III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (3/4)
Pengalaman
ittihad ini ditonjolkan
oleh Abu Yazid
al
Bustami (w. 874 M).
Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya
menunjukkan
bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha
yang keras dan waktu yang lama. Seseorang
pernah bertanya
kepada Abu Yazid
tentang perjuangannya untuk
mencapai
ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya
waktu itu
telah lebih dari
tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan
bahwa dalam usia tujuh puluh
tahunlah ia baru
sampai ke
stasion ittihad.
Sebelum sampai ke
ittihad, seorang sufi
harus terlebih
dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah hancur sedangkan
baqa' berarti tinggal.
Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau hancur
dan sesuatu yang
lain akan baqa
atau tinggal. Dalam
literatur tasawuf
disebutkan,
orang yang fana
dari kejahatan akan
baqa
(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat
akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya.
Dengan demikian,
yang tinggal dalam
dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan
sesuatu yang lain
akan timbul
sebagai gantinya.
Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul
sifat baik. Hilang
maksiat akan
timbul takwa.
Untuk sampai ke
ittihad, sufi harus
terlebih dahulu
mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs
wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran
tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku
mengetahui Tuhan
melalui diriku hingga
aku hancur, kemudian
aku
mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan
baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat
aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian
Ia membuat
aku gila kepada
diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun
berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila
pada
diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
Dalam
menjelaskan pengertian fana',
al-Qusyairi menulis,
"Fananya
seseorang dari dirinya
dan dari makhluk
lain
terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya
dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada,
demikian pula
makhluk lain, tetapi
ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi
tentang dirinya dan
makhluk
lain lenyap dan
pergi ke dalam diri Tuhan dan
terjadilah
ittihad."
Ketika sampai ke
ambang pintu ittihad
dari sufi keluar
ungkapan-ungkapan
ganjil yang dalam
istilah sufi disebut
syatahat (ucapan
teopatis). Syatahat yang
diucapkan Abu
Yazid, antara lain,
sebagai berikut, "Manusia
tobat dari
dosanya, tetapi aku
tidak. Aku hanya
mengucapkan, tiada
Tuhan selain Allah."
Abu Yazid tobat
dengan lafadz syahadat demikian, karena
lafadz itu menggambarkan Tuhan masih
jauh dari sufi
dan
berada di belakang
tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan,
berhadapan langsung dengan
Tuhan dan mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
Dia juga mengucapkan,
"Aku tidak heran
melihat cintaku
pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang
hina. Tetapi aku
heran melihat cinta-Mu
padaku, karena Engkau adalah Raja
Maha Kuasa."
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu
Yazid
telah dibalas Tuhan.
Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak
meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari
Tuhan
dan pula tidak meminta dijauhkan
dari neraka dan yang
dikehendakinya hanyalah
berada dekat dan
bersatu dengan
Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk
sampai
kepadaMu?"
Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan
datanglah." Akhirnya
Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa'
dan ittihad.
Masalah ittihad, Abu Yazid
menggambarkan dengan kata-kata
berikut ini, "Pada
suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku
ingin melihat
engkau. Aku menjawab,
kekasih-Ku, aku tak ingin melihat
mereka. Tetapi jika
itu kehendak-Mu, aku
tak berdaya
menentang-Mu.
Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku,
mereka akan berkata,
telah kami
lihat Engkau. Tetapi
yang mereka lihat sebenarnya
adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa
ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan
perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak
Abu Yazid. Ia
tetap meminta bersatu
dengan Tuhan. Ini
kelihatan dari
kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan
Abu Yazid dikabulkan
Tuhan dan terjadilah
persatuan,
sebagaimana
terungkap dari kata-kata
berikut ini, "Abu
Yazid, semuanya kecuali
engkau adalah makhluk-Ku." Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau."
Dalam literatur tasawuf
disebut bahwa dalam ittihad, yang
satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal ini juga
dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog pun
terputus, kata menjadi
satu, bahkan seluruhnya
menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui
diri-Nya "Hai
Aku." Ia berkata
kepadaku, "Engkaulah Yang
Satu." Aku
menjawab, "Akulah
Yang Satu." Ia
berkata lagi, "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah
Aku."
Yang penting diperhatikan
dalam ungkapan diatas
adalah
kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya"
(Fa qultu
bihi).
Kata-kata bihi -melalui
diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid
dengan Tuhan, rohnya
telah melebur
dalam diri Tuhan.
Ia tidak ada
lagi, yang ada hanyalah
Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu"
bukan Abu
Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa
inilah harus diartikan kata-kata yang
diucapkan lidah
sufi ketika berada
dalam ittihad yaitu
kata-kata yang pada
lahirnya mengandung pengakuan
sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid,
seusai sembahyang
subuh,
mengeluarkan kata-kata, "Maha
Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada
Allah selain
Aku, maka sembahlah Aku."
Dalam istilah sufi,
kata-kata tersebut memang diucapkan
lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui
dirinya Tuhan.
Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada
permulaan makalah ini,
agar
dapat dekat kepada
Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari
dosa saja, tetapi juga
dari syubhat. Maka
dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan
tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam
pengertian sufi,
kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah
yang mengaku diri-Nya
Allah melalui
lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan,
"Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah
Yang Maha Kuasa.
Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
Yang mengucapkan kata-kata
itu memang lidah
Abu Yazid,
tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu
Yazid bahwa ia
adalah Tuhan. Itu
adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.
Sufi lain yang mengalami
persatuan dengan Tuhan
adalah
Husain Ibn Mansur
al-Hallaj (858-922
M), yang berlainan
nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena
dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya
dibakar dan debunya
dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq"
(Akulah Yang Maha Benar).
Pengalaman
persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,
tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk
bersatu dengan Tuhan,
al-Hallaj mengalami persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur
tasawuf hulul
diartikan, Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam
didalamnya dengan sifat-sifat
ketuhanannya,
setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang
ada dalam tubuh itu
dihancurkan.
Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami
Abu Yazid
dalam ittihad sebelum
tercapai hulul. Menurut
al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan)
dan
lahut
(ketuhanan). Demikian juga Tuhan
mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan
bahwa Tuhan dan
manusia sama-sama mempunyai sifat diambil
dari hadits yang menegaskan
bahwa Tuhan menciptakan
Adam
sesuai dengan bentuk-Nya.
Hadits ini mengandung
arti bahwa didalam
diri Adam ada
bentuk Tuhan dan
itulah yang disebut
lahut manusia.
Sebaliknya
didalam diri Tuhan
terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada
syair al-Hallaj sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Dengan
membersihkan diri malalui
ibadat yang banyak
dilakukan, nasut
manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan
ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri
sufi
dan terjadilah hulul.
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
0 komentar:
Posting Komentar