Oleh:
B.Herry Priyono*
Di
negeri ini, gerakan pengurangan praktik KKN seperti tindakan menangkap angin.
Bukan karena praktik itu tidak kasat mata, melainkan justru karena ada di
mana-mana. Cuma, ada di mana-mana tidak berarti mudah dijaring dalam data.
Tuntutan bagi data keluasan KKN selalu mengecoh, karena punya kemustahilan
melingkar. Praktik KKN per definisi bersifat rahasia. Karena rahasia, sangat
sulit tersedia bukti hitam-putih. Karena sulit tersedia bukti hitam-putih, maka
sulit terkumpul data.
Namun juga
seandainya terkumpul data, kita berhadapan dengan gejala lain: di negeri ini,
data dan analisa sudah lama tidak punya daya. Bukan karena mati, melainkan
karena digusur oleh uang dan senjata. Dari data soal penculikan sampai
perkosaan massal.
Kemudian
tinggal tuntutan bagi efektivitas pelaksanaan hukum. Namun setiap orang juga
tahu kualitas pengadilan di Indonesia. Jumlah kasus-hukum korupsi bukanlah data
keluasan KKN, melainkan hanya data mengenai tingkat efektivitas pelaksanan
hukum anti-korupsi. Maka berlaku satu totok-ukur sederhana: semakin kecil
jumlah pengadilan tentang korupsi, semakin rendah tingkat pelaksanaan hukum
anti-korupsi.
Hukum
memang hanya salah satu masalah. Apa yang lebih menggelisahkan adalah cara pandang
ekonomi tentang praktik KKN. Inti cara pandang ekonomi berupa kalkulasi cost-benefit, dan jantung kalkulasi cost-benefit ialah maksimalisasi
keuntungan. Apa yang disebut ‘rasionalitas ekonomi’ ialah cara
berpikir-bertindak berdasar prinsip maksimalisasi keuntungan. Pokok ini perlu
dikenali selugas mungkin, agar kita tidak terkecoh oleh lagak ruwet ekonometri
yang merupakan bahasa matematis dari rasionalitas sederhana tersebut.
Cara
pandang ekonomi penting untuk dikenali, bukan karena itulah cara yang paling
benar dalam melihat soal KKN, melainkan karena itulah bahasa yang luas dipakai
untuk membenarkan praktik KKN. Para pejabat pemerintah, pemodal, direktur serta
manajer perusahaan-perusahaan sangat luas mengenakan cara pandang ekonomi KKN
ini.
Ekonomisasi
Cara
pandang ekonomi tentang praktik KKN mungkin bisa diringkas menjadi dua: KKN
sebagai “minyak-pelumas mesin”, dan KKN sebagai “pasir-perusak mesin”. Cara
pandang “KKN sebagai minyak-pelumas mesin” melihat bahwa suap, misalnya,
sekadar menjadi mekanisme pengalihan kesejahteraan. Misalnya, dari kas
perusahaan ke dompet pegawai pemerintah. Dalam ekonomi pasar, praktik itu
justru menjadi cara efisien-efektif untuk mempercepat berbagai aturan birokrasi
yang dikenal ruwet dan lamban.
Maka
KKN menjadi mekanisme imbalan bagi para pegawai negeri yang memang bergaji
rendah. Besaran uang/fasilitas yang beralih melalui KKN akhirnya akan kembali
lagi ke pasar. Di pasar terbuka, warga ikut menikmati buah pengalihan itu. Maka
praktik KKN tidak dengan sendirinya merusak ekonomi, justru karena KKN
merupakan bagian mekanisme pasar dengan dalil supply-demand. Yang diperjual-belikan adalah amplop, mobil,
tamasya, ijin, kontrak, kuota, putusan hukum, dsb. KKN tidak menyebabkan krisis
ekonomi, meskipun mungkin mempersulit pemulihan ekonomi setelah dilanda krisis.
Pada
skala makro, KKN tidak berpengaruh pada tingkat pertumbuhan ekonomi. Contoh
yang biasa diajukan ialah Korea Selatan. Negeri itu dikenal sebagai negeri
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus tingkat KKN yang
tidak rendah. Perspektif
“KKN sebagai pasir-perusak mesin” melihat sebaliknya. KKN menggerus dan pada
tingkat yang tinggi akan menghancurkan ekonomi suatu negara. Argumen bahwa KKN
memotong kelambanan birokrasi perijinan dan putusan hukum mungkin bisa diterima
dari satu aspek pembukuan perusahaan, tetapi tidak bisa diterima dari aspek
akutansi yang lain. Aspek yang terakhir ini berupa pembebanan beaya KKN pada,
misalnya, mark-up nilai proyek atau
harga konsumen.
Biasanya
para pelaku bisnis segera mengelak dengan bilang bahwa mark-up nilai proyek dan harga konsumen bukanlah urusan intern
perusahaan mereka. Di situ terletak masalah etika ekonomi-politik tentang
apakah bisnis merupakan urusan privat atau publik.
Pada
skala makro, perspektif “KKN sebagai pasir-perusak mesin” juga mengajukan data.
Ekonom Paolo Mauro (1995), misalnya, menunjukkan korelasi antara tingkat
korupsi dan tingkat investasi di 67 negara dalam rentang waktu 1960-1985. Ia
menemukan bahwa tingginya korupsi terkait erat dengan rendahnya investasi (yang
lalu terkait dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi). Misalnya, kalau saja
Bangladesh berhasil mengurangi sedikit tingkat korupsinya menjadi setaraf
Uruguay (dan ini hanya butuh perbaikan 1 standar-deviasi), maka tingkat
investasi Bangladesh akan naik sebanyak 5%.
Beaya
Kalau
indikator statistik di atas kelewat abstrak, mungkin bisa turun sedikit ke
lingkup nasional. KKN di Indonesia terutama terpusat pada tiga poros kaitan:
pelaku bisnis dengan pegawai pemerintah, pegawai dengan pegawai pemerintah, dan
pelaku bisnis satu dengan pelaku bisnis lain.
Ambillah
poros kaitan pertama: antara pelaku bisnis dan pegawai pemerintah. Praktik KKN
biasanya terjadi dalam deal untuk
lisensi, kuota, tender, pajak, kredit, subsidi, dan semacamnya. Berhadapan
dengan gurita birokrasi negara yang ruwet dan lamban, manajer keuangan
perusahaan melihat bahwa cost untuk
KKN merupakan beaya efisiensi. Kalau jumlahnya besar bisa masuk ke pos
pengeluaran direksi, kalau kecil bisa masuk, misalnya, ke pos pemasaran dalam
pembukuan perusahaan.
Kesulitan
untuk menunjukkan cost dari praktik
KKN secara nasional adalah bahwa bukti untuk itu hanya bisa disusun berdasarkan
data pembukuan semua perusahaan, yang tentu sangat rahasia. Ozay Mehmet (1994)
punya alternatif. Contoh kerugian ekonomis KKN bisa dilihat dari besaran
uang/barang suap yang dikumpulkan oleh pegawai negara eselon I, II, dan III-V,
berdasarkan persentase marginal costs investasi
pembangunan pada tahun anggaran tertentu, lalu dihitung menurut ratio vertikal
gaji tiap eselon. Mehmet mengambil contoh tahun anggaran 1990/1991, yaitu
Rp.16.2 trilyun atau US$8.3 milyar. Sebagian hasilnya bisa dilihat dalam tabel
berikut.
TABEL:
Besaran Uang KKN dari Investasi Swasta 1990/1 (dalam Jutaan Rupiah)
Departemen
Total Suap, Komisi,
dsb.
Bagian untuk Tiap
Pejabat/Pegawai
Eselon I
Eselon II
Eselon III-V
Pertanian-Kehutanan
4373.4
57.6
17.9
0.29
Industri
380350.2
9508.8
820.0
0.74
Pertambangan-Energi
1738.8
72.4
14.5
2.38
Transpor-Turisme
80238.4
2005.6
247.7
0.55
Perdagangan-Koperasi
5861.5
122.1
14.5
0.17
Pekerjaan Umum
55395.3
1731.1
166.9
0.76
Sumber:
Modifikasi dari tabel Ozay Mehmet, ‘Rent-Seeking and Gate-Keeping in
Indonesia’, Labour, Capital and Society,
27/1, April 1994, hlm. 83.
Pejabat
eselon I di Departemen Industri, misalnya, selama tahun anggaran 1990/1
menerima rata-rata Rp.9.5 milyar, atau US$ 5 juta, uang/barang KKN dari
investasi swasta (kurs rata-rata tahun 1990, US$1=Rp.1901,-). Pejabat eselon II
di Departemen Pekerjaan Umum menerima sekitar Rp.166.9 juta. Mehmet menyebut
bahwa angka KKN di atas bersifat konservatif. Artinya, sudah memakai rumus yang
bersifat menekan nilai. Tentu angka-angka itu merupakan potret penerimaan acak
per orang. Ada yang menerima lebih banyak, ada yang sangat sedikit. Namun dari
potret itu juga bisa dikenali mengapa bahkan seorang juru-tulis menteri bisa
punya beberapa rumah dan mobil mewah.
Sangatlah
sesat untuk menyimpulkan dari tabel di atas bahwa keluasan KKN dimulai dan
hanya dilakukan oleh para pegawai negeri. Mehmet menghitung bahwa lebih dari
90% uang KKN berasal dari sumber-sumber investasi swasta. Urutan supply-demand itu seperti soal ayam-atau-telur-dulu. Sektor swasta punya demand untuk memperoleh tender, ijin,
kuota, dsb, yang merupakan supply di
tangan aparat negara. Aparat negara punya demand
uang komisi, saham, rumah, mobil, dsb, yang merupakan supply di tangan para pelaku bisnis. Supply dan demand adalah
dua sisi dari satu keping mata uang: mata uang KKN.
Pergantian
rezim tidak menjamin pengurangan KKN. Langkah otonomi-desentralisasi, misalnya,
ditanggapi dengan cepat dan penuh semangat oleh para pelaku bisnis dan pejabat
daerah. Namun ada dua jenis entusiasme: entusiasme terhadap proses pemerataan
serta demokrasi lokal, dan antusiasme para anggota mafia yang segera ingin
makin menjarah sumber-sumber ekonomi daerah. Kalau tidak ditempuh secara
bertahap dengan langkah pembenahan SDM dan penguatan civil society lokal, otonomi-desentralisasi hanya akan menjadi
kebijakan yang membiakkan kelompok-kelompok mafia. Bukan hanya dalam birokrasi
pemerintah lokal, melainkan juga pada jaringan bisnis lokal. Di luar lingkaran
itu, warga biasa akan menerima satu bagian: remah-remah.
Dalam
hal citra KKN, terutama para pegawai pemerintah eselon III-V secara acak
seperti orang jatuh, lalu tertimpa tangga. Tampak dalam tabel, mereka mendapat
jauh lebih sedikit dibanding atasan mereka. Namun mereka mudah kena getah,
karena mereka tidak bisa berdalih bahwa tugas mereka merupakan urusan pribadi.
Sebaliknya dengan para pelaku bisnis. Karena menanam, tidak menanam ataupun
melarikan modal adalah hak pribadi (dalam arti bukan urusan publik seperti
sifat publik tugas pegawai negara), maka dengan mudah muncul argumen bahwa
tingginya mark-up proyek juga bukan
tanggung-jawab publik mereka. Di situ kita bertemu dengan perkara rumit etika
ekonomi-politik.
Apa
yang saya maksud dengan perkara etika bukanlah resep moral tentang benar dan
salah. Yang saya maksud lebih menyangkut satu soal ekonomi-politik dari praktik
KKN dalam rangka manajemen negara-bangsa. Perkara itu berupa soal ketimpangan
hubungan antara pemerintah dan sektor bisnis. Dan gejala ketimpangan itu tampak
jelas dalam lebih kuatnya tuduhan KKN kepada pegawai pemerintah ketimbang
kepada pelaku bisnis.
Paradoks
Menimpakan
beban KKN kepada pegawai pemerintah memang jauh lebih gampang, karena bingkai
etika kapitalisme memang berdasar pada ketimpangan hubungan antara sektor
bisnis dan pemerintah. Gejala berikut mungkin bisa menunjukkan apa yang saya
maksud dengan ketimpangan etis. Setidaknya di negara demokratis,
pejabat/pegawai negara yang tidak becus mengelola tugasnya bisa dituntut
tanggung-jawabnya, dan dipecat. Entah lewat pemilu atau mosi tidak-percaya.
Tetapi
hal itu tidak berlaku bagi para pelaku bisnis. Mereka tidak bisa dituntut
secara hukum kalau mereka tidak melakukan investasi. Tindakan menanam atau
tidak menanam modal menjadi hak pribadi mereka sendiri, bukan urusan publik
dalam pengertian hukum. Seperti yang kita saksikan dalam krisis ekonomi, mereka
dengan leluasa melarikan modal ke luar negeri, tanpa bisa dituntut secara
hukum. Bahwa pelarian itu mengakibatkan PHK, pengangguran dan kelaparan
bukanlah urusan mereka. Hal ini mirip dengan argumen para pelaku bisnis bahwa mark-up nilai proyek atau harga konsumen
bukanlah urusan intern perusahaan. Desakan moral memang dibuat, tetapi tuntutan
moral bukanlah jaring hukum.
Dari
perbedaan itu segera tampak satu paradoks besar etika. Tugas para pejabat dan
pegawai pemerintah adalah mengelola manajemen komunitas negara-bangsa. Tugas
para pelaku bisnis adalah mengelola pengadaan investasi, yang menentukan
kondisi ekonomi negara-bangsa. Kedua-duanya merupakan kegiatan dan urusan publik, bukan privat.
Namun
urusan publik yang sama-sama dilakukan oleh pegawai pemerintah dan pelaku
bisnis itu dinilai menurut dua standar etika yang berbeda. Kegiatan dan tugas
pegawai negara merupakan urusan publik
yang menuntut pertanggung-jawaban publik.
Sebaliknya, aktivitas pelaku bisnis merupakan urusan publik yang berdasar pada kebebasan pribadi.
Maka
dilihat dalam rangka aktivitas keduanya sebagai urusan publik, ketimpangan
hubungan menjadi: pegawai pemerintah ÷ pelaku bisnis = {+ +} vs {+ –}. Atau,
dilihat dalam rangka hak pribadi, ketimpangan hubungan menjadi: pegawai pemerintah
÷ pelaku bisnis = {– –} vs {– +}. Akarnya sederhana: keramatnya hak milik
pribadi. Ketimpangan hubungan itu berasal dari prinsip bahwa negara adalah
milik publik, sedang modal adalah
milik pribadi. Watak pemilikan
menentukan arah dan sifat pertanggung-jawaban.
Dari
paradoks itu juga jelas mengapa, dibanding dengan pelaku bisnis, para pegawai
pemerintah berada dalam posisi yang selalu jauh lebih lemah dan rentan terhadap
tuduhan KKN. Sebab, KKN lebih dilihat sebagai penyalahgunaan jabatan publik bagi
tujuan pribadi, padahal pelaku bisnis tidak punya jabatan publik dalam
pengertian seperti watak publik jabatan pegawai pemerintah. Maka menimpakan
beban dan tanggung-jawab KKN kepada para pegawai pemerintah selalu sangat
mudah. Bukan karena para pelaku bisnis tidak melakukan KKN, melainkan karena
mereka bisa mengelak dengan memakai paradoks di atas. Kadang dengan merujuk
gagasan Bernard Mandeville, sering dengan mengacu pandangan Adam Smith ataupun
Friedrich von Hayek.
Itulah
mengapa desakan moral mudah patah, karena kita menerapkan standar ganda etika.
Patahnya desakan-desakan moral itu bagaikan lunglai rumput oleh derap gemuruh
kawanan serigala yang setiap hari memburu mangsa berikutnya. Meluasnya praktik
KKN juga berlangsung melalui proses psiko-sosial ini: daripada lunglai, lebih
praktis bergabung. Sejarah adalah pertarungan abadi antara basic instinct dan utopia.
Etika
Paradoks
di atas juga bisa menjelaskan mengapa perkembangan etika bisnis jauh lebih
ketinggalan dibanding etika politik. Biasanya benteng refleksi etika adalah
pengandaian bahwa apa yang lebih mulia adalah apa yang bersifat altruistik.
Artinya, bagi kepentingan semakin banyak orang (alter: lain).
Dalam
bingkai itu, kegiatan dan tugas para pegawai negara masuk sedemikian rapih ke
dalam pengandaian etika. Intinya, negara adalah milik dan urusan seluruh
masyarakat, maka pertanggung-jawabannya juga kepada masyarakat. Watak
altruistik dari publik-nya urusan dan publik-nya tanggung-jawab pegawai negara
bersifat sama-dan-sebangun {+ +}. Dan ciri altruistik itu dengan mudah bisa
diterjemahkan ke dalam pasal hukum.
Karena
itu etika begitu fasih mengobrak-abrik perilaku para diktator, pejabat negara
yang korup, atau para jendral yang haus darah. Intinya: mereka melaksanakan urusan
publik berdasarkan selera pribadi. Dan kita merasa bahwa kritik etika politik
itu cocok dengan harapan kita. Namun biasanya kritik yang diajukan oleh etika
politik juga hanya mengatakan apa yang sudah sedemikian jelas.
Tetapi
refleksi etika selalu gagap berhadapan dengan kegiatan dan urusan publik yang
dilakukan oleh para pelaku bisnis. Kegagapan itu berakar dalam paradoks di
atas. Kegiatan para pelaku bisnis (yaitu: investasi) adalah kegiatan dan urusan
publik yang menyangkut seluruh
masyarakat, tetapi sumber investasi (yaitu: modal) dipatok sebagai hak pribadi. Apakah modal akan ditanam atau
dilarikan dilihat sebagai urusan pribadi. Ciri privat pemilikan modal
berbanding-terbalik dengan sifat publik kegiatan para pelaku bisnis {– +}.
Pertanggung-jawaban aktivitas bisnis para pemodal lalu bukan kepada publik,
melainkan soal privat, dan watak privat tanggung-jawab mereka ini merupakan
turunan langsung dari ciri privat pemilikan atas modal. Maka dengan mudah
muncul argumen para pelaku bisnis bahwa melarikan modal atau melakukan KKN
bukanlah urusan publik dalam arti hukum.
Susahnya,
para filsuf gagap. Dan para ekonom juga bungkam, sangat jarang mengintegrasikan
soal paradoks etika itu dalam analisa ekonomi. Mungkin karena gagap dengan
logika filsafat, atau khawatir kalau kedengaran tidak ilmiah. Namun yang
dimaksud “ilmiah” di situ tentulah formalisasi matematis, yang hanyalah salah
satu dari berbagai modus logika. Tentu saja tindakan kita selalu lolos dari
rumus, apalagi praktik KKN yang per definisi mengelak dari formalisasi. Etika
ekonomi, atau bahkan lebih sempit lagi etika bisnis, merupakan hutan yang belum
dirambah oleh para filsuf dan ekonom.
Globalisasi
ekonomi tentu membuat kita semakin sulit lolos dari paradoks tersebut. Modal
semakin tidak mengenal tanah-air. Syarat investasi (misal: pajak, tarif, upah
yang rendah) semakin meremuk inisiatif kesejahteraan yang dibuat pemerintah.
Kalau syarat-syarat seperti itu tidak dipenuhi, modal tidak ditanam, atau
dilarikan ke luar negeri. Gejala ini merupakan penjelmaan sempurna dari
paradoks tadi. Investor itu mirip anak kecil yang kalau permintaannya tidak
dipenuhi, akan minggat atau menyembunyikan mainannya.
Kadar
Kegagapan
etika menghadapi paradoks besar tersebut lalu juga tercermin dalam kegagapan
tata-hukum untuk membuat perundangan bagi berbagai tindakan pelaku bisnis.
Misalnya, UU pelarian modal, relokasi, harga jual, dan tentu UU KKN. Namun
dalam tata ekonomi-politik, pada akhirnya paradoks etika itu hanya bisa
didekati melalui perundang-undangan. Dan UU KKN bagi para pelaku bisnis
merupakan bagian sentral dari cara menghadapinya. Tentu, hal itu belum
menyangkut pelaksanan hukum.
Masyarakat
yang bebas dari KKN memang sebuah utopia. Tidak ada negara atau masyarakat yang
bebas KKN. Yang ada ialah perbedaan kadar: beberapa punya kadar yang rendah,
negara lain sedang, dan beberapa lain ditