Rabu, 13 Juni 2012

Bag 01

 Banyak kalangan, terutama para tokoh yang diresmikan sebagai intelektual di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat, memandang Hawzah Ilmiyeh Qom dengan sebelah mata. Hal itu, boleh jadi, karena mereka tidak mampu menangkap dinamika intelektual yang terus berlangsung disana, atau karena mereka tidak menyelami ruhnya.

 Qom adalah sebuah kota yang tak pernah mati, tapi bukan karena lampu-lampu kota dan mobil. Qom bagai benua lain atau planet lain, dengan pola kehidupan sosial yang unik, bahkan terkesan stagnan, bagi orang luar. Sebagian besar pedang kaki lima yang menggelar dagangan di trotoar di sana tidak menjual vcd bajakan atau makanan, tapi buku dan alat-alat tulis. Jumlah penerbit dan toko buku atau persewaan kaset dan cd pelajaran mirip dengan wartel atau tempat persewaan vcd di kota-kota di Indonesia. Sekolah dan pusat-pusat kajian serta perpustakaan di kota itu tak ubahnya mal-mal di Jakarta dan Surabaya.  Jalan-jalan kota itu ramai dan padat oleh pejalan kaki yang sebagian bersorban bukan karena menghindari perkelahian antar pelajar atau atau kerusushan, tapi saling mengejar waktu kuliah-kuliah yang diisi oleh guru besar-guru besar dalam bidang filsafat, teologi, teosofi, hermenetika agama, ushul fiqh dan sebagainya. Transaksi dan interaksi sosial di sana hanya bersifat intelektual dan spiritual. ‘Qom is Planet of The Wisdom’. Di situlah Filsafat Mazhab Qom berdiri megah dan mewah.

Filsafat Mazhab Qom atau filsasat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah adalah sebuah sistem pemikiran falsafi yang dibangun oleh Shadruddin Asy-syirazi,  dilanjutkan oleh Sabzawari, Mirdamad dan disempurnakan oleh Muhammad Husein Thabathabai.

 ‘Kebijaksanaan yang melambung’ atau Al-hikmah Al-muta’aliyah bukanlah akumulasi dari pendapat-pendapat dan filsafat-filsafat kuno. Ia adalah sebuah sistem pemikiran filsafat yang berdiri di atas konsepsi Islam Syiah yang paling rapi (radu=komplit). Mulla Shadra dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah telah melakukan sebuah revolusi pemikiran filsafat yang hingga kini masih terasa gaungnya. Ia telah mengakhiri masa kejayaan filsafat Al-Falsafah Al-Masysya’iyah yang merupakan adaptasi dari neo-Platonisme Yunani. Mulla Sahdra telah mempersembahkan sebuah konsep filsafat yang diambil dari sumber-sumber orisinil Islam, terutama Islam Syiah.

Teosofi trasendental telah menyingkap sejumlah realitas yang selama ini masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep filsafat yang sebelumnya dianggap baku dan tak bisa dibantah. Ia mendobrak dunia filsafat metafisika dengan konsep orisinalitas wujud (Ashalatul-Wujud) dan menggugurkan klaim orisinialitas esensi (Ashalatul-mahiyyah)-nya Shuhrawardi dan para pendukung Iluminasi. Ia juga mengganti klaim pluraitas wujud-nya Ibnu Sina dan para pendukung Filsafat Paripatetik dengan gagasan tentang unitas wujud yang gradual (Al-wahdah fi ain Al-katsrah) dan gagasan tentang ‘wujud mandiri’ (Al-wujud Al-mustaqil) dan ‘Wujud bergantung” (Al-wujud Ar-rabith). Shadrul-Muta’allihin (Penghulu para teis) ini juga melahirkan konsep baru tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah Al-jawhariyah) dan memberikan penafsiran baru tentang kesatuan subjek akal dan objek akal (Ittihad Aqil wa Ma’qul). Mullla Shadra juga memberikan kritik-kritik tajam atas para teolog, tak terkecuali para teolog Syiah, seperti Khajeh Nasruddin Ath-Thusi, Al-Fadhil Miqdad, dan lainnya.  (Ma Ba’da Ar-rusydiyah, 61)

Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dikembangkan oleh Mulla Hadi Sabzawari. Meski tidak memberikan gagasan-gagasan baru, ia dinilai berhasil memberikan penjelasan, komentar bahkan kritik tentang gagasan-gagasan baru Mulla Shadra dengan karyanya yang sangat monumental Syarhul-Mandhumah. Ia adalah filsuf yang mengalami masa transisi intelektual besar-besaran dari trend filsafat Ibnu Sina ke trend filsafat Mulla Shadra. 

Filsafat mazhab Qom mencapai kesempurnaannya di tangan Allamah M. Husein Thabathabai. Ulama ini rela mengorbankan karier fiqh sehingga tidak menjadi marja’ atau menyandang gelar Ayatullah Al-uzhma sebagaimana rekan-rekan semasanya, demi menekuni bidang filsafat yang pada mulanya kurang populer dan terkesan ‘aneh’ di kalangan hawzah Najaf dan Qom. Ia berhasil mendirikan sebuah akademi tradisional yang mengajarkan filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah di saat akademi tradisional (Al-Bahts Al-Kharij) lainnya mengajarkan teknik-teknik penyimpulan hukum (Ijtihad). Thabathabai mencetak puluhan filsuf muslim muda yang kelak mewarnai dinamika intelektual Hawzah Qom bahkan menjadi pionir-pionir Revolusi Islam Iran, seperti Muthahhari, Behesyti, Javadi Amuli, Hasan Zadeh Amuli, M. T. Mishbah Yazdi, Mehdi Heri Yazdi, M. Taqi Ja’fari, Syed, Hossein Nasr dan sebagainya.
Berkat kegigihan dan ketulusannya, filsafat di Hawzah Qom dan Iran kini telah menyetarai fiqh dan Ushulul-Fiqh, sebagai mata pelajaran untuk pelajar pemula (Muqaddimat), untuk pelajar menengah (Suthuh), dan untuk pelajar lanjutan atas (Bahtsul-Kharij). Bukunya Bidayatul-Hikmah dan Nihayatul-Hikmah kini dijadikan sebagai buku pelajaran resmi Hawzah dalam filsafat sebelum Syarhul-mandhumah karya Mulla Sabzawari dan Al-asfar Al-arba’ah-nya Mulla Shadra. 
Filasat Mazhab Qom tidak bisa disamakan dengan filsafat lainnya, apalagi filsafat Barat. Filsafat Mazhab Qom hanya membahas wujud sebagai wujud. Ia adalah filsafat yang utuh dan sederhana. Ia tidak dapat dipilah-pilah menjadi beberapa penggalan tema. Kalaupun dibagi, misalnya Filsafat dalam arti umum (wujud) dan Filsafat dalam arti khusus (Tuhan), maka pembagian ini semata-mata demi mempermudah pencari kebijakan dan kebenaran, bukan karena objek pembahasannya berlainan. Filsafat Mazhab Qom tidak terdiri atas epistemologi, ontologi, kosmologi dan sebagainya. Ia sejak semula membahas wujud serta membagi menjadi dua; Al-wujud Az-zihni (eksistensi subjek, mental-memorial) dan Al-wujud Al-khariji (eksistensi real, objektif),  lalu membagi wujud objektif menjadi dua; Al-wujud Al-haqiqi (eksistensi faktual) dan Al-wujud Al-I’tibari (eksistensi artifisial), hingga akhirnya membagi eksistensi objektif real menjadi dua; terinderakan, yaitu benda, dan tak terinderakan, yaitu non materi.
Tiga akademi filsafat Mazhab Qom
Thabathabai telah mempelopori semaraknya diskusi dan perbincangan filsafat di Hawazah Qom, yang sebelumnya hanya didominasi oleh para ulma tekstualis dari berbagai disiplin ilmu tradisional, seperti ushul-ul fiqh dan fiqh. Ia telah ‘menternakkan’ puluhan bahkan ratusan ulama dalam filsafat. Kini Hawzah Qom diramaikan oleh,  paling tidak, enam  akademi atau corak pemikiran khas, produk Thabathabai, yang masing-masing memiliki pengaruh dan domainnya.
Akademi pertama adalah Rasionalisme, yang hanya mengandalkan akal deduktif dalam telaah-telaahnya. Tokoh aliran ini adalah Ayatullah Muammad Taqi Misbah Yazdi. Ia adalah salah satu murid Thabathabai yang sangat produktif dan menguasai wacana-wwacana kontemporer. Banyak kalangan yang menganganggapnya sebagai “Muthahhari part 2”. Karya-karya dalam bidang filsafat banyak berisikan pandangan-pandangan kritikal atas gurunya Thabathabai. Filsuf yang kurang mendukung pendekatan teosofik ini sering dianggap sebagai ideolog Republik Islam saat ini. Ia mendirikan sebuah lembaga studi keislaman yang cukup besar yang menjadi ladang pembiakan sarjana-sarjana ulama intelektual dengan spesialisasi yang mempuni, seperti Gholam Reza fayyazi, A. Khosro Panah, Ahmad Vaezi, Muhsen Gharavian dan lainnya.
Akademi kedua, adalah Tekstualisme-Rasionalisme. Aliran ini menjadikan teks-teks agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai alat pembenarannya. Syeikh Mufid, Sayyid Murtazha Alamul-huda, Khajeh Nasiruddin Thusi dan Allamah Hilli adalah tokoh-tokoh yang menjadi tonggak-tonggak teologi atau tekstualisme rasionalisme Islam Syiah. (Falsafeh, 40). Tokohnya yang paling menonjol sekarang adalah ayatullah Nasher Makarem Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani.
Akademi ketiga adalah Tekstualisme-Rasionalisme-Teosofisme (Al-mazhab Al-Isyraqi), yang menggabungkan rasio, teks agama dan irfan. Ayatullah Javadi Amuli adalah pemukanya saat ini.
Akademi keempat adalah Teosofisme (Al-mazhab al-irfani). Aliran ini cenderung mengutamakan irfan atau emosi dalam memahami realitas. Banyak ulama yang bisa dimasukkan dalam akademi ini, namun yang paling mengemuka saat ini adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
Akademi kelima adalah rasionalisme-tektualisme (al-mazhab al-Kalami). Yaitu aliran yang menjadikan rasio sebagai landasan lalu mengkaitkannya dengan teks-teks agama sebagai pembenarnya, bukan sebaliknya. Ayatullah Muthahhari dan Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari mungkin tokoh yang bisa dimasukkan ke dalamnya.
Akademi keenam adalah Teosofisme-transendal (Al-hikmah Al-Muta’aliyah, Mazhab Qom, Ash-shdra’iyah), yang didirikan oleh Mulla Shadra dan dianut oleh hampir seluruh filsuf di kota suci Qom dewasa ini. Aliran ini menggunakan rasio, emosi (dengan penyucian jiwa), ilmuniasi, dan rasio.
Sebenarnya kata ‘Al-hikmah Al-muta’aliyah’ telah digunakan oleh sejumlah filsuf sebelum Mulla Shadra, seperti Ibnu Sina dalam Al-Isyarat-nya.   (falsafeh, M. Ali Gerami, 42-43).
Akademi keenam Rasionalisme-modernisme. Aliran ini diisi oleh sejumlah filsuf Islam modern yang pernah menjadi murid Thabathbai, seperti sayyid Husen Nasr dan Ayatullah Haeri Yazdi. 
Mazhab Qom dan Sasaran Filsafat
Mulla Shadra membagi filsafat Al-hikmah Al-muta’aliyahnya dalam empat rute perjalanan atau ngembaraan (Al-asfar Al-arba’ah). Yaitu sebagai berikut:
  1. Perjalanan dari Al-khal dari Al-khalq (makhluk) ke Al-Haq (Tuhan atau Kebenaran). Dalam tahap ini pelaku perjalanan mempelajari hukum-hukum dalam filsafat (metafisika). Ia juga disebut dengan perjalanan dalam natur.
  2. Perjalanan dengan Alh-haq dalam Al-haq. Dalam tahap ini pelaku perjalanan membahas tema-tema Tauhid dan sifat-sifat Al-haq. Ia juga disebut dengan perjalanan dalam kesempurnaan Al-haq.
  3. Perjalanan dari Al-haq menuju Al-khalq dengan Al-haq. Dalam tahap ini, pelaku perjalanan membahas perbuatan-perbuatan Tuhan. Ia juga disebut dengan ‘Penampakan ilahi (Tuhan) dalam segala sesuatu yang dipandangnya.
  4. Perjalanan dalam Al-khalq dengan Al-haq. Dalam tahap pelaku perjalanan membahas jiwa dan Hari kebangkitan. (Falsafeh, 44-45).
Sasaran filsafat, menurut Mazhab Qom, hanyalah wujud karena ia merupakan realitas yang ada pada segala sesuatu. Sedangkan sasaran pengetahuan atau ilmu adalah mahiyyah, merupakan ciri pembeda antar segala sesuatu. Karena itulah filsafat bersifat sederhana dan unik. Kata Ibnu Sina, “filsafat adalah pengetahuan yang paling utama tentang objek yang paling mulia.” (Al-mu’jam Al-falsafi, juz 2, hal. 160-164, Syarhul-Musthalahat Al-falsafiyah, hal. 270-271, Al-falsafah Al-ulya, 32).
Definisi dan Macam-macam Fislafat
Filsafat telah didefinisikan sebagai ‘pengetahuan tentang realitas segala sesuatu’.  Namun  definisi ini masih diperdebatkan hingga kini. Filsafat, menurut Mazhab Qom, tidak terbagi. Ia adalah sebuah fenomena rasional intelektual tunggal yang mengantarkan pada realitas universal, yang merupakan titik temu setiap realitas. Karena itulah, teologi Islam dan teologi Kristen tidak dapat dianggap sebagai bagian dari filsafat, karena ia didasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibakukan. Teologi atau ilmul-kalam hanyalah sebuah ilmu yang disusun untuk merasionalisasi dan menjustifikasi keyakinan-keyakinan yang dipostulatkan, yaitu agama tertentu.
  

WUJUD

  Mengapa mesti membahas ‘ke-ada-an’?
Ke-ada-an adalah sesuatu yang pertama kali diketahui oleh setiap manusia, secara sadar atau tidak. Bila kita tidak memahami ada secara benar, maka kita akan kesulitan memahami segala sesuatu dan fenomena apapun di dunia. Jika kita telusuri realitas atau hakikat setiap fenomena dan peristiwa, maka kita harus lebih dulu mengenali landasan ke-ada-annya. Jika seseorang ingin menjadi meyakini atau menolak keberadaan Tuhan, maka ia harus lebih dulu memahami ada dan tiada. Seserang tidak bisa menjadi beragama, bila belum memahami ada dan tiada. Karena itulah, kita perlu mempelajarinya, meski sulit dan mungkin tema-temanya terkesan agak membosankan.

Kita sering mencampura-dukkan ‘tidak ada’ dengan ‘tidak tampak’. Kita juga seing menaganggap ‘pindah tempat’ sebagai ‘hilang’ atau lenyap. Sebagian besar manusia membatasi ‘keberadaan’ pada benda. Hal itu karena kita belum memahami apa itu ada dan tiada. Karenanya, marilah kita menjelajahi “peta keberadaan” (ke-ada-an), yang disebut “ontologi”  dalam filsafat.

Ketiadaan atau kenir-ada-an
Ketiadaan adalah ketidak-sesuatan. Ia adalah kekosongan semata. Ia tidak mempunyai realitas.(Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 340-341). Karenanya, ia tidak berbeda, karena yang berbeda dengan ketiadaan bukanlah ketiadaan. Ia juga tidak dapat dikabarkan, karena yang bisa dikabarkan hanyalah yang ada. (Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah, 348, Syarh Al-Mandhumah, 47).

Kendati demikian para filsuf membagi ketiadaan menjadi dua;
  1. Ketiadaan sejati, yaitu ketiadaan yang mutlak.
  2. Ketiadaan relatif, yaitu ketiadaan yang dikaitkan dengan sisi-sisi tertentu seperti ketiadaan azali (eternal) dan ketiadaan temporal (aksidental) dengan relasi batas, demikian juga ketiadaan potensial dan ketiadaan aktual dan sebagainya. (Nihayatul-Hikmah, 28,  Al-Mabahits Al-Masyriqiyah, 1, 100, Ara’ Ahlil-Madinah Al-Fadhilah, 11, Al-Mausu’ah Al-Falsafaiyah, 204-205, Ilahiyat Asy-Syifa’ 125, Rasa’il Ikhwanush-Shafa, 3, 385, Tafsir ma Ba’da Ath-Thabi’ah, 1311, Kamus Filsafat, 1106).

Selanjutnya istilah “ketiadaan” yang akan dibagi dalam beberapa versi pembagian di bawah adalah identik dengan ketiadaan relatif, karena ketiadaan mutlak tidak bisa dikabarkan apalagi dibagi.

Dua macam ketiadaan relatif
Ketiadaan relatif terbagi dua;
1.    Ketiadaan pasti (Al-Adam Al-Azali). Yaitu ketidak-ada-an dengan relasi ketiadaan sebab dan kepastian.  Secara simbolik ia disebut dengan “kemustahilan” (Al-imtina’, Al-istihalah, impossibilitas).
2.    Ketiadaan tidak pasti (Al-Adam Al-Imkani). Yaitu ketiadaan dengan relasi keberadaan sebab dan ketidakpastian. Ia secara simbolik disebut dengan “kemungkinan” (Al-imkan, possibilitas, probabiltas).

Sifat-sifat ketiadaan dan ‘tiada’
Sebagian flksuf Mazhab Qom tidak memasukkan ‘ketiadan’ dan ‘tiada’ dalam pembahasan filsafat, karena, menurut mereka, tema pembahasan filsafat adalah ke-ada-an dan ‘ada’. Namun sebagian lain masih membahasnya karena dianggap sebagai pasangan ‘ke-ada-an’ dan ‘ada.

Berikut ini ciri-ciri dan sifat ‘tiada’:
  1. Sebuah ‘tiada’ tidak berbeda dengan ‘tiada’ lainnya. Jika kita katakan, Plato tidak ada, maka berarti sama dengan ucapan kita “Samsul tidak ada”.
  2. Sebuah ‘tiada’ tidak memberikan dan tidak mendapatkan pengaruh objektif. Dengan kata lain, ‘tiada’ tidak mengalami aksi dan reaksi.
  3. ‘Tiada’ tidak dapat diulangi, karena pengulangan hanya akan bisa dilakukan terhadap sesuatu yang ada.(Elm e Kulli, 95-98).

Wujud atau Ke-ada-an
Ke-adaan atau eksistensi (Al-Wujud), meski tidak bisa didefinisikan secara tepat, telah didefinisikan dengan bermacam cara. Ke-ada-an mungkin bisa didefinisikan secara sederhana sebagai “adanya sesuatu”.

Pengeritan “wujud” sangatlah gamblang (ekstemporal) sehingga tidak bisa diperantarai dengan penjelasan apapun, baik dengan forma maupun dengan terma, sebagaimana lazimnya dalam setiap pendefinisian. “Sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang ada adalah sesuatu yang ada” atau “ia adalah sesuatu yang dapat dikabarkan.” (Bidayatul-Hikmah, 10, Al-falsafah Al-Ulya, 78,).

“Wujud” adalah pengertian yang memiliki arti sama dalam setiap proposisinya. Mulla Shadra mengatakan bahwa fakta tentang adanya kesamaan arti antar berbagai macam esensi (Al-mahiyah, keapaan) adalah sesuatu yang nyaris apriori prima, sebagaimana dikutip Thabatabai. (Nihayatul-hikmah,13, Hikmatul- Isyraq, 182, Al-asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 35). Hal ini didukung oleh sejumlah filsuf. (Al-Mabahtis Al-masyriqiyah, juz 1, hal. 18-22, Syarhul-Maqashid, juz 1, hal. 61-62, Syarhul-Mawaqif, hal 90-92, Qawa’idul-Maram, 39, Kasyful-Murad, 24).

Jadi, adakalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk sebuah pengertian tentang “wujud”. Ia diperlakukan sama dengan pengertian-pengertian lainnya, yaitu sebagai sesuatu yang konstruktif, artifisial atau I’tibari.

Dua macam pengertian “Wujud”
“Wujud” sebagai sebuah pengertian, bukan realitas, terbagi dua;
1.    “Wujud” sebagai pengertian umum. Yaitu arti umum dan aprior yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang dilekatkan pada setiap quiditas atau esensi (mahiyyah), misalnya “manusia itu ada”, “bulan itu ada”, “putih itu ada”.
2.    “Wujud” sebagai pengertian khusus atau terikat. Yaitu predikat yang dilekatkan atas sesuatu, misalnya “benda itu putih”, yang berarti “benda yang ada itu berwarna putih”.

Jadi, pengertian “wujud yang umum” itu merupakan wujud subjek dalam realitas, sedangkan pengertian “wujud yang terikat” adalah wujud predikat dalam setiap premis.  (Al-falsafah Al-Ulya, 80).

Hakikat “Wujud”
Ada kalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk kepada realitasnya, bukan pengertiannya. Realitas wujud sangatlah misterius dan tidak dapat dikenali, karena sejumlah alasan kuat, antara lain, seandainya realitas objektif “wujud” dapat diketahui, maka berarti realitas segala sesuatu yang kita ketahui harus hadir dalam diri atau jiwa kita secara real bukan konseptual, sehingga bila kita mengetahui benda tertentu, mobil misalnya, maka benda yang beroda empat itu harus hadir dalam bentuk mobil, bukan gambarannya, dalam diri setiap yang mengetahuinya, sedangkan itu tidak mungkin terjadi, karena pengetahuan adalah hadirnya konsep tentang sesuatu yang real dalam diri. (Al-Falsafah Al-Ulya, 78).

Istilah “hakikat” wujud berarti wujud sebagai hakikat sebelum dibagi menjadi objektif (realitas) dan subjektif (konsep, ide). “Hakikat wujud” mengacu pada arti awal tentang keberadaan secara mutlak dan umum.

Kesamaan arti “Wujud”
“Wujud” ketika diberlakukan sebagai predikat atas setiap subjek hanya mempunyai satu arti (homonim) (Al-Isytirak Al-Ma’nawi). Alasan-alasannya sebagai berikut:

Wujud dapat dibagi dalam beberapa versi pembagian, seperti pembagian wujud menjadi wujud pasti (wujud al-wajib) dan wujud mungkin (wujud al-mumkin), dan pembagian wujud mungkin kepada wujud substansi (wujud Al-jauhar) dan wujud aksiden (wujud Al-aradh), dan begitulah seterusnya.
Jika wujud tidak mempunyai kesamaan arti, namun hanya mempunyai kesamaan kata dengan keragaman arti karena keragaman subjek-subjeknya, niscaya artinya berubah karena perubahan subjek-subjeknya.
Lawan kontradiktif al-wujud (keberadaan) adalah al-adam (ketiadaan). Ketiadaan memliki satu arti (homonim). Seandainya wujud tidak homonim, niscaya keduanya tidak kontradiktif. (Bidayatul-Hikmah, 11).

Kritik atas teori ‘Kesamaan arti’ dalam wujud
Abul-Hasan Al-Asy’ari menganggap pengertian “wujud” memiliki kesamaan kata (Al-isytirak al-lafdhi), bukan kesamaan arti. Jadi, menurut mereka, ‘ada’ dalam premis ‘Tuhan ada’ dan ‘Yusuf ada’, mislanya, tidaklah sama. (Syarhul-Mawaqif, 92, Nihayatul-Hikmah 13, Syarhul-Mandhumah, 16, Syarhul-Maqashid, juz 1, hal. 61, Irsyad Ath-thalibin, 20). Sedangkan para filsuf Islam, terutama para filsuf Mazhab Qom menganggap ‘wujud’ memberikan konotasi arti yang sama.

Mazhab Qom menolak pendapat ini karena alasan-alasan sebagai berikut;
1.    Kata “apakah” dalam premis eksistensial homogen (Al-hilliyah Al-basithahi), seperti “apakah Budi ada ataukah tidak?” , “apakah sungai ada ataukah tidak”, “apakah ibu ada ataukah tidak” tidaklah berguna.
2.    Seandainya “wujud” mempunyai kesamaan kata, bukan arti, maka kata “ada” tidak akan menunjukkan arti tentang “ke-ada-an” sesuatu, namun ia akan mempunyai satu arti yang sama dengan esensi segala sesuatu. Akibatnya, kita tidak akan mendapatkan jawaban berbunyi “ada” dari premis eksistensil homogen tersebut di atas, karena jawaban tersebut “ada” tidak harmonis dengan pertanyaannya. Karenanya, premis eksistensial yang sederhana (al-hilliyah al-basithah  atau premis yang diandaikan sebagai jawaban atas ‘apakah’) ini menjadi tak berguna.
3.    Kadang kala kita meyakini ke-ada-an (eksistensi, keberadaan, maujudiyat) sesuatu maujud (entitas, maujud), namun kadang kala kita ragu tentang esensi (ke-apa-an)nya, seperti ketika kita yakin tentang adanya sebuah bayangan, namun kita tidak tahu secara pasti apakah itu; manusia ataukah binatang, dan kadang kala kita tahu secara pasti esensi (ke-apa-an) sesuatu, seperti ketika kita mengerti tentang “kebetulan’ dan “nasib” yang berarti sesuatu, namun kita tidak tahu secara pasti apakah kedua hal itu ada ataukah tidak. Eksistensi dan esensi tidak sama dan satu, namun keduanya mempunyai hukum yang berbeda.

 

Kontroversi seputar orisinalitas wujud dan  esensi

Manakah yang lebih dulu, eksistensi ataukah esensi? Kita selalu membedakan dua pengertian yang benar tentang apa-apa yang kita bicarakan: ke-ada-an (keberadaan, eksistensi, Wujud) yang ada pada sesuatu dan ke-apa-an (esensi, Mahiyyah) yang ada pada sesuatu. Misalnya, kita mengetahui bahwa manusia ada, pohon ada, dan bilangan itu ada, namun masih-masing, meski sama-sama ada, mempunyai pengertian yang berlainan.

Eksistensi (Al-Wujud, being) dalam metafisika adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “siapa itu”. Ringkasnya, keberadaan atau wujud adalah lawan dari ketiadaan (Al-Adam). Esensi (ke-apa-an, quaditas, Al-Mahiyyah) adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “apa itu” yang ada dalam substansi dan aksiden.

Hingga kini polemik tentang “esensikah yang lebih dulu ataukah eksistensi” masih terus bergulir di kalangan para filsuf metafisika. Ada beberapa aliran besar dalam ontologi yang berbeda pendapat tentang orisinalitas eksistensi atau esensi.

Eksistensialisme
Yang kita maksud dengan eksistensialisme disini, adalah eksistensialisme dalam ontologi bahkan ontologi Islam, Eksistensialisme modern, yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, dan bahwa eksistensi mendahului esensi, yang berasal dari para filsuf Yunani dan berkembang di Eropa pada abad pertengahan melalui Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. (Kamus Filsafat, 185), juga bukan Eksistensialisme ateistik,  yang dipelopori oleh Jean Paul Sartre yang menjadi cikal bakal Humanisme, (Kamus Teori, 63, Matafisika 124), karena buku ini hanya akan menyoroti filsafat Mazhab Qom.

Eksistensialisme (Mazhab Ashalatul-Wujud)
Para filsuf paripatetik dan Mazhab Qom , seperti Ibnu Sina, Mulla Shadra, Sabzawari dan Thabathaba’i menegaskan “ashalatul-wujud” (keasalan wujud) dan ketidak-asalan esensi (al-mahiyyah). Salah satu alasannya, ialah apabila wujud bukanlah asal, maka adakah yang mengeluarkan esensi dari kenetralan, selain wujud. Mereka menegaskan bahwa yang mempunyai realitas objektif (waqi’iyah kharijiyah) adalah esksistensi, sedangkan esensi adalah sesuatu yang subjektif, konstruktif dan artifisial (I’tibari).

Kaum paripatetik, seperti Bamhanyar dan Mazhab Qom, seperti Mulla Sahdra, memastikan bahwa penolakan terhadap orisinalitas wujud meniscayakan sikap agnosistik. (at-tahshil, 286, Al-asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 1, Nihayatul-Hikmah, 16, Ma Ba’da Ar-rusydiyah, 149), sebagaimana akan kita ketahui nanti.

Esensialisme (Mazhab Ashalatul-Mahiyyah)
Esensialisme iluminatif. Yaitu aliran dalam ontologi yang berpandangan bahwa esensi mendahului eksistensi, dan bahwa sesuatu yang nyata adalah yang mempunyai hakikat atau esensi. Salah satu alasannya, ialah apabila wujud adalah asal, maka wujud pasti ada dalam realitas objektif, dan ia pasti mempunyai wujud, dan wujud wujudnya itu pasti mempunyai wujud, dan begitulah seterusnya.

Suhruwardi dan para pengikut iluminasionisme menganggap esensi atau quaditas sebagai sesuatu yang real, sedangkan eksistensi sebagai sesuatu yang bersifat memorial (dzihni) dan konstruktif.

Mulla Shadra dan Mazhab Qom, termasuk Thabathabai,  telah meberikan bantahan-bantahan jitu terhadap argumen-argumen kaum esensialis, sebagaimana akan kita ketahui nanti. Nihayatul-Hikmah, 14-15). (Post Averoisme, 149, Al-asfar Al-Arba’ah, juz, hal. 39-40),

Dualisme I (Mazhab Ashlatultul-wujud wal-mahiyyah)
Yaitu aliran dalam ontologi yang konon menganggap wujud dan esensi sebagai asal sekaligus. Para penganut dualisme juga tidak berada dalam satu pandangan dan aliran.

Pendapat yang dikemukakan ‘secara malu-malu’ oleh sejumlah guru besar filsafat di Hawzah Qom baru-baru ini cukup menggegerkan dan mengundang kontroversi serta polemik dalam kuliah-kuliah dan jurnal-jurnal filsafat di Iran.

Menurut mereka, seandainya wujud adalah satu-satunya yang memiliki pengaruh-pengaruh eksternal dan objektif, padahal wujud adalah realitas yang unik dan sederhana, maka apakah yang membedakan antara ayam dan Agus, misalnya. Karena itulah, mereka mengakatan bahwa esensi atau quiditas adalah pembeda antar entitas objektif. Itu berarti esensi, sebagaimana eksistensi, memberikan pengaruh fundamental bagi realitas setiap entitas. (Syarhul-Mandhumah, juz 2, hal. 171, Bidayatul-Hikmah, 13, Ushulul-Falsafah wal-Madzhab Al-Waqi’i, jilid 3, Filsafat Islam, 58-59, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 39, Al-masya’ir, hal. 14, 37, Al-falsafah Al-Ulya, 80, dll).

Dualisme II (I’tibariyatul-wujud wal-mahiyah)
Ia adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa eksistensi dan esensi adalah dua entitas artifisial (I’tibari) dan keduanya tidak real. Aliran ini mesti dimasukkan dalam salah pandangan asumstif, karena boleh jadi ada filsuf yang meyakininya.

Namun, pendapat terakhir ini meniscayakan penolakan terhadap segala macam realitas objektif atau bernasib sama dengan agnosisme dan skpetisisme Protagoras dan Berkeley. Pendapat ini ditolak oleh Paripatetik,  Mulla Sahdra dan para filsuf Mazhab Qom. (Post Averoisme, Ma Ba’da Ar-Rusydiyah, 143, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, 66, Sharhul-Mandhumah, komentar Muthahhari, juz 1, 49).

Untuk memahami secara benar isu orisinalitas eksistensi atau orisinalitas esensi ini, kita perlu mempelajari alasan kaum esensialis dan kaum eksistensialis (dalam ontologi) ini.

Alasan-alasan Orisinalitas Esensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas (ashalah) eksistensi (wujud) mengajukan sejumlah argumen. Antara lain sebagai berikut:
  1. Seandainya eksistensi (Al-wujud) adalah entitas (Al-Maujud), yakni sesuatu yang “berada”, maka berarti setiap wujud mempunyai sebuah wujud, dan wujud tersebut, karena sesuatu yang berada, pasti memiliki wujud, dan begitulah seterusnya. Karenanya, esensi-lah yang menjadi sesuatu yang “berada” dan real, demi menghindari paradoks suksesi karena eksistensi tidak mungkin menyandang eksistensi, maka pastilah penyandang eksistensi adalah esensi atau mahiyyah, sebab dalam gramatika arab, Al-mawjud berarti sesuatu yang diadakan, maka pasti ia (al-mawjud) berarti sesuatu yang bukan wujud namun menyandang wujud sehingga disebut “yang diadakan”.
  2. Seandainya wujud adalah “sesuatu yang menjadi ada” dengan sendirinya, tanpa selainnya, yaitu esensi, maka berarti setiap yang mempunyai wujud, termasuk entitas yang mungkin,  adalah pasti ada dengan sendirinya. Karena itulah, wujud hanya bisa menjadi “sesuatu yang berada” apabila direalisasikan oleh esensi.
  3. Seandainya wujud menjadi “yang berada” secara real dengan sendirinya, sedangkan esensi menjadi “yang berada” dengan selain esensi, maka berarti pengertian “wujud” adalah pengertiian yang bermuatan kesamaan kata, bukan kesamaan art, sebab, ternyata wujud bagi wujud berbeda dengan wujud bagi esensi.
  4. Esensi adalah ciri pembeda antar semua yang berada atau entitas. Sedangkan wujud atau eksistensi adalah titik temu bagi setiap yang berada. Tanpa esensi, kita tidak akan pernah dapat membedakan setiap entitas atau maujud. (Nihayatul-Hikmah, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 35, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, hal. 39-44, 54-63, Nihayatul-Hikmah, Ahkamul-wujud, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 34. Nihayatul-Hikmah, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 35, bab Ahkamul-Wujud).

Alasan-alasan Orisinalitas Eksistensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas eksistensi mengajukan sejumlah alasan kuat. Yaitu sebagai berikut:
1.    Esensi atau quaiditas pada dasarnya tidak menolak untuk  diberi predikat “ada” juga tidak dapat menolak negasinya, “tiada”. Seandainya quiditas adalah eksistensi itu sendiri, maka tidak dapat “ditiadakan” atau dinegasikan, karena menegasi inti atau zat adalah mustahil. Karena itulah benar bila kita katakan “manusia ada” dan “manusia tidak ada”. Lagi pula, quiditas memiliki ciri-ciri khas tertentu yang tidak dimiliki oleh eksistensi. Karena itulah, pengertian “mahiyyah” atau quiditas berbeda dengan pengertian “wujud”, dan bahwa pengertian “wujud” merefleksikan realitas objektif, sedangkan quditas hanyalah pengertian yang tidak memiliki realitas objektif, karena ia hanyalah sesuatu yang artifisial atau konstruktif (I’tibari). Sabzawari mengatakan bahwa “wujud” adalah predikat yang, secara konseptual,  melekat pada quiditas.
2.    Wujud adalah benang merah antar segala sesuatu. Sedangkan quiditas atau esensi adalah ciri pembeda antar segala sesuatu. Sesuatu yang sama (yaitu wujud) jelas berbeda dengan yang khusus (yaitu quiditas).
3.    Sesuatu disebut ashil (memiliki realitas objektif) apabila ia mempunyai eksistensi. Quiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang “wujud”. Itu berarti bahwa yang real dan objeltif hanyalah eksistensi. (Nihayatul-Hikmah, 15-17).
4.    Karena wujud adalah sumber dan prinsip kebaikan dan kesempurnaan, maka tak pelak wujud-lah yang orisinil. Bagaimana sesuatu yang ‘buatan’ (I’tibariyat) menjadi prinsip dan sumber pengaruh real, kebaikan dan ksempurnaan. Alasan ini, menurut Mehdi Haeri Yazdi, sepintas terkesan lemah karena terkesan ‘mushadarah al al-mathlub”, sebab para pendukung orisinalitas esensi akan membantah dan mengatakan bahwa wujud bukanlah sumber kebaikan dan ksempurnaan, bahkan setiap kesempurnaan primer (kamal awwali) dan kesempurnaan sekunder (kamal tsanawi) berasal dari esensi (mahiyah), sedangkan yang memilki hakikat adalah esensi atau quiditas, bukan wujud. Namun ia buru-buru memberikan justifikasi dengan mengatakan, bahwa alasan ini bisa didiskipsikan sebagai berikut: Prinsip kesempurnaan dan kebaikan itu, dalam kenyataan, ada, tiada, ataukah bukan ada dan bukan pula tiada, ataukah ada sekaligus tiada? Tentu tidak mungkin bisa dikatakan bahwa prinsip kesempuraan adalah sesuatu yang ada dan tiada sekaligus, karena ia meniscayakan pertemuan dua hal kontradiksi. Karena itulah yang ada hanya dua pilihan; prinsip kebaikan adalah wujud (ke-ada-an) ataukah adam (ketiadaan)? Karena ketiadaan tidak akan bisa menjadi prinsip kesempurnaan, maka hanya wujud-lah yang menjadi prinsip kesempurnaan. Itu berarti prinsip orisinalitas adalah wujud, bukan selain wujud. (Ilme Kulli, Mehdi Haeri Yazdi, 23).
5.    Perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah bahwa maujud objektif memberikan pengaruh-pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan (Al-atsar al-kharijiyah al-mutarattibah). ‘Matahari subjektif’ tidak memberikan pengaruh pencahayaan, namun ‘matahari objektif’ dan ‘bulan objektif’ memberikan pengaruh tersebut. Seandainya esensi (quiditas) orisinai, maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif (Al-atsar al-kharijiyah) serta pengaruh-pengerauh subjektif (Al-atsar Al-zihniyah). Karena berdasarkan asumsi terbalik ini, esensi yang berada dalam subjek dan objek mesti selalu memberikan pengaruhnya baik dalam dunia domain objek maupun dalam domain subjek. Namun kenyataan empirik membuktikan sebaliknya.(Elm e Kulli, 24).
6.    Berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral antara ada dan tiada, menjadi ada. Sedangkan esensi (mahiyah) pada dirinya adalah sesuatu yang netral, tiada ada dan tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada, dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. (Elm e Kulli, 24).
7.    Andaikan wujud tidak orisinil (bukan sumber pengaruh objektif, mansya’ al-atsar), maka kesatuan (al-wahdahi, unitas) dan kebersatuan (al-ittihad) tidak akan pernah bisa terjadi. Akibatnya, tidak akan terjadi predikasi atau kategorisasi (al-haml) antara subjek (al-maudhu’) dan predikat (Al-mahmul) dalam setiap proposisi.
8.    Setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan. Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan (Al-sair Al-takamuli) (Elm e Kulli, 26,27, Falsafeh, M. Ali Gerami, 82-83).

Bisa dikatakan bahwa sekarang hanya pendapat orisinalitas wujud yang diterima, meski ada kecenderungan yang mengarah pada upaya penafsiran ulang tentang orisinalitas eksistensi sekaligus esensi, seperti pernah dilontarkan oleh filsuf muslim muda di Iran, Gholam Reza Fayyazi dan Sayed Kamal Haidari. Namun, kedua pemikir muda tersebut terkesan ‘malu-malu’ menggagas penafsiran ulang terhadap dualisme ontologis tersebut, karena apabila terbukti benar, maka, sebagai konsekuensi logisnya, bangunan filsafat metafisika yang berdiri di atas prinsip orisinalitas eksistensi sejak Mulla Shadra akan mengalami guncangan atau bahkan keruntuhan.

Karena itu, pembahasan berikut ini dipaparkan berdasarkan prinsip orisinalitas eksistensi (Ashalah al-wujud).

Kontroversi seputar Pluralitas dan unitas wujud
Meski sama-sama menerima orisisnalitas eksistensi, dalam menanggapi pertanyaan apakah hakikat wujud atau eksistensi (bukan eksistensi objektif, maujud) itu tunggal, dua atau beragam, para filsuf eksistensialis  terbagi ke dalam beberapa aliran besar.   

Pluralisme dalam ontologis
Para filsuf pra Mazhab Qom, terutama kaum paripatetis, menganggap wujud sebagai realitas-realitas yang beragam. Kaum Paripatetis dan sebagian besar kaum rasionalis Timur berkeyakinan  bahwa hakikat wujud (bukan maujud) beragam, mencakup Tuhan dan setiap makhlukNya. Dengan kata lain, menurut mereka, Tuhan memiliki hakikat wujud tersendiri yang berbeda secara total dengan hakikat wujud  setiap makhlukNya.

Monisme dalam ontologi
Sedangkan sebagian filsuf Mazhab Qom, seperti Mulla sahdra, Mirdamad dan Thabathabai menganggap wujud sebagai satu realitas.

Namun para penganut Monisme, yang meyakini unitas hakikat wujud, terpecah menjadi beberapa aliran sebagai berikut;

Para filsuf Mazhab Qum
Pendiri Mazhab Qom, Mulla Shadra, mengemukakan teori "Al-Wahdah fi Ain Al-Katsrah", yaitu bahwa hakikat-hakikat wujud aini mempunyai kesekutuan dan kesatuan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah sebuah hakikat. Namun dalam kesatuan tersebut, terdapat keragaman. Teori ini mengacu pada pendapat Mulla sahdra tentang pembagian wujud kepada mandiri (mustaqil) dan bergantung (rabith).

Kaum Sufi
Mereka  berpendapat bahwa hakikat wujud  sejati dan “realitas” (wujud objektif, entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah. Sedangkan eksistensi entitas-entitas lain bersifat metaforis. Teori ini dikenal dengan "Wahdatul Wujud wal Maujud". Dengan kata lain, mereka menganggap Tuhan sebagai satu satunya hakikat “ke-ada-an” sekaligus realitas objektif dari ke-ada-an atau “yang ada”. Sedangkan selain Allah hanyalah wujud-wujud simbolis fiktif

Al-Muhaqqiq Ad-Dawani
Ia berpendapat, "Wujud sejati" hanya ada pada dzat Allah. Sedangkan "Maujud sejati" mencakup makhluk-makhluk.

Sampai sekarang polemik antara pendukung pluralitas dan singularitas realitas wujud terus berkembang. Namun gagasan Mulla Shadra lebih kokoh terhadap setiap keberatan filosofis yang pernah dilontarkan di kalangan para peminat filsafat timur dan Islam terutama di Iran.

Alasan-alasan teori “Pluralitas realitas wujud’

Kaum paripatetik dan para pengnut monisme beranggapan bahwa sesungguhnya entitas-entitas objektif (al-maujudat al-ainiyah) adalah salah satu dari beberapa asumsi sebagai berikut:
  1. Entitas-entitas itu semua adalah person-person atau anggota dari satu realitas, seperti Budi, Agus, dan Salim yang merupakan person-person bagi satu spesies ‘manusia’.
  2. Entitas-entitas itu semua memiliki spesies yang yang berbeda-beda namun terhimpun dalam satu genus, seperti anjing, sapi dan muhammad yang merupakan aneka spesies yang terhimpun dalam satu genus; binatang.
  3. Bahwa entitas-entitas itu semua adalah realitas-realitas yang yang saling berbeda secara substansial.
Pilihan pertama tertolak, menurut kaum paripatetik, karena ia meniscayakan wujud sebagai universalia natural (al-kulli ath-thabi’I), seperti manusia, yang tidak menjadi konkret (musyakhash) tanpa dilekati dengan presikat-predikat yang signifikan dan mencolok. Namun, berdasarkan asumsi klaim tentang pluralitas realitas setiap entitas, maka prfedikat-predikat pembeda yang signifikan itu juga tidak akan efektif menjadi pembeda selama predikat-predikat itu maujud, dan selama setiap maujud adalah realitas atau hakikat yang berlainan.
Pilihan kedua jelas tertolak, karena ia meniscayakan ketersusunan realitas (hakikat) wujud yang terdiri atas aspek kesamaan (jihah al-isytirak) dan aspek kelainan (jihah imtiyaz). Keniscayaan ini secara terang-terangan bertentangan dengan postulat kesederhanaan atau ketidaktersusunan (basathah) hakikat wujud, sebagaimana telah kita buktikan sebelumnya.
Kaum paripatetik dari alasan-alasan di atas dan dari upaya pengguguran pilihan pertama dan kedua, ingin membuktikan dukungannya atas pilihan ketiga, yaitu bahwa setiap entitas adalah realitas yang berbeda dengan entitas-entitas lainnya. (Al-manhaj Al-jadid, M. Taqi Mishbah Yazdi, 397-398).
Alasan-alasam teori ‘Unitas realitas wujud’
Pendapat yang dinisbahkan pada Mulla Shadra dan didukung oleh para filsuf Mazhab Qom ini konon diilhami oleh keyakinan kebijakan Persia kuno, dan disempurnakannya dengan sejumlah argumen. Pendapat ini dikenal dengan teori ‘al-wahdah fi ain al-katsrah’ (kesatuan plural wujud). Maksudnya, Mulla Shadra berpendapat, bahwa realitas-realitas wujud  memiliki titik kesamaan dan kesatuan sekaligus perbedaan. Dengan kata lain, realitas-realitas wujud yang berlainan itu satu. Namun perbedaan tersebut tidak meniscayakan ketersusunan sehingga tidak dapat diuraikan menjadi genus dan defrentia. Perbedaan tersebut hanyalah dalam intensitas dan gradasinya, sebagaimana lilin dan lampu 500 watt yang satu atau sama-sama lampu namun kualitas pencahayaannya berbeda. Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu gradual dan bertingkat-tingkat. (Al-manhaj Al-jadid, 399-405).

Gradasi “Wujud”
Bertolak dari pandangannya tentang unitas wujud dalam gradasainya, Pendiri Teosofi transenedental, Shadrud-din Shirazi, berpendapat, bahwa hakikat  “wujud’ itu sederhana atau tunggal namun bertingkat-tingkat atau gradual, masing-masing tingkat berbeda intensitasnya. Adalah jelas, keberadaan tumbuh-tumbuhan lebih sempurna dan lebih tinggi dari keberadaan benda-benda padat, karena ia memliki sifat  berkembang, konsumtif dan produktif.

Ke-ada-an binatang juga lebih sempurna dari ke-ada-an tumbuh-tumbuhan, karena ia, selain memiliki sifat-sifat yang ada pada tumbuh-tumbuhan, memiliki sejumlah sifat kesempurnaan lainnya, seperti berperasaan, bergerak dan berkehendak.

Benda padat, tumbuh-tumbuhan dan binatang sama-sama memiliki eksistensi, namun masing-masing berada pada tingkat-tingkat kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat gradual, ada yang kuat sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya, meski semuanya adalah cahaya.

Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini keyakinan kaum fahlavi, para filsuf Iran kuno. (Shahrul-Mandhumah, 22-23, 43-44, juz 2, hal. 105, al-Asfar Al-Arba’ah, juz, 1, hal. 432, Al-Falsafah Al-Ulya, 90 Al-manhaj al-jadid, 403-405, Nihayatul-Hikmah, 24-26).

Tingkat tertinggi dari wujud bersifat tak berhingga, sedangkan tingkat yang paling rendah bersifat terbatas, lemah, dan tidak mandiri.

Sedangkan para penganut filsafat paripateik beranggapan bahwa realitas wujud itu beragam atau prlural, masing-masing  berlainan secara esensial, meski bersifat sederhana. (Al-Asfar Al-Araba’ah, juz 1, hal. 36).

Trend pemikiran filsafat metafisika yang dianut sekarang adalah unitas wujud yang gradual. Pendapat kaum paripatetis tentang pluralitas wujud yang dikemukakan oleh para filsuf pra Mulla Shadra, seperti Ibnu Sina dan Al-farabi, telah ditinggalkan dan hanya menjadi tema diskusi, karena apabila realitas wujud itu beragam, maka niscaya ada titik temu atau aspek kesamaam antar masing-masing wujud, padahal itu meniscayakan lenyapnya perbedaan antara satu dan beragam.

Wujud subjektif dan wujud objektif
Filsafat Mazhab Qom membagi wujud secara umum menjadi dua:
1.    Eksistensi subjektif (Al-Wujud Adz-Dzihni). Yaitu keberadaan segala sesuatu yang bergantung pada sensasi, persepsi  dan konsepsi manusia.
2.    Eksistensi objektif (Al-Wujud Al-Khariji). Yaitu keberadaan segala sesuatu yang  bukan sebagai produk konsepsi manusia semata.
  
Antara entitas subjektif dan entitas objektif
Sesuatu entitas disebut mempunyai eksistensi objektif apabila keberadaannya bukanlah produk dari konsepsi dan sensasi manusia. Inilah eksistensi real dan sejati. Sudirman, yang sedang berdiri di ujung jalan sana, misalnya, ada secara objektif baik kita melihatnya maupun tidak. Eksistensi objektif Inilah yang disebut dengan realitas, kenyataan, dan Al-waqi’. Sedangkan yang memiliki keberadaan objektif disebut dengan maujud (entitas). Dengan kata lain, ada dua macam entitas atau maujud, yaitu entitas sybjektif yang berupa konsep dan entitas objektif berupa realitas.

Berdasarkan uraian diatas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Ada kalanya eksistensi atau entitas subjektif (al-wujud al-zihni) menjadi salah satu sebab bagi eksistensi dan entutas objektif, seperti seseorang yang berpikir tentang suatu perbuatan lalu melakukannya. Ada kalanya eksistensi dan entutas objektif menjadi sebab bagi eksistensi subjektif, seperti gambar ‘rumah’ yang tercetak dalam memori seseorang yang telah melihat realitas rumah itu.
2.    Entitas subjektif (al-maujud al-zihni) bersumber dari subjek sebagaimana perbuatan bersumber dari pelakunya. Hal ini berbeda dengan aksiden yang bergantung atau bersandar pada yang dilekatinya, substansi, karena entitas subjektif bukanlah bukanlah salah kategori aktivitas psikologis (kaif nafsani). Kategori ‘aktivitas psikologis’ yang merupakan salah satu dari macam-macam akisden hanya akan berada dalam subjek (substansi) yang dilekatinya. Sedangkan entutas subjektif (al-maujud al-zihni) bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam subjek (zihn), karena ‘kebersemayaman’ (hulul) dalam sesuatu hanya akan terjadi apabila terlah ada terlebih dahulu hubungan khusus antara ‘yang bersemayam’(al-ha^l) dan  ‘yang disemayami’ (al-mahall). Selama hubungan khusus tersebut tidak ada, maka ‘kebersemayaman’ tidak akan pernah terjadi. Sementara kebergantungan entitas subjektif pada subjek tidak bergantung pada hubungan tersebut.
3.    ‘Substansi’ dalam ‘entitas subjektif’ adalah substansi secara eksistensial, dan tidak berubah menjadi akisden. Hal itu karena substansi adalah sesuatu yang hanya akan ‘mengada’ sebagai subjek (penyandang) itu sendiri, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah subjek (sandangan). Aksiden juga demikian. Ia akan tetap sebagai aksiden, disandang atau menjadi sandangan,  meski berada dalam entitas subjektif. Sedangkan ‘entitas subjektif’ –sebagai entitas subjektif- (al-maujud al-zuhni) bukanlah ‘substansi’ (al-jauhar) dan bukan pula ‘aksiden’ (al-arazh), karena pokok pembagian substansi dan aksiden adalah quiditas (esensi, al-mahiyah) dengan memperhatikan relasi wujud quiditas, yang merupakan sumber pengaruh-pengaruh (mansya’ al-atsar), yaitu wujud objektif quiditas tersebut.
4.    Subjek (mental, al-zihn) adalah domain pengertian-pengertian (al-mafahim). Sedangkan domain ekstensi-ekstensi (mashadiq, manifestasi) adalah realitas objektif (fakta). Masing-masing mengikuti hukum dan aturan-aturan yang khusus dan otonom sehingga tidak bisa dicampur-adukkan. Pengertian atau konsep ‘mustahil’, misalnya, bukanlah ‘mustahil ada’, namun ekstensi (mishdaq) ‘mustahil’ adalah ‘mustahil ada’. Anggapan bahwa entitas subjektif dan entitas objektif memiliki hukum dan konsekuensi yang sama bahkan satu adalah salah. Bahkan tidak ada pertentangan (tazhad) dan pergesekan (tazahum) antar entitas-entitas material. Mereka tidak berbentuk (al-hajm), tidak berbobot (tsiqal), tidak bermasa, tidak bertempat dan tidak menyandang sifat-sifat yang lazim disandang oleh setiap entitas objektif.
5.    Penilaian bahwa entitas subjektif tidak ada dalam subjek meniscayakan ke-ada-annya dalam subjek, sedangkan penilaian bahwa entitas objektif tidak ada dalam realitas (objek) tidak meniscayakan ke-ada-annya dalam realitas. Karena itulah, pertemuan ‘dua kontradiktif’ mustahil (pasti tiada) dalam realitas objektif, sedangkan penafiannya (dua kontradikstif tersebut) dalam subjek (benak) meniscayakan ke-ada-annya dalam subjek.
6.    Entitas subjektif hanya memerlukan satu sebab, yaitu subjek (zihn) semata, yang merupakan sebab efesien (al-illah al-fa’ilah)-nya. Sedangkan entitas objektif (al-maujud al-khariji) kadang kala memerlukan sejumlah sebab.

  1. Untuk menjadi ada, entitas subjektif tidak ‘memrlukan’ atau tidak didahului dengan kapasitas (al-qabiliyah). Sedangkan entitas objektif, terlebih dahulu, mesti berupa potensi atau memiliki potensi, sebelum meng-ada. Kalau tidak, maka ke-ada-annya mustahil.
  2. Entitas objektif tidak akan pernah bisa bersemayam (hulul) dalam subjek (mental), karena inti atau hakikatnya (hakikat eksistensi objektif) adalah realitas objektif dan sumber pengaruh-pengaruh objektif. Karenanya, ia mustahil menjadi sebuah entitas objektif dan kehilangan ‘status’-nya sebagai sumber pengaruh-pengaruh objektif. Andaikan entitas objektif diasumsikan dapat (berubah) menjadi entitas subjektif, maka itu berarti ia adalah entitas objektif dan bukan entitas objektif. Inilah yang disebut dengan inqilab. Renungkanlah! (Al-falsafah Al-ulya, 94).

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!