Rabu, 13 Juni 2012


 Bag 06

Materialisme

Menurut pendapat Harold H. Titus dan kawan-kawan (1984, hlm. 293), pengertian ‘materialisme’ sekurang-kurangnya dapat diderkati lewat dua definisi sebagai berikut:

    • Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan kesadaran (consciousness) termasuk di dalamnya segala segala proses psikis merupakan bentuk dari materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisis.
    • Materialisme merupakan suatu doktrin alam semesta yang beranggapan bahwa dunia ini dapat ditafsirkan seluruhnya dengan ilmu kealaman.

Sebenarnya istilah ‘materialisme’ tidak hanya menunjuk pada teori dan doktrin seperti yang dikemukakan oleh Titus tersebut diatas. Secara luas pengertian dari ‘meterialisme’ pernah dikemukakan oleh Morris T. Keeton (1975) yang dalam garis besarnya antara lain mencakup signifikansi arti sebagai di bawah ini.

Prinsip-prinsip Materialisme

“Materialisme” adalah suatu proposisi mengenai yang ada (the existent) atau yang nyata (the real) yang menyatakan:
    • bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah materi;
    • bahwa materi pendukung yang utama atau fundamental dari alam semesta;

atomisme
    • bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah entitas, proses, atau isi yang terindera;
    • bahwa alam semesta tidaklah diatur oleh intelejensi, maksud, atau sebab-sebab yang bertujuan;
    • bahwa entitas-entitas, proses-proses, ataupun kejadian-kejadian mental disebabkan semata-mata oleh entitas-entitas, proses-proses, atau kejadian-kejadian yang bersifat material;

Pengertian “Materialisme”

  1. ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan tentang yang ada atau yang nyata yang menyatakan:
    • bahwa setiap hal dapat dijeaskan melalui artian-artian materi dalam geraknya, atau materi dan energi, atau materi bersahaja;
    • bahwa segala perbedaan kualitatif dapat direduksikan kepada perbedaan-perbedaan kuantitatif;
    • bahwa satu-satunya objek ilmu yang dapat diselidiki adalah yang fisis atau yang bersifat material.

  1. ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai nilai yang menyatakan: bahwa kesejahteraan, kepuasan-kepuasan ragawi, kenikmatan-kenikmatan inderawi, atau semacamnya merupakan atau satu-satunya nilai atau nilai paling tinggi yang dapat diusahakan atau dicapai oleh manusia.

  1. ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan dari sejarah manusia yang menyatakan: bahwa tindakan-tindakan manusia dan perubahan kebudayaan manusia ditentukan semata-mata atau sebagian besar oleh faktor-faktor ekonomi (determinisme ekonomi).

  1. ‘Materialisme’ adalah suatu sikap, postulat, hipoteisis, pembenaran, asumsi, atau tendensi, yang menyokong salah satu dari proposisi-proposisi yang tersebut diatas.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, istilah ‘materialisme’ dimakudkan menunjuk pada materialisme ekstrim yang pengertiannya cenderung sesuai dengan signifikansi arti dari istilah ‘materialisme’ seperti yang dikemukakan oleh Keeton.

Walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat yang menyolok di antara penganutnya (seperti yang akan diterangkan di bawah), namun ada sejumlah pendirian di bidang ontologi yang merupakan kesatuan pendapat dari materialisme dewasa ini. Roy Wood Sellars mengungkapkan pendirian di bidang ontologi dari materialisme itu sebagai berikut. (Kattsoff, 1953).

Pengertian yang jelas mengenai materi dapat diperoleh berdasarkan sejumlah kategori yang ditetapkan secara empiris, seperti yang dihubungkan, eksistensi, kegiatan sebab-akibat, yang dihubungkan dengan fakta-fakta empiris yang terinci mengenai struktur, gerak-gerik dan kapasitas keruangan tertentu. Kategori-kategori semacam ini diperoleh dengan cara pemahaman akali terhadap cerapan indera dan kesadaran-diri.

Materialisme yang sudah dewasa tidak bersifat reduktif (mengembalikan segala sesuatu kepada satu jenis substansi saja) dan tidak akan bersifat mekanis atomistis.

Alam semesta, menurut materialisme,  adalah abadi,  dan sebagai suatu keutuhan tidak mengarah secara lurus kepada suatu tujuan tertentu.

Budi seperti halnya pada satuan fisis adalah memiliki sejumlah kategori fisis dan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan dan kemampuan-kemampuan dari diri yang organis pada tingkat fungsi otak. Substansi-substansi material atau kesinambungan-kesinambungan yang bersifat material terjadi dan rusak dalam arangka kelestarian peradaan yang bersifat material secara intrinsik.Kesadaran merupakan suatu sekat kualitatif yang di dalamnya manusia berpartisipasi sesuai dengan fungsinya.

Secara umum materialisme adalah sebutan bagi sekelompok doktrin mengenai sifat dasar dunia yang mengemukakan bahwa materi menduduki posisi primer dan budi atau jiwa berkedudukan sekunder, tergantung pada materi, atau bahkan tidak ada sama sekali. Materialisme yang ekstrim menyatakan bahwa dunia nyata ini terdiri atas benda-benda material yang beragam dalam keadaan saling berhubungan, dan tiada hal lainnya apapun.

Sedangkan dalil utama materialisme mencakup:
Pertama: ”Everiything that is, is material” (Barang sesuatu apapun yang ada bersifat material).
Kedua: “Barang sesuatu apapun yang dapat ditangkap , dapat dijelaskan dengan berlandaskan pada hukum-hukum yang hanya melibatkan anteseden-anteseden kondisi-kondisi fisis”. (Keith Campbell, 1967).

Evolusi dalam Materialisme

Sebagaimana disebutkan diatas, materialisme telah mengalami perubahan-perubahan substansial seiring dengan perkembangan zaman dan bertambahnya penemuan-penemuan baru dalam dunia fisika.

Materialisme Klasik

Di Athena Epicurus (342-270 SM) mendirikan sebuah sekolah yang mengajarkan materialisme sebagai satu-satunya landasan untuk hidup yang baik, suatu hidup yang cerah dan tenang, bebas dari ketahyulan. Tafsir keliru dari etika ajarannya itu mengakibatkan Epicurus tergolong sebagai tokoh materialisme klasik yang paling terkenal.

Ia menerima landasan idea dalam “Great diakosmos” tetapi memberikan suatu modifikasi mengenai asal mula dunia. Menurutnya, atom-atom yang jumlahnya tak terhingga berjaTuhan melalui ruang yang tak terbatas luasnya. Selanjutnya ada dua konstruksi dari sistem Epicurus: (Keith Campbell, 1967).

Atom-atom yang lebih berat dan lebih cepat kadang-kadang secara tidak langsung menghantam atom-atom yang lebih ringan dan lebih lambat, mengakibatkannya menjadi berkecepatan yang menyimpang dan lebih rendah. Semua atom berjaTuhan dalam kecepatan yang seragam, dan penyimpangan-penyimpangan awal dari gerak vertikal yang sejajar terjadi secara tanpa dapat tanpa dijelaskan.
Apun sebabnya, penyimpangan-penyimpangan posisi tersebut mengakibatkan bertambahnya benturan dan penyimpangan dan terbentuknya pusaran-pusaran. Dari pusaran-pusaran ini, tersusunlah atom-atom. Jumlah atom dalam peristiwa di atas tak terbatas, sehingga penyusunan atom dapat selalu dapat terjadi pada setiap kejadian. Dunia dengan badan-badan benda hidup organis yang menakjubkan ini, hanyalah merupakan satu di antara susunan-susunan tak teralakkan yang tak terbatas jumlahnya yang menjadi arah jatuh dari atom-atom yang abadi itu.

Materialisme kuno dijabarkan oleh Epicurus dan Louseep, murid Demokritos dan Nosivan. Epicurus mengatakan, alam pada asalnya adalah substansi-substansi atau atom-atom yang tak dapat diinderakan, dan karena padat atau kerasnya, ia tidak dapat dibagi. Sedangkan menurut Loseep, keberagaman alam disebabkan oleh berhimpunnya sejumlah atom. Setiap ragam (spesies) tersebut akan lenyap bila bagian-bagiannya lenyap. (Al-Falsafah Al-Yunaniyah, 88, 90, 92, Muhadharat, 176-178, dll).

Kelemahan-kelemahannya:
Interpretasi keberagaman alam sebagai tarik menarik antara sesama spesies serupa meniscayakan pengakuan akan adanya sesuatu yang non bendawi yang menarik sesuatu serupa ke arah serupanya yang lain. Konseuensi ini bertentangan dengan materialisme.

Asumsi bahwa atom tidak dapat dibagi karena kepadatan dan kekerasannya, sebagaimana pendapat demokritos, secara rasional tidak tertutup kemungkinan ia dapat disusun dari beberapa unsur yang lebih lembut, selama ia mempunyai bentuk geometris.

Karena kelemahan-kelemahan di atas, Epicurus dan para epicurian merevisi materialisme kuno dengan beberapa pandangan baru. Epicurianisme beranggapan bahwa atom-atom bergerak bukan akibat dorongan eksternal, karena, sebagai kausa prima alam, ia tidak membutuhkan apapun. (Ar-Rihlah Al-Yunaniyah, 274-275, Al-Falsafah Al-Yunaniyah, dll).

Lalu, bagaimana ia dapat bergerak tanpa ada sebab eksternal? Epicurus menjawab, dalam setiap ada secara pre-eternal (azali) terdapat gerak yang merupakan bagian dari substansinya yang tak akan pernah berpisah, karena setiap atom mengandung bobot berat yang dapat menggerakkannya secara vertikal dari atas ke bawah dalam kehampaan yang tak berhingga, selama tidak diselewengkan arahnya oleh suatu sebab eksternal. (Muhadharat, 178-180).

Secara ilmiah, telah terbukti bahwa kehampaan yang diasumsikan sebagai ruang berenang atom-atom adalah kemustahilan, dan anggapan bahwa atom-atom bersifat sederhana (homogen, tak dapat dibagi) adalah salah. (Falsafatuna, 122-123, Ar-Rihlah Al-Madrasiyah, 274-276, Muhadharat, 181).

Dengan demikian, jelaslah kebingungan para penganut materialisme kuno dalam menyelesaikan problema “asal usul alam”.

Materialisme Mekanik

Pada permulaan era modern, kaum materialis, dengan berijak pada teori fifika Newton, menginterpretasikan munculnya gejala-gejala alam berdasarkan gerak mekanik , bahwa setiap gerak adalah akibat dari suatu kekuatan penggerak tertentu yang memasuki benda bergerak dari luar. Inilah yang disebut dengan Materialisme Mekanik.

Dari hasil perenungan para filsuf kita telah memperoleh warisan berupa dua tafsir yang berbeda tentang dunia. Tafsir yang pertama adalah cara berpikir yang terungkap dalam karya-karya Pythagoras, PLato, dan Aristoteles, yang berpandangna bahwa keteraturan dunia ini disebabkan oleh adanya budi (mind) dan tujuan (purpose). Tafsir lainnya berpendapat bahwa alam ini dapat dijelaskan hanya sebagai gerak. Aktivitas kejiwaan hany merupakan gerak- atom-atom yang sangat halus dan labil. Tafsir seperti ini terungkap dalam uraian atomisme kuantitatifnya Demokritus yang merupakan karya sistematis pertama dari materialisme mekanis. Dan pandangan yang sama telah dikembangkan lebih lanjut oleh Epicurus dan Lucretius.

Setelah Descartes (1596-1650), yang mengakui adanya hal-hal yang tidak bersifat kebendaan, menggunakan konsep-konsep mekanis dalam menafsirkan dunia fisis, Thomas Hobbes (1588-1679) telah melangkah lebih jauh lagi dengan menyajikan suatu aliran materialisme yang mekanis sepenuhnya. Hidup digambarkannya sebagai gerak dalam budi dan merupakan sistem syarat. Kemudian dalam abad ini kebanyakan para fisiolog, biolog, dan psikolog, menggunakan tafsir fisis dan mekanis dalam menjelaskan gejala hidup dan manusia.

Menurut pandangan materialisme mekanis, satu-satunya dunia yang  dapat diketahui adalah dunia yang tercerap oleh indera. Bagi mereka semua fenomena dapat dijelaskan melalui cara-cara seperti yang dipakai oleh ilmu-ilmu kealaman; dengan demikian konsep mekanisme, determinisme, dan hukum alam, mempunyai aplikasi universal. Budi dan aktivitas-aktivitasnya merupakan behavior (keperilakukan benda hidup). Dengan demikian psikologi merupakan penyelidikan tentang perilaku, sehingga otak maupun kesadaran dijelaskan sebagai tindakan-tindakan otot, syaraf, dan kelenjar-kelenjar. Dan segala proses tersebut dapat dijelaskan dengan fisika dan ilmu kimia. Sedangkan nilai dan hal-hal yang ideal hanya bersifat subyektif bagi situasi dan hubungan-hubungan fisis yang tertentu.

Perubahan yang terjadi pada atom maupun pada manusia dianggap sebagai bersifat kepastian, dan tercakup dalam rangkaian sebab akibat yang bersifat sempurna dan tertutup. Rangkaian kausalitas ini tidak memerlukan landasan ide dalam bentuk tujuan (purpose), tetapi semata-mata dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu kealaman.

Mekanisme atau materialisme mekanis merupakan doktrin yang menyatakan bahwa alam diatur oleh hukum alam, yang jika data-datanya terkumpul dengan lengkap, hukum alam tersebut dapat dituangkan dalam bentuk-bentuk matematika. Ini merupakan suatu bentuk pandangan metafisis yang memperluas cakupan konsep mesin untuk diberlakukan terhadap segala proses yang organis maupun bukan organis yang semuanya dianggapnya bersifat mekanis.

Banyak filsuf berpandapat bahwa sebab-sebab mekanis dapat dipergunakan ilmu untuk menjelaskan segala sesuatunya, maka kepercayaan terhadap Tuhan dan tujuan alam sudah tidak relevan lagi. Lebih dari itu, hidup hanya merupakan proses fisiologis adan hanya mempunyai arti fisiologis. Di samping itu, berhubung mekanisme percayabahwa segala aktivitas hanya mengikuti hukum alam fisis, dan bahwa gerak stimulus dan respons dalam sistem syaraf itu bersifat otomatis dan mekanis, maka kesadaran terpaksa harus dianggap hanya sebagai fenomena yang menyertai proses badanlah atau emanasi otak (ephiphenomenal), sedangkan fikiran hanya merupakan gerak otak atau perkataan yang tak terucapkan (subvocal speech). Manusia berada dalam keadaan terkondisi dalam melakukan reaksi terhadap obyek-obyek yang merupakan acuan dari perkataan termaksud.

Dengan demikian jelaslah bahwa pandangan mekanisme ini mengandung suatu determinisme serta bertentangan dengan kebebasan memilih dan bertindak.

Materialisme mekanis menarik dan sangat berpengaruh karena kesederhanaan pandangannya. Seperti halnya pada pnadangan realisme yang naif, bagi pandangan ini yang nyata hanyalah hal-hal yang dapat tercerap indera secara langsung atau melalui alat verifikasi eksperimental. Cerapan indera merupakan ukuran kebenaran. Dan dengan menerima pendekatan yang demikian ini, orang merasa terbatas dari banyak problema tentang kenyataan yang telah beradab-abad membingungkan dirinya.

Usaha untuk memenuhi kebuTuhan pokok untuk hidup, seperi makanan, pakaian dan perumahan, merupakan problema yang selalu ada dan dihadapi oleh setiap orang. Fakta bahwa benda fisis sangat menentukan dan mutlak bagi kelangsungan hidup manusia amat mengesankan hati seorang materialis. Baertolak dari ini orang lalu beranggapan bahwa benda-benda material merupakan satu-satunya yang nyata dalam kehidupan, dan bahwa hal-hal yang immaterial bersandar pada hal-hal yang material. Dengan demikian mudahlah difahami bahwa orang lalu mudah bergeser untuk tertarik dan terpengaruh oleh pandangan filsafat yang menganggap bahwa hanya benda-bendalah yang nyata.  (Durus fil Aqidah Al-islamiyah, 143, Muhadharat 180-182, dll).

Materialisme Dialektik

Runtuhnya materialisme mekanik mendorong para pengikut materialisme untuk berusaha mencari sebab lain untuk menginterpretasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam alam ini, atau minimal, berusaha menginterpretasikan sebagian gerak secara dinamik, agar dapat berasumsi (baca:berfantasi) tentang adanya semacam dinamisme subjektif (inheren) dalam benda.

Materialisme dialektik timbul dari perjuangan sosial sebagai akibat dari revolusi industri. Pandangan ini sangat erat kaitannya dengan Karl Marx (1820-1895), terutama dalam menuliskan dasar-dasar pikirannya dalam buku-buku: “Die hellige familie (1845), Communistisch Manifest (1848), National Ekonomie und Philosophie (1844), dan Das Kapital (1867).

Dengan mengadopsi teori idealisme Hegel yang idealis dan teori materi-nya Feurbach, dua tokoh pendiri Materialisme dialektik Marx dan Engels, menganggap pertentangan internal dalam setiap gejala material sebagai penyebab gerak. Di samping meyakini prinsip-prinsip materialisme (keabadian, pre-eternitas materi) dan ketidak-terciptaannya, serta gerak general dan interaksi antar gejala-gejala, mereka mengetengahkan tiga prinsip untuk menginterpretasikan (mengargumentasikan) asumsi-asumsi mereka. (Tarikhul-Falsafah, 274-278, Dasar-dasar Filsafat Marxisme, terj. Arab, , 232-233, Das Capital terjemahan Arab juz 1, hal. 29, Filsafat Materialisme dan Idealisme dalam filsafat, terj. Arab, 83).

Marx dipengaruhi oleh Hegel dan Feurbach. Ia mendapat pengaruh Hegel tentang metode dialektik dan pendapat tentang hubungan erat antara filsafat, sejarah dan masyarakat. Sedangkan dari Feurbach ia mendapat pengaruh mengenai kecenderungan untuk menerangkan hal-hal yang bersifat kedanan, dan juga mengenai pengarahan minat terhadap manusia yang hidup dalam masyarakatnya.

Hegel (1770-1831) seorang idealis Jerman yang tulisannya mempengaruhi Marx itu beranggapan bahwa alam ini merupakan suatu proses menggelarnya pikiran-pikiran (ide). Dari ide ini kemudian timbullah proses alam, organisme, sejarah manusia, dan kelembagaan masyarakat. Pikiran atau jiwa merupakan esensi alam, sehingga lebih nyata diabanding dengan materi. Marx membalikkan filsafat idealisme Hegel dengan menyatakan bahwa yang utama bukanlah jiwa atau ide melainkan materi.

Meski menolak idealisme Hegel, Marx dan Engels menerima secara total metodologi filsafatnya. Menurut Hegel, alam ini selalu dalam proses perkembangan yang bersifat dialektis. Artinya, ia beranggapan bahwa perubahan-perubahan ini selalu berlangsung melalui tahp-tahap afirmasi, atau tesis, negasi atau antiteisi, dan pada akhirnya sampai kepada integrasi atau sintesis (Titus, dkk, 1984, Durus, 144, Muhadharat, 180-182, AR-Rihlah Al-Madrasiyah, 276-278, Falsafatuna, 122-123).

Materialisme dialektik adalah suatu tipe dari materialisme. Aliran ini mempunyai banyak kesamaan dengan materialisme mekanik atau mekanisme. Pengaruh materialisme dialektik lebih banyak ditentukan oleh daya tarik metode dialektik yang diterapkan guna menganalisis perubahan sosial dan perkembangan masyarakat.

Metode dialektik Marx sangat menarik bagi kelompok sosial yang tertindas dan berusaha untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Hal ini terbukti dari fakta-fakta sejarah yang memicu tercetusnya revolusi menjelang berdirinya lembaga pemerintahan atau negara-lembaga pemerintahan atau negara blok komunis yang menjadikan komunisme sebagai ideologi resmi, seperti di Rusia dan RRC. Pandangan Marx telah dikembangkan dengan berbagai macam interpretasi oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan terakhir oleh Marcuse, Habermas, Gramcy dan Gidens. (Harold H. Titus, 1984, Dasar-dasar Filsafat, 11.43, Muhadharat fil Aqidah, 186-188).

Klaim pertama
Kaum materialis dialektik beranggapan bahwa, karena realitas alam material adalah energi dengan bentuknya yang bermacam-macam, sedangkan energi global bagi sebuah sistem yang terpencil dapat mempertahankan dirinya secara penuh, dan bila energi tersebut sembunyi dengan salah satu cara, maka ia akan kembali muncul dalam kuantitas tang sama dalam bentuk yang lain. Itu artinya energi tidak akan lenyap dan tidak akan bermula dari ketiadaan. Kaum materialis dialektik mengklaim telah berhasil membuktikan bahwa setiap kerja mekanik dan setiap energi eletrik, magnetik dan kimiawi mampu untuk berubah secara total menjadi sebuah panas dalam prosentase dan ukuran yang tetap. Inilah yang disebut dengan prinsip keseimbangan

Bantahan
Materialisme dialektik juga mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Hukum tentang “prinsip pertama termo-dinamisme” tidak mengantarkan kita kepada (tidak meniscayakan) “keabadian materi”. Ia hanya membuktikan bahwa energi saat berubah, kuantitasnya tidak berkurang.

