Rabu, 13 Juni 2012


III.14. TASAWUF                                    (hal. 42)
oleh Harun Nasution                                    (3/4)


Pengalaman  ittihad   ini  ditonjolkan  oleh  Abu  Yazid  al
Bustami   (w.  874 M).  Ucapan-ucapan  yang  ditinggalkannya
menunjukkan  bahwa  untuk  mencapai ittihad diperlukan usaha
yang keras dan waktu yang lama.  Seseorang  pernah  bertanya
kepada   Abu  Yazid  tentang  perjuangannya  untuk  mencapai
ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah  lebih  dari  tujuh  puluh  tahun. Ia ingin mengatakan
bahwa dalam usia tujuh puluh  tahunlah  ia  baru  sampai  ke
stasion ittihad.

Sebelum  sampai  ke  ittihad,  seorang  sufi  harus terlebih
dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah  hancur  sedangkan  baqa'  berarti  tinggal.  Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau  hancur  dan  sesuatu  yang
lain   akan  baqa  atau  tinggal.  Dalam  literatur  tasawuf
disebutkan,  orang  yang  fana  dari  kejahatan  akan   baqa
(tinggal)  ilmu  dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat
akan baqa (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan  demikian,
yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul
sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul  sifat  baik.  Hilang  maksiat  akan
timbul takwa.

Untuk   sampai   ke  ittihad,  sufi  harus  terlebih  dahulu
mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi  terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs
wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti  kesadaran  tentang  diri
sendiri  hancur  dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui  Tuhan
melalui    diriku    hingga   aku   hancur,   kemudian   aku
mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup.  Sedangkan
mengenai  fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat
aku gila pada diriku hingga aku mati.  Kemudian  Ia  membuat
aku  gila  kepada  diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun
berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan  gila  pada
diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."

Dalam  menjelaskan  pengertian  fana',  al-Qusyairi menulis,
"Fananya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari  makhluk  lain
terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya  dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula
makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk
lain  lenyap  dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."

Ketika sampai ke  ambang  pintu  ittihad  dari  sufi  keluar
ungkapan-ungkapan  ganjil  yang  dalam  istilah sufi disebut
syatahat (ucapan  teopatis).  Syatahat  yang  diucapkan  Abu
Yazid,  antara  lain,  sebagai  berikut, "Manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku  tidak.  Aku  hanya  mengucapkan,  tiada
Tuhan selain Allah."

Abu  Yazid  tobat  dengan  lafadz  syahadat demikian, karena
lafadz itu menggambarkan Tuhan  masih  jauh  dari  sufi  dan
berada  di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan,  berhadapan  langsung  dengan  Tuhan  dan  mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.

Dia  juga  mengucapkan,  "Aku  tidak  heran  melihat cintaku
pada-Mu, karena aku hanyalah hamba  yang  hina.  Tetapi  aku
heran  melihat  cinta-Mu  padaku,  karena Engkau adalah Raja
Maha Kuasa."

Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam  Abu  Yazid
telah  dibalas  Tuhan.  Lalu,  dia  berkata lagi, "Aku tidak
meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."

Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga  dari  Tuhan
dan  pula  tidak  meminta  dijauhkan  dari  neraka  dan yang
dikehendakinya hanyalah  berada  dekat  dan  bersatu  dengan
Tuhan.  Dalam  mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?"

Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah."  Akhirnya
Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana,  baqa'
dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid  menggambarkan  dengan  kata-kata
berikut  ini,  "Pada  suatu  ketika  aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid,  makhluk-Ku  ingin  melihat
engkau.  Aku  menjawab,  kekasih-Ku,  aku  tak ingin melihat
mereka.  Tetapi  jika  itu  kehendak-Mu,  aku  tak   berdaya
menentang-Mu.  Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku,  mereka  akan  berkata,  telah  kami
lihat  Engkau.  Tetapi  yang  mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa
ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan
perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia
tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari
kata-katanya, "Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu."  Permintaan
Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan,
sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  "Abu
Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku." Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau."

Dalam  literatur  tasawuf  disebut bahwa dalam ittihad, yang
satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal  ini  juga  dialami  Abu  Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog  pun  terputus,  kata  menjadi
satu,  bahkan  seluruhnya  menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab  melalui  diri-Nya  "Hai
Aku."  Ia  berkata  kepadaku,  "Engkaulah  Yang  Satu."  Aku
menjawab, "Akulah  Yang  Satu."  Ia  berkata  lagi,  "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."

Yang  penting  diperhatikan  dalam  ungkapan  diatas  adalah
kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu
bihi).   Kata-kata  bihi  -melalui  diri-Nya-  menggambarkan
bersatunya Abu Yazid  dengan  Tuhan,  rohnya  telah  melebur
dalam  diri  Tuhan.  Ia  tidak  ada  lagi, yang ada hanyalah
Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang  Satu"  bukan  Abu
Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam  arti  serupa  inilah  harus  diartikan kata-kata yang
diucapkan lidah  sufi  ketika  berada  dalam  ittihad  yaitu
kata-kata  yang  pada  lahirnya  mengandung  pengakuan  sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu  Yazid,  seusai  sembahyang
subuh,  mengeluarkan  kata-kata,  "Maha  Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah.  Tiada  Allah  selain
Aku, maka sembahlah Aku."

Dalam  istilah  sufi,  kata-kata  tersebut  memang diucapkan
lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia  mengakui
dirinya  Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada  permulaan  makalah  ini,  agar
dapat  dekat  kepada  Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari
dosa saja, tetapi juga  dari  syubhat.  Maka  dosa  terbesar
tersebut  diatas  akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan
tak dapat bersatu dengan Dia. Maka  dalam  pengertian  sufi,
kata-kata  diatas  betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah  yang  mengaku  diri-Nya  Allah  melalui
lidah  Abu  Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain  Allah  Yang  Maha  Kuasa.  Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah."

Yang  mengucapkan  kata-kata  itu  memang  lidah  Abu Yazid,
tetapi itu tidak mengandung pengakuan  Abu  Yazid  bahwa  ia
adalah  Tuhan.  Itu  adalah  kata-kata  Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain  yang  mengalami  persatuan  dengan  Tuhan  adalah
Husain  Ibn  Mansur  al-Hallaj  (858-922  M), yang berlainan
nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang  karena  dijatuhi
hukuman  bunuh,  mayatnya  dibakar  dan  debunya  dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana  'l-Haqq"
(Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman  persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,
tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk
bersatu   dengan  Tuhan,  al-Hallaj  mengalami  persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam  literatur  tasawuf  hulul
diartikan,  Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam  didalamnya  dengan   sifat-sifat   ketuhanannya,
setelah  sifat-sifat  kemanusiaan  yang  ada dalam tubuh itu
dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana, yang  dialami  Abu  Yazid
dalam  ittihad  sebelum  tercapai  hulul. Menurut al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut  (kemanusiaan)  dan
lahut  (ketuhanan).  Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut  (kemanusiaan).  Landasan
bahwa  Tuhan  dan  manusia sama-sama mempunyai sifat diambil
dari hadits yang menegaskan  bahwa  Tuhan  menciptakan  Adam
sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadits  ini  mengandung  arti  bahwa  didalam  diri Adam ada
bentuk  Tuhan  dan  itulah  yang  disebut   lahut   manusia.
Sebaliknya  didalam  diri  Tuhan  terdapat  bentuk  Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada
syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Dengan  membersihkan  diri  malalui   ibadat   yang   banyak
dilakukan,  nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan
ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam  diri  sufi
dan terjadilah hulul.

Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.

                                            (bersambung 4/4)


Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!