Oleh Abd A'la
DARI wacana fundamentalisme yang
berkembang di Indonesia akhir-akhir ini, ada semacam keengganan, terutama dari
kelompok yang mendukung fundamentalisme, untuk mengaitkannya secara eksplisit dengan
politisasi agama. Padahal, dalam realitas historis, aspek politik merupakan
faktor dominan yang mengantarkan para penganut agama ke dalam keberagamaan yang
fundamentalistik.
Dalam perspektif historis dan
sosiologis, politisasi agama berkembang saat suatu komunitas agama tertentu
mengalami proses marjinalisasi dalam kehidupan yang terus berubah.
Ketidakmampuan merespons kehidupan, membuat mereka meneguhkan identitas dirinya
melalui simbol dan atribut keagamaan. Melalui peneguhan itu, mereka membedakan
diri dari kelompok lain. Pada saat sama, mereka akan merasa memiliki semacam
energi baru untuk melawan kelompok atau umat yang selama ini dituding sebagai
penyebab ketidakberdayaan mereka.
Selain itu, kondisi semacam itu juga
bisa terjadi ketika rezim penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya sehingga
mencari legitimasinya pada agama. Dengan legitimasi agama, kekuasaan yang
dipegangnya dimanifestasikan sebagai titah ilahi yang tidak boleh diganggu
gugat, serta harus dipatuhi secara mutlak.
Politisasi agama membuat ajaran agama
akan terpangkas dari nilainya yang universal. Ajaran agama ditundukkan ke dalam
kepentingan yang berdimensi temporal, lokal, atau sektarian. Agama menjadi alat
kepentingan sekelompok manusia tertentu, entah itu segelintir elite penguasa,
kelompok oposisi, atau kaum agamawan sendiri. Masing-masing menjadikan agama
sekadar ajaran yang bersifat reaktif guna meneguhkan ambisi, kepentingan, dan
untuk memberangus perbedaan, serta melawan segala sesuatu yang dianggap
bertentangan atau berbeda dengan pandangan atau dan kepentingan mereka.
Pada dataran itu, politisasi agama dan
kekerasan sering bersinggungan sepanjang sejarah yang dilaluinya. Naifnya,
gerakan fundamentalis sering terperosok ke dalam simplifikasi agama itu.
Kenyataan seperti ini membuat umat beragama yang ingin meletakkan agama pada
fungsinya yang hakiki merasa prihatin. Sebab, hal itu tidak lebih dari
sakralisasi sesuatu yang profan; dan karena itu perlu dicari solusi yang lebih
manusiawi sekaligus memiliki pijakan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan.
***
MENGHINDARI reduksi agama itu,
sekularisasi menjadi signifikan untuk diangkat. Tentunya yang dimaksudkan di
sini adalah sekularisasi sebagai proses sosial, bukan sebagai ideologi.
Meminjam ungkapan Cassanova (1994), sekularisasi sebagai proses sosial adalah
konseptualisasi dalam proses modernisasi sosial yang berbentuk diferensiasi
wilayah sekular dari institusi keagamaan. Sebagai proses sosial, konsep itu
tidak mendukung terjadinya kemunduran kepercayaan dan praktik keagamaan, dan
tidak menolerir terjadinya marjinalisasi agama ke wilayah yang bersifat privat.
Justru melalui sekularisasi seperti itu, agama harus mengalami proses
deprivatisasi dan penguatan nilai-nilainya yang substansial di tengah
masyarakat.
Berdasarkan sekularisasi semacam itu,
politik (dan aspek-aspek sejenis yang bersifat sekular) disikapi sebagai
persoalan duniawi yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan dan kehidupan yang
terus berkembang. Dimensi kehidupan itu tidak dapat dianggap sakral sehingga
disamakan dengan aspek keimanan dan sejenisnya. Demikian pula, aspek itu
merupakan persoalan yang dinamis sehingga harus dibedakan dengan keyakinan dan
ritual-ritual keagamaan yang tidak akan pernah mengalami perubahan sampai kapan
pun.
Sekularisasi mensyaratkan dimensi
kehidupan sekular yang harus dibedakan dari nilai-nilai agama yang sakral,
tetapi pada saat yang sama kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan. Keduanya
harus memiliki interdependensi kukuh. Agama dijadikan nilai-nilai sebagai dasar
pijakan bagi persoalan kehidupan yang dinamis: politik, ekonomi, sosial-budaya,
dan pendidikan. Agama bukan dogma mati yang kaku. Ia harus menampakkan viability
sepanjang sejarah dan dalam berbagai tempat. Kondisi ini hanya mungkin terjadi
saat agama dipahami sebagai sekumpulan nilai-nilai universal dan holistik yang
dapat menjawab segala kebutuhan manusia yang beragam dalam setiap ruang dan
waktu. Agama lalu hadir sebagai pedoman utuh dan universal.
***
DALAM perspektif Islam, salah satu
titik labuh untuk menangkap ajaran yang relatif utuh sekaligus bersifat nisbi,
terletak pada Islam liberal. Kondisi ini tercipta karena Islam liberal-seperti
dibuktikan penelitian Binder (1988)-memandang, meski bahasa Al Quran adalah
wahyu, makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat verbal. Makna wahyu
tidak terbatas pada kata-kata yang terungkap dalam Al Quran. Karena itu, Kitab
Suci ini dituntut dipahami melalui usaha yang didasarkan kata-kata, sekaligus
dapat melampauinya sehingga menemukan arti yang sebenarnya.