Klaim kedua
Klaim bahwa materi tidak akan lenyap bertentangan dengan hukum “prinsip kedua tentang termo dinamisme” yang telah dihasilkan oleh Lord Calvin. Menurutnya, “evolusi alam berjalan menuju satu-satunya arah. Dan itu tidak lain adalah kehinggan yang possible.”

Para ahli fisika modern telah mengajukan sejumlah bantahan terhadap maslah ini (Muhadharat, 197-199). Sedangkan pendapat bahwa alam berbentuk siklus, mengecil kemudian membesar (memanjang) kemudian kembali, dan mengecil lagi, dajn begitulah seterusnya, adalah pendapat yang tidak berdasar, dan hanyalah sebuah remalan (dugaan), bukan pendapat ilmiah.

Bantahan
Materi dalam pengertian umum bermacam dua; materi atomik dan energi-energi. Atom-atom terdiri atas lebih dari seratus elemen, dan mungkin berlipat ganda berkat kemajuan sain dan ditemukannya elemen-elemen lain yang hingga sekerang terus terjadi. Sedangkan energi-energi juga terdiri atas energi panas, energi cahaya, energi listrik, energi suara, energi mikanik, dan energi dinamik. Dari sisi lain, atom-atom berubah menjadi energi-energi, sebagaimana yang terjadi dalam sebagian elemen yang memancarkan cahaya gama, yaitu gelombang berenergi tinggi tidak bermuatan dan bermassa, seperti penghancuran uranium dengan proton atau neotron yang melahirkan sebuah energi besar.

Elemen-elemen atomik juga berubah menjadi elemen-elemen atomik lain, dan energi berubah dari satu macam ke macam energi lain, seperti perubahan energi kimia dari energi dinamik ke energi panas, dan dari energi panas ke gerak, seperti mesin mobil saat menghabiskan minyak atau bahan bakar akibat tekanan.

Energi mekanik juga berubah menjadi energi listrik, seperti pemanfaatan banjir atau air terjun yang diatur sehingga menciptakan energi listrik. Demikian pula sebaliknya, energi listrik berubah menjdi energi mekanik, seperti pemanfaat daya listrik untuk dijadikan sebagai pembangkit. Energi listrik juga berubah menjadi energi panas, seperti alat pemanas yang digerakkan oleh listrik. Energi listrik juga berubah menjadi kimia, yaitu ketika aliran listrik membagi air dalam dua unsur. Energi kimia juga bisa berubah menjadi energi listrik atau energi panas, seperti baterei listrik dan pembakaran arang.

Dari perubahan-perubahan yang dialami oleh materi dan energi, dan dari ketersusunan materi dari unsur-unsur di dalamnya itulah, maka kita berkesimpulan secara tegas bahwa semua yang ada di alam material ini merupakan entitas yang kompleks (tersusun, murakkab). Setiap entitas (maujud) yang tersusun pasti bermula dan berakhir dengan ketiadaan. (Allah Yatajalla fi Ashril-Ilm, 21-25, Hiwar bainal Ilahiyyin wal Maddiyyin, 66, Muhadharat 199-203, An-Nadhariyah Al-maddiyah fil-ma’rifah, 92, Durus fil- Aqidah Al-Islamiyah, Falsafatuna, 247, dll.)

Gerak menurut Materialisme dan Spiritualisme
Materi itu berada dalam gerak dan perkembangan terus menerus. Materi juga membutuhkan sebab yang menggerakkannya.  Materialisme dialektik tidak mengakui adanya penggerak di luar gerak. Ia tidak mengakui dualitas antara materi yang bergerak dan sebab gerak. Ia menganggap materi itu sendiri sebagai sebab gerak, sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Sedangkan spiritualisme atau filsafat metafisika memastikan adanya sebab garak di luar materi, karena menurutnya, materi kosong dari tingkat-tingkat penyempurnaan yang dicapai melalui tahap-tahap perkembangan dan gerak, dan tidak mengandung apapun selain gerak dan kapasitas untuk tingkat-tingkat penyempurnaan ini. Itu berarti, gerak memerlukan sebab selain dirinya, dialah Tuhan sang Pencipta. (Falsafatuna, 248). Ini menyangkut masalah gerak dalam kosmologi. Gerak dalam ontologi telah dibahas sebelumnya.

Klaim ketiga
Materialisme dialektik telah diagunakan oleh Marx dan Engels, sahabatnya, untuk menciptakan faham komunisme atau Marxisme. Aliran ini terdiri atas dua pandangan pokok; materialisme dialektik dan materialisme historis yang diterapkan oleh Marrx untuk menganalisis realitas masyarakat yang terbagi ke dalam kelas proletar yang tertindas dan kaum kapiltalis, feodalis dan borjuis  yang rakus.

Bantahan
Para filsuf kontemporer alumnus Mazhab Qom menetapkan sembilan (9) kesatuan (unitas) yang harus dipenuhi agar kontradiksi terjadi, yaitu sebagai berikut:
1.   Kesatuan subjek (maudhu’), seperti “Ali adalah siswa” dan “Ali bukanlah siswa”. Inversi tidak terjadi bila subjeknya berlainan, seperti “Ali adalah siswa” dan “Ahmad bukanlah siswa”
2.   Kesatuan predikat (Al-Mahmul), seperti “Zaki adalah siswa” dan “ Zaki bukanlah siswa”. Inversi tidak terjadi bila predikatnya berlainan, seperti “Zaki adalah siswa” dan “Zaki bukanlah guru”.
3.   Kesatuan waktu, seperti “matahari terbit di siang hari” dan “matahari tidak terbit pada waktu siang”. Inversi tidak terjadi bila waktunya berlainan , seperti “matahari terbit pada waktu malam” dan “matahari tidak terbit saat malam”.
4.   Kesatuan tempat, seperti “matahari terbit di timur” dan “matahari tidak terbit di timur”. Inversi tidak terjadi bila masanya berlainan, seperti “matahari terbit di timur” dan “matahari tidak terbit di barat”.
5.   Kesatuan aktus (aksi) dan potensi, seperti “bayi itu adalah sarjana secara aktual” dan “bayi itu bukanlah sarjana secara aktual”. Inversi tidak terjadi bila potensi dan aktusnya berlainan, seperti “bayi itu sarjana secara potensial” dan “bayi itu bukanlah sarjana secara aktual”.
6.   Kesatuan partikularia dan universalia (bagian dan himpunan), seperti “udara seluruh Indonesia sejuk” dan “udara seluruh Indonesia tidak sejuk”. Inversi tidak terjadi bila partikularia dan universalianya berlainan, seperti “udara sebagian Indonesia sejuk” dan ‘udara sebagian Indonesia tidak sejuk’.
7.   Kesatuan kondisi (syarat), seperti “siswa itu lulus apabila rajin” dan “siswa itu tidak lulus apabila rajin”. Inversi tidak terjadi bila kondisinya berlainan, seperti “siswa itu lulus apabila rajin” dan “siswa itu tidak lulus apabila malas”.
8.   Kesatuan relasi, seperti “4 adalah separuh dibanding (bagi) 8” dan “4 bukanlah separuh dibanding (bagi) 8”. Inversi tidak terjadi apabila relasinya berlainan, seperti “4 adalah separuh bagi 8’ dan “4 bukanlah separuh bagi 10’. (Muhadharat).
9.   Kesatuan predikasi

Materialisme melakukan kesalahan besar ketika menganggap setiap perbedaan sebagai kontradiksi arau dialek antara positif dan negatif. (Mao Tse Thung about contradiction, 13, Materialisme Dialektik dan Materialisme historik, hal. 17, cet. 2, terj. Bahasa Arab, Pokok-pokok Filsafat Marxisme, 106-107). Ia mencontohkan menyerang dan bertahan, maju dan mundur, menang dan kalah sebagai kontradiksi, padahal itu semua bukan fenomena kontradiksi. (Mao Tse Thung abaout Contradiction, 14 – 15).

Marx dan para pengikutnya menolak hukum non kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan entitas terjadi kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena ternyata yang dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya perpindahan dari potensia dan aktus dalam setiap entitas. Para filsuf muslim dan Timur telah menyebutkan sembilan syarat kesatuan dalam kontradiksi, antara lain kesatuan predikat, kesatuan subjek, kesatuan tempat, kesatuan waktu, kesatuan relasi, kesatuan potensi dan aksi, kesatuan predikasi, dan sebagainya (Muhadharat fil-Aqidah, 120, dll).

Akhirnya, materialisme dialektik mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Meski demikian, ironisnya, banyak pemuda Islam yang merasa bangga menganut sosialisme atau komunisme, yang merupakan bayi prematur dari materialisme dialektik.

Maujud objektif tunggal dan beragam

Dengan mempertimbangkan pluralisme Ibnu Sina dan monisme Mulla Shadra, kita dapat membagi maujud menjadi dua;
  1. Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid).
  2. Maujud beragam (Al-maujud Al-katsir)

Namun, karena pandangan Mulla Shadra terasa lebih kuat dan didukung oleh para filsuf Islam, seperti Thabathabai, Muthahhari, Jawadi Amuli dan M. T. Mishbah yazdi, maka ontologi yang akan kita bahas selanjutnya mengacu pada monisme Mulla Sahdra.

Dua Maujud tunggal
Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid) terbagi dua;
1.    Maujud tunggal sejati (Al-maujud al-wahid al-haqiqi). Yaitu maujud yang tidak terbagi.
2.    Maujud tunggal tak sejati (Al-maujud al-wahid ghair al-haqiqi). Yaitu maujud yang dapat dibagi, seperti Agus dan Budi, yang bersatu dalam kemanusiaan, namun terbagi dua.  (Al-Falsafah Al-Ulya, 102, Elm e Kulli, 139-141).

Dua Maujud tunggal sejati
Maujud tunggal sejati bermacam dua;
  1. Maujud tunggal sejati dengan ketunggalan sejati (Al-wahid Al-haqiqi bil-wahdah Al-haqqah). Yaitu entitas tunggal (satu) yang merupakan kesatuan (ketunggalan) itu sendiri, seperti hakikat murni sesuatu yang tidak ada sesuatu itu yang tidak bisa digandakan maupun diulang.
  2. Maujud tunggal sejati dengan ketunggalan tidak sejati (Al-wahid Al-haqiqi bil-wahdah ghairil-Haqqah  (satu). Yaitu entitas tunggal (satu) yang merupakan sebuah substansi yang menyandang sifat ‘satu’ (tunggal).

Dua Maujud tunggal tidak sejati
Entitas tunggal tidak sejati terbagi dua;
1.   Satu ‘tidak sejati’ secara khusus (Al-wahid ghairul-haqiqi bil-khusush). Yaitu satu dalam pengertian bilangan, yang merupakan pokok bilangan angka apabila diulang.
2.   Satu ‘tidak sejati’ secara umum (Al-wahid ghairul haqiqi bil-umum).

Dua Maujud tunggal tidak sejati ‘secara khusus’
Ada dua macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1.    ‘Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus’ yang dapat dibagi, seperti ukuran.
2.    Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus yang tidak  dapat dibagi. Yaitu ketika  dilihat sebagai: a) sebuah substansi (batang)  yang secara singular menyandang sifat ‘satu’ ; b) sebuah sifat ‘satu’ yang secara singular disandang oleh  sebuah substansi. Titik, misalnya.

Dua Maujud tunggal tidak sejati ‘secara umum’
Ada dua macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1.    Sebagai sebuah konsep, seperti ‘manusia’ bila dipandang sebagai sebuah (satu) spesies (wahid nau’i), atau ‘binatang’ bila dipandang sebagai satu genus (wahid jinsi), atau seperti ‘yang berjalan’ bila dipandang sebagai satu predikat (wahid aradhi).
2.    Sebagai wujud yang sangat luas, seperti hakikat ‘wujud’ yang meliputi semua alam keberadaan.

Maujud objektif aktual dan maujud potensial
Aktus (aktualitas, Al-fi’liyah) adalah forma sesuatu yang membuatnya (sesuatu itu) memberikan pengaruh-pengaruh. Ia adalah wujud sesuatu itu sendiri, seperti ke-pohon-an pohon. Aktualitas adalah sifat bagi sesuatu dalam perspektif kekinian.

Potensia adalah forma sesuatu yang memungkinkannya untuk menjadi sesuatu yang lain, seperti sifat yang disandang oleh bibit yang memungkinkannya menjadi potensi secara potensial. Ia adalah sifat bagi sesuatu dalam  koneks masa depan.

Maujud juga dapat dibagi dua;
  1. Maujud potensial
  2. Maujud aktual

Karena eksistensi aktualitas sangatlah nyata, maka yang perlu dibuktikan adalah eksistensi potensi yang merupakan pasangannya. Berikut alasan-alasannya:
1.    Sangatlah gamblang bahwa terbentuknya sebuah sifat dalam biji yang membuatnya menjadi pohon di kemudian hari, namun batu tidak memilikinya. Manusia juga demikian. Ia berpotensi untuk menjadi berpengetahuan (pengetahu) dan penulis, sedangkan besi tidak memilikinya. Ada beberapa sifat yang tidak dimiliki besi, namun manusia memilikinya, dan sebaliknya.  Jadi, entitas potensial memang sesuatu yang real.
2.    Terjadinya perubahan dan tranformasi dialami oleh setiap entitas kosmik. Tanpa adanya potensi dan kapasitas (al-quwwah wa al-qabiliyah), perubahan tidak akan pernah terjadi dalam alam.
3.    Gerak adalah sebuah fenomena kosmik, yang berdiri di atas ketiadaan sekaligus ke-ada-an (Al-fuqdan wa Al-wujudan), ketiadaan yang memiliki potensia namun tidak memiliki aktus. Seandainya entitas yang bergerak (Al-mutahharik) tidak mengandung potensi untuk bergerak, maka ia tidak akan pernah bergerak.

Kesimpulan:
Setiap entitas kosmik menyandang dua sifat; potensialitas (Al-qabiliyah) dan aktualitas (Al-fi’liyah).

Potensi bermacam dua;
  1. Potensialitas menanjak (transenden, Al-quwwah Ash-sha’idah), yaitu potensi yang telah menjadi aktual.
  2. Potensialitas menurun (immanen, Al-quwwah An-nazilah), yaitu potensi yang belum teraktualkan. (Al-Falsafah al-Ulua, 109-111, Nihayatul-Hikmah, 250-253, ).

Maujud ‘sebab’ dan maujud ‘akibat’
Entitas atau maujud dapat juga dibagi dua;
  1. Entitas yang memiliki pengaruh terhadap eksistensi selain dirinya, yang lazim disebut kausa atau al-illah.
  2. Entitas yang memerlukan selain dirinya untuk menjadi ‘berada’. (Nihayatul-Hikmah, 202, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 2, hal. 127, Al-falsafah Al-ulya, 113).

Penolakan terhadap Kausalitas
Ada sejumlah filsuf Barat yang menyatakan penolakan terhadap prinsip kausalitas. Mereka mengajukan sejumlah alasan.
  1. Penolakan David Hume
David adalah salah filsuf Barat yang melancarkan kritik tajam atas prinsip kausalitas.menurutnya, prinisp kausalitas tidak diketahui melalui penalaran  melainkan pengalaman. Pengetahuan orang tentang adanya hubungan kausalitas didapatkan dari kebiasaan melihat peristiwa tertentu (peristiwa A) selalu diikuti oleh peristiwa lain (peristiwa B). karena seorang telah mengamati berulang kali di masa lampau suatu objek akan menghasilkan akibat tertentu, maka ia dapat mengharapkan di masa depan objek yang sama menghasilkan akibat yang sama. Ia menolak hukum kausalitas dengan beranggapan bahwa tidak ada hubungan sebab-akibat antar gejala-gejala dan entitas alam, karena yang terjadi hanyalah susul menyusul.

  1. Penolakan Bertrand Russell
Bertrand Russell juga menolak hukum sebab akibat dengan beranggapan, bahwa apabila setiap entitas dan sesuatu adalah akibat dari suatu sebab, maka berarti Tuhan juga akibat dari suatu sebab, karena ia adalah sesuatu. Bertrand Russell mencampurkan adukkan antara “pasti ada”, “pasti tiada”, dan “tidak pasti”. Hanya entitas atau sesuatu yang “tidak pasti ada dan tidak pasti tiada”-lah yang merupakan akibat dari suatu sebab”. (Usus Al-Falsaf, Thbathaba’ & Mutahhari, 210 dll.)

Kritik atas Penolakan Kausalitas
David dan para pengikutnya lupa bahwa susul-menyusul tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya hubungan kausal. Pendapat Hume meniscayakan keraguan total terhadap setiap premis. (The Empiricist, 324, Muhadharat, 95-101, dll).


Arthur Schopenhauer (1788-1860) mengajukan sebuah pertanyaan menarik kepada orang-orang yang menolak hukum kausalitas; “Jika menurut anda hukum kausalitas adalah produk akal, maka dengan alasan apakah anda memastikan keberadaan realitas objektif yang telah menjadi sebab?” (Ususul-Falsafah, juz, 210).

Emanuel kant juga menentang David mengenai penolakan terhadap kausalitas. Menurutnya, kausalitas memang tidak ditemukan dalam pengalaman manusia, namun demikian, keputusan (hukum) tersebut juga bukan sekedar hasil kebiasaan manusia melihat dua peristiwa terjadi berurutan dalam waktu. (Matinya Metafisika Barat, Donny gahral Adian, 40-41).

Para filsuf Mazhab Qom membantah kritik David Hume dan para penolak prinsip kausalitas. Menurut mereka, sebenarnya penolakan terhadap prinsip kausalitas dapat diringkas dalam sebuah premis ‘pengetahuan tentang selain arti-arti yang berurutan –tanpa saling berhubungan- adalah mustahil’.  Kalau premis tersebut kita ubah menjadi kontra premis ‘pengetahuan tentang selain arti-arti yang berurutan –tanpa saling berhubungan- tidaklah mustahil’, maka bagaimanakah Hume menyikapinya? Jika ia menganggap kontra premis ini benar, maka berarti ia telah menggugurkan pendapatnya. Jika menganggapnya salah, maka kita tanya dengan dasar apakah ia menyalahkannya? Jika ia menyalahkannya dengan argumentasi langusng, maka berarti ia meyakini argumen (yang digunakannya) itu sebagai sebab bagi gugurnya kontra premis diatas. Jika ia menyalahkan kontra premis tersebut dengan argumentasi tidak langsung, maka ia harus, sesuai dengan kaidah logika, menjustifikasi premis pertama yang diklaimnya (bukan kontra premis) dengan argumen. Jika ia menggunakan argumen untuk mendukung klaim premisnya, maka ia berarti mengakui adanya hubungan kausal antara argumen dan kebenaran klaimnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa hukum non kontradiksi dan hukum sebab akibat adalah dasar bagi pengetahuan rasional, empiris, dan mistik. (Metafisika, 156 dan 84, Falsafatu Hume baina asdy-syak wal-I’tiqad, 180, Muhadharat, 100-101).

Urgensi menerima hukum kausalitas
Hukum ini sangat penting dan fundamental, terutama dalam bidang epistemologi. Hal itu karena beberapa alasan sebagai berikut:
  1. Pengakuan terhadap hukum kausalitas merupakan landasan bagi pembuktian eksistensi realitas material, bahkan realitas itu sendiri. Sedangkan penolakan terhadapnya meniscayakan keraguan mutlak dan kebodohan.
  2. Seandainya eksistensi materi bisa dibuktikan tanpa berlandaskan hukum kausalitas, maka pengetahuan akan materi hanyalah pengetahuan sederhana. Hal itu karena ilmu pengetahuan, sepereti fisika, kimia, biologi dan sebagainya, mengandalkan observasi sensual terhadap patikal-partikal tertentu berulang kali. Dengan kata lain, sain mengandalkan pengalaman. Generalisasi hukum empiris berdasarkan hukum kausalitas. Tanpa dilandasai hukum kausalitas, generalisasi hukum empiris tidak akan pernah bisa terjadi.
  3. Penolakan terhadap hukum kausalitas meniscayakan penerimaan atasnya. Renungkanlah! (Muhadharat, 138-141). Prinsip kausalitas adalah dasar tumpuan segala usaha pemaparan dalam segala bidang pemikiran manusia. Ini karena pemaparan dengan bukti tentang sesuatu berarti bahwa jika bukti itu benar, maka adalah sebab bagi mengetahui sesuatu itulah yang merupakan objek pemaparan. Ketika kita membuktikan suatu kebenaran tertentu dengan eksperimen ilmiah atau dengan suatu hukum filsafat atau dengan persepsi inderawi sederhana, sebenarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya kebenaran itu. Nah, kalau tidak karena prinsip kausalitas dan (hukum) keniscayaan, tentu kita tidak dapat berbuat hal itu. Karena, kalau kita membuang hukum-hukum kausalitas dan tidak mempercayai keniscayaan adanya sebab-sebab tertentu bagi setiap kejadian, tentu tidak akan ada hubungan antara bukti yang kita sandari dan kebenaran yang kita usahakan mendapatkannya dengan bukti ini. Tetapi kemungkinan bahwa bukti itu benar tanpa memandu ke hasil yang dikehendaki, karena hubungan kausal antara bukti dan hasil, antara sebab dan akibat, itu telah terputus.

Demikianlah, menjadi jelas bahwa setiap upaya pemaparan bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas. Kalau tidak, tentu upaya itu hanya sia-sia. Bahkan pemaparan untuk menolak prinsip kausalitas, yang diusahakan oleh sebagian filosof dan ilmuwan, juga berdasarkan prinsip kausalitas. Karena, mereka yang mencoba mengingkari prinsip tersebut dengan bersandarkan pada suatu hujjah tertentu, tidaklah melakukan usaha itu, kalau mereka tidak mempercayai bahwa hujjah yang mereka sandari itu adalah sebab yang memadai untuk mengetahui kepalsuan prinsip kausalitas. Tetapi hal itu sendiri adalah suatu penerapan literal (harfiah) prinsip itu.  (Falsafatuna, 211, Muhadharat, 138-141).

Hubungan sebab dan akibat
Hubungan antara sebab dan akibatnya adalah hubungan eksistensial real (objektif). Bila  hubungan tersebut terjalin, maka ke-ada-an akibat menjadi pasti,  ke-ada-an sebab memastikan ke-ada-an akibatnya , dan ketiadaan sebab juga memastikan ketiadaan akibatnya.

Sedangkan para filsuf Barat, seperti David Hume, menganggap hubungan kausalitas sebagai hubungan konseptual subjektif, tidak objektif. (Muhadharat, 142, Falsafatu Hume baina Al-syak wa Al-I’tiqad, Dr. M. Fathi Asy-Syunaithi, Al-falsafah Al-ulya, 113, Nihayatul-Hikmah, 201).

Kausa sempurna dan kausa tidak sempurna
Sebab bermacam dua;
1.     Sebab sempurna (Al-illah At-tammah). Yaitu sebab yang selamanya menjadi penyebab keberadaan seluruh akibatnya, sehingga ia tidak ada, maka akibatnya pun seketika tidak ada. Keberadaan kausa sempurna meniscayakan keberadaan akibatnya. Ketiadaannya juga meniscayakan ketiadaan akibatnya.
2.     Sebab tidak sempurna (Al-illah An-naqishah). Yaitu sebab yang hanya menjadi sebab dalam salah satu aspek keberadaan akibat. Keberadaan kausa tidak sempurna tidak meniscayakan keberadaan akibatnya. Namun ketiadaannya meniscayakan ketiadaan akibatnya. (Nihayatul-hikmah, 204, Al-falsafah Al-Ulya, 115).

Sebab singular dan sebab plural
Sebab juga dapat dibagi dua;
  1. Sebab singular. Yaitu sebab bagi satu akibat.
  2. Sebab plural. Yaitu beberapa kausa bagi satu akibat, seperti panas yang merupakan akibat dari serangkaian sebab; matahari, panas, gerak dan sebagainya.

Sebab sederhana dan kausa kompleks
Sebab juga dapat dibagi dua;
  1. Sebab sederhana (Al-illah Al-basithah). Yaitu kausa yang tidak terangkai
  2. Sebab tersusun (Al-illah Al-murakkabah). Yaitu kausa yang terangkai dari beberapa bagian.
Ada kalanya sebab sempurna itu sederhana dan ada kalanya terrangkai. (Al-falsafah Al-ulya, 116).

Sebab eksternal dan sebab internal
Sebab juga terbagi dua;
1.    Sebab eksternal. Yaitu sebab yang ada di luar subjek (diri) akibat, yang disebut dengan sebab keberadaan (Illatul-wujud).
2.    Sebab internal. Yaitu sebab yang ada dalam diri akibat, yang disebut dengan sebab elementer. (Illatul-qiwam).(Al-falsafah Al-ulya, 117, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 2, hal. 126, Nihayatul-Hikmah, 205).

Sebab dekat dan sebab jauh
Sebab juga dapat dibagi dua;
1.     Sebab dekat (Al-illah Al-qaribah). Yaitu kausa yang secara langsung berhubungan dengan akibat.
2.     Sebab jauh (Al-illah Al-ba’idah). Yaitu kausa yang berhubungan dengan akibat dengan perantara sebab lain.

Empat macam sebab
Ada empat macam sebab, menurut Aristoteles dan para filksuf Mazhab Qom;
1.   Sebab material (Al-Illah Al-Maddiyah), seperti batu, pasir dan semen untuk rumah.
2.   Sebab formal (Al-Illah Ash-Shuriyah), seperti gambar “rumah” yang akan dibangun dalam benak arsitek atau pemilik.
3.   Sebab efesien (Al-Illah Al-Fa’ilah), seperti tukang dan kuli bangunan yang akan bekerja membangun rumah.
4.   Sebab final (Al-Illah Al-Gha’iyah), yaitu seperti  tujuan dibangunannya rumah. (Asl e Illiyat, Dr. Qadardan M., 57-64,  Kamus Filsafat, 194-195, Nihayatul-Hikmah, 201-216)

Macam-macam sebab pelaku
Kausa efersien (Al-illah Al-fa’iliyah, Al-illah Al-fa’ilah sebab pelaku) terbagi banyak. Yaitu sebagai berikut:
  1. Al-Fa’il bil-thba’i (pelaku natural). Yaitu pelaku yang menciptakan perbuatan (berbuat, bertindak), namun tidak menyadari perbuatannya, seperti api yang ‘menghangatkan’.
  2. Al-fa’il bil-qasr (pelaku natural determinan). Yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan tidak menyadarinya, namun bertentangan dengan naturnya, seperti batu yang terbang ke atas, karena dilemparkan.
  3. Al-fa’il bil-jabri (pelaku terpaksa). Yaitu  pelaku yang mengetahui (menyadari) perbuatannya namun tidak menghendakinya, seperti perbuatan yang dilakukan seseorang akibat penindasan atau tekanan orang lain.
  4. Al-Fa’il bil-ridha (pelaku dengan sukarela). Yaitu pelaku yang mengetahui secara detail perbuatannya serta menghendakinya. Pengetahuan detail (Alilm At-tafshili)-nya adalah (akan perbuatan tersebut) adalah perbuatan itu sendiri dalam kenyataannya.
  5. Al-fa’il bil-qashd (pelaku dengan rencana). Yaitu pelaku yang mengetahui secara detail perbuatannya dan menghendakinya, namun pengetahuan detail-nya mendahului perbuatannya karena faktor lain, seperti perbuatan manusia yang bersifat ikhtiari.
  6. Al-fa’il bil-inayah. Yaitu pelaku yang telah mengetahui secara detail akan perbuatannya sebelum perbuatan itu sendiri, dan pengetahuannya adalah sesuatu di luar dirinya, dan bahwa pengetahuannya tersebut adalah penyebab bagi terjadinya perbuatannya, seperti seseorang di atas pucuk tebing yang membayangkan akan jatuh lalu jatuh karena membayangkannya.
  7. Al-fa’il bil-tajalli. Yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan mengetahuinya secara detail, bahkan pengetahuan detailnya (tentang perbuatan tersebut)  tidak lain adalah pengetahuan umum  pelaku tentang dirinya, seperti pengetahuan detail Allah tentang segala sesuatu yang merupakan pengetahuan detail.
  8. Al-fa’il bil-taskhir. Yaitu pelaku yang mana ia (pelaku sendiri) dan perbuatannya adalah untuk atau miliki pelaku lain, seperti daya atau potensi-potensi natural dan hewaniyang diciptakan dan untuk jiwa manusia.

Thabatabai menganggap sebagian dari sembilan sebab efesien di atas tidak perlu dimandirikan secara terpisah, karena, menurutnya, ada pelaku yang bila dicermati masuk dalam kategori pelaku lainnya, seperti Ál-fail bil-inayah, yang semestinya masuk dalam kelompok Al-fa’il bil-qashd, demikian pula Al-fa’il bil-jabr (pelaku terpaksa), yang sejatinya tidak keluar dari Al-fa’il bil-qashd, karena pelakunya, kendati dipaksa, melakukannya dengan ikhtiar. (Nihayatul-hikmah, 222-224, Al-falsafah al-ulya, 119, Syarh Al-Isyarat, juz 3, hal. 11-12, Al-asfar Al-arba’ah, juz 2, hal. 191-194, Syarhul-mushtathalahat al-falsafiyah, 261-265).

Dalam filsafat modern, sebab terbagi tiga;
1.      Sebab imanen. Yaitu kondisi internal yang menghasilkan perubahan, seperti kehendak dalam diri seseorang yang menyebabkan gerakan.
2.      Sebab instrumental. Yaitu sebab medium yang masih membutuhkan sebab yang lebih tinggi. Ia adalah sub bagian dari sebab efesien, seperti mobil yang merupakan alat yang menggerakkan seseorang yang berkehendak.
3.      Sebab transenden. Yaitu kondisis eksternal yang menghasilkan perubahan pada sebuah benda, seperti air yang menyebebkan tanaman menjadi subur. (Kamus Filsafat, 970-971).

Ciri-ciri dan sifat “Wujud”
Para filsuf penganut Ashalatul-Wujud menyebutkan sejumlah ciri khas hakikat  “wujud”. Antara lain sebagai berikut:

  1. Hakikat  “wujud” adalah sederhana (basith), tidak kompleks, bahkan realitas adalah satu-satunya yang sederhana dan tak tersusun.

Alasan-alasannya sebagai berikut:
·         Seandainya hakikat “wujud” kompleks atau tersusun, maka pasti ia terdiri atas beberapa bagian. Tentu, (setiap) bagian tersebut berupa wujud atau bukan wujud. Seandainya bagian tersebut bukanlah wujud, maka berarti ia bukanlah bagian dari “wujud” (yang diasumsikan tersusun dari beberapa bagian itu), karena selain wujud atau ketiadaan, sedangkan ke-ada-an tidak dapat dikombinasikan dengan kenir-adaan.  Sebaliknya, jika bagian tersebut  adalah wujud, maka berarti ia bukanlah bagian dari “wujud”, karena ia adalah wujud itu sendiri, bukan bagian darinya.
·         Sesuatu yang diasumsikan sebagai bagian dari wujud itu hanya bisa mengambil salah satu dari tiga sifat sebagai berikut; a) menjadi titik kesamaan antara realitas wujud dengan selainnya;  b) menjadi ciri khas bagi realitas wujud itu sendiri. Pilihan pertama tertolak, karena tidak ada sesuatu selain realitas wujud, sehingga setiap kali ada sesuatu yang diasumsikan sebagai bagian dari realitas wujud, maka seketika ia menjadi realitas itu sendiri semata.

