III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (2/4)
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu
zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia
materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke
tempat terpencil
untuk
beribadat, puasa, shalat,
membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa
nafsunya lemah,
dan membuat ia
tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum
hanya untuk mempertahankan kelanjutan
hidup. Ia sedikit
tidur dan banyak
beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa
lagi
digoda oleh kesenangan
dunia dan kelezatan materi. Yang
dicarinya ialah kebahagiaan
rohani, dan itu
diperolehnya
dalam berpuasa, melakukan
shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir.
Kalau kesenangan dunia
dan kelezatan materi
tak bisa
menggodanya
lagi, ia keluar
dari pengasingannya masuk
kembali ke dunianya
semula. Ia terus
banyak berpuasa,
melakukan
shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir. Ia juga
akan selalu naik haji. Sampailah ia ke
stasion wara'. Di
stasion ini ia
dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa
al-Muhasibi
menolak makanan,
karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr
al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan
yang
berisi syubhat.
Dari stasion wara',
ia pindah ke stasion faqr. Di stasion
ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya
hanya
sedikit dan ia
tidak meminta kecuali
hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan
ia tidak
meminta
sungguhpun ia tidak
punya. Ia tidak meminta tapi
tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani
hidup kefakiran ia
sampai ke stasion
sabar. Ia sabar
bukan hanya dalam
menjalankan
perintah-perintah
Tuhan yang berat
dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar
dalam menerima
percobaan-percobaan berat yang
ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia
bukan hanya tidak meminta pertolongan
dari Tuhan, bahkan
ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah
ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan
diri
sebulat-bulatnya kepada kehendak
Tuhan. Ia tidak
memikirkan hari esok;
baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena
ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari
padanya. Ia
bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari
stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan
bahkan
ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga
dan dijauhkan
dari neraka. Di
dalam hatinya tidak
ada
perasaan benci, yang
ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya
merasa senang dan
di dalamnya
bergelora rasa cinta
kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat
sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat
Tuhan dengan hati
nurani untuk selanjutnya bersatu dengan
Tuhan.
Karena
stasion-stasion tersebut di
atas baru merupakan
tempat
penyucian diri bagi
orang yang memasuki
jalan
tasawuf, ia sebenarnya
belumlah menjadi sufi,
tapi baru
menjadi zahid atau
calon sufi. Ia
menjadi sufi setelah
sampai ke stasion
berikutnya dan memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.
PENGALAMAN SUFI
Di masa awal perjalanannya,
calon sufi dalam
hubungannya
dengan Tuhan dipengaruhi
rasa takut atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi
rasa
waswas apakah tobatnya
diterima Tuhan sehingga ia dapat
meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat
laun ia
rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat
yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa
takut hilang
dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada
stasion ridla,
rasa cinta kepada
Tuhan bergelora dalam
hatinya. Maka ia
pun sampai ke
stasion mahabbah, cinta
Ilahi. Sufi memberikan
arti mahabbah sebagai
berikut,
pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri
kepada
Yang Dikasihi.
Ketiga, Mengosongkan hati
dari
segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam
al-Qur'an terdapat
ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba
kepada Tuhan. Ayat
54 dari
surat al-Maidah, "Allah
akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya
ayat
30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika
kamu
cinta kepada
Tuhan, maka turutlah
Aku, dan Allah
akan
mencintai kamu."
Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang
berikut,
"Senantiasa
hamba-Ku mendekatkan diri
kepada-Ku melalui
ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,
Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf
dengan pengalaman
cinta adalah seorang
wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah
(713-801 M) di Basrah.
Cintanya yang dalam
kepada Tuhan
memalingkannya
dari segala yang
lain dari Tuhan. Dalam
doanya, ia tidak meminta
dijauhkan dari neraka
dan pula
tidak meminta dimasukkan
ke surga. Yang ia pinta adalah
dekat kepada Tuhan.
Ia mengatakan, "Aku
mengabdi kepada
Tuhan bukan karena
takut kepada neraka, bukan pula karena
ingin masuk surga,
tetapi aku mengabdi
karena cintaku
kepada-Nya."
Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau
karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena
Engkau,
janganlah
sembunyikan keindahan-Mu yang
kekal itu dari
pandanganku."
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang
di
langit telah gemerlapan,
mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu
istana telah dikunci,
tiap pecinta telah
berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa
cemas
mengucapkan,
"Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga aku bahagia,
ataukah Engkau tolak sehingga aku
merasa sedih. Demi
keMahakuasaan-Mu inilah yang
akan
kulakukan selama Engkau
beri hajat kepadaku.
Sekiranya
Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya
Engkaulah yang
kukasihi. Beri ampunlah
pembuat dosa yang
datang ke
hadiratMu, Engkau
harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu
penuh
hatinya dengan rasa
cinta kepada Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan,
ia
menjawab,
"Cintaku kepada Tuhan
tidak meninggalkan ruang
kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
Cinta tulus Rabi'ah
al-'Adawiah kepada Tuhan,
akhirnya
dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
Rabi'ah
al-'Adawiah, telah sampai
ke stasion sesudah
mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati
nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang
menjadi idaman
kaum sufi. Dengan
kata lain, Rabi'ah
al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860
M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh
mencintai Tuhan. Karena
cinta
ikhlas dan suci
itulah Tuhan mengungkapkan
tabir dari
pandangan sufi dan dengan
terbukanya tabir itu
sufi pun
dapat menerima cahaya
yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun
melihat keindahan-Nya yang
abadi. Ketika Zunnun
ditanya,
bagaimana ia
memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat
dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
Yang dimaksud Zunnun
ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah
karena kemurahan hati
Tuhan. Sekiranya Tuhan
tidak
membukakan tabir dari
mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf,
sufi berusaha keras
mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan
rahmat-Nya dari atas.
Juga dikatakan bahwa
ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan
dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat
bukan akal
yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang
berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama,
daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,
daya untuk mencintai Tuhan yang disebut
ruh. Ketiga daya
untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya
terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi
berhasil menyucikan jiwanya
sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa
dibersihkan dan digosok
akan mempunyai daya
tangkap yang besar.
Demikian juga jiwa,
makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya,
sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi
pun
bergemilang
dalam cahaya Tuhan
dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan.
Karena itu al-Ghazali
mengartikan
ma'rifat,
"Melihat
rahasia-rahasia Tuhan dan
mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Kata ma'rifat
memang mengandung arti
pengetahuan. Maka,
ma'rifat dalam tasawuf
berarti pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini
disebut
ilm ladunni. Ma'rifah
berbeda dengan 'ilm.
'Ilm ini
diperoleh
melalui akal. Dalam
pendapat al-Ghazali,
pengetahuan yang diperoleh
melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh
melalui akal,
yaitu 'ilm. Sebelum
menempuh jalan tasawuf
al-Ghazali
diserang penyakit syak. Tapi, menurut
al-Ghazali, setelah
mencapai
ma'rifah, keyakinannya untuk
memperoleh kebenaran
ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai
ma'rifah dalam literatur
tasawuf
dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat
di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup dan ketika
itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,
ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat
ke cermin itu
yang akan dilihatnya
hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang 'arif, baik
sewaktu tidur maupun
sewaktu bangun
hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua
orang yang
memandangnya
akan mati karena
tak tahan melihat
kecemerlangan dan keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata
hatinya akan dipenuhi
kalbunya dengan rasa
cinta yang
mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa
tidak puas dengan
stasion ma'rifah saja. Ia ingin
berada
lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan
dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
0 komentar:
Posting Komentar