Rabu, 13 Juni 2012


 Bag 07

Bukti ketidakpastian

Ciri-ciri ‘pasti ada’
Ada beberapa ciri khas ‘entitas wajib’ li zatih. Antara lain sebagai berikut:

1.     EkisistensiNya tidak membutuhkan hubungan dengan selain diriNya. Seandainya keberadaanNya berhubungan dengan selain diriNya, maka ia pasti lenyap saat hubungan tersebut lenyap.
2.     Eksistensinya sederhana. Seandainya tersusun, maka nisacaya ia bergantung pada bagian-bagiannya dan berhubungan dengannya. Bagian-bagian –sebagai bagian- bukanlah himpunannya –sebagai himpunan-. Seandainya bergantung pada selain diriNya, maka ia adalah sesuatu yang mungkin, bukan wajib.
3.     Ia bukanlah raga (jism), karena raga terdiri atas beberapa bagian, sedangkan ketersusunan meniscayakan ketidakpastian, sebagaimana disebutkan dalam ciri kedua diatas.
4.     Ia bukanlah predikat yang melekat pada substansi, seperti warna dan bentuk, karena predikat hanya ada apabila ada substansi yang menyandangnya.
5.     Ia tidak berubah, sebab perubahan hanya akan terjadi dengan pengurangan atau penambahan baik dalam substansi maupun dalam sifat-sifatnya.
6.     Ia tidak berbilang, karena keterbilangan meniscayakan ketersusunan.(Muhadharat, 228-229).

Ciri-ciri “Yang Tidak Pasti”
  1. Berposisi netral antara ada dan tiada. Ia tidak akan mengada atau meniada tanpa sebab. Seandainya sesuatu yang mungkin mengada secara objektif tanpa sebab, maka ia wajib, bukan mungkin. Seandainya ia meniada secara objektif tanpa sebab, maka berarti ia mustahil (pasti tiada).
  2. Kelanggengan wujud sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan wujud sesuatu yang menjadi sebabnya. Dan kelanggengan ketiadaan sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan ketiadaan sebabnya. Seandainya tidak memerlukan dan tidak bergantung pada kelanggengan sebabnya, maka berarti ia dapat mengada tanpa bergantung pada sebab, padahal ia bukanlah wajib dan bukan pula mustahil. (Muhadharat, 224-225).

Ciri-ciri “Yang Pasti Tiada”
‘Sesuatu yang pasti tiada’ adalah yang tidak menyandang ciri-ciri sesuatu yang wajib dan ciri-ciri sesuatu yang mungkin, seperti ia tidak memerlukan sebab bagi ketiadaannya.


Secara etimologis, possibilitas (Al-imkan, ketidakpastian) adalah sifat sesuatu yang, menurut hukum akal sehat, berada pada posisi netral antara ada dan tiada. Lawan dari ketidakpastian atau kemungkinan adalah “kepastian ada” (Al-wujub) dan “kepastian tiada”(Al-imtina’).

Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘Pasti ada’ adalah entitas yang ada dengan  sendirinya. Para teolog dan filsuf ontologi menyebutnya ‘wajib’.  ‘Pasti tiada’, sebagaima juga telah kita ketahui, adalah ‘sesuatu’ yang tiada dengan sendirinya, yang lazim disebut al-mumtani’ atau al-mustahil. Sedangkan ‘tidak pasti’ adalah ‘sesuatu’ yang bisa ada dan bisa tiada akibat dari sesuatu selain dirinya, yang lazim disebut al-mumkin.

Masing-masing memiliki ciri khas yang tidak akan pernah bisa disilangkan atau campurkan. Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘yang tidak pasti’ (al-mumkin) netral antara ada dan tiada, bergantung pada eksistensi dan kelanjutan eksistensi sebab pengada atau peniadanya. Bila ia condong ke sisi keberadaan, maka berarti sesuatu yang wajib (pasti ada). Bila ia condong ke sisi ketiadaan, maka berarti ia sesuatu yang pasti tiada (pasti tiada).

