"Kalian semua berada di bawah pimpinan
Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan liambil alih oleh Ja'far
bin Abi Thalib; dan seandainya Ja'far tewas pula, maka komando hendaklah
dipegang oleh Abdullah ibnul Ra wahah ".
Siapakah Zaid bin Haritsah itu?
Bagaimanakah orangnya? Siapakah pribadi yang bergelar "Pencinta Rasulullah
ltu"'
Tampang dan perawakannya biasa saja, pendek
dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang
dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat. Tetapi sejarah hidupnya hebat dan
besar.
Sudah lama sekali Su'da isteri Haritsah
berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an. Ia sudah
gelisah dan seakan-akan tak shabar lagi menunggu waktu keberangkatannya. Pada
suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan
perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Su'da sedang menggendong anaknya yang
masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipkan isteri
dan anaknya kepada rombongan kafilah yang
akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas
pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, disertai perasaan aneh,
menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan
gundah itu hilang jua. Kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya
meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan
selamat jalan bagi putera dan isterinya ....
Demikianiah, ia melepas isteri dan anaknya
dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai
keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang,
seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa.
Ia hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut
berangkat bersama rombongan kafilah.
Setelah beberapa lama Su'da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an,.hingga di suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut.
Setelah beberapa lama Su'da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an,.hingga di suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut.
Mampung itu habis porak poranda, karena tak
dapat mempertahankan diri. Semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk
yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si
kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada
suaminya seorang diri.
Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut,
ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari
anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia
bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya
tersayang dan buah hatinya "Zaid"
Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka
bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari
lubuk perasaan yang haru:
"Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang
telah terjadi,
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati.
Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa.
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.
BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin yang membangkitlkan kerinduan pula,
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana"
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati.
Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa.
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.
BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin yang membangkitlkan kerinduan pula,
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana"
Perbudakan sudah berabad-abad dianggap
sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi masyarakat pada zaman itu.
Begitu terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di
seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri.
Syahdan di kala kabilah perampok yang
menyerang desa Bani Ma'an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan
barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar 'Ukadz yang sedang
berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan pada
kemudian harinya ia memberikannya kepada mak ciknya Siti Khadijah. Pada waktu
itu Khadijah radliyallahu 'anha telah menjadi isteri Muhammad bin abdillah
(sebelum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya wahyu yang pertama).Sementara
pribadinya yang agung, telah memperlihatkan segala sifat-sifat kebesaran yang
istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak dapat diangkat-Nya sebagai
Rasul-Nya.
Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya
Zaid sebagai pelayan bagi Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang
hati, lalu segera memerdekakannya. Dari pribadinya yang besar dan jiwanya yang
mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang
seperti terhadap anak sendiri.
Pada salah satu musim haji, sekelompok
orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka
menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid balik menyampaikan pesan
salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua;orang tuanya. Katanya: kepada para
hujjaj atau jamaah haji itu, tolong beritakan kepada kedua orang tuaku, bahwa
aku di sini tingal bersama seorang ayah yang paling mulia.
Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya
berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah, bersama seorang saudaranya. Di
Mekah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad al-Amin (Terpercaya).
Setelah berhadapan muka dengan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Haritsah
berkata: "Wahai Ibnu Abdil Mutthalib ..., wahai putera dari pemimpin
kaumnya!
Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang
biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan ....
Kami datang ini kepada anda hendak meminta
anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan'anak itu kepada kami dan bermurah
hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?"
Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa
hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tapi dalam pada itu merasakan pula
hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Nabi kepada Haritsah:
"Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia
memilih anda,maka akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan. Sebaliknya
jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan
menyerahkan orang yang telah memilihku!"
Mendengar ucapari Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan,
karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya:
"Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di
balik kesadaran itu!"
Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk
memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya:
"Tahukah engkau siapa orang-orang ini?" "Ya, tahu", jawab
Zaid, "Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku".
Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang
telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang
yang disenanginya.
Tanpa berfikir panjang, Zaid menjawab:
"Tak ada orang pilihanku kecuali anda! Andalah ayah, dan andalah
pamanku!"
Mendengar itu, kedua mata Rasul basah
dengan gir mata, karena rasa syukur dan haru. Lain dipegangnya tangan Zaid,
dibawanya ke pekarangan Ka'bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul,
lain serunya:
"Saksikan oleh halian semua, bahwa
mulai saat ini, Zaid adalah anakku ... yang akan menjadi ahli warisku dan aku
jadi ahli warisnya':
Mendengar itu hati Haritsah seakan-akan
berada di awang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan
kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malah sekarang diangkat anak pula
oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan
"Ash-Shadiqul Amin", -- Orang lurus Terpercaya --, keturunan Bani
Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Maka kembalilah ayah Zaid dan pamannya
kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin
kota Mekah dalam keadaan aman sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak
mengetahui apakah ia celaka terguling di lembah atau binasa terkapar di bukit.
Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai
anak angkat...,
maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama "Zaid bin Muhammad" ....
maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama "Zaid bin Muhammad" ....
Di suatu hari yang cerah seruan wahyu yang
pertama datang kepada sayidina Muhammad:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah menciptakan ! la telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena).
Mengajari manusia apa-apa yang tidah diketahuinya. (Q.S. 96 al-'Alaq; 1 -- 5)
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah menciptakan ! la telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena).
Mengajari manusia apa-apa yang tidah diketahuinya. (Q.S. 96 al-'Alaq; 1 -- 5)
Kemudian susul-menyusul datang wahyu kepada
Rasul dengan kalimatnya:
Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (siaphan diri), sampaikan peringatan (ajaran Tuhan). Dan agungkan Tuhanmu. (Q.S. 74 al-Muddattsir: 1 - 3)
Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (siaphan diri), sampaikan peringatan (ajaran Tuhan). Dan agungkan Tuhanmu. (Q.S. 74 al-Muddattsir: 1 - 3)
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.' Dan jika tidah kamu laksanakan, berarti kamu
telah menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari (kejahatan
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.
(Q.S. 5 al-Maidah: 67)
Maka tak lama setelah Rasul memikul tugas
kerasulannya dengan turunnya wahyu itu, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua
masuk Islam ...,bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama.
Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid.
Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar, disebabkan
kejujurannya yang tak ada tandingannya, kebesaran
jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, disertai
terpelihara lidah dan tangannya.
Semuanya itu atau yang lebih dari itu menyebahkan
Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai "Zaid Kesayangan" sebagaimana
yang telah dipanggilkan shahabat-shahabat Rasul kepadanya. Berkatalah Saiyidah
Aisyah radhiyallah 'anha .: "Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan
yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi
pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan
diangkatnya sebagai khalifah!"
Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di
sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Siapakah sebenamya Zaid
ini?
Ia sebagai yang pernah kita katakan, adalah seorang anak yang pernah ditawan, diperjual-belikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek; tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka.
Ia sebagai yang pernah kita katakan, adalah seorang anak yang pernah ditawan, diperjual-belikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek; tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka.
Dan karena itulah ia mendapat tempat
tertinggi di dalam Islam dan di hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Karena Islam dan Rasulnya tidak sedikit juga mementingkan tuah kebangsawanan
dan turunan darah, dan tidak pula menilai orang dengan predikat-predikat
lahiriahnya. Maka di dalam keluasan faham Agama besar inilah cemerlangnya
nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, 'Ammar, Khabbab, Usamah dan Zaid. Mereka
semua punya kedudukan yang gemilang, baik sebagai orang-orang shaleh maupun
sebagai pahlawan perang.
Dengan tandas Islam telah mengumandangkan
dalam kitab sucinya al-Quranul Karim tentang nilai-nilai hidup:
"Sesungguhnya semulia-mulia kalian di
sisi Allah, ialah yang paling taqwa!" (Q.S. 49 al-Hujurat: 13)
Islamlah Agama yang membukakan segala pintu
dan jalan untuk mengembangkan berbagai bakat yang balk dan cara hidup yang
suci, jujur dan direstui Allah ....
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menikahkan Zaid dengan Zainab anak makciknya. Ternyata kemudian kesediaan
Zainab memasuki tangga perkawinan dengan Zaid, hanya karena rasa enggan menolak
anjuran dan syafa'at Rasulullah, dan karena tak sampai hati
menyatakan enggan terhadap Zaid sendiri. Kehidupan rumah
tangga dan perkawinan mereka yang tak dapat bertahan lama, karena tiadanya tali
pengikat yaitu cinta yang ikhlas karena Allah dari Zainab,
sehingga berakhir dengan perceraian. Maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil tanggung jawab
terhadap rumah tangga Zaid yang telah
pecah itu. Pertama merangkul Zainab dengan menikahinya
sebagai isterinya, kemudian mencarikan isteri baru
bagi Zaid dengan mengawinkannya dengan Ummu Kaltsum
binti 'Uqbah.
Disebabkan peristiwa tersebut
di atas terjadi kegoncangan dalam masyarakat
kota Madinah. Meueka melemparkan kecaman,
kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya?
Tantangan dan kecaman ini
dijawab Allah dengan wahyu-Nya, yang membedakan
antara anak angkat dan anak kandung atau annak
adaptasi dengan anak sebenamya, sekaligus membatalkan
adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan
wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
Muhammad bukanlah bapah dari
seorang laki-laki (yang ada bersama) kalian.
Tetapi ia adalah Rasul Allah dan
Nabipenutup. (Q.S. 33 al-Ahzab: 40)
Dengan demikian kembali Zaid dipanggil
dengan namanya semula "Zaid bin Haritsah"
Dan sekarang ....
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju medan perang "Al-Jumuh" komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Dan kekuatan-kekuatan lasykar Islam yang bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-'Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya, adalah Zaid bin Haritsah juga?
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju medan perang "Al-Jumuh" komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Dan kekuatan-kekuatan lasykar Islam yang bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-'Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya, adalah Zaid bin Haritsah juga?
Begitulah sebagaimana yang
pernah kita dengar dari Ummil Mu'minin 'Aisyah
radhiyallah 'anha tadi: "Setiap Nabi mengirimkan
Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang
diangkat jadi pemimpinnya'"
Akhirnya datanglah perang Muktah
yang terkenal itu ....
Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan wujud mereka.
Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan wujud mereka.
Terutama di daerah jajahan
mereka Syam (Syria) yang berbatasan dengan negara
dari Agama baru ini, yang senantiasa bergerak
maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya
dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran
demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai
batu loncatan untuk menaklukkan jazirah Arab
dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik orang-orang Romawi
dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas
kekuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai
seorang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk
mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada
diserang di daerah sendiri, dan menyadarkan mereka
akan keampuhan perlawanan Islam.
Demikianlah, pada bulan Jumadil
Ula, tahun yang kedelapan Hijrah tentara Islam
maju bergerak ke Balqa' di wilayah Syam.
Demi mereka sampai di
perbatasannya, mereka dihadapi oleh tentara Romawi
yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan
juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang
diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil
tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif,
sedang lasykar Islam mengambil posisi di dekat
suatu negeri kecil yang bernama Muktah,
yang jadi nama pertempuran ini sendiri.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengetahui benar arti penting dan bahayanya
peperangan ini. Oleh sebab itu beliau sengaja
memilih tiga orang panglima perang yang di
waktu malam bertaqarrub mendekatkan diri kepada Ilahi,
sedang di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela Agama. ?Tiga orang
pahlawan yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, mereka yang
tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan
menegakkan kalimah Allah. Mengharap semata-mata ridla ilahi dengan menemui
wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak ....
Mereka yang bertiga secara berurutan
memimpin tentara itu ialah: Pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja'far bin Abi
Thalib dan ketiga 'Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah ridla kepada mereka
dan menjadikan mereka ridla kepada-Nya, serta Allah meridlai pula seluruh
shahabat-shahabat yang lain ....
Begitulah apa yang kita saksikan di
permulaan ceritera ini, sewaktu berangkat Rasul berdiri di hadapan pasukan
tentara Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat:
"Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan, seandainya
ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja'far bin Abi Thalib, dan seandainya Ja'far
gugur pula, maka tempatnya diisi oleh 'Abdullah bin Rawahah!"
Sekalipun Ja'far bin Abi Thalib adalah
orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak
pamannya sendiri .... Sekalipun keberanian ketangkasannya tak diragukan lagi,
kebangsawanan dan turunannya begitu pula, namun ia hanya sebagai orang kedua
sesudah Zaid, sebagai panglima pengganti, sedangkan Zaid beliau angkat sebagai
panglima pertama pasukan.
Beginilah contoh dan teladan yang
diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Bahwa Islam sebagai suatu
Agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan
turunan atau yang ditegakkan atas yang bathil dan rasialisme, menggantinya
dengan bubungan baru yang dipimpin oleh hidayah ilahi yang berpokok kepada
hakekat kemanusiaan ....
Dan seolah-olah Rasul telah mengetahui
secara ghaib tentang pertempuran yang akan berlangsung, beliau mengatur dan
menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu Ja'far,
kemudian Ibnu Abi Rawahah. Ternyata ketiga mereka menemui Tuhannya sebagai
syuhada sesuai dengan urutan itu pula!
Demi Kaum Muslimin melihat tentara Romawi
yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah
yang tak mereka duga sama sekali, mereka terkejut.
Tetapi kapankah pertempuran yang didasari
iman mempertimbangkan jumlah bilangan?
Ketika itulah ..., di sana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh .... Di depan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan di sisi Allah, karena sesuai dengan firman-Nya:
Ketika itulah ..., di sana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh .... Di depan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan di sisi Allah, karena sesuai dengan firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah telak membeli jiwa
dan harta orang-orang Mu inin dengan surga sebagai imbalannya. (Q.S. 9
at-Taubah: 111)
Zaid tak sempat melihat pasir Balqa',
bahkan tidak pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat
keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana
kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa itulah hari istirahat dan
kemenangannya.
Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh
atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyalah
membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian,
surga yang kekal di sisi Allah ....
Ia telah menemui tempat peristirahatannya
yang akhir.
Rohnya yang melayang dalam perjaianannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Rohnya yang melayang dalam perjaianannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Senyumnya semakin melebar dengan tenang
penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja'far melesit maju ke depan
laksana anak panah lepas dari busurnya. untuk menyambar panji-panji yang akan
dipanggulnya sebelum Jatuh ke tanah….
0 komentar:
Posting Komentar