2. Pilihan kedua juga tertolak, karena sesuatu disebut sebagai bagian apabila ia memiliki ciri khas yang membedakannnya dari yang lain. Karena realitas wujud tidak terdiri atas bagian-bagian yang sama, maka ia juga tidak terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai ciri khas. Itu berarti bahwa realitas wujud adalah sederhana dan tidak terdiri atas bagian-bagian. Apabila realitas wujud tidak memiliki bagian yang sama, maka ia tidak mempunyai genus dan  materia (potensi). Apabila hakikat wujud  tidak mempunyai bagian yang khusus, maka ia tidak mempunyai deferentia (fashl) dan forma. Jadi, realitas wujud bersifat sangat sederhana (basith).

Apabila realitas wujud tidak mempunyai genus dan  defrensia, maka ia bukanlah quiditas (mahiyah), karena quiditas adalah gabungan dari genus dan deferensia. Apabila realitas wujud tidak beresensi atau mempunyai quiditas, maka hakikat “wujud” itu adalah dirinya sendiri semata. Karena realitas wujud bukanlah quiditas, maka ia tidak menyandang sifat-sifat quiditas, seperti universal, partikulari, genus, deferensia, substansi, dan aksiden.

  1. Hakikat “wujud”  tidak mempunyai lawan (dhidd), karena lawan bagi sesuatu adalah sesuatu yang lain atau yang kedua, yang berbeda secara esensial atau berdasarkan quiditasnya, padahal tidak ada sesuatu selain realitas wujud, bahkan setiap sesuatu yang diasumsikan sebagai selain dari realitas wujud adalah wujud itu sendiri. Karena realitas wujud tidak mempunyai quiditas atau esensi, maka ia tidak mempunyai lawan atau rival,   sebab perbedaan dan keberlainan antar dua hal disebab oleh quiditas atau esensi (mahiyah).

  1. Hakikat “wujud” tidak mempunyai kembaran atau padanan, sebab sesuatu disebut sebagai padanan atau kembaran itu bukanlah sesuatu yang dikembarinya itu sendiri. Dengan kata lain, dua sesuatu yang mirip atau sama harus berlainan. Kalau tidak, keduanya bukanlah dua, namun satu.

  1. Hakikat “wujud’ bukanlah akibat dari suatu sebab. Artinya, ia ada dengan sendirinya yang secara otomatis menolak kenir-ada-an dari dirinya.

  1. Sifat-sifat kesempurnaan seperti “hidup” dan lainnya adalah berasal dari hakikat “wujud”, bukan dari selain dirinya. Seandainya sifat-sifat kesempurnaan tersebut tidak berasal dari realitas wujud, maka berarti sifat-sifat tersebut nir-ada. (Al-falsafah Al-Ulya, 86, Nihayatul-Hikmah)


Realisme atau Dualisme
Aliran, yang oleh sebagian kalangan diidentikkan dengan monisme atau materialisme radikal, ini meyakini adanya realitas saja,  dan menolak eksistensi konsep.

Realisme Islam mestinya lebih tepat jika disebut dengan Dualisme, karena ia  meyakini adanya  dua maujud; objektif (real) dan subjektif (ideal). (Hakadza Nabda’, 2227-231, )


Tiga macam maujud objektif
Entitas objektif bermacam dua;
  1. Substansi (Al-Jauhar).
  2. Aksiden (Al-Arazh).
  3. Daya (Al-thaqah). (Al-falsafah Al-Ulya, Reza Shadr, 159, Sharh Al-Manzhumah, Sabzawari, juz 2, hal. 462-463).

Tiga macam maujud batangan (substansial)
Substansi terbagi tiga;
  1. Entitas ragawi atau raga (Al-Jism). Yaitu
  2. Entitas potensial atau entitas material atau potensia (Al-Maddah). Yaitu
  3. Entitas formal atau entitas aktual atau forma (Al-shurah). Yaitu

Ciri-ciri khas maujud ragawi  (‘raga’)
Para filsuf Mazhab Qom  menyebutkan sejumlah ciri khas yang diasandang oleh materi atau ‘raga’ (al-jism) sebagai berikut disertai dengan alasan-alasannya.
  1. Raga dapat dibagi.
  2. Raga dapat melebur dengan raga lainnya
  3. Raga terbatas.
  4. Rateri dan raga berbobot.
  5. Raga bertempat
  6. Raga bermasa.
  7. Raga berarah.(Al-Falsafah Al-Ulya, 160-168).

Dua macam maujud aksidental (sandangan)
1.    Aksiden-aksiden relatif. Yaitu aksiden yang bergantung pada relasi. (Al-a’razh Al-nisbiyah), seperti
2.    Aksiden-aksiden non relatif. Yaitu aksiden yang tidak bergantung pada relasi, seperti kategori kuantitas (Al-kam) dan kulaitas (Al-kaif). (Al-Falsafah Al-Ulya, 178, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 4, hal. 10).

Maujud objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud juga terbagi dua;
  1. Entitas bermula (hadits)
  2. Entitas tak bermula (qadim, azali).

Tiga ‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud hadits terbagi tiga;
  1. Entitas bermula dengan kebermulaan eaktu (hadits zamani).
  2. Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits ztati).
  3. Entitas bermula dengan kebermulaan eksistensial (hadits bil-haq).

Dua macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1.       Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2.       Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari ketiadaan.

ENTITAS OBJEKTIF TAK TERINDERAKAN


Pengertian “non materi” (spirit)

Realitas abstrak atau non-materi (Al-mujarrad) adalah setiap sesuatu yang sama sekali tidak menyandang ciri-ciri benda. (Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, 139).

Pendahuluan
Objek atau sasaran pengetahuan, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, adalah realitas objektif. Realitas objektif dalam ontologi Islam, sebagaimana disebutkan oleh Thabatabai, bermacam tiga sebagai berikut:
  1. Realitas material. Yaitu realitas  yang merupakan gabungan dari materi dan potensi, yang lazim disebut dengan alam al-maddah wal-quwwah).
  2. Realitas immaterial.

Dua maujud non bendawi

Realitas immaterial, dalam ontologi Timur dan islam, bermacam dua;

  1. Realitas interval atau realitas ideal. Yaitu realitas immaterial yang memberikan pengaruh-pengaruh material, seperti  bentuk, ukuran, posisi dan sebagainya, yang lazim disebut alam al-barzarkh dan  alam al-mitsal.
  2. Realitas abstrak. Yaitu realitas immaterial yang tidak memberikan pengaruh-pengaruh material sama sekali, yang lazim disebut dengan alam at-tajarrud, alam al-aql atau alam al-uqul al-mujarradah.

Relasi antar realitas-realitas

Tiga realitas atau tiga alam (al-awalim al-tsalatsah) tersebut diatas berkaitan secara vertikal. Realitas yang lebih dulu ada dan hadir dan paling dekat dengan kausa prima atau prinsip pertama (al-mabda’ al-awwal) adalah realitas abstrak. Peringkat kedua diduduki oleh realitas interval atau realitas ideal. Sedangkan peringkat yang paling rendah adalah realitas material, yang merupakan domain kekuarangan, keburukan dan ketidakpastian. (Nihayatul-Hikmah, 302-304).

Dengan demikian, kita dapat membagi spirit atau immateri menjadi dua; immateri interval dan immateri abstrak. Sebagian filsuf cenderung menyebut realitas immaterial interval dengan entitas (realitas) immanen dan menyebut realitas immaterial abstrak dengan transenden.

Ciri-ciri istimewa entitas abstrak

Realitas immaterial, sebagai entitas yang berada pada peringkat pertama dalam urutan kemuliaan dan kesempurnaan, memiliki sejumlah ciri khas sebagai berikut:
  1. Setiap entitas abstrak pasti adalah pengetahuan (al-Aql).
  2. Setiap entitas abstrak pasti adalah subjek pengetahu (al-aqil).
  3. Setiap entitas abstrak pasti adalah objek yang diketahui (al-ma’qul).

Dengan ungkapan lain, maujud abstrak adalah maujud yang dapat dikenali, mengenali dan menjadi pengenalan itu sendiri.

Kebersatuan (Unitas) Aqil dan Ma’qul

Mulla shadra mengajukan sebuah pandangan baru dalam epistemologi sekaligus ontologi, yaitu ‘kebersatuan aqil (subjek pengetahuan) dan ma’qul (objek pengetahuan). Pandangannya dalam diringkas dalam item-item sebagai berikut:

  1. Objek penalaran (al-ma’qul) itu adalah objek yang diketahui secara langsung (al-ma’lum bil-zat). Sedangkan aql atau pengetahuan adalah gambar intelektual (ash-shurah al-ilmiah) yang berada dalam benak. Karena gambar tersebut diketahui (atau menjadi objek pengetahuan), maka ia adalah sesuatu yang bersifat aktual, bukan potensial, karena ‘keterketahuan’ atau posisinya sebagai objek pengetahuan (al-ma’lumiyah) merupakan predikat bagi sesuatu dalam konteks afirmasi atau penetapa (maqam al-itsbat). Realitas objektif adalah objek pengetahuan tidak langsung (al-ma’lum bil-arazh). Sedangkan objek pengetahuan langsung (al-ma’lum biz-zat), yaitu konsep, adalah entitas yang abstrak dan kosong dari sifat-sifat material dan bebas dari potensi.

Seandainya konsep tidak bebas dari materia murni(al-hayula) dan kosong dari potensia, maka ia tidak akan menjadi arti secara aktual. Dan seandainya pengetahuan atau konsep itu bertempat dalam anggota raga, maka niscaya konsep terdiri atas potensia dan materia.

Konsep, sebagai entitas immaterial, tidak mengalami perubahan, karenma perubahan hanya dialami oleh entitas yang mengandung potensia. Karena konsep atau pengetahuan tidak mengandung potensia, maka ia adalah aktus murni. Maka pengetahuan adalah proses mengabstraksi atau mengentas sesuatu yang abstrak dari realitas objektif yang kongkret. (Nihayatul-Hikmah, 317-318, Al-asfar Al-arba’ah, juz 3, hal. 323-324, Al-falsafah Al-ulya, 242-243).

  1. ‘Ke-berpengetahuan’ (Al-aqiliyah) adalah predikat aktual (bukan potensial) dan entitas yang tidak mengandung potensi sama sekali. Pengetahuan tidak lain hanyalah kehadiran entitas aktual dalam entitas aktual lainnya.

  1. Yang dimaksud dengan ‘unitas’ (al-ittihad) antara subjek pengetahuan (al-aqil)dan objek pengetahuan (al-ma’qul) ialah bahwa satu entitas menjadi ekstensi (manifestasi) dari dua pengertian. ‘Subjek pengetahuan’ (yang mengetahui) dan ‘objek pengetahuan’ (yang diketahui) adalah dua pengertian atau quiditas (al-mahiyyah) yang terpantul dari satu realitas, demikian pula quiditas ketigapengetahuan’ (al-aql).

Dengan demikian, jelaslah bahwa semua pengetahuan, pada hakikatnya, adalah kehadiran, termasuk pengetahuan-pengetahuan hushuli (al-ma’rifah al-husuliya) atau paling tidak, bersumber dari pengetahuan hudhuri (al-ma’rifah al-husuliyah).(Nihayatul-Hikmah, 318-319, Al-falsafah al-ulya, 344-345).

Macam-macam entitas immaterial

Para filsuf menyebutkan sejumlah entitas abstrak atau ‘objek pengetahuan’ (al-ma’qul), seperti kefahaman (al-fahm), Al-hifzh (kehafalan), pengenalan  (al-aql).

Antara Al-ilm dan al-aql
Khusus mengenai al-aql, perlu diketahui bahwa kata ‘aql’ berbeda dengan pengetahuan atau al-ilm, karena al-ilm adalah entitas subjektif (al-mawjud az-zihni), sedangkan al-aql adalah entitas objektif (al-mawjud al-khariji).

Empat tahap ‘entitas abstrak’

Entitas objektif abstrak,  lazim disebut dengan Ál-aql, yang merupakan wadah pengetahuan, melewati empat tahap sebagai berikut;
1.    Al-aql Al-huyulani. Yaitu tahap ketika jiwa bebas dari semua entitas-entitas ‘ternalarkan’ atau entitas tak terinderakan, baik yang ekstemporal maupun yang non ekstemporal. Tahap ini adalah tahap persiapan untuk meraih pengetahuan badihi dan non badihi.
2.    Al-Aql bil-malakah. Yaitu tahap ketika jiwa telah meraih pengetahuan-pengetahuan (entitas-entitas tak terinderakan) badihi, baik yang masih konseptual maupun yang telah menjadi assentual.
3.    Al-aql bil-fi’l. Yaitu tahap ketika jiwa telah memproduksi pengetahuan-pengetahuan non ekstemporal (aposterior) dari pengetahuan-pengetahuan ekstemporal yang telah ia peroleh sebelumnya. Pada tahap ini entitas immaterial abstrak mulai menyingkap sesuatu yang sebelum tidak ia ketahui.
4.    Al-aql Al-mustafad. Yaitu tahap tertinggi ketika entitas abstrak (Al-aql) telah melakukan penyimpulan (Al-istintaj) dari sejumlah pengetahuan-pengetahuan badihi dan non badihi yang ada dalam dirinya. (Al-Falsafah Al-ulya, 241, Syarhul-Mawaqif, juz 6, hal. 43).

‘Abstrak’ filosofis dan ‘abstrak’ populis
Perlu diketahui pula, bahwa kata ‘abstrak’ telah dikonsumsi secara liar oleh kalangan di luar filsafat sehingga mengalami distrosi dan reduksi substansial dalam pengertiannya. Kini ‘abstrak’ telah dipahami secara populer dan secara non akademik sebagai sesuatu yang tidak jelas, tak bermakna dan kabur. Tentu fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran materialisme yang menolak eksistensi realitas non material, sebagaimana perkatan “it s doesn’t matter” (itu bukanlah benda yang diartikan “tidak ada’ atau ‘sepele’) dalam percakapan Inggris populer, demikian juga kata ‘fakta’ dan ‘realitas’ atau ‘kenyataan’ yang telah diadopsi secara tidak fair untuk arti yang menyimpang dari pengertian substansialnya dan artikan sebagai ‘fakta empiris’, realitas material‘ dan ‘kenyataan yang terinderakan’.

Tuhan
Sebab perdana entitas-entitas material dan immaterial adalah entitas immaterial transendental yang merupakan sumber keberadaan. Umat manusia sejak hadir di atas pentas sejarah hingga kini telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan itu. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Dialah Tuhan Maha Sempurna.

Manusia dan Tuhan

Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk entitas yang maha seempurna dan maha bijaksana deengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak atau chaos adalah manusia yang pesimis, gamang  dan diliputi kerisauan akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.

Masalah ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia dan mnejadi bahan pemikirannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri.(Maqalat e Falsafai, intisharat Hikmat, juz 2, hal. 231, Khoda Shenasi falsafi,  19, ).

Argumen kausal dan argumen efektual
Dalam filsafat Mazhab Qom, ada dua macam pola pembuktian keberadaan tuhan yang bertumpu pada prinsip kausalitas:
1.      Al-burhan Al-Limmi (argumen kausal). Yaitu pola  pembuktian dari sebab ke akibat-akibatnya.
2.      Al-burhan Al-inni (argumen efektual). Yaitu pola pembuktian dari akibat ke sebabnya.

Dua argumen efektual
Burhan inni bermacam dua. Para filsuf berselisih pendapat tentang manakah yang meniscayakan keyakinan;  burhan limmi  ataukah burhan inni. Polemik seputar dua metode pembuktian ini cukup panjang dan hangat hingga sekarang. (Sairi dar adelleh e isbat e wujud e, 32).

Para filsuf membagi argumen-argumen menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah arguemn-argumen yang terdiri atas rangkaian padu elemen subjek pembukti, elemen cara pembuktian dan elemen tujuan pembuktian menjadi satu. Bagian kedua adalah pembuktian yang hanya terdiri atas rangkaian padu dua elemen; pelaku pembuktian dan cara pembuktian, sedangkan elemen tujuan pembuktian terpisah. Bagian ketiga adalah pembuktian yang terdiri atas rangkaian padu elemen cara pembuktian dan tujuan pembuktian.

Argumen ‘ketidakpastian’ (burhan al-imkan), argumen ‘kebermulaan’ (burhan al-huduts), argumen ‘gerak’ (burhan al-harakah), dan argumen ‘keteraturan’ (burhan al-nadhm, annizham) termasuk dalam kategori pembuktian bagian pertama, karena di dalam empat argumen tersebut, tiga elemen pembuktian bersatu.

Salah cara pembuktian atas keberadaan Tuhan adalah ‘pengetahuan akan jiwa’. Yaitu bahwa manusia dengan pengembaran subjektif dan perenungan dalam diri, melalui pengetahuan hushuli, akan dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Dalam pembuktian demikian, cara pembuktian dan pelaku pembuktian menjadi satu, sedangkan tujuan pembuktian terpisah. Mulla Shadra menganggap argumen ‘ash-shiqqin’ sebagai argumen bagian ketiga. Menurutnya, inilah argumen yang paling mulia dan kokoh. (Al-asfar Al-arba’ah, juz, 6, hal. 13, Sayri dar adelleh e isbat e wujud e Khoda, 34).

Sejumlah filsuf, seperti Ibnu Sina dalam At-ta’liqat,   menolak pembuktian keberadaan Tuhan, karena, menurutnya, ke-ada-an Tuhan hanya bisa dibuktikan dari diriNya sendiri. Dengan kata lain, menurut Ibnu Sina, keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui secara hushuli atau dengan mengandalkan pengetahuan hushuli).(Amuzesy e Falsafeh, M. T. Yazdi, juz 2, hal. 329).

Namun pendapat ini dibantah oleh banyak filsuf dengan sejumlah argumen dan justifikasi. Salah satu justifikasi menyimpulkan bahwa, boleh jadi, yang dimaksud tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan dengan data husuli adalah bahwa zat Tuhan (wujud aini) Tuhan tidak dapat dibuktikan secara husuli. (Amuzesy e Falsafeh, juz 2, hal. 332, Sayri dar adelleh, 37).

Para filksuf Mazhab Qom menyebutkan sejumlah argumen dan bukti. Antara sebagai berikut:
  1. Argumen “fitrah’;
  2. Argumen ‘keteraturan’;
  3. Argumen  ‘kepemanduan’. Muthahhari menganggap argumen ini sebagai argumen yang terpisah dari argumen ‘keteraturan’. (Usul e falsafeh va Ravesy e Realisme, juz 5, hal. 48,49).
  4. Argumen ‘kebermulaan raga. Argumen ini digunakan oleh para teolog (mutakkalimun) (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 44-47)
  5. Argumen ‘gerak’.
  6. Argumen ‘kebermulaan spirit (jiwa). Argumen ini dikemukakan oleh para filsuf kosmologi. (ibid).
  7. Argumen ‘ketidakpastian dan kepastian’. Ibnu Sina dan Suhruwardi masing-masing memberikan pola penjelasan yang berbeda. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 26-37, Usul e Falsafeh va Ravesy e realisme, juz 5, hal. 61, 80, 81, Al-isyarat, juz 3, butir 4, Sayri dar adelleh e isbat e wujud e Khoda, 41).
  8. Argumen ‘sebab dan akibat’;
  9. Argumen ash-shiddiqin’.

Tapi dalam lembaran ini kita hanya akan menyebutkan ima bukti dan inferensi.

Bukti ‘Fitrah’

Sepantasnyalah ‘bukti fitrah’ didahulukan atas bukti-bukti lainnya karena, ia bertumpu pada kedalaman jiwa manusia dan dasar pijakannya bersifat presentatif (hudhuri). Namun sebagian filsuf dan teolog mengutamakan bukti ‘shiddiqin’.

Terminologi ‘Fitrah’
Kata ‘fitrah’ (al-fithrarh) secara gramatis mengikuti pola (wazan) fi’lah yang dalam b ahasa Arab mengandung konotasi perbuatan yang mengikuti perbuatan tertentu lainnya, seperti ia duduk seperti duduknya (jilsah) seorang pangeran. Ia berasal dari kata kerja ‘fathara’ yang semula berarti ‘menciptakan’ dan ‘membuat’ seseuatu yang sebelum tidak ada. Dalam surah Ar-Rum (ayat30),  kata ini telah digunakan untuk arti menciptakan.

Yang dimaksud dengan ‘fitrah Allah’ dalam ayat tersebut ialah  bahwa keberagamaan dan kecenderungan pada agama adalah sesuatu yang natural dan wajar. Artinya, Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga ia senantiasa cenderung untuk beragama.