Ciri-ciri khas “yang pasti ada” juga telah kita ketahui sebelumnya, antara lain ialah bahwa keberadaannya tidak memerlukan hubungan apapun dengan selain dirinya. Jika keberadaannya bergantung pada selain dirinya, maka niscaya musnah bila hubungan ketergantungannya terputus, dan seketika ia menjadi “tidak pasti”. Sesuatu yang ‘pasti ada’ tidak akan butuh kepada sesuatu untuk memastikan keberadaan dirinya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya juga, ‘pasti tiada’ tidak butuh kepada sesuatu selain dirinya untuk memastikan ketiadaan dirinya. Dan yang ketiga, tidak pasti, artinya dia butuh kepada sesuatu selain dirinya untuk memastikan keberadaan, dan dia butuh sesuatu selain dirinya untuk memastikan ketiadaan dirinya, jelasnya untuk ada dan tiada, dia butuh kapada sesuatu yang diluar dirinya, selain dari dirinya.


Alam sebagai ‘tidak pasti’
Lalu, apakah alam ini pasti ada dengan sendirinya, ataukah pasti tiada dengan sendirinya, ataukah tidak past? Jika alam pasti tiada dengan sendirinya, maka tidak perlu kita bahas. Untuk apa menghabiskan waktu dalam membahas sesuatu yang pasti tiada! Jika alam pasti ada dengan sendirinya, berarti alam ini menciptakan dirinya sendiri. Jika alam menciptakan dirinya sendiri, berarti sebelumnya dia tidak ada baru dia menciptakan dirinya, dia memastikan dirinya. Jika alam ini ada dengan sendirinya berarti dia harus menyandang sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap Wajib, yaitu tak bermula dan tak berakhir, tidak mengalami perubahan, tak tersusun, dan semua sifat-sifat yang menentang kebermulaan, keberakhiran, perubahan, serta ketidakpastian.

Setelah kita ketahui bahwa ternyata alam ini tersusun, berarti dia bergantung kepada susunan-susunannya, jika dia bergantung kepada susunan-susunannya, berarti keberadaan dirinya dipastikan oleh sesuatu selain dirinya. Artinya, dia pasti ada itu karena adanya susunan-susunan itu, dan yang pasti susunan-susunan itu bukan dari dirinya. Berarti alam ini bukan wajib. Jika ia tidak pasti ada dan tidak pasti tiada, maka alam ini tidak pasti. Artinya, untuk menjadi ada, dia butuh kepada selain alam, dan untuk tiada dia juga butuh kepada selain alam. Kesimpulannya, ada sesuatu yang yang pasti ada dengan sendirinya.

Seandainya yang menciptakan alam yang tidak pasti ini – sesuatu yang tidak pasti, maka sama hukumnya dengan alam, bahwa ia membutuhkan selain dirinya yang menciptakan. Seandainya yang menciptakannya juga tidak wajib, meka niscaya ia bergantung kepada sesuatu yang sebelumnya. Begitulah seterusnya sampai kita, mau atau tidak, harus berhenti pada suatu kesimpulan, bahwa ada satu titik akhir yang menciptakan alam, sebuah sebab yang tidak bergantung kepada sesuatu diluar dirinya, atau sebelum dirinya. (Al-Ilahiyat, hal. 33-37, Muhadharat, hal. 224-232, dll.)


Sifat-sifat Tuhan

Karena Tuhan adalah wujud yang sempurna dalam segalanya, maka Ia tentu menyandang semua sifat kesempurnaan, seperti pengetahuan  (Al-ilm) dan kekuasaan (Al-qudrah). Ketika dikatakan bahwa Tuhan menyandang sifat ‘kuasa’, maka yang dimaksud ialah bahwa Ia kesempurnaan itu sendiri. Jadi, menurut para filsuf ontologi, penyandangan (Al-ittishaf) tidak berarti ada sebuah subjek sebagai entitas dengan eksistensi tersendiri dan ada sebuah predikat sebagai sebuah entitas dengan eksistensi tersendiri yang terangkai dalam substansi tuhan, namun ia berarti bahwa Tuhan Allah SWT tidak mungkin kosong dari kesempurnaan apapun.

Dua kelompok sifat Tuhan

Sifat dapat dibagi menjadi dua;
1.    Sifat afirmatif (Ash-shifah Ast-stubutiyah), yaitu predikat yang mengandung arti afirmastif seperti ‘berkuasa’ dan ‘berpengetahuan’.
2.    Sifat negatif (Ash-shifah As-salbiyah), yaitu predikat yang mengandung arti negatif, atau sifat yang menegasi negasi  kesempurnaan, yang bermuara pada arti kesempurnaan, seperti ‘tidak lemah’.

Dua sifat afirmatif Tuhan

Sifat-sifat afirmatif dapat dibagi dua;
  1. Sifat-sifat afirmatif sejati (Ash-shifah Ast-tsubutiyah Al-haqiqiyah), yaitu sifat yang tidak bergantung pada relasi antar subjek dan selainnya, seperti ‘hidup’.
  2. Sifat-sifat afirmatif relatif (Ash-shifah Ats-tsubutiyah Al-idhafiyah), yaitu sifat-sifat yang bergantung pada relasi, seperti ‘mengetahui’ dan ‘berkuasa’.

Dua sifat negatif Tuhan

Sifat-sifat afirmatif sejati dapat dibagi dua;
1.     Sifat-sifat afirmatif sejati murni (Ash-sifah Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah Al-mahdhah), yaitu sifat-sifat afirmatif sejati yang sama sekali tidak bertumpu pada relasi baik dengan subjek maupun dengan lawan subjek, seperti sifat ‘hidup’.
2.     Sifat-sifat afirmatif sejati yang tidak murni (Ash-shifah Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah dzatu Idhafah), yaitu sifat-sifat afirmatif sejati yang dari sisi tertentu berkaitan dengan selain subjek penyandang, seperti sifat ‘pencipta’ (yang menciptakan).

Sifat subjektif dan sifat non subjektif Tuhan

Sifat-sifat juga dapat dibagi dua;
1.      Sifat-sifat subjektif (Shifat Az-zat), yaitu sifat yang dapat disimpulkan dari subjek  semata, tanpa mengikutsertakan sesuatu selain subjek penyandang. Ia disebut dengan ‘sifat-sifat zat Tuhan’.
2.      Sifat-sifat non subjektif (Asifat Al-fi’l), yaitu sifat yang disimpulkan dari subjek dan pasangannya. Namun, karena selain Tuhan tidak ada, maka relasi zat Tuhan hanyalah perbuatannya. Oleh sebab itu, sifat-sifat macam kedua ini hanya bisa disebut dengan ‘sifat-sifat perbuatan Tuhan’. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 120-118, Syarhul-Mandhumah, 157, Nihayatul-Hikmah, 345).

Sifat-sifat subjektif Tuhan
Para filsuf berselisih pendapat tentang sifat-sifat subjektif (Ash-shifat Az-zatiyah). Sebagian besar filsuf muslim, seperti Zabrawari dan Mullah Shadra,  beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu adalah inti zat Tuhan, dan bahwa masing-masing merupakan inti atau zat bagi lainnya.. Para teolog Asya’riyah, seperti At-Taftazani, Asy-Syahristani dan Al-Iji,  beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu adalah arti-arti dari luar zatNya yang melekat dan bersifat qadim (tak bermula) karena zat yang dilekatinya qadim. Para teolog Mu’tazilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyandangan zat Tuhan atasz sifat, mengetahui, misalnya, ialah bahwa zat Tuhan berpengetahuan, dan bahwa yang dimaksud dengan Tuhan bersifat ‘kuasa’ ialah bahwa zatNya berkuasa. (Syarhul-Mawaqif, 479, Syarhul-Maqashid, juz 2, hal. 72, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 133, juz 6, 145, Syarhul-Manzhumah, hal 157-159, (Syarhul-Maqshid, juz 2, hal. 72, Syarhul-Mawaqif, 479-480, Al-milal wa An-nihal, juz 2, hal. 95. Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 109-110, Al-farq bainal-Firaq, 78, Nihayatul-Hikmah, 346-349, Al-falsafah Al-ulya, 322-325).

