Sabtu, 16 Juni 2012




Pendekatan Budaya Ben Anderson Oleh Nuraini Juliastuti Ben Anderson adalah orang yang terkemuka dalam studi tentang Indonesia. Karya-karyanya banyak yang menjadi karya klasik yang wajib dibaca oleh kaum akademisi Indonesia. Ia berkarya dan mulai menulis penelitian-penelitian tentang Indonesia sejak awal tahun 1960. Benedict R. O’Gorman Anderson lahir di Propinsi Yunnan, Cina. Dan saat ini ia menjabat sebagai Profesor Aaron L. Binenkorb pada studi internasional, profesor pada bidang pemerintahan dan studi Asia serta masih menjabat sebagai direktur di Cornell Modern Indonesia Project. Minat Ben Anderson, seperti ditunjukkan dalam karya-karyanya, terentang luas mulai dari mitologi Jawa, konsep kekuasaan masyarakat Jawa, pemuda dan revolusi Indonesia, politik bahasa, militer, Orde Baru, orang Samin, kepercayaan, wayang, kartun, film, monumen-monumen, sastra, politik kelas di Thailand sampai nasionalisme. Selama ini Anderson lebih dikenal publik sebagai ilmuwan politik. Tetapi sudut paling menarik yang menjadi titik tolak dari tulisan ini adalah pendekatan budaya yang dipakai Anderson dalam menulis karya-karyanya. Sejak awal berkarya, ia percaya bahwa tidak ada teori besar yang berlaku secara universal. Semua harus dipraktekkan dan diterapkan dengan memperhitungkan aspek wilayah penelitian yang dipakai. Dalam kasus penelitian-penelitiannya tentang Indonesia, ia bersikeras menerapkan teori-teori dengan pendekatan yang khas Indonesia. Anderson berkarya dengan sikap empati budaya yang tinggi. Ia mempunyai perhatian khusus tentang bagaimana peristiwa-peristiwa sosial yang dialami oleh suatu masyarakat sebenarnya berjalan berdasarkan pandangan dunia tertentu. Saya akan memberikan contoh-contoh karya Anderson yang secara jelas menggunakan pendekatan di atas. Dalam karyanya yang berjudul “Millenarianism and the Saminist Movement” (1977) misalnya, ia menunjukkan gagasan-gagasan kosmologis yang mengilhami pemberontakan-pemberontakan Kaum Samin dengan sudut pandang orang-orang Samin sendiri. Menurut Vedi Hadiz yang pernah membuat penelitian tentang Ben Anderson berjudul: Politik, Budaya dan Perubahan Sosial, Ben Anderson dalam Studi Politik Indonesia (1992), dalam karyanya ini Anderson memang tampak mempunyai misi untuk menyelamatkan makna pemberontakan Samin dari pisau analisis Barat yang cenderung akan mengurangi nilai mereka. Dua karya klasiknya yang berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture” (1972) dan “Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics” (1984) bisa dijadikan contoh yang bagus untuk lebih menunjukkan pendekatan budaya Anderson. Dalam “The Idea of Power in Javanese Culture”, Anderson menjelaskan bagaimana cara pandang dunia Jawa ternyata sangat menentukan tindakan-tindakan politik dari pihak-pihak yang memegang tampuk kekuasaan. Disini ia menjelaskan cara-cara tradisional yang biasa dipakai untuk memperoleh kekuasaan, tanda-tanda yang secara tradisional dianggap menunjukkan kekuasaan individu, peranan kekuasaan menurut pandangan Jawa, mekanisme suksesi kekuasaan, serta hubungan antara etika dan kekuasaan. “Professional Dreams” berisi analisa Anderson atas Serat Centhini dan Suluk Gatoloco. Berbeda dengan naskah-naskah Jawa Kuno pada umumnya, karakter-karakter yang terdapat pada Centhini adalah orang-orang biasa: musisi, pelacur, pedagang, penari, petani, tidak ada karakter berupa ksatria atau kaum penguasa. Sedang dalam Suluk Gatoloco, tokoh pahlawan disini bukanlah seorang ksatria yang maha sakti, gagah, lagi tampan, melainkan Gatoloco alias penis yang dalam pengembaraan hidupnya selalu didampingi oleh Darmogandhul alias zakar. Satu hal yang paling menonjol dari Centhini adalah paparan tentang seks yang sangat lugas dan berani. Di sini dikisahkan sodomi yang dilakukan oleh Nurwitri, Cebolang, Adipati—semuanya adalah tokoh-tokoh dalam Centhini. Ketika Cebolang melakukan sodomi dengan Adipati misalnya diceritakan bahwa Adipati bertanya kepada Cebolang, manakah yang menimbulkan kenikmatan lebih, seorang yang melakukan penetrasi atau seorang yang dipenetrasi. Cebolang mengatakan bahwa ia lebih senang berposisi sebagai seorang yang dipenetrasi. Maka si Adipati pun beralih posisi menjadi seorang yang dipenetrasi. Mengingat penis Cebolang berukuran sangat besar, maka diceritakan bahwa keesokan paginya si Adipati tidak bisa duduk karena organ tubuh duburnya sobek dan terluka. Segala kedetilan tentang perilaku seksual tokoh-tokoh dalam Centhini tidak didapatkan pada literatur-literatur Indonesia lainnya, kecuali dari tulisan Anderson. Anderson menganalisa pergantian posisi ini sebagai peralihan peranan kekuasaan. Jika dalam kehidupan sehari-hari, Adipati merupakan sosok penguasa yang sangat berpengaruh, ternyata dalam kehidupan seksualnya dengan Cebolang, seorang pemimpin rombongan pertunjukan keliling, ia menunjukkan ketidakberdayaannya. Gaya Ben Anderson dalam menganalisa persoalan berbeda sekali dengan ilmuwan-ilmuwan politik lain. Kahin, Crouch, atau Feith akan memilih untuk menganalisa ucapan dan tindakan aktor-aktor politik atau membandingkan kebijakan-kebijakan politik yang dibuat negara satu dengan yang lainnya, dan model pendekatan seperti ini memang sempat sangat populer di kalangan akademisi. Tetapi Anderson justru menghindari kebiasaan-kebiasaan akademis itu dan lebih memilih untuk menganalisa karya-karya sastra Jawa kuno, bahasa, bentuk-bentuk simbolik seperti kartun, monumen, dan patung-patung, atau konsep-konsep nilai di masyarakat tertentu untuk memahami pola pemikiran politik yang ada di Indonesia. Anderson berusaha menawarkan perspektif baru. Ia berpendapat bahwa pendekatan dengan memakai sarana tersebut mampu menyentuh persoalan secara lebih dalam. Sampai akhirnya Anderson juga menjadi patron bagi kehidupan akademis di Indonesia karena model pendekatannya diikuti oleh banyak kaum akademisi di Indonesia.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!