Istilah-istilah ‘Fitrah’
Kata ‘fitrah’ dan derifasinya telah digunakan untuk arti yang berlainan. Antara lain sebagai berikut:
1.              ‘Proposisi-proposisi fitriah’ dalam logika. Ia didefinisikan sebagai premis

Antara Fitrah, natur (thabi’ah), dan insting (gharizah)

Bukti ‘Keteraturan’ (argumen teleologis).


Definisi keteraturan
Melalui bukti keteraturan, kita dapat membuktikan dua hal; ke-ada-an Tuhan dan pengetahuan Tuhan.

Sistem alam
Ada keharmonisan antar setiap bagian mengantarkan kepada kesimpulan tentang adanya tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon, atau keseimbangan antara kehidupan pohon dan hewan. Bukti ketursunan terdiri atas proposisi sensual (inderawi) dan proposisi rasional (akali).

Proposisi pertama:
Ada sebuah sistem yang mengatur fenomena-fenomena natural yang dikenal oleh manusia melalui penginderaan eksoteris (lahiriah) atau dengan bantuan alat-alat dan metode-metode ilmiah.

Proposisi kedua:
Akal menemukan suatu keharmonisan dan sistem yang mengatur alam itulah, akal secara ekstemporal memastikan tentang ada suatu kekuatan yang pandai secara sempurna yang mengendalikannya. Akal juga memastikan bahwa keteraturan ini mustahil terjadi secara kebetulan tanpa sebab di baliknya.

Proposisi baru:
Alam ini tersusun dengan baik. Jika ia tidak tertata rapi, maka mustahil kita menganggapnya sebagai sesuatu yang indah. Jadi, ada susunan atau rangkaian-rangkaian yang kita anggap sebagai suatu keindahan, keteraturan, dan lain sebagainya. Sesuatu mustahil sekonyong-konyong menjadi teratur tanpa ada yang mengaturnya.

Konklusi:
Karena itulah, pasti ada yang mengatur, dan yang mengatur itu pasti tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana yang diatur. Dari situ kita simak adanya sesuatu yang dahsyat, yang tak bermula dan tak berakhir, yang pasti, dan yang memiliki kemampuan sedemikian dahsyatnya sehingga dapat mengatur alam yang begitu indah dan menakjubkan. Maka dapat kita simpulkan akan adanya Tuhan, Allah, God, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu berkesimpulan tentang adanya sesuatu yang memiliki kekuatan yang tidak ada keterbatasan.

Bukti ‘gerak’
Segala sesuatu yang ada dalam alam ini bergerak, dari atom ke benda padat, dari benda padat ke benda hidup, dan ke bumi seluruhnya, kemudian ke angkasa, dan akhirnya ke seluruh galaksi. Sain modern menegaskan bahwa di dalam alam ini tidak sesuatu yang disebut dengan “diam”, bahwa alam selalu dalam gerak. Berdasarkan prinsip kausalitas, tidak mungkin sesuatu bergerak dengan sendirinya tanpa digerakkan oleh suatu penggerak atau penyebab gerak, karena sesuatu yang tidak mempunyai tidak dapat memberikan gerak.

Atas dasar itulah, bila materi dengan aneka macamnya bergerak, maka septutnya kita menanyakan siapakah penggeraknya. Pertanyaan tentang penggerak ini akan terus berkumandang selama segala sesuatu yang ada di alam materi ini bergerak.

Kaum materialis menghubungkan evolusi dalam materi dengan gerak subjektif dalam materi dan dengan pertentangan internal di dalamnya, sebagimana telah dijelaskan dan dibantah pada bagian sebelumnya. Kaum materialis harus menjawab dua pertanyaan besar berikut ini (yang sudah pasti tidak dapat dijawabnya dengan teori materialisme):

Siapakah yang memberikan gerak kepada materi pertama?
Siapakah yang memberikan gerak kepada massa material?

Bukti ‘Evolusi’. Bukti dan argumen ini dikemukakan oleh Mohammad Baqir Ash-Shadr, filsuf terbesar muslim di penghujung abad 20. Bukti ini terdiri atas tiga proposisi sebagai berikut:

Proposisi pertama:
“Setiap peristiwa pasti mempunyai sebab yang menjadi sumber keberadaannya. “

Proposisi ini bersifat aksiomatis atau apriori (sangat gamblang). Setiap orang yang berakal sehat dan sadar pasti membenarkan isinya.

Proposisi kedua:
“Setiap ditemukan selisih tingkat kekuatan antara sesuatu dan lainnya, maka tidak mungkin sesuatu berada pada tingkat kesempurnaan dan isi yang lebih rendah menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu yang berada pada tingkat yang lebih tinggi.

Proposisi ini juga bersifat aksiomatif (badihi) yang bisa segera dipastikan kebenaran isinya oleh setiap orang yang berakal sehat dan sadar.

Proposisi ketiga:
“Materi dalam evolusi atau perkembangannya yang berkelanjutan mengambil bermacam bentuk dalam tingkat evolusinya.”

Salah satu unsur dari air tidak mempunyai kehidupan merupakan salah satu bentuk keberadaan materi. Amipa dianggap sebagai hewan micro yang hanya mempunyai sal sel merupakan salah satu bentuk keberadaan materi yang lebih banyak perkembangannya. Sedangkan manusia , sebagai benda hidup berindera dan berakal, dianggap sebagai bentuk tertinggi dari entitas dalam alam ini.

Konklusi:
“Adanya tingkat-tingkat kesempurnaan dalam keberadaan materi di alam ini menunjukkan adanya sebab atau kausa yang sempurna di baliknya.”(Allah yatajalla, 41, Mujaz fi Ushuliddin, 42-45, Allah Yatajalla, 54, Kubra Al-yaqiniyat Al-kauniyah, 105, Jurnal Paramadina, vol. 1, no. 2, 1999, Adeleh e itsbat wujud e Khoda, Mohsen Gharavian, 19-20, Khoda Shenasi Falsafi, Mohsen javadi, 18-21, dll).

Teori ‘kebetulan’

Bukti Kebermulaan

Kebermulaan atau Al-huduts, secara etimologis, adalah sifat yang disandang oleh sesuatu yang bermula dari ketiadaan atau bermula dari sesuatu yang lain. Contoh sesuatu yang bermula dari ketaiadaan adalah “asal muasal alam” -atom atau energi-, sebagaimana telah terukti. Contoh sesuatu yang bermula dari sesuatu yang lain adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh entitas-entitas (maujud-maujud) material. Manusia, misalnya, ada dari sesuatu yang bukan manusia berupa sel-sel.

Lawan dari kebermulaan atau Al-huduts adalah ketidakbermulaan atau Al-azaliyah, yaitu sifat yang disandang oleh sesuatu yang tidak bermula dari ketiadaan, dan tidak berasal (bermula) dari sesuatu yang lain.

Ciri-ciri azali dan hadits adalah sebagai berikut:Azali adalah sesuatu yang sederhana (basith, simple, homogen), sedangkan hadits adalah sesuatu yang tersusun (murakkb, kompleks, heterogen, himpunan).

Karena setiap “yang tersusun” terdiri atas beberapa bagian yang merupakan sebab bagi terbentuk “sesuatu yang tersusun”, maka keberadaan setiap “yang tersusun” bermula dari sesuatu yang lain, yaitu bagian-bagiannya. Kesimpulannya, ialah bahwa setiap “yang tersusun” pastilah sesuatu yang hadits. (Metafisika, Lorens Bagus, i36-145, Ontologi, Anton Bekker, Muhadharat, 162-163, Bidayatul-Hikmah, Allah bainal Azaliyah wal Huduts, Al-ilahiyat, dll.).

Sedangkan “sesuatu yang bermula” ada kalanya bersifat basith dan ada kalanya bersifat murakkab (Muhadharat fil Aqidah, 164).

Setiap yang “tak bermula” (Azali) tidak memerlukan kepada selain dirinya untuk menjadi ada. Seandainya ia bermula, maka berart ia bukanlah azli. Karena ia tidak bermula, maka ia tidak pernah tiada. Karena tidak pernah tiada, maka ia tidak memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada. (Muhadharat, 164 dll).

Sedangkan hadits, karena keberadaannya bermula dari ketiadaan, memerlukan kepada selian dirinya untuk menjadi ada.

Setiap yang azali pastilah abadi (tidak berakhir), sedangkan hadits berpotensi untuk musnah.

Karena setiap yang azali tidak memelukan selain dirinya untuk menjadi ada, maka ia bukanlah sesuatu yang “mungkin”. Karena azali bukanlah sesuatu yang “mungkin”, maka ia pastilah sesuatu yang wajib ada. Karena ia “wajib ada”, maka ia tidak akan pernah musnah (abadi).

Sedangkan hadits, karena memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada, adalah sesuatu yang “mungkin”. Karena ia bersifat “mungkin”, maka ia bisa musnah seketika apabila hubungannya dengan sebab pengadanya terputus.

Setiap yang azali tidak berubah, sedangkan sesuatu yang hadits berpotensi untuk berubah.

Perubahan terjadi dalam tiga kondisi sebagai berikut:
  1. Perubahan yang terjadi karena salah satu bagian atau salah satu sifatnya mengalami perubahan, dengan diganti ataupun tidak.
  2. Perubahan yang terjadi karena bertambahnya salah satu bagian atau salah satu sifat yang disandannya. Perubahan pertama dan kedua di atas tidak akan pernah dialami oleh sesuatu yang azali, karena ia meniscayakan ketersusunan yang merupakan salah satu ciri khas sesuatu yang hadits.
  3. Perubahan yang terjadi karena realitas sesuatu yang basith berganti menjadi realitas basith yang lain. Perubahan demikian juga meniscayakan ketiadaan sebuah realitas yang disusul oleh keberadaan baru realitas lain. Perubahan ketiga ini juga tidak akan pernah dialami oleh sesuatu yang azali karena ketidakbermulaannya dari ketiadaan atau dari sesuatu yang lain.

Inilah penjelasan singkat tentang bukti kebermulaan yang lazim diseebut argumen a novitate mundi. Kesimpulan, pasti ada sesuatu yang tak bermula dan tak berakhir. Para ahli menyebutnya “Kausa Prima”, yaitu suatu kekuatan yang sempurna, tidak bermula dan tidak berakhir, yang kita identifikasi dengan nama Tuhan, Sang yang, God, dan lain sebagainya. (Al-ilahiyat, hal. 39 – 42, Muhadharat fil-Aqidah, hal. 221, Allah bainAl-iman wAl-ilhad, hal. 133, Durus fil-Aqidah dll.)

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!