Thabathabai dan para filsuf Mazhab Qom mendukung pendapat pertama, karena alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Seandainya sifat adalah sesuatu yang melekat kemudian pada zat penyandang, maka berarti penyandang adalah sebuah entitas tersendiri dan sifat adalah sebuah entitas tersendiri. Seandainya sifat-sifat Tuhan adalah suatu imbuhan pada zatNya, maka berarti ia membutuhkan sebuah zat sendiri untuk menjadi ada, karena sifat yang berupa imbuhan pada zat membutuhkan sebab untuk menjadi ada dan ia mustahil menjadi ada dengan sendirinya, padahal tiada sebab bagi sifat tersebut  selain zat itu sendiri, karena jika sifat itu membutuhkan sebab selain zat Tuhan, maka hal meniscayakan negasi terhadap wujub (kepastian), karena ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu yang tidak membutuhkan lainnya. Maka seandainya zat adalah sebab bagi sifat, maka berarti zat telah memilikinya lebih dahulu, sehingga tidak perlu melekat kemudian padaNya.
  2. Seandainya zat ‘yang pasti ada’ tidak memiliki sejak semula klesempurnaan (yang merupakan esensi dari sifat-sifat tersebut), maka berarti zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidaklah memilikinya, padahal Ia adalah zat yang sempurna.
  3. Seandainya sifat tersebut melekat kemudian pada zat, maka sifat itu berupa esensi atau eksistensi. Padahal ia bukanlah esensi (mahiyyah) karena esensi adalah sesuatu ‘yang tidak pasti’ (mumkin) , sedangkan sifat-sifat pada sesuatu ‘yang pasti ada’ mestilah bersifat ‘pasti ada’ pula, dan telah dibuktikan bahwa sesuatu yang pasti ada secara substansial (Al-wajib bil-zati) adalah sesuatu yang pasti ada dari segala aspek (wajib min jami’ al-jihat). Karena ia bukanlah esensi (mahiyyah), maka ia pasti berupa eksistensi semata (wujud mahdh), karena eksistensi semata adalah inti zat ‘yang pasti ada’, dan keduanya (eksistensi murni dan zat sesuatu ‘yang pasti ada’) tidak berbeda.
  4. Seandainya sifat-sifat tersebut berupa imbuhan (za’idahi) pada zat, maka berarti zat ‘yang pasti ada’ itu pada mulanya tidaklah sempurna. Akibatnya, zat ‘yang pasti ada’ adalah gabungan dari ‘ke-ada-an’ (Al-wujud) dan ketiadaan (Al-adami), sedangkan itu adalah konsekuensi yang mustahil, karena meniscayakan pertemuan dua hal yang kontradiktif (ijtima’ an-naqidhaini). Kekosongan dari sifat kesempurnaan (ash-sifah Al-kamaliyah) adalah ketiadaan itu sendiri. Lagi pula, telah terbukti bahwa zat ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu yang sederhana (basithi) atau tidak tersusun, sedangkan ketersusunan zat dari ke-ada-an dan ketiadaan adalah sesuatu yang mustahil.
  5. Seandainya sifat tersebut berupa imbuhan, maka berarti ia (sifat) adalah sesuatu yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin), karena telah ditetapkan secara rasional bahwa sesuatu ‘yang pasti ada’ (Al-wajibi) tidaklah berbilang (istihalah ta’addud al-wajib), maka berarti keberadaan sifat-sifat yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin) adalah mustahil menjadi ada tanpa sebab, karena sebab bagi ke-ada-an entitas-entitas ‘yang tidak pasti ada’ adalah zat ‘yang pasti ada’ tersebut. Padahal berdasarkan asumsi awal, zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) semula tidak memilikinya. (Al-falsafah Al-ulya, 323-325, Nihayatul-hikmah, 346-347).

Kritik atas Asy’ariyah
Asy’ariyah beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif, yang konon berjumlah 7, yaitu al-hayah (hidup), Al-ilm (mengetahui, berpengetahuan), Al-qudrah (kuasa), As-sam’u, (mendengar), Al-bashar,  (melihat), al-iradah (berkehendak), dan Al-kalam (berbicara), adalah entitas-entitas yang melekat pada zat Tuhan. (Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 95).

Seandainya sifat-sifat subjektif ini adalah entitas-entitas wajib (yang tidak membutuhkan sebab pengada), maka berarti ada 8 entitas ‘yang pasti ada’ yang tidak diakibatkan oleh sebab apapun. Seadangkan hal ini bertentangan dengan bukti-bukti keesaan ‘yang pasti ada’.

Seandainya sifat-sifat subjektif tersebut membutuhkan sebab untuk menjadi ada, dan seandainya zat adalah sebabnya, maka berarti zat tersebut lebih dahulu ada sebelum sifat-sifat tersebut, dan berarti sifat-sifat itu semula kosong pada zat, serta berarti zat Tuhan kosong dari kesempurnaan.

Seandainya sifat-sifat subjektif membutuhkan sebab untuk menjadi ada, dan seandainya zat bukanlah sebabnya, maka berarti sifat-sifat itu menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan suatu sebab yang ‘tidak pasti ada’, karena yang pasti ada hanyalah zat Tuhan. Itu berarti pula bahwa Tuhan menjadi sempurna karena sesuatu selain zatNya.

Kritik atas Mu’tazilah
Mu’tazilah beranggapan bahwa zat hanyalah mengganti peran sifat, sehingga tuhan tidak berkuasa atau menyandang sifat ‘kuasa’., dan bahwa zat Tuhan tidak memiliki sifat-sifat apapun.

Seandainya zat Tuhan kosong dari sifat-sifat, sedangkan sifat-sifat itu adalah kesempurnaan, maka berarti zat Tuhan kosong dari kesempurnaan, padahal wujudNya dalah sempurna. (Nihayatul-Hikmah, 348-349).

Sifat-sifat non subjektif Tuhan
Para filsuf Mazhab Qom berpendapat bahwa  sifat-sifat yang disandangkan pada zat Tuhan dengan mengikutkan relasi dengan selain zat, seperti ‘mencupta’ atau ‘kepenciptaan’ dalan lainnya yang terhimpun dalam sifat Al-qimumiyah, memang berupa ‘imbuhan’ dari luar zatNya. Alasannya ialah bahwa menetapnya sifat-sifat tersebut pada zat Tuhan dilihat sebagai perbuatan-perbuatan yang memang muncul atau dilakukan setelah zat ada lebih dulu, karenanya sifat-sifat tersebut muncul kemudian dan disimpulkan dari perbuatan-perbuatanNya.

Sifat-sifat non subjektif (Ash-shifat Al-fi’liyah) ini ada pada zat Tuhan, namun tidak bisa dilihat dari sisi kebermulaan dan dan ke-kemudian-annya, sehingga meniscayakan terjadinya perubahan dalam zatNya, namun dari sisi bahwa setaip segala sesuatu yang merupakan kesempurnaan pasti ada padaNya. (Al-falsafah Al-ulya, 324, Nihayatul-Hikmah, 350, 349, Syarhul-Mandhumah, 157-158, Hasti shenasi Islami, 240-242).

Sifat ‘Berpengetahuan’ Tuhan
Salah satu sifat-sifat subjektif atau sifat-sifat kesempurnaan (Ash-shifat Al-kamaliyah) Tuhan adalah ‘mengetahui’. Tuhan mengetahui zatNya dan mengetahui selain zatNya. Para filsuf mazhab Qom berpendapat bahwa setiap entitas abstrak (al-mujarrad) mempunyai pengetahuan (Al-ilm) dengan zatnya, dan bahwa pengetahuannya adalah adalah inti zatnya sendiri.  Karena pengetahuan tidak lain hanyalah sebuah kehadiran ‘sesuatu’ dalam  diri sesuatu lain, dan karena Tuhan adalah entitas sederhana dan tunggal sejati, terbebas dari materi dan potensi, maka zat Tuhan mengetahui zatNya sendiri dengan zatNya.  

SelainNya, baik entitas abstrak maupun konkret, adalah akibat-akibat yang bermuara pada zatnya yang tak berhingga baik dengan perantara ataupun tidak, adalah maujud-maujud yang hanya memiliki wujud bergantung (wujud rabith) yang bersemayam dalam diri pada tingkatan paling rendah, dan diketahuiNya secara hudhuri.

‘Mengetahui diriNya’
Tuhan memiliki pengetahuan hudhuri tentang zatnya dengan zatNya sendiri. Alasan-alasannya sebagai berikut:
  1. Entitas yang ‘pasti ada’ (Al-wajib) adalah entitas yang bersih dari potensi dan tidak tersusun. Karena pengetahuan tidak lain adalah sebuah kehadiran sesuatu pada sesuatu, maka pengetahuan Tuhan tentang zatNya adalah kehadiran zatNya pada zatNya sendiri. Jadi, Tuhan mengetahui tentang zatNya dengan zatNya dalam zatNya. Seandainya sesuatu ‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidak mengetahui zatNya, maka berarti ia tidak sempurna, sedangkan itu adalah mustahil bagiNya.
  2. Seandainya sifat ‘mengetahui’ bukan bagian dari zat Tuhan, maka berarti ia semula tidak mengetahui diriNya

‘Mengetahui selain diriNya’

Sesuatu ‘yang pasti ada’ mengetahui selain  dirinya, yang merupakan akibat-akibat dari wujudNya. Alasan-alasannya sebagai berikut:
1.    “Yang pasti ada’ mengetahui zatNya, dan bahwa zatNya adalah sebab bagi wujud selainNya, dan bahwa mengetahui sebab berarti mengetahui akibatnya dengan tingkatan yang lebih utama, dan bahwa sebab adalah terma (batas) sempurna bagi akibat, sedangkan akibat adalah batas tidak sempurna (kurang) bagi sebab. Karenanya, ‘Yang pasti ada’ (Tuhan) mengetahui selainNya, karena Ia mengetahui zatNya sendiri.
2.    Seandainya “Yang pasti ada’ tidak mengetahui selain diriNya, maka berati ia tidak sempurna.
3.    Pengetahuan “Yang pasti ada’ tentang selain diriNya adalah sesuatu mungkin dengan arti yang umum atau ‘tidak lah mustahil’, sebab seandainya pengetahuan tentang selainNya mustahil, maka wujud selainNya adalah mustahil, demikian pula pengetahuan tentangnya juga menjadi mustahil. Padahal sesuatu menjadi mustahil karena tidak ada sebabnya. Karena tidak ada yang mustahil bagi ‘Yang pasti ada’ (Tuhan), maka pengetahuan tentang selainNya ada pada zatNya. . (Al-falsafah Al-ulya, 328-329, Nihayatul-Hikmah, 350-351).

Tema pengetahuan Tuhan ini sangat luas dan ditanggapi secara berbeda oleh sejumlah aliran filsuf dan teolog. Karenanya, ia tidak bisa diterangkan secara detail dalam buku pengantar ini. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 180-181, 228). 

Peringkat-peringkat ‘ Mengetahui’
Para filsuf Mazhab Qom, sejak Ibnu Sina kemudian Mulla shadra hingga Thabathaba, Al-inayah, Al-qadha’ dan Al-qadar adalah sifat-sifat yang terhimpun dalam sifat ‘mengetahui’. (Al-ilm).

Al-Inayah
Ia adalah sifat gambaran ilmu yang menjadi sebab bagi adanya objek pengetahuan (Al-ma’lum) yang tidak lain adalah perbuatan (Al-fi’l). Menurut mereka, pengetahuan rinci (Al-ilm At-tafshili) Tuhan akan segala sesuatu adalah inti zatNya, yang merupakan sebab bagi ke-ada-an segala sesuatu tersebut dengan segala kekhasannya. Jadi, Allah memiliki inayah akan ciptaan-ciptaanNya.
 
Al-qadha’
Ia diartikan sebagai tindakan menciptakan relasi niscaya dan meniscayakan (nisbah zharuriyah mujibah) antara subjek dan predikat (dalam sebuah premis), seperti keputusan hakim “Saya putuskan bahwa harta (sengketa) itu milik Agus”, misalnya. Setiap sesuatu bila tidak diniscayakan (dipastikan) maka tidak akan ada. Setiap entitas mustahil menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan oleh ‘yang pasti ada dengan sendirinya’., dan rangkaian sebab akan kembali kepada sebab yang pasti ada dengan sendirinya. Karena Ia adalah sebab pemasti ke-ada-an setiap akibat.  

Entitas-entitas ‘yang tidak pasti ada’  dengan sistem penataannya yang sangat sempurna, dalam tingkatan wujud Tuhan, adalah perbuatanNya, sehingga setiap perbuatan yang meniscayakan adalah qadha’ dan keputusanNya.

Dua Macam Qadha’
Para filsuf mazhab Qom membagi qadha’ menjadi dua;
  1. Qadha’ yang merupakan sifat subjektif (Qadha’ dzati) di luar subjek ‘pengetahu’ (Al-alim).
  2. Qadha’ yang merupakan sifat non subjektif (Qadha’ fi’li) yang berada dalam diri subjek.

Al-Qadar
Ia adalah batas atau jumlah  atau yang ada pada sifat atau pengaruh-pengaruh sesuatu. Sedangkan At-taqdir adalah penentuan konseptual yang berlaku atas sifat-sifat dan pengaruh sesuatu yang disusul dengan perbuatan berdasarkan sebab-sebab dan sarana-sarana yang tersedia, seperti penjahit yang menentukan (melakukan taqdir, pengukuran) kain yang akan dijahitnya dalam ukuran baju kemudian ia melakukannya. 

Secara singkat, Mazhab Qom menerangkan bahwa taqdir adalah pengukuran ilmiah yang disusul dengan tindakan baik berkenaan dengan esensi maupun zat, baik sifat-sifat maupun efek-efeknya. (Nihayatul-Hikmah, 358).

Sifat ‘Berkuasa’ Tuhan
Al-qudrah adalah sifat bagi sesuatu yang bertindak bila menghendakinya, dan tidak bertindak bila tidak menghendakinya. 

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!