuran (critere); Arkoun
mengatakan, misalnya, bahwa semua teks arab dari abad pertengahan memetuhi
kriteriologi yang ketat, yaitu himpunan keyakinan yang membentuk berbagai
praanggapan yang setiap tindak pemahaman pada periode tersebut. Lihat Arkoun,
Berbagai Pembacaan …..,Op.Cit., hlm: 248
[43] Arkoun, Berbagai
Pembacaan …..,Op.Cit.hlm: 51
[44] Muhammed Arkoun,
The Unthought in contemprary Islamic thought, Saqi Books, London, 2002, hlm: 89
dalam Adnin Armas, Op.Cit., hlm: 66
[45] Arkoun, Berbagai
Pembacaan …..,Op.Cit.hlm: 57-58
[46] Dosen pada
Kulliyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, Universitas
Antarbangsa, Malaysia.
[47] Abdul Kadir
Hussain Salihu, Op.Cit.,, hlm: 25
[48] Ibid., hlm: 26
[49] Kandidat PhD di
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)-IIUM, Kuala
Lumpur.
[50] Adnin Armas,
Op.Cit., hlm: 69. Abdul Kabir Hussain Salihu menambahkan bahwasanya Arkoun
menerima kesakralan bentuk lisan dari Al-Qur'an, dia mengabaikan tuntutan untuk
mendengar yang merupakan implikasi dari penerimaan tersebut. Sebagai gantinya,
dia mempertanyakan Al-Qur'an tentang mengapa Al-Qur'an mensakralkan sejarah
yang bersifat umum dan bagaimana Al-Qur'an menerapkan sebuah arti yang tidak
pasti. (Kritik dekonstruksinya tidak dapat memberikan toleransi untuk
membiarkan penulis). Meskipun demikian dia tidak membuat penelitian pada
bagaimana Tuhan bertindak dan berfungsi secara keseluruhan di dalam sejarah,
baik secara langsung atau melalui angan-angan tertentu. Dengan hal tersebut dia
menafsirkan Al-Qur'an dari sudut pandangan (Worldview) yang berbeda. Namun
ironisnya dia masih tetap menekanan kalau dia menafsirkan Al-Qur'an dari dalam.
Lihat
[50] Abdul Kadir Hussain
Salihu, Loc.Cit.
[51] Abdul Kadir
Hussain Salihu, Op.Cit., hlm: 27
[52] Karena kesulitan
semacam itu Hashim Shalih, penerjemah terbaiknya harus memberikan satu komentar
ke komentar lain untuk membuat ide-ide Arkoun jelas. Lihat sebagai contoh
bukunya al-Fikr al-Usuli wa Istilahat al-Ta'sil. Buku ini setebal 352 halaman.
Dalam semua halamnnya dia harus memberikan komentar penjelasan, kecuali halaman
107, 221, 351 (dengan tidak memasukkan halaman yang diberi catatan kaki oleh
Arkoun sendiri, 185-186, 235, 294, 352; bibliografi; 89-90; posteript: 233-234,
kutipan-kutipan halaman 79) . Banyaknya komentar dalam setiap halaman berkisar
sampai setengah sampai dua pertiga halaman aslinya. Ini berarti bahwa banyaknya
komentar Hashim Salih tidak kurang dari sepertiga dari total keseluruhan. Lihat
Abdul Kadir Hussain Salihu, Op.Cit. hlm: 26
[53] Abdul Kadir
Hussain Salihu, Op.Cit., hlm: 27
[54] Namun pada
akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang dengan pemikiran Foucault dan para
pemikir dekonstruksionis dan arkeologis lainnya, dia sampai pada pemikiran
bahwa takwil merupakan kunci pendekatan Al-Qur'an. Baginya, Al-Qur'an merupakan
kitab yang mengandung teks tentang takwil, menerima takwil, dan tak bisa lain
kecuali ditakwil. Dia (al-Qur'an) adalah teks takwili atau dapat kita katakan
sebagai teks per exellence. Lihat Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur'an al-Karim
Baina al-Qudama wa al-Muhadditsin, Dar al-Fikr al-Islamiy, Kairo, 2003,
Terjemah Evolusi Tafsir: Dari Jaman Kalsik Hingga Jaman Modern, Qisthi Press, Jakarta,
2004, hlm: 227
[55] Gamal al-Banna,
Op.Cit., 222
[56] Mitologi
(mytologie): (a) himpunan mitos yang hidup dalam kelompok tertentu; (b)
pembahasan, ilmu mitos; (c) sikap menegaskan mitos, sebagai berbagai
kepercayaan dan gambaran yang menggerakkan kelompok besar, dibalik selubung
ilmiah dan rasional; hasil sikap tersebut. Arkoun memakai istilah mitologi
terutama dalam arti "c".
Sedangkan mitos
(mythe): kisah yang mengarahkan tingkah laku suatu kelompok manusia melalui
penjelasan tertentu manganai asal-usul, makan, dan/atau tujuan kehidupan
kelompok itu. Lihat Arkoun, Berbagai Pembacaan ….,Op.Cit., hlm: 249
0 komentar:
Posting Komentar