Pendekatan semacam itu telah
melahirkan minimal tiga pola pandang yang liberalis. Kurzman (1999)
mencandranya dalam bentuk liberal sharia, silent sharia, dan interpreted
sharia. Pola pandang pertama melihat Al Quran dan praktik umat Islam awal
sebagai sumber ajaran yang memiliki posisi liberal. Dengan demikian, sumber
ajaran itu akan mengalami kontekstualisasi yang tidak pernah diam. Pendapat
kedua menyatakan, syariah tidak membicarakan semua permasalahan. Ada suatu
persoalan tertentu yang tidak disentuhnya. Kenyataan ini bukan karena wahyu
tidak lengkap, namun karena hal itu diserahkan kepada usaha penemuan manusia.
Pendapat ketiga menyikapi penafsiran terhadap wahyu sebagai hasil usaha manusia
yang dapat salah dan keliru; karena itu pluralitas merupakan kemestian.
Meski berbeda dalam penekanan,
ketiganya memiliki benang merah yang tajam. Karakteristik yang paling tampak
dari liberal Islam seperti itu adalah model pemahamannya yang eksegesis.
Kelompok ini berupaya untuk meletakkan Al Quran dalam pemahaman utuh, sekaligus
menyikapinya dalam interpretasi yang bersifat historis. Kenyataan ini menuntut
kaum Muslim untuk selalu melakukan rekonstruksi keberagamaan mereka dari saat
ke saat. Sebab, sebagai hasil pemahaman, suatu keberagamaan tidak akan pernah
menjadi kebenaran absolut yang dapat disamakan dengan sumber ajaran Islam itu
sendiri. Hal itu membuat Islam liberal tidak akan pernah mengklaim bahwa
pemahaman yang ditawarkan adalah satu-satunya kebenaran. Meski demikian, setiap
interpretasi selalu diupayakan untuk selalu diletakkan di atas nilai-nilai dan
makna universal wahyu.
Paradigma liberal itu amat signifikan
diperhatikan karena ia akan menghindarkan umat dari reduksi agama guna
kepentingan-kepentingan sesaat dan manipulasi kelompok. Sebab, selain dianggap
menundukkan Islam ke wilayah profan, hal itu juga diyakini akan memotong Islam
dari nilai-nilainya yang substansial. Bagi Islam liberal,
kepentingan-kepentingan tertentu tidak akan pernah dicari legitimasinya pada
agama karena hal itu hanya akan membawa kepada eksploitasi agama. Demikian
pula, politik-dan dimensi kehidupan sekular yang lain-akan disikapi sebagai
sesuatu yang sekular yang tidak pernah disakralkan setingkat agama. Namun, pada
saat yang sama, nilai-nilai Islam substansial harus mencerahkan kehidupan,
termasuk politik, sehingga kehidupan benar-benar akan bermakna.
Pola keberagamaan semacam itu akhirnya
akan menumbuhkan pluralisme. Menurut Binder dan Kurzman, liberal Islam amat
menghargai keragaman pendapat terhadap suatu pendapat atau suatu penafsiran,
sebagaimana aliran ini amat mendukung multi-religious co-existence,
termasuk kerukunan serta kerja sama umat manusia dalam keragamannya
masing-masing. Model ini akan membuat agama Islam terhindar dari bentuk-bentuk
keberangan agama, yang dilihat dari sisi manapun merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan ajaran hakiki agama. Justru yang ingin diantar dan
dikembangkan Islam liberal adalah agama perdamaian yang dampak positifnya bukan
hanya dapat dinikmati kelompok umat Islam semata, tetapi oleh seluruh umat
manusia serta seluruh alam dan seisinya.
***
TERLEPAS dari setuju atau tidak atas
paparan itu, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa Islam-sama dengan
agama-agama lain-bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Pada sisi
ini umat Islam, bersama umat-umat lain, perlu menunjukkan kepada dunia sikap
dan komitmen itu, serta merealisasikannya dalam kehidupan konkret. Sebab Tuhan
tidak pernah menilai manusia dari sisi simbol dan retorika, apalagi klaim-klaim
sepihak. Justru yang dinilai Tuhan adalah hal yang bersifat praksis; membumikan
nilai-nilai agama ke dalam kesejarahan umat. Tanpa itu, kita mungkin tidak
berhak lagi sebagai umat beragama dan kekasih Tuhan, zat yang amat mencintai
keadilan, kederajatan, dan kepengasihan. Bahkan, bisa jadi kita (na`uzubillah)
adalah orang-orang yang menjadikan Tuhan sebagai budak yang diperintah sesuka
hati kita.
Konkretnya, keberagamaan yang perlu
dikembangkan pascafundamentalisme adalah keberagamaan yang sarat dengan nuansa
liberalisme. Melalui keberagamaan ini, kedamaian diharapkan membumi secara
kukuh di jagad raya. Namun, bersamaan dengan itu, segala kondisi yang favorable
perlu pula dikembangkan. Misalnya, pendidikan sebagai pengembangan wawasan dan
pembentukan moralitas perlu diarahkan kepada suasana yang lebih dialogis
sehingga melahirkan manusia-manusia yang lebih santun; bukan generasi-generasi
baru yang lebih beringas. Demikian pula, suatu tatanan dunia yang lebih adil
perlu menjadi kepedulian seluruh pemimpin bangsa dunia. Sebab, ketimpangan yang
terjadi saat ini merupakan salah satu faktor utama penyebab berkembangnya
kekerasan dalam beragam bentuknya, termasuk kekerasan atas nama agama melalui
politisasi agama dan seumpamanya.[]
Abd A'la. Pemerhati sosial-keagamaan.
0 komentar:
Posting Komentar