Pendekatan Budaya Ben Anderson Oleh Nuraini
Juliastuti Ben Anderson adalah orang yang terkemuka dalam studi tentang
Indonesia. Karya-karyanya banyak yang menjadi karya klasik yang wajib dibaca
oleh kaum akademisi Indonesia. Ia berkarya dan mulai menulis penelitian-penelitian
tentang Indonesia sejak awal tahun 1960. Benedict R. O’Gorman Anderson lahir di
Propinsi Yunnan, Cina. Dan saat ini ia menjabat sebagai Profesor Aaron L.
Binenkorb pada studi internasional, profesor pada bidang pemerintahan dan studi
Asia serta masih menjabat sebagai direktur di Cornell Modern Indonesia Project.
Minat Ben Anderson, seperti ditunjukkan dalam karya-karyanya, terentang luas
mulai dari mitologi Jawa, konsep kekuasaan masyarakat Jawa, pemuda dan revolusi
Indonesia, politik bahasa, militer, Orde Baru, orang Samin, kepercayaan,
wayang, kartun, film, monumen-monumen, sastra, politik kelas di Thailand sampai
nasionalisme. Selama ini Anderson lebih dikenal publik sebagai ilmuwan politik.
Tetapi sudut paling menarik yang menjadi titik tolak dari tulisan ini adalah
pendekatan budaya yang dipakai Anderson dalam menulis karya-karyanya. Sejak
awal berkarya, ia percaya bahwa tidak ada teori besar yang berlaku secara
universal. Semua harus dipraktekkan dan diterapkan dengan memperhitungkan aspek
wilayah penelitian yang dipakai. Dalam kasus penelitian-penelitiannya tentang
Indonesia, ia bersikeras menerapkan teori-teori dengan pendekatan yang khas
Indonesia. Anderson berkarya dengan sikap empati budaya yang tinggi. Ia
mempunyai perhatian khusus tentang bagaimana peristiwa-peristiwa sosial yang
dialami oleh suatu masyarakat sebenarnya berjalan berdasarkan pandangan dunia
tertentu. Saya akan memberikan contoh-contoh karya Anderson yang secara jelas
menggunakan pendekatan di atas. Dalam karyanya yang berjudul “Millenarianism
and the Saminist Movement” (1977) misalnya, ia menunjukkan gagasan-gagasan
kosmologis yang mengilhami pemberontakan-pemberontakan Kaum Samin dengan sudut
pandang orang-orang Samin sendiri. Menurut Vedi Hadiz yang pernah membuat
penelitian tentang Ben Anderson berjudul: Politik, Budaya dan Perubahan Sosial,
Ben Anderson dalam Studi Politik Indonesia (1992), dalam karyanya ini Anderson
memang tampak mempunyai misi untuk menyelamatkan makna pemberontakan Samin dari
pisau analisis Barat yang cenderung akan mengurangi nilai mereka. Dua karya
klasiknya yang berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture” (1972) dan
“Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics” (1984) bisa
dijadikan contoh yang bagus untuk lebih menunjukkan pendekatan budaya Anderson.
Dalam “The Idea of Power in Javanese Culture”, Anderson menjelaskan bagaimana
cara pandang dunia Jawa ternyata sangat menentukan tindakan-tindakan politik
dari pihak-pihak yang memegang tampuk kekuasaan. Disini ia menjelaskan
cara-cara tradisional yang biasa dipakai untuk memperoleh kekuasaan,
tanda-tanda yang secara tradisional dianggap menunjukkan kekuasaan individu,
peranan kekuasaan menurut pandangan Jawa, mekanisme suksesi kekuasaan, serta
hubungan antara etika dan kekuasaan. “Professional Dreams” berisi analisa
Anderson atas Serat Centhini dan Suluk Gatoloco. Berbeda dengan naskah-naskah
Jawa Kuno pada umumnya, karakter-karakter yang terdapat pada Centhini adalah
orang-orang biasa: musisi, pelacur, pedagang, penari, petani, tidak ada
karakter berupa ksatria atau kaum penguasa. Sedang dalam Suluk Gatoloco, tokoh
pahlawan disini bukanlah seorang ksatria yang maha sakti, gagah, lagi tampan,
melainkan Gatoloco alias penis yang dalam pengembaraan hidupnya selalu
didampingi oleh Darmogandhul alias zakar. Satu hal yang paling menonjol dari
Centhini adalah paparan tentang seks yang sangat lugas dan berani. Di sini
dikisahkan sodomi yang dilakukan oleh Nurwitri, Cebolang, Adipati—semuanya
adalah tokoh-tokoh dalam Centhini. Ketika Cebolang melakukan sodomi dengan
Adipati misalnya diceritakan bahwa Adipati bertanya kepada Cebolang, manakah
yang menimbulkan kenikmatan lebih, seorang yang melakukan penetrasi atau
seorang yang dipenetrasi. Cebolang mengatakan bahwa ia lebih senang berposisi
sebagai seorang yang dipenetrasi. Maka si Adipati pun beralih posisi menjadi
seorang yang dipenetrasi. Mengingat penis Cebolang berukuran sangat besar, maka
diceritakan bahwa keesokan paginya si Adipati tidak bisa duduk karena organ
tubuh duburnya sobek dan terluka. Segala kedetilan tentang perilaku seksual
tokoh-tokoh dalam Centhini tidak didapatkan pada literatur-literatur Indonesia
lainnya, kecuali dari tulisan Anderson. Anderson menganalisa pergantian posisi
ini sebagai peralihan peranan kekuasaan. Jika dalam kehidupan sehari-hari,
Adipati merupakan sosok penguasa yang sangat berpengaruh, ternyata dalam
kehidupan seksualnya dengan Cebolang, seorang pemimpin rombongan pertunjukan
keliling, ia menunjukkan ketidakberdayaannya. Gaya Ben Anderson dalam menganalisa
persoalan berbeda sekali dengan ilmuwan-ilmuwan politik lain. Kahin, Crouch,
atau Feith akan memilih untuk menganalisa ucapan dan tindakan aktor-aktor
politik atau membandingkan kebijakan-kebijakan politik yang dibuat negara satu
dengan yang lainnya, dan model pendekatan seperti ini memang sempat sangat
populer di kalangan akademisi. Tetapi Anderson justru menghindari
kebiasaan-kebiasaan akademis itu dan lebih memilih untuk menganalisa
karya-karya sastra Jawa kuno, bahasa, bentuk-bentuk simbolik seperti kartun,
monumen, dan patung-patung, atau konsep-konsep nilai di masyarakat tertentu
untuk memahami pola pemikiran politik yang ada di Indonesia. Anderson berusaha
menawarkan perspektif baru. Ia berpendapat bahwa pendekatan dengan memakai
sarana tersebut mampu menyentuh persoalan secara lebih dalam. Sampai akhirnya
Anderson juga menjadi patron bagi kehidupan akademis di Indonesia karena model
pendekatannya diikuti oleh banyak kaum akademisi di Indonesia.
Sabtu, 16 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar