Oleh M Alfan Alfian M
ISLAM menolak segala bentuk kekerasan,
mencintai perdamaian dan keadilan, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni
menghormati kehidupan dan martabat manusia. Pernyataan itu merupakan salah satu
poin "Deklarasi Jakarta 2001" yang merupakan hasil Summit of World
Muslim Leaders, yang dibacakan oleh Mucha-Shim Q Arquisa dari Asian Muslim
Action Network, Manila, Filipina. Konferensi berlangsung di Jakarta 21-22
Desember 2001, dengan 180 peserta dari 50 negara. Deklarasi itu terdiri dari
tiga butir. Religion and spirituality; civic responsibility in political
society; dan, interfaith, intercultural, and international relations.
Deklarasi itu agaknya ingin menunjukkan, Islam adalah agama moderat yang cinta
damai, anti-kekerasan, dan tidak antikemajuan.
Pernyataan Islam adalah agama moderat,
perlu ditegaskan dalam konferensi itu. Agaknya ini tak lepas dari konteks
psikologis yang menyertainya, yakni, pascaperistiwa WTC 11 September 2001 yang
mempengaruhi citra Islam secara negatif. Jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin
Laden dituduh ada di balik teror mengerikan itu. Inilah yang menyebabkan
Amerika Serikat memiliki alasan untuk menyerbu Afganistan, mendesak Kubu
Taliban yang melindungi Osama. Kubu Taliban yang diklaim sebagai kelompok
fundamentalisme-radikal, akhirnya memang terdesak oleh Kubu Aliansi Utara yang
moderat.
Pasca peristiwa WTC, dunia seolah
diingatkan bahaya kelompok Islam fundamentalis-radikal, yang mengedepankan
pendekatan kekerasan (violence) dalam bentuk terorisme. Pihak Barat (AS
dan negara-negara Eropa) pun lantas rajin kampanye, dunia sedang menghadapi
ancaman terorisme, karena itu segala bentuk terorisme harus dilawan. Tetapi,
mereka juga cepat-cepat mengklarifikasi, Islam bukan agama teroris, tetapi
agama perdamaian, demikian ungkapan Presiden George W Bush. Memang, dalam
berbagai kesempatan ditegaskan, yang harus dilawan bukan Islam, namun
kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal yang mengedepankan kekerasan dan
teror. Dalam hal ini, Osama Bin Laden dan jaringan Al Qaeda merupakan simbol
yang pas.
***
PASCAperistiwa WTC, Islam sebagai
agama, maupun kecenderungan pengelompokan di dalamnya mulai diperhatikan banyak
pihak, khususnya Barat. Pelbagai wacana dikembangkan, terutama yang berkaitan
dengan hubungan Islam-Barat pasca-Perang Dingin. Konon, sempat berkembang
wacana, Islam adalah musuh baru bagi Barat pascakomunisme runtuh. Peristiwa WTC
lantas memperkukuh, yang mereka lawan adalah kelompok Islam
fundamentalis-radikal. Dari sinilah sesungguhnya Islam moderat memperoleh
momentum tepat untuk bangkit, mempelopori dialog antarperadaban, sebagai juru
bicara yang menampilkan citra positif Islam. Dari sini Islam moderat diharapkan
memiliki daya tawar peradaban (civility bargaining) yang relatif tinggi,
bagi peradaban dunia secara menyeluruh. Tentu saja hal itu merupakan peluang
yang kini tidak dimiliki kelompok fundamentalisme-radikal.
Mungkin perlu ditinjau bagaimana
melihat fundamentalisme agama. Sebagaimana diakui Karen Armstrong, penulis The
Battle for God, fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan,
yang merepresentasikan pemberontakan terhadap modernitas. Menurut dia,
sebenarnya sekelompok kecil saja kalangan fundamentalis yang melakukan tindakan
terorisme (Tempo, 30/12/2001).
Sementara Bassam Tibi, dalam buku The
Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder
(1998), memandang, fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena
global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus
lebih pada ideologi politik. Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam
menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tatanan baru berdasar
interpretasi politik Islam versi mereka. Namun, selama ini, hal itu baru
sebatas retorika. Mereka bisa saja merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi,
Tibi mengingatkan, sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam dan saling
bersaing. Maka sulit membayangkan mereka bisa menciptakan tatanan baru yang
komprehensif secara ekonomi, politik, dan militer.
Barangkali perlu diajukan pula
pandangan Ahmad S Moussali dalam buku Moderate and Radical Islamic
Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legitimacy, and the Islamic State
(1999) menyebut, Islam fundamentalis merupakan manifestasi awal atas gerakan
sosial massif yang mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban dan
mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi, distribusi ala
kapitalis, legitimasi nonnegara, dan paradigma nonnegara bangsa. Islam
fundamentalisme, lebih dari sekadar gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi
melingkupi negara bangsa dan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu dan
aspirasi yang berdimensi lokal, tetapi juga regional dan universal.
Fundamentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. Bagi Moussalli,
"to radical fundamentalism, tawhid becomes a justification for the
domination of others; to moderate fundamentalism, it becomes a justification
for not being dominated by others".
Pendapat-pendapat itu, setidaknya
merupakan peringatan, harus dilakukan secara hati-hati dan tepat dalam melihat
gejala fundamentalisme agama. Sebab, ia sebenarnya bukan merupakan gejala
negatif an sich, tetapi cenderung alamiah. Hanya saja perlu diantisipasi
munculnya fatalisme gerakan, di mana tidak saja mencederai citra agama, tetapi
juga universalitas kemanusiaan.
***
MODERATISME dalam menampilkan Islam
tidak berarti mengorbankan makna Islam itu sendiri. Justru Islam sedang
ditampilkan secara progresif, penuh toleransi, dan liberal. Barangkali
tema-tema yang diajukan kalangan Islam Liberal semacam, sebagaimana dicatat
Charles Kurzman (lihat, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer
tentang Isu-isu Global; Paramadina, 2001), menentang teokrasi, mendukung
demokrasi, menghormati hak-hak perempuan, menghormati hak-hak non-muslim,
kebebasan berpikir, dan gagasan tentang kemajuan, perlu dikedepankan.
Belakangan di Indonesia muncul gerakan Islam Liberal, yang tampaknya cenderung
moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global. Tema-tema moderat Islam
Liberal, tampaknya, dilengkapi arus lain dari tumbuhnya moderatisme Islam
Indonesia, yakni, post-tradisionalisme Islam, yang digerakkan anak-anak muda
Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran mereka, tampaknya hendak meneguhkan moderatisme
Islam Indonesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama dikembangkan
secara dominan oleh dua varian pergerakan Islam terbesar di Indonesia: NU dan
Muhammadiyah.
Kehadiran dua arus utama moderatisme
Islam Indonesia itu (Islam Liberal plus Post-Tradisionalisme Islam), tampaknya,
tak lepas dari kemunculan fenomena fundamentalisme-radikal yang kian ekspresif
belakangan. Kehadiran kelompok-kelompok yang kerap melakukan aksi-aksi, yang
dalam konteks tertentu, mengedepankan kekerasan, dengan dalih memberantas
kemaksiatan dan melindungi kaum Muslim dari keteraniayaan (semisal kasus Maluku
dan Poso), bagaimanapun menunjukkan sisi lain citra Islam Indonesia. Sayang
citra yang terbentuk oleh mengerasnya kelompok fundamentalisme-radikal di
Indonesia, dalam banyak hal kurang menguntungkan, terutama bila dilihat dari
sisi moderatisme Islam. Dalam konteks ini, Islam moderat, bertugas mencairkan
kebekuan dengan menampilkan Islam dalam tema perdamaian, dialogis, dan
toleransi.
Tampaknya, Islam moderat, bila
ditinjau dari pilihan atas doktrin amar ma'ruf nahy munkar, pilihannya lebih
terletak pada amar ma'ruf (menyeru kepada kebaikan). Maka, pendekatannya lebih
dialogis dan persuasif, ketimbang kekerasan. Sementara pihak
fundamentalisme-radikal, memilih nahy munkar (mencegah kejahatan). Maka, tampak
gerakan-gerakan mereka yang massif dan cenderung memakai kekerasan, terpaksa
dilakukan dengan dalih demi memberantas kejahatan dan kemaksiatan. Persoalannya
adalah, bagaimana penegakan hukum dilakukan di Indonesia, sehingga
kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal tidak bertindak sendiri, yang meski
didasari niat baik, tetapi tetap melanggar hukum positif di Indonesia. Dalam
konteks ini, sebenarnya tak bisa dipertentangkan atas kedua doktrin itu. Maka,
sebenarnya kelompok Islam moderat juga bertugas mengerem tindakan fatal
kelompok fundamentalisme-radikal.
Meski
sesungguhnya dominan, kelompok Islam moderat di Indonesia, kurang memiliki daya
greget, dan seolah kurang mampu menjawab banyak pertanyaan seputar realitas
dinamika keislaman dan keindonesiaan belakangan, kecuali lewat wacana-wacana
semata. Inilah yang membuat kelompok fundamentalis-radikal mengerucut, seolah
mengambil-alih hal-hal yang di lapangan tidak dilakukan kalangan moderat. Maka,
dalam konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderat, tak sekadar
bergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata di lapangan. Meraka lebih
dulu harus merapatkan barisan, antara sesama elemen Islam moderat, mengingat
tugas berat, meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam
konteks multikulturalisme Indonesia.
Alfan Alfian M. Peneliti Katalis dan ACG Consulting
Group, Jakarta. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar