Rabu, 13 Juni 2012


 Bag 02

WUJUD SUBJEKTIF

Para filsuf muslim membagi quiditas-quditqas (Al-mahiyat) yang telah mengenakan busana wujud dalam realitas memiliki wujud lain yang tidak menyandang pengaruh-pengaruh objetif real. Wujud yang tidak memiliki konsekuensi-konsekuensi real inilah yang disebut dengan wujud subjektif (Al-wujud Adz-Dzihni), yaitu pengetahuan dan konsep kita tentang quiditas segala sesuatu.

Sesuatu yang ada karena manusia mempersepsinya disebut sesuatu yang ada secara konseptual. Eksistensi konseptual tak ubahnya bayangan atau pantulan dari eksistensi real objektif. Gambar di benak kita tentang Salim, misalnya, adalah sesuatu yang ada secara konseptual setelah tidak lagi bertemu dan melihat sosok Salim yang ada secara real.

Eksistensi subjektif ini, dalam kamus filsafat ontologi, disebut Ash-shurah (konsep, ide). Kata Ide (Idea) berasal dari kata Yunani eidos yang semula berarti visi atau kontemplasi. (Kamus Filsafat, 297). Ide didefinisikan sebagai gambaran yang muncul sebagai pantulan dari entitas real dan objektif. Sedangkan realitas didefinisikan sebagai entitas objektif yang ada di luar subjek dengan pengaruh-pengaruhnya.  Pemilik eksistensinya disebut maujud (entitas) atau quiditas yang berwujud (Al-mahiyah Al-maujudah).

Ringkasnya, segala sesuatu mempunyai keberadaan objektif dan keberadaan subjektif. Bedanya, keberadaan objektif menyandang predikat-predikat material , seperti es objektif yang dingin, sedangan es yang subjektif (yang ada dalam benak) kita tidak dingin.
 
Polemik seputar entitas subjektif
Isu tentang ada dan tidak adanya realitas telah ditanggapi secara berbeda oleh para filsuf yang terpencar ke dalam berbagai aliran filsafat ontologi epistemologi, seperti idealisme, realisme dan dualisme.

Idealisme
Idealisme dapat dibagi ke dalam berbagai macam aliran, antara lain Idealisme Palto, Idealisme Fitche, Idealisme Berkeley, Idealisme Kant, Idealisme Hegel, Idealisme T. Green,  Idealisme Herbert Bradley, Idealisme Schelling, Idealisme William T Harris (1835-1909), Idealisme Borden Parken Bowne (1847-1910), Idealisme Jonathan Edwards, Idealisme Bernad Bosan-quet yang dikenal sebagai hegelian, Idealisme Josiah Royce (1855-1916), seorag hegelian, Idealisme James Edwin Creghton (1861-1924), Idealisme Henry Bergson, Idealisme Hastings rashdall, Idealisme Ward, Idealisme Gentile, Idealisme Fouilee, Idealisme Paulsen. Ini semua tidak bertalian secara langsung dengan tema pokok buku ini. Karenanya ia tidak perlu dibahas.

Namun, idealisme yang kami maksud di sini adalah aliran filsafat yang menolak eksistensi realitas. Idealisme juga disebut dan disamakan dengan mentalisme atau konseptualisme. Aliran ini beranggapan bahwa alam semesta adalah penjelmaan pikiran. Untuk bereksistensi, realitas bergantung pada pikiran. Hanya pikiran-lah yang ada. Aliran lain yang tidak terlalu berbeda dengan idealisme adalah nominalisme. Ia adalah aliran yang menyatakan bahwa universalia (konsep-konsep universal) bukanlah entitas-entitas subjektif dan objektif. Ia hanya nama-nama dibuat. Para penganutnya antara lain adalah William Ockham, Jean Buridan Thomas Hobbes dan David Hume. ((Kamus Filsafat,  487, 300, , 724).

Kritik atas idealisme
Menurut, salah satu pionir mutakhir Mazhab Qom, Ayatullah Muammad Husein Thabathabai, bila seorang idealis marah setelah ditampar, maka jawaban yang patut diberikan ialah ‘perbuatan menampar hanyalah konsep dan ide, sebagaimana anda yakini. Karenanya, anda tidak pernah marah, karena ia hanyalah sebuah ide, bukan realitas.”

Hubungan  antar sesama konsep (entitas subjektif)
Perhatikanlah hal-hal berikut; bunga, genap, putih, manis, dan delapan. Apakah semuanya berkaitan? Tentu tidak, karena hanya ada dua hubungan saja, antara dan delapan, dan antara bunga dengan putih. Dua hubungan ini terpantul dalam benak kita dalam bentuk dua premis “angka delapan (adalah) genap” dan “bunga (itu) putih”.  Karena ‘genap’ atau ‘manis’ atau ‘angka delapan’ tidak berhubungan ‘bunga’, karena ‘bunga’ atau ‘putih’ atau ‘manis’ tidak berhubungan dengan ‘angka delapan’, dan karena ‘putih’ atau ‘manis’ atau ‘genap’ tidak saling berhubungan, maka   tdak mungkin premis yang terpantul dalam benak kita adalah, misalnya, “angka delapan (itu) putih”, atau “genap itu manis”.

Lalu perhatikan lagi, apakah hubungan antara ‘bunga’ dan ‘putih’ menyerupai hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’? Tentu tidak, hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’ adalah hubungan yang tak dapat diputus dan dipisahkan. Sedangkan hubungan antara ‘bunga’ dan ‘putih’ dapat diputuskan dan dipisahkan, karena kita bisa mengkonsepsikan ‘bunga’ tanpa predikat ‘putih’ dan mengkonsepsikan ‘putih’ tanpa ‘bunga’ dalam kondisi dan situasi tertentu. Itu berarti bahwa ada dua bentuk hubungan; ‘hubungan yang niscaya’ (bil-zharurah), dan ‘hubungan yang tidak niscaya’ (la bil-zharurah).

Dua hubungan niscaya
‘Hubungan niscaya’ terbagi dua;
  1. Hubungan niscaya eksistensial yang biasa disebut dengan (Al-wujub).
  2. Hubungan niscaya non eksistensial yang biasa disebut  impossiblitas (Al-Imtina’). (Hasti Shenasi, 83-86).

Dua hubungan tidak niscaya
‘Hubungan tidak niscaya’ juga dapat dibagi dua;
  1. ‘hubungan tidak niscaya’ eksistensial, yaitu ketidak pastian untuk menjadi ada.
  2. ‘Hubungan tidak niscaya’ non eksistensial, yaitu ketidak pastian untuk menjadi tiada.

Tiga macam entitas Subjektif (Pengertian, konsep)
Seacara klasik, konsep (entitas subjektif atau entitas objektif artifisial)   dapat dibagi menjadi dua;
  1. Pasti ada (Al-wujub). Yaitu keberadaan (ke-ada-an) sesuatu yang tidak diakibatkan oleh sebab lain atau sesuatu yang ada secara pasti dan niscaya. Inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li dzatihi Dengan kata lain, ‘kepasti-ada-an’ adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat.
  2. Pasti tiada (Al-Imtina’). Yaitu kenir-ada-an yang tidak diakibatkan oleh sebab selain dirinya, atau ‘sesuatu’ yang tiada secara pasti dan niscaya. Deangan kata lain, kepasti-tiada-an adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat.
  3. Tidak pasti (Al-Imkan). Yaitu ke-ada-an sesuatu yang diakibatkan sebab yang mengadakannya, atau sesuatu yang ke-ada-an dan ketiadaannya tidak pasti. inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li ghairihi. Dengan kata lain, ‘ketidak-pastian’ (Al-imkan) adalah bentuk hubungan tidak niscaya  antara subjek dan predikat.  (Hasti Shenasi, 83, Ta’liqah ala Asy-syifa’, 28, Al-Mabda’ wal- Ma’ad karya Mulla Shadra, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah, 427-428, Hakadza Nabda’, 223-224, Nihayatul-Hikmah, 55-56).

Sebagian filsuf Mazhab Qom menolak definisi tentang ‘kepastian’ (azh-zharutrah) dan ‘ketidakpastian’ (Al-imkan). Muthahhari, misalnya, mengatakan bahwa keduanya sangat gambar, sehingga tidak memerlukan penjelasan. (Ushul e Falsafeh va Realisme, sairi dar Adeleh e Itsbat e Wujud Khuda, 119).

Macam-macam ‘ketidakpastian’
Dalam filsafat, terminologi ‘kemungkinan’ atau Al-imkan atau possibilitas telah digunakan secara beragam. Untuk lebih dipahami secara jelas, berikut penjelasannya.
1.      Kemungkinan umum (Al-imkan Al-am). Ia berarti ‘negasi terhadap kemestian (zharurah) sisi yang berlawanan dengan premis’. Dengan kata lain, kemungkinan umum adalah sesuatu yang bukan mustahil. Bila kita katakan; “Manusia adalah penulis” atau “Hasan adalah orang kaya”, maka berati ‘ke-penulis-an’ dan ‘ke-kaya-an’ bagi manusia dan hasan bukanlah sesuatu yang mustahil.
2.      Kemungkinan khusus (Al-imkan Al-khash). Ia berarti negasi kemestian dua pihak atau sisi yang berlawanan dan yang berkesesuaian. Dengan kata lain, kemungkinan khusus adalah gabungan dari dua macam kemungkinan umum. Bila dikatakan, misalnya, “manusia adalah pemkir”, maka bahwa ia berpengetahuan tidaklah pasti, dan bahwa ia tidak bodoh bukanlah sesuatu yang pasti pula. Inilah yang disebut juga dengan ‘kemungkinan populer’.
3.      Kemungkinan lebih khusus (Al-imkan Al-akhas). Ia berarti negasi terhadap kemestian dalam substansi, predikat dan waktu. Dengan kata lain, jika kita membandingkan sebuah predikat (sifat) dengan zat (subjek penyandang) dan natur sebuah quditas (mahiyah), maka kita akan menyimpulkan bahwa ‘segala bentuk afirmasi atau keniscayaan antara natur dan prdikat  tersebut tidak ada sama sekali. Artinya, kemestian dalam substansi, predikat dan waktu atas quiditas itu tidak ada. Inilah yang disebut dengan ‘kemungkinan lebih khusus’.
4.      Kemungkinan Mendatang (Al-imkan Al-istiqbali). Ia berarti negasi terhadap kemestian peristiwa yang belum terjadi. Namun, sebagian besar filsuf tidak menganggap macam keempat ini sebagai kemungkinan yang logis, karena mungkin dan tidak mungkin harus didasarkan pada kaidah kausalitas dan rangkainnya, bukan pada keterjadiannya.
5.      Kemungkinan potensial (Al-imkan Al-isti’dadi). Penjelasan: Tidak diragukan lagi, bahwa setiap entitas , berdasarkan hukum transformasi dan perubahan, memiliki potensi dan kapasitas untuk mengalami perubahan substansial. Menjadi ‘manusia’ bagi janin dalam perut ibu adalah sebuah posibilitas potensial. Jadi kemungkinan kelima ini bertumpu pada dua relasi; aktus dan potesi.
6.      Kemungkinan faktual atau aktual (Al-imkan Al-wuqu’i). Ia berarti sesuatu yang tidak mustahil untuk diandaikan. Kadang kala kita menkonsepsikan sesuatu , lalu tanpa disadarkan pada sebuah bukti dan alasan, kita segera menganggapnya mustahil, karena, misalnya, bertentangan dengan prinsip non kontradiksi. Namun kadang kala kita mengkonsepsikan sesuatu, namun akal tidak secara mudah memutuskannya sebagai sesuatu yang mustahil terjadi dan sebaliknya.
7.      Kemungkinan eksistensial (Al-imkan Al-faqri).   Penjelasan: setiap entitas yang ‘tidak pasti’ dapat diurai secara rasional menjadi dua; wujud (ke-ada-an) dan esensi (ke-apa-an, mahiyyah). Masing-masing memiliki ciri dan hukum tersendiri. Kemungkin zati (Al-imkan Az-zati) adalah negasi ke-ada-an dan ketiadaan dari ciri-ciri khas ke-apa-an. Namun kemungkinan dalam entitas-entitas yang ‘tidak pasti’ berarti ketergantungan secara zati pada prinsip pengada. Karena ia hanya memiliki ketergantungan semata, maka hakikatnya adalah ketergantungan. Maujud-maujud demikian pada hakikatnya tak ubahnya konsep-konsep tentang tentang harf dalam bahasa Arab atau kata bantu dalam bahasa Indonesia, yang tidak memiliki arti secara mandiri, kecuali bila berada di antara kalimat-kalimat yang memiliki arti mandiri. Kata ‘di’ tidak berati sama sekali bila dibiarkan sendiri, namun bila di diletakkan diantara kata ‘Muhammad’ dan ‘sekolah’, maka ia mempunyai arti tertentu. Ini adalah temuan dari Pendiri mazhab Qom, Shadruddin Syirazi. Menurutnya, ‘entitas ‘tidak pasti‘ tidaklah bergantung pada entitas ‘pasti ada’, namun entitas tidak pasti itu sendiri adalah kebergantungan. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 2, hal. 286).
8.      Kemungkinan dibanding lain (Al-imkan bil-qiyas).
(Elm e Kulli, M. Haeri Yazdi, 112-117, Nihayatul-Hikmah, 61-66).

Macam-macam Kepastian
Kepastian (Azh-zharurah, Al-wujub) adalah kemustahilan tentang keterpisahan antara dua hal. Sebagian filsuf mebagi tiiga sebagai berikut:
1.         Kepastian subjektif (Azh-zharurah Az-zatiyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya predikat dari subjek (dalam premis) selama subjek tersebut ada, seperti kemustahilan menegasi (mencabut) ukuran dari benda yang masih ada, atau kemustahilan mengasi (mencabut) sesuatu dari diri sesuatu itu sendiri.
2.         Kepastian eternal (Azh-zharurah Al-azaliyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya predikat dari subjek selamanya, seperti kemustahilan mengasi wujud dari sebuah maujud yang azali (tak bermula), atau kemustahilan mencabut wujud dari wujud itu sendiri.
3.         Kepastian predikatif (Azh-zharurah Al-washfiyah). Ia diartikan sebagai kemustahilan terpisahnya predikat dari subjek (dalam premis) ketika subjek tersebut menyandang sifat, seperti kemustahilan tidak bergeraknya jari pada saat tangan menyandang sifat ‘menulis’. (Al-falsafah Al-ulya, 39-40).

Namun Allamah Thabathabai menambahkan kepastian temporal (Azh-zharurah Al-waqtiyah) sebagai macam keempat, seperti premis ‘setiap manusia pasti bernafas sewaktu-waktu’. Namun, beliau juga mengatakan bahwa macam keempat ini bermuara ke macam ketiga, kepastian predikatif. (Nihayatul-Hikmah, 60).

 PENGETAHUAN
Epistemologi adalah bidang filsafat yang menjadi landasan bagi semua pengetahuan manusia. Keyakinan atau teori apapun yang penah ada dalam benak setiap manusia bersembur dari epistemologi. Epistemologi membahas definisi pengetahuan, macam-macam pengetahuan, alat-alat pengetahuan, batas-batas pengetahuan, dan proses terbentuknya sebuah pengetahuan. Karena itulah, ia sangat perlu untuk dipelajari, terutama bagi para pencari kebenaran. )Theory of Knowledge, Chiholm, P. 5).

Istilah ‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata Yunani ‘episteme’ yang berarti ‘pengetahuan’ (kwowledge) dan ‘logos’ yang berarti ‘teori’, dan dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan ‘teori pengetahuan’.

Istilah ‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris digunakan kali pertama oleh J.F. Ferrier dalam Intstitues of Metaphysics pada tahun 1854. Sedangkan yang pertama kali menggunakannya dalam bahasa Jerman ‘Evkenntnistheorie’  adalah K. R. Reinhold. (The Dictionary of Philosophy, ed, D.D. Runes, P. 94, Ma’refat Shenashi dini va Mo’asher, 28, M. Taqi Fa’ali).

Sebenarnya para filsuf Mazhab Qom kurang setuju dengan pengedepanan epistemologi atau filsafat pengetahuan atas ontologi atau filsafat keberadaan, karena, beberapa alasan. Pertama, pengetahuan tidak akan bisa dibicarakan sebelum ke-ada-an subjek pengetahu  dipastikan. Kedua, pengetahuan adalah salah satu dari bidang ontologi, karena pengetahuan adalah entitas subjek yang merupakan pasangan bagi entitas objektif atau realitas, realitas yang terinderakan (al-waqi’ al-mahsus) dan realitas tak terinderakan (namun ternalarkan), (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 151, Elme Huzhuri, M. fana’ee Ashkevari, 19). Realitas ternalarkan (Al-waqi’ al-ma’qul) itu bermacam dua; realitas tak terinderakan yang bersifat interval (alam al-mitsal), seperti mimipi, dan realitas tak terinderakan yang bersifat abstrak secara total.

Epistemologi adalah bidang filsafat yang secara khusus membahas entitas subjektif (al-maujud al-zihni). Pengetahuan (Al-ilm) adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif. Bahkan bila ditelusuri lebih jauh, pengetahuan bukan hanya sebuah entitas subjektif, namun ia adalah sebuah entitas objektif yang tak terinderakan. Pengetahuan yang merupakan sebuah entitas objektif tak terinderakan tidak lagi disebut pengetahuan (Al-ilm) namun disebut dengan Al-aql, yang berarti entitas abstrak yang tidak menyandang sifat-sifat kebendaan. (Al-falsafah Al-ulya, 270-275, Ashlul-ushul, 8, Al-masyari’ wal-mutharahat, juz 1, hal. 45, An Introduction to Contemporary Epistemology, P. 1, The Encyclopedia of Philosophy, P. 63).

Alasan-alasan yang dikemukakan para filsuf ketimuran tersebut sangat tepat. Namun, karena ‘ke-ada-an’ tidak akan pernah diyakini sebelum subjek mengetahuinya lebih dulu, maka tema-tema pembahasan dalam buku ini mengikuti sistematika urutan modern yang dimulai dengan epistemologi. Harap dimaklumi. Jadi, epistemologi, yang disusun oleh para filsuf Barat, sebenarnya di mata para filksuf Mazhab Qom tidak lebih dari sekedar filsafat wujud subjektif.

Dalam benak kita, sejak lahir hingga kini, telah terkumpul ribuan atau bahkan jutaan  konsep tentang berbagai sesuatu yang pernah kita tangkap, seperti rumah yang kita lihat, aroma segar parfum dari Paris, rasa sedap makanan di warung langganan dan sebagainya. Namun, sebagian dari konsep-konsep itu ada yang benar dan sesuai dengan fakta, ada yang salah dan tidak faktual, dan ada pula tidak bisa dianggap benar maupun salah.

Apakah ketidaktahuan itu? Apakah pengetahuan itu? Berapa macamnya? Berapa alat pengetahuan? Bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar atau sesuai dengan realitas objektif? Bisakah memperoleh pengetahuan yang benar? Dengan sarana apakah? Itulah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan penting yang dijawab dalam epistemologi.

Bagian dan isu pertama yang kita bahas adalah “tindak mengetahui”, “subjek yang mengetahui”, dan “objek yang diketahui”. Tanpa pemahaman yang jelas tentang peta dan rambu-rambu pengetahuan, maka manusia (makhluk berakal budi) sulit bahkan mustahil dapat memasuki dan menjelajahi dunia pengetahuan. Karenanya, tak pelak bagian ini harus menjadi “garis start” bagi setiap pencari kebenaran dan kebijakan.

Ketidaktahuan dan kebodohan

Ketidaktahuan adalah lawan dari ‘ketahu-an’ atau pengetahuan. Karenanya, kita perlu membahasnya meski secara singkat. Disebutkan bahwa salah seorang filsuf atau pemikir Islam membagi manusia menjadi empat;
  1. ‘Manusia berpengetahuan’ yang mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’.
  2. ‘Manusia berpengetahuan’ yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’.
  3. Manusia tidak berpengetahuan yang mengetahui atau mengaku  bahwa dirinya adalah ‘manusia tidak berpengetahuan’.
  4. Manusia tidak berpengetahuan yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia yang tidak berpengetahuan.

Definisi ketidaktahuan

Ketidaktahuan atau kebodohan (Al-jahl) dapat diartikan dengan ketiadaan atau ketakhadiran konsep suatu objek  (dalam pengetahuan hushuli) dan ketidakhadiran entitas immaterial sebuah objek (dalam pengetahuan hudhuri).

Distingsi ketidaktahuan

Ketidaktahuan dapat dibagi, berdasarkan peringkat, menjadi dua;
1.    kebodohan kompleks (Al-Jahl Al-Murakkab). Yaitu ketidaktahuan yang tidak disadari oleh ‘subjek yang tidak mengetahui’.
2.    Kebodohan sederhana (Al-Jahl Al-Basith). Yaitu ketidaktahuan yang disadari oleh ‘subjek yang tidak mengetahui’.

Manusia yang bodoh secara kompleks (mengalami komplikasi kebodohan), tidak akan pernah berpeluang untuk menjadi ‘manusia berpengetahuan’. Karena itulah, pembahasan-pembahasan dalam buku ini hanya bisa diikuti oleh manusia tidak tahu secara sederhana dan calon  ‘manusia berpengetahuan’.

Ke-tahu-an dan Pengetahuan

Jika kita menoleh ke belakang atau mencari titik akhir dari alam material, maka kita akan menemukan benda pertama terkecil di dalamnya, yang disebut dengan atom atau partikel atau energi. Yang pasti,  ada sebuah entitas material yang merupakan asal muasal dari alam yang kompleks ini. Setiap entitas material di alam ini adalah kumpulan dari atom-atom yang jumlahnya tak terkirakan.

Atom memiliki substansi dan ciri tertentu. Ada entitas material tertentu yang memiliki ciri atom dan sekaligus menyandang sifat-sifat substansial yang tidak ada dalam setiap entitas atomik atau materi. Batu dapat dipandang sebagai benda, karena ia berada dalam ruang dan waktu, dapat dipandang sebagai atom, karena benda terkecil adalah atom, dan dapat pula dipandang sebagai benda padat, karena ciri kepadatannya yang khas, demikian pula air yang merupakan benda atomik sekaligus benda yang menyandang sifat cair, demikian pula gas, api atau ion.

Selain benda padat, cair dan gas, terdapat entitas material padat, cair dan gas yang memiliki ciri-ciri khas lebih. Tumbuh-tumbuhan dengan segala macamnya, daun, kembang, tangkai, pokok, buah, biji dan sebagainya bukanlah sekedar benda padat, namun ia “berkembang” dan “tumbuh”.

Di tengah tumbuh-tumbuhan, ada sekelompok entitas yang merupakan benda bekembang sekaligus “berindera” dan “berperasaan”, yaitu hewan atau binatang. Ia bergerak dengan kehendak dan nalurinya, makan, minum, melakukan aktivitas seksual, menyusui anaknya dan sebagainya.

Di tengah hewan ada sekelompok hewan yang tidak hanya berperasaan dan berindera, namun juga berakal (mempunyai akal).Dialah manusia.

Definisi ‘Pengetahuan’

Apakah ‘tahu itu? Apakah pengetahuan itu? Apakah subjek pengetahu itu? Apakah objek yang diketahui itu? Berapakah  macam pengetahuan? Apakah alat pengetahuan itu? Mungkinkah manusia memperoleh pengetahuan? Bagaimana membedakan antara pengetahuan yang benar dan tidak benar? Apa hubungan antara pengetahuan yang benar dan keyakinan? Pertanyaan-pertanyaan  ini sangat perlu untuk dijawab.

Pertama-tama kita perlu memahami bahwa istilah “pengetahuan” yang kami gunakan disini bersifat umum, bukan hanya terbatas pada pengetahuan yang kini lebih sering disebut dengan “ilmu pengetahuan” dan “sains”. Pengetahuan yang kami bahas di sini adalah setiap konsep mental yang lazim disebut “knowledge” dan “al-ma’rifah”.

Jika seseorang mengklaim “tahu” atau “berpengetahuan” dan  berkata: “Saya tahu bahwa besok hujan akan turun’, maka syarat-syarat apakah yang semestinya telah dipenuhinya, sehingga kita dapat menganggapnya berhak mengaku dirinya berpengetahuan atau mengetahui?

Ada sekelompok filsuf muslim yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang perlu didefinisikan meski mengakuinya sulit, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Juwaini dan Al-Ghazali. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 67, Nadhariyatul-Ma’rifah, 18, Al-Mustasfa, juz 1, hal 25). Sementara sekelompok filsuf dan teolog lainnya, seperti Abubakr Al-baqilani (403 H) , Abul-hasan al-asy’ari (260-324 H) Ibnu Faorak Al-Asy’ari (406) Al-Iji, Al-Fakhr Ar-Razi, Sa’duddin At-taftazani, Ikhwan Ash-Shafa, Quthbuddin Asy-Syirazi, Abu Ali Sina ,  telah memberikan beragam definisi tentang pengetahuan. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 69-76, Ushulud-Din, 5, Syarhul-maqashid, hal. 185-197, Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa, juz 1, hal. 262, An-najah, Ibnu sina, 344, Durratut-taj Quthb Asy-Syirazi, 65, Nadhariyatul-ma’rifah, 20-33, Asy-Syifa’ Kitabun-nafs, 50, At-ta’liqat, Ibnu Sina, hal. 69, 82, Asy-Syifa’, Al-Ilahiyat, 361, AlIsyarat, juz 2, hal. 308). ).

Berdasarkan pengamatan Nasiruddin Thusi, perdebatan tajam dan panjang tentang definisi pengetahuan, bukan karena ketakjelasannya, namun semata-mata karena hakikatnya sangatlah gamblang. (Syarah Al-Isyarat wat-Tanbihat 1/313)

Oleh karena itu, ada sekelompok filsuf yang menolak untuk memberikan definisi pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa, pengetahuan adalah sesuatu yang sangat gamblang sehingga tidak perlu didefinisikan, sebagaimana pendapat Al-Razi (543-606 H). Ia mengemukakan dua alasan  untuk itu. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 62 - 66, Nadhariyatul-Ma’rifah, 18).

Lebih dari itu, Sebagian filsuf lain beranggapan bahwa pengetahuan mustahil didefinisikan. Mereka mengingatkan bahwa pengetahuan adalah suatu hakikat yang dihayati dan disaksikan langsung 0oleh batin manusia secara inheren. Adapun yang disebut-sebut sebagai definisi pengetahuan, menurut mereka,  tidak lebih dari upaya-upaya untuk memahami dan menafsirkan penyaksian batin tersebut secara filosofis dan konseptual serta menemukan cirri-ciri khususnya, seperti definisi “Pengetahuan yaitu hadirnya yang diketahui (objek) pada jiwa pengetahu (subjek).”

Definisi pengetahuan telah mendapat banyak kritik. Salah satu kritik tajam  dilontarkan oleh Edmund Gettier yang dikutip oleh Alvin Plantigna. (Elm e Hudhuri, Eshkevari 21, Ma’refat  Shesnasyi, Ibrahimiyan 49,  Al-Asfar Al-arba’ah, 3/278, dll)

Kontroversi seputar pengetahuan

Bagaimanakah pengetahuan itu?  Para filsuf terpecah menjadi aliran besar dalam epistemologi. Yaitu sebagai berikut:

Representasionisme
Sebagian besar filsuf, termasuk kaum idealis seperti Josiah Royce (1855-1916) berpendapat bahwa mental manusia dalam konteks persepsi, tidak cukup dengan sendirinya berhubungan dengan suatu objek. Ia hanya akan bisa mengetahuinya lewat perantara, yaitu gambar yang ada pada mental dari objek tersebut. John Stuart Mill (1806-1873), W. James (1842-1910) dan Baldwin secara radikal mengatakan bahwa pengetahuan kita akan diri kita sendiripun hushuli (hushuli) dan tidak aksiomatis (Vocabulaire Technique ef Critique de la Wastiq.) Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi Gulam ridha

Presentasionisme
Pendangan ini didukung oleh Perseptionisme dan neo realisme yang dibidani oleh William Pepperell Montaque (1873-1955), sebagai reaksi atas kritik-kritik Royce atas seperjuangannya; Empirisme Nominalistik yang meyakini independensi setiap entitas, dan segala relasi yang kita cermati di antara entitas mesti dipandang sebagai entitas mandiri pula.

Menurut mereka, mental manusia dengan sendirinya bisa mengetahui langsung objek-objek pengetahuannya, tanpa perlu perantara gambar apapun. Klaim ini dibubuhi dengan kritik balik Montaque atas Royce yang dipandang oleh sebagian filsuf, seperti A.O. Lovejoy (1873-1962), G. Santayana (1863-1952), C.A. Strong (1862-1940) sebagai sikap penyepelean terhadap royce. Dengan cara ini, mereka menggalang barisan baru di dalam tubuh realisme yang dikenal dengan Critical Realism of America.(The History of Philosophy, F. Copleston 8/301,425-426, Farhang o. Stally brass-bullack 830-831)

Perbincangan di atas tidak tebatas pada sastra filsafat barat anglo saxon, tetapi dua pandangan itu dapat kita saksikan di dunia islam. Sadrul Mutaallihin yang dikenal juga dengan Mulla Shadra ( -1050 H)dengan penafsiran tipikal meyakini bahwa seluruh pengetahuan manusia pada dasarnya diperoleh secara langsung dan hudhuri, kendati pada prima facie (tinjauan awal) penegetahuan berperantara atau hushuli berikut pembagian pengetahuan di atas tadi dianggap valid, sebagaimana yang diyakini oleh filsuf-filsuf sebelumnya. (Al-Syawahid Ar-Rububiyah, Mulla Shadra).

Yang terpilih
Pendapat yang benar adalah bahwa  pengetahuan (entitas ternalarkan) bermacam dua; hushuli dan hudhuri, sebagaimana akan kita buktikan dalam satu satu bagian dari pembahasan ini.

Pengetahuan hudhuri dan rehudhuri

Secara umum, semua pengetahuan pada mulanya bermacam dua, dilihat dari proses kemunculannya dalam diri ‘manusia berpengetahuan’.
  1. Pengetahuan hudhuri (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah). Ia dalah sesuatu  yang hadir dalam diri atau diketahui secara kehadiran tanpa perantara apapun. (Nadhariyatul-Ma’rifah, 2I- 22).
  2. Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Ia adalah  gambaran tentang sesuatu yang ditangkap oleh jiwa dengan salah satu dari panca indera eksoterik (fisik). Pengetahuan kedua ini akan dibahas secara lebih rinci pada bagian berikutnya.

Pembagian ini bersifat deduktif rasional, sehingga tidak akan pernah muncul lagi jenis ilmu ketiga selain ilmu hushuli dan hudhuri. Penegasan ini didasarkan pada dua alasan sebagai berikut:
  1. Jika ada perantara antara subjek pengetahu (alim) dan objek yang diketahui (ma’lum), maka ia adalah pengetahuan hushuli. Jika tidak maka ia disebut pengetahuan hudhuri. (Amuzesye falsafeh, juz1, hal. 153, Ulume Payeh, 72)
  2. Kehadiran objek yang diketahui dalam diri subjek pengetahu hanya bisa dimengerti dalam salah satu dari dua asumsi. Asumsi pertama ialah bahwa yang memasuki diri subjek pengetahu adalah ‘objek yang diketahui’ dengan  quiditasnya semata. Dengan kata lain, yang ditangkap oleh subjek pengetahu adalah quiditas (ke-pa-an) objek semata. Asumsi kedua ialah bahwa yang memasuki diri ‘subjek pengetahu’ adalah ‘objek diketahui’ dengan eksistensinya (ke-ada-an)-nya. Dengan kata lain, yang hadir dalam diri alim adalah wujud objek tersebut.(Nehayatul-Hikmah, 237).

Pengetahuan yang bermuatan quiditas objek yang diketahui adalah pengetahuan hushuli. Sedangkan pengetahuan yang berisikan eksistensi objek yang diketahui adalah pengetahuan hudhuri.

Dengan demikian, karena selain quiditas (ke-apa-an) dan selain eksistensi (ke-ada-an, wujud) hanyalah ketiadaan, maka pembagian dan pembatasan pengetahuan pada hudhuri dan hushuli bersifat rasional dan deduktif, bukan induktif. (Ulume Payeh, 72).

Manusia berpotensi untuk memperoleh dua macam pengetahuan;
  1. pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut “pengetahuan hudhuri” (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah).
  2. pengetahuan hushuli, yang disebut pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah).

Antara Pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli

Ada tiga ciri perbedaan antara ilmu hudhuri (presentatif, persentif) dan ilmu hushuli (hushuli, hushuli).

Ciri perbedaan pertama adalah ‘perantara’. Pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan yang hadir dalam diri subjek pengetahu tanpa perantara. Sedangkan pengetahuan hushuli adalah pengetahuan yang didapat oleh subjek pengetahu dengan perantara. (Syarh Mandhumah, hikmah, 137, Ulume Payeh, 66, 67, Elm e Huzhuri, fana’I Ashkevari).

Ciri perbedaan kedua adalah ‘konsep’ atau gambaran yang merefleksikan realitas objektif di luar subjek pengetahu. (Shenakht Shenasi dar Qur’an, Javadi Amuli, 67, Sharh Manzhumah, 76, Hikmatul-Isyraq, 38, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 263,  Nehayatul-Hikmah, 210, Amuzesh Falasafeh, M. T. Mishbah Yazdi, 153, Nadhariyatul-Ma’rifah, Ja’far Subhani, 48). Ciri kedua ini bisa dianggap sebagai pelengkap dan penjelas ciri pertama, karena perantara pengetahuan hushuli adalah konsep yang terpantul dalam benak subjek pengetahu dari realitas objektif.

Ciri ketiga adalah alat. Pengetahuan hudhuri tidak memerlukan alat atau perangkat psikologis tertentu. Sedangkan pengetahuan hushuli  bergantung pada alat dan perangkat tertentu, sebagaimana dikatakan Mutahhari. (Ushule Falsafeh va Raveshe Realisme, juz 2, hal. 29-28).



PENGETAHUAN HUDHURI

Pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut “pengetahuan hudhuri” (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah) adalah entitas immaterial yang hadir dalam diri subjek yang immaterial pula, atau  pengetahuan tanpa perantara. (Metafisika, hal. 11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67, hal. 70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).

Dua pilar Pengetahuan hudhuri

  1. (Objek) Yang diketahui tanpa perantara.
  2. (Subjek) yang mengetahui tanpa perantara.

Dengan dua pilar diatas, pengetahuan hudhuri tidak bisa meleset. Karena kesalahan akan terjadi bilamana ada pemisah berupa konsep antara pengetahu dan objek yang diketahui (Al-Manhaj Al-Jadid 1/175-176).

Bidang-bidang Pengetahuan hudhuri

Objek-objek pengetahuan hudhuri sangatlah sedikit, namun ia merupakan cikal bakal dan sumber bagi pengetahuan-pengetahuan hushuli. Ia terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan konseptual, dan pengetahuan assentual.

Para filsuf menemukan beberapa ekstensi pengetahuan hudhuri yang berbeda tingkat kualitas dan kejelasan satu sama lainnya. Secara umum, pengetahuan hudhuri dapat dibagi menjadi dua:
1.    Pengetahuan hudhuri sederhana. Yaitu pengetahuan hudhuri pengetahu akan dirinya sendiri.
2.    Pengetahuan hudhuri kompleks. Yaitu pengetahuan manusia akan entitas dan objek selain dirinya.

Dua Pengetahuan hudhuri sederhana

Para ahli epistemologi Mereka menyebutkan dua macam pengetahuan hudhuri yang subjek dan objeknya satu, yaitu;
  1. Pengetahuan Tuhan akan dzatnya
  2. Pengetahuan subjek atau diri (manusia hudhuri) akan dirinya

Macam-macam Pengetahuan hudhuri kompleks

Para ahli epistemologi menyebutkan macam-macam pengetahuan hudhuri yang terdiri atas subjek dan objek yang berlainan. Antara lain sebagai berikut:
    • Pengetahuan sebab akan akibatnya.
    • Pengetahuan akibat akan sebabnya
    • Pengetahuan subjek  akan gambar-gambar konseptual
    • Pengetahuan subjek akan perbuatan-perbuatan dirinya
    • Pengetahuan subjek kondisi psikologis emosionalnya.
    • Pengetahuan subjek akan potensi-potensi dirinya.
(Ulume payeh, 82, M. Taqi Fa’ali, Nihayatul-Hikmah, Thabathabi, 299, Ilm-e-Huzuri, Fana’i esykevari 5-6, 29).

Gradasi Pengetahuan hudhuri

Perbedaan tingkat kejelasan diantara pengetahuan hudhuri bermuara pada dua hal;
1.    Intensitas. Semakin tinggi intensitas pengetahu tearhadap suatu objek, semakin jelas pengetahuan hudhurinya.
2.    Eksistensi pengetahu. Apabila kualitas dan tingkat eksistensinya tinggi, maka pengetahuan hudhurinya kian sempurna. Sebaliknya, jiwa yang lemah akan diikuti oleh kelemahan ilmu hudhurinya. Sedemikian lemahnya jiwa itu,terkadang ia memungnkiri objek pengetahuan hudhurinya sendiri. Namun ia akan pulh kembali dengan dibantu oleh meningkatnya intensitas terhadap objek tersebut .(Al-Manhaj Al-Jadid, 1/177-179, Ma’refat  e Shenasi , ibrahimiyan 83-84, dll).

Mental (dzihn) manusia, sebagaimana mampu menangkap gambar atau konsep dari objek-objek diluar (dirinya), ia juga dapat mencerap gambar atau konsep dari objek-objek di dalam (dirinya) yang diketahui secara hudhuri dan hudhuri, lalu menganalisa dan menafsdirkannya secara konseptual dan hushuli. Oleh karena itu, pengetahuan hudhuri selalu disertai pengetahuan husuli (hushuli).

Kendati pengetahuan hudhuri tidak mungkin meleset, namun karena terjadi kerancuan dan pencampur-adukan antara pengetahuan hudhuri dan pemafsiran konseptual/hushulinya yang bisa saja keliru, sehingga seringkali penafsiran salah itu yang dianggap sebagai pengetahuan hudhurinya.

Ciri-ciri Pengetahuan hudhuri

Setelah mengikuti secara seksama pembahasan seputar pengetahuan hudhuri, kita dapat menyimpulkan lima ciri khasnya sebagai berikut:
1.    Pengetahuan hudhuri tidak berperantara. Dengan demikian jelaslah, bahwa objek yang diketahui secara hudruri adalah objek itu sendiri dengan eksistensinya yang berdimensi intelektual immaterial.(al-ma’lum al-ilmi), meski tidak memilki pengaruh, karena ia bukan objek (al-ma’lum al-aini) yang memilki pengaruh. Dengan kata lain, seseorang yang menangkap sesuatu di luar dirinya secara huduri akan merasakan kehadiran sesuatu itu sebagaimana adanya, meski tidak memiliki pengaruh objektif. (Amuzesye Falsafeh, M.T. Misbah yazdi, juz 2, pel. 49, Nadhariyeh Badahat, 76).
2.    Pengetahuan hudhuri Bebas dari konsepsi (korespondensi, tashawwur,) dan bebas dari assensi (verifikasi, tashdiq). Pengetahuan yang dibagi menjadi konseptual dan assentual hanyalah jenis pengetahuan hushuli (hushuli, hushuli). Karena, konsepsi dan assensi bergantung pada konsep atau gambaran yang muncul di layar mental subjek pengetahu, maka pengetahuan yang sejak semula tidak diperantarai oleh sesuatu apapun, termasuk konsep, tidak dapat dibagi menjadi konseptual dan assentual. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 6, hal. 257, Hasyieh Sabzawari).
3.    Pengetahuan hudhuri tidak dapat dideskripsikan dipindahkan ke orang lain. Dengan kata lain, pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan yang personal dan spesial. Hanya dengan mukasyafah dan dengan memasuki domain irfan (teosofi), seseorang akan mendapatkan keburuntungan berupa pengetahuan hudhuri.
4.    Pengetahuan hudhuri tidak mengalami kesalahan dan kekeliruan, karena objek pengetahuannya hanyalah satu, yaitu realitas itu sendiri. Sedangkan pengetahuan bisa salah dan bisa meleset, karena objeknya bermacam dua; objek yang berhubungan dengan subjek, berupa konsep (bil- dzat) dan objek yang diperoleh melalui konsep (bil-aradh). Objek yang diperantarai konsep dapat meleset akibat distorsi dan faltor-faktor konstekstual lainnya.
5.    Kondisi teosofis, biasanya, tidak bertahan lama. Seseorang yang, berkat latihan spiritual panjang, menikmati anugerah pengetahuan hudhuri, biasanya, mengalami degradasi, fluktuasi  dan kehilangan anugerahnya apabila tidak konsisten dalam latihan tersebut. (Ulume Payeh, 80).

Sumber pengetahuan hudhuri

Sebenarnya pengetahuan hushuli dengan objek substansial dan primer, yaitu konsep, dapat dianggap sebagai salah satu macam pengetahuan hudhuri, karena konsep tersebut ‘hadir’ dalam diri subjek pengetahu tanpa perantara konsep lain. Seandainya konsep dalam pengetahuan hushuli memerlukan perantara konsep lain, maka pengetahuan hushuli tidak akan pernah diperoleh selamanya, karena konsep kedua yang menjadi perantara akan memerlukan perantara konsep yang ketiga dan begitulah seterusnya.

Perlu diketahui pula, bahwa ontologi dan realisme sejati, sebagaimana ditegaskan oleh Thabathabai, meyakini bahwa setiap entitas memiliki dua eksistensi; eksistensi material, eksistensi immaterial, yaanmg terbagi dua; ideal (mitsali) dan  abstrak (mujarrad). Realitas batu, misalnya, saat diketahui akan menampilkan eksistensi idealnya berupa gambar gambar batu. Gambar ‘batu’ ini bukanlah sesuatu yang berbeda dengan realitas batu di luar subjek pengetahu. Batu dan segala entitas memiliki eksistensi material dengan berat, ukuran, warna, kedalaman dan atribut-atribut kebendaannya. Batu juga memiliki eksistensi ideal dengan atribut-atribut immaterial dan idealnya. ‘batu ideal’ dan ‘batu immaterial’ itulah yang hadir dalam diri subjek pengetahu. Seandainya objek yang diketahui itu adalah realitas dengan eksistensi materialnya, maka dirinya akan segera terbakar atau kepanasan saat menangkap objek api material, Namun, karena yang kita tankap adalah ‘api ideal’ atau ‘api immaterial’ misalnya, yang kita tangkap, maka diri kita, sebagai subjek tidak ikut kebakaran, sebab ‘api immaterial’ tidak memiliki pengaruh material, namun ia memiliki pengaruh immaterial.(Nihayatul-Hikmah, 294).

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!