oleh
Jalaluddin Rakhmat KetuaYayasan Muthahari, Bandung
"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda."
Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."
"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."
Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan
Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.
Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan, kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:
Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip al-Syaykh Ahmad Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam Hijriyah:
Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum itu (Q., s. Yusuf/12:77).
Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu (Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri. Seluruh penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.
ALKISAH, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan berulangkah ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta."Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda."
Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."
"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."
Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
Jika kau ingin derita
benar-benar hilang
dari hidupmu
Berjuanglah untuk melepaskan
'kebijakan' dari
kepalamu
Kebijakan yang lahir
dari tabiat insani
tak menarik kamu
lebih dari khayalan
Karena kebijakan itu
tidak diberkati
yang mengalir dari
cahaya kemuliaan-Nya
Pengetahuan tentang
dunia
hanya memberikan
dugaan dan keraguan
Pengetahuan tentang
Dia, kebijakan ruhani sejati
membuatmu naik keatas
duniawi
semua pengorbanan
diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan
hati
dalam kecerdikan dan
permainan bahasa
Raja sejati adalah
dia
yang menguasai
pikirannya
Bukan dia yang
pikirannya
Menguasai dunia dan
dirinya
Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas; dan
karena itu, tidak akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya
intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan
para pemikir adalah Tuhan yang didefinisikan.Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.
Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan, kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:
Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf
berkenaan dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada satu madzhab pun yang
tidak punya para pendukungnya. Mereka sendiri tidak sepakat, tetapi mereka
tetap juga digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau Asy'ariyah, seperti itu
juga pada filsuf dalam ajaran mereka tentang Tuhan dan apa yang harus
dipercayainya. Mereka belum sepakat di antara mereka tetapi setiap kelompok
mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi dan rasul yang terdahulu dan
yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad, termasuk yang datang di antara mereka
'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf dalam akar keimanan mereka
pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada keimanan dan lakukanlah apa yang
diperintahkan Tuhan kepadamu dan ingat Tuhanmu pada
waktu pagi dan sore (Q., s. alA'raf/7:205) dengan zikir yang ditetapkan
syari'at kepadamu baik dengan mengulangi la ilaha
illaAllah (tahlil) atau tasbih dan takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq
berkehendak untuk memberikan kepadamu apa yang Dia mginkan berupa pengetahuan
tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu (lubb) apa yang Dia berikan dan
anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang Dia. Sesungguhnya inilah
pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu hatimu hidup, dan
berjalan bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari kegelapan syubhat
dan keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran
(afkar) ... Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai jalan
pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang lurus,
ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing tanganmu, memeliharamu, dan telah
mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:
Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang
pun yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh pengetahuan melalui taqwa.
Taqwa terletak pada tingkat pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja
yang memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya berada di atas setiap keputusan
yang ada dan di atas setiap orang yang membuat keputusan. Ia adalah qadli yang
terbaik. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada tingkat permulaan. Karena
itu, hanya orang yang berilmu di antara orang yang beriman yang dipilih untuk
memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa ada Seseorang untuk kembali, dan
menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka jahil dari pengetahuan ini,
aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga sekiranya al-Haqq menampakkan
diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan menafikan-Nya dan menolak-Nya,
karena pandangan mereka dibatasi (muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor
pembatas itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli), mereka pasti
akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun Tuhan berbicara kepada mereka secara
langsung atau mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena tidak
memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional mereka meyakinkan mereka bahwa
tidak mungkin siapa pun dapat melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum
Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka niscaya menolak-Nya
dalam penampakan-Nya kepada mereka. Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya
imannya membawanya kepada apa yang telah membawa Musa a.s. ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu kepadaku agar aku dapat
melihat-Mu (Q., s. al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya bukan
intelek dalam pengertian akal, tetapi salah satu di antara fakultas (quwwah)
dibawah kekuasaan akal. Kekuatan itu disebut daya pikir (quwwah mufakkirah).
Tidak mungkin kita mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di sini, baik karena
keterbatasan waktu maupun karena sudah adanya tulisan orang lain yang lebih
lengkap. Tetapi secara singkat bisa kita katakan, bahwa Ibn 'Arabi menyatakan
bahwa pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan
kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.
Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya
mengambil pelajaran dari hati, manusia memulai kelahiran baru dalam perjalanan
panjangnya. Ia akan beristirahat di tempat tinggalnya, berhenti di
daerah-daerah pedesaan, merasakan situasi baru setiap saat, menunggu dengan
penuh gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak akan pernah sampai, karena
pengetahuan tidak punya akhir dan tidak ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah pengetahuan
yang sejati. Pengetahuan ini tidak didasarkan pada pendefinisian Tuhan, tetapi
pada penyaksian Tuhan. Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan ini disebut
pertemuan (liqa'). Bersama Ibn 'Arabi, al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh
sufi lain sepanjang zaman kita diberi petunjuk bagaimana sampai kepada
Pertemuan Agung ini.Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip al-Syaykh Ahmad Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam Hijriyah:
Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui
berita tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w. Mereka
membenarkannya dengan hati, mengamalkannya dengan tubuh, tetapi mengotori diri
mereka dengan dosa dan maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam kebodohan
dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya besar kecuali yang disayangi oleh
Yang Pengasih dari segala yang mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang mengenal
Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli pikir, nalar, dan akal. Mereka
meyakini tawhid berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda ketuhanan. Mereka
mengetahui yang gaib atas dasar yang konkret. Mereka meyakini kebenaran dalil.
Mereka berada pada jalan yang benar, hanya saja, mereka terhalang tirai dari
Allah Ta'ala dengan perhatian mereka kepada dalil-dalil mereka.Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum itu (Q., s. Yusuf/12:77).
Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu (Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri. Seluruh penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar