Beliau bernama Rumaisha’, Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid
bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin Najjar
al-Anshariyyah al-Khazrajiyyah.
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan
cantik, dirinya dihiasi pula dengan ketabahan, kebijaksanan, lurus
pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berfikir dan kefasihan serta
berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan
setiap lisan memuji atasnya. Karena beliau memiliki sifat yang agung tersebut
sehingga mendorong putra pamannya yang bernama Malik bin Nadlar untuk segera
menikahinya. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah Anas bin Malik, salah
seorang shahabat yang agung.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid muncul
sehingga menyebabkan orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang
lurus untuk bersegera masuk Islam.
Ummu Sulaim termasuk golongan pertama yang masuk Islam awal-awal
dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan
menimpanya didalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala yang telah beliau
buang tanpa ragu.
Adapun halangan pertama yang harus beliau hadapi adalah
kemarahan Malik suaminya yang baru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya
telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau
murtad dari agamamu?”. Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab:
”Tidak, bahkan aku telah beriman”.
Suatu ketika beliau menuntun Anas (putra beliau) sembari mengatakan:
“Katakanlah La ilaha illallah.” (Tidak ada ilah yang haq kecuali Allah).
Katakanlah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” (aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah) kemudian Anas mau menirukannya. Akan tetapi ayah
Anas mengatakan, “Janganlah engkau merusak anakku”. Maka beliau menjawab: “Aku
tidak merusaknya akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya”.
Perasaan gengsi dengan dosa-dosa menyebabkan Malik bin Nadlar
menentukan sikap terhadap istrinya yang –menurutnya- keras kepala dan tetap ngotot
berpegang kepada akidah yang baru, maka Malik tidak memiliki alternatif lain
selain memberi khabar kepada istrinya bahwa dia akan pergi dari rumah dan tidak
akan kembali hingga istrinya mau kembali kepada agama nenek moyangnya.
Manakala Malik mendengar istrinya dengan tekad yang kuat karena
teguh terhadap pendiriannya mengulang-ulang kalimat “Ashadu an la ilaha
illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, maka Malik pergi dari
rumah dalam keadaan marah dan kemudian bertemu dengan musuh sehingga akhirnya dia dibunuh.
Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh,
beliau tetap tabah mengatakan: “Aku tidak akan menyampih Anas sehingga dia
sendiri yang memutusnya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas menyuruhku”.
Kemudian Ummu Anas menemui Rasulullah yang dicintai dengan rasa
malu kemudian beliau mengajukan agar buah hatinya, Anas dijadikan pembantu oleh
guru manusia yang mengajarkan segala
kebaikan. Rasulullah menerimanya sehingga sejuklah pandangan Ummu Sulaim
karenanya.
Kemudian orang-orang banyak membicarakan Anas bin Malik dan juga
ibunya dengan penuh takjub dan bangga. Begitu pula Abu Thalhah mendengar kabar
tersebut sehingga menjadikan hatinya cenderung cinta dan takjub. Kemudian dia
beranikan diri melamar Ummu Sulaim dan menyediakan baginya mahar yang tinggi.
Akan tetapi, tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau dan lisannya menjadi kelu
tatkala Ummu Sulaim menolak dengan wibawa dan penuh percaya diri dengan
berkata: “Sesungguhnya tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik.
Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan
orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya
maka akan terbakarlah tuhan kalian”.
Abu Thalhah merasa sesak dadanya, kemudian dia berpaling sedangkan
dirinya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat dan dia
dengar. Akan tetapi cintanya yang tulus mendorong dia kembali pada hari
berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti maupun susu dengan
harapan Ummu Sulaim akan luluh dan menerimanya.
Akan tetapi Ummu Sulaim adalah seorang da`iyah yang cerdik yang
tatkala melihat dunia menari-nari dihadapannya berupa harta, kedudukan dan
laki-laki yang masih muda, dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan Islam
lebih kuat dari pada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan:
“Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah, hanya saja
engkau adalah orang kafir sedangkan saya adalah seorang muslimah sehingga tidak
baik bagiku menerima lamarnmu”. Abu Thalhah bertanya: “lantas apa yang anda
inginkan?”, beliau balik bertanya: “Apa yang saya inginkan?”. Abu Thalhah
bertanya: “apakah anda menginginkan emas atau pera?”. Ummu Sulaim berkata:
“Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas ataupun perak akan tetapi saya
menginginkan agar anda masuk Islam”. “Kepada siapa saya harus datang untuk
masuk Islam?”, tanya Abu Thalhah. Beliau berkata: “Datanglah kepada Rasulullah
untuk itu!”. Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi yang tatkala itu
sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah,
Rasulullah bersabda:
“Telah datang kepada kaliaan Abu Thalhah
sedang sudah tampak cahaya Islam dikedua matanya”.
Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi tentang apa
yang dikatakan oleh Ummu Sulaim, maka da menikahi Ummu Sulaim dengan mahar
keislamannya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ummu sulaim berkata:
“Demi Allah! orang yang seperti anda tidak pantas untuk ditolak,
hannya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah
sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka
itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu”.
Sungguh ungkapan tersebut mampu menyentuh perasaan yang paling
dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol
dihatinya secara sempurna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main
dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita
cerdas, dan apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri,
atau ibu bagi anak-anaknya?”.
Tanpa terAsa lisan Abu Thalhah mengulang-ulang: “Aku berada
diatas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali
Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah”.
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya, Anas dan beliau
berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah
melalui tangannya: “Wahai Anas! Nikahkanlah aku dengan Abu thalhah”. Kemudian
beliaupun dinikahkan dengan Islam sebagai mahar.
Oleh karena itulah Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas :
“Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia
maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam”.
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan
suami-istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan
suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak
suami isteri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik
sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang da`iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui
istrinya yang utama yakni Ummu Sulaim sehingga pada gilirannya beliau minum
dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu
Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang
menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah
dan komitmennya terhadap al-Qur`an sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin
Malik berkata :
“Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar
Madinah, adapun harta yang paling disukainya adalah kebun yang berada di
masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke dalamnya dan minum air jernih
didalamnya. Tatkala turun ayat :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Q,.s. Âli’ Imran:
92).
Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata:
“Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitab-Nya (yang artinya), “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang
paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan
harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah
sesuka kamu, wahai Rasulullah”.
Rasulullah bersabda :
“Bagus …..bagus.. itulah harta yang menguntungkan…. Itulah harta
yang paling menguntungkan…..aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku
memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu”.
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan
anak-anak dari pamannya.
Allah memuliakan kedua suami-istri ini dengan seorang anak
laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi
penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan tingkah lakunya. Anak
tersebut diberi nama Abu ‘Umair. Suatu ketika anak tersebut bermain-main dengan
seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut
bersedih dan menangis. Pada waktu itu, Rasulullah melewati dirinya maka beliau
berkata kepada anak tersebut untuk
menghibur dan bermain dengannya: “Wahai Abu Umair! Apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?”.
Allah berkehendak untuk menguji keduanya dengan keduanya dengan
seorang anak yang cakap dan dicintai, suatu ketika Abu Umair sakit sehingga
kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya
apabila kembali dari pasar, pertama kali
yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang
kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenang sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan
itu anaknya meninggal. Maka ibu Mu`minah yang sabar ini menghadapi musibah
tersebut dengan jiwa yang ridla dan baik. Sang ibu membaringkannya ditempat
tidur sambil senantiasa mengulangi kalimat: “Inna lillahi wa inna ilahi
raji`un”. Beliau berpesan kepada anggota keluarganya: “Janganlah kalian
menceritakan kepada Abu Thalha hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya”.
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih
sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut suaminya dan menjawab
pertanyaannya seperti biasanya: “Apa yang dilakukan oleh anakku?”. Beliau
menjawab: “dia dalam keadaan tenang”.
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat,
sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia
tidak mau mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu
Sulaim mendekati beliau dan mempersiapkan malam baginya, lalu beliau makan dan
minum sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan lebih cantik daripada
hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan
memakai wangi-wangian, kemudian keduanyapun berbuat sebagai mana layaknya suami
istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan
mencampurinya serta merasa tenang dengan keadaan anaknya maka beliau memuji
Allah karena tidak membuat risau suaminya dan beliau biarkan suaminya terlelap
dalam tidurnya.
Tatkala diakhir malam beliau berkata kepada suaminya: “Wahai Abu
Thalhah! bagaimana pendapatmu seandainya suatu kaum menitipkan barangnya kepada
suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipannya tersebut, maka
bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolaknya?”. Abu Thalhah menjawab:
“Tentu saja tidak boleh”. Kemudian Ummu Sulaim berkata lagi: “Bagaimana
pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil
setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?”. Abu Thalhah berkata: “Berarti mereka
tidak adil”. Ummu Sulaim berkata: ”Sesunggguhnya anakmu titipan dari Allah dan
Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu”.
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata
dengan marah: “kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari
tentang anakku?”.
Beliau ulang-ulang kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan
kalimat istirja` (Inna lillahi wa inna ilahi raji`un) lalu bertahmid kepada
Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinnya beliau pergi menghadap Rasulullah dan
mengabarkan kapada Rasulullah tentang apa yang terjadi, kemudian Rasulullah
bersabda:
“Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua”.
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang
akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas
bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah selanjutnya Anas berkata: “Wahai
Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim melahirkan tadi malam”. Maka Rasulullah
mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (menggosokan kurma yang telah
dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata: “Berilah nama baginya,
wahai Rasulullah!”. Beliau bersabda: “namanya Abdullah” .
Ubbabah, salah seorang rijal sanad berkata: “Aku melihat dia
memiliki tujuh anak yang kesemuanya hafal al-Qur`an”.
Diantara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama
dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka
berdua dimana umat manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah
berkata:
“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata:
“Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah menanyakan kepada salah
satu istrinya tentang makanan yang ada dirumahnya, namun beliau menjawab: “Demi
Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air,
kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak
berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah bersabda:
“Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah
merahmatinya”.
Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah
seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi
menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu
Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya
melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Berikanlah minuman
kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan
saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan
maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara
kedua sumi-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya
keduanya datang kepada Rasulullah lalu Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah
takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah”. Dalam riwayat lain,
Rasulullah bersabda:
“Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan
terhadap tamu kalian” .
Di akhir hadits disebutkan: “Maka turunlah ayat (artinya):
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
(Q,.s. al-Hasyr :9).
Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau
bersegera memberikan khabar gembira tersebut kepada istrinya sehingga sejuklah
pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam al-Qur`an
yang senantiasa dibaca.
Ummu Sulaim tidak hanya cukup menunaikan tugasnya untuk
mendakwahkan Islam dengan penjelasan saja, bahkan beliau antusias untuk turut
andil dalam berjihad bersama pahlawan kaum muslimin. Tatkala perang Hunain
tampak sekali sikap kepahlawanannya dalam memompa semangat pada dada mujahidin
dan mengobati mereka yang luka. Bahkan beliau juga mempersiapkan diri untuk
melawan dan menghadapi musuh yang akan menyerangnya. Diriwayatkan oleh Muslim
di dalam shahihnya dan Ibnu Sa`ad di dalam Thabaqat dengan sanad yang shahih
bahwa Ummu Sulaim membawa badik (pisau) pada perang Hunain kemudian Abu Thalhah
berkata: “Wahai Rasulullah! ini Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah apabila
ada orang musyrik yang mendekatiku maka akan robek perutnya dengan badik ini”.
Anas berkata: “Rasulullah berperang bersama Ummu Sulaim dan para
Wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan
minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka”.
Begitulah Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi
Rasulullah, beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim bahkan Rasulullah
telah memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli surga. Beliau bersabda :
“Aku masuk ke surga, tiba-tiba mendengar sebuah suara, maka aku
bertanya: “Siapa itu?”. Mereka berkata: “Dia adalah Rumaisha` binti Malhan ibu
dari Anas bin Malik”.
Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang sudah
layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah yang suka
menasehati, seorang da`iyah yang bijaksana, seorang pendidik yang sadar
sehingga memasukkan anaknya ke dalam madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh
tahun yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama diantara ulama Islam,
selamat untukmu…..selamat untukmu…
0 komentar:
Posting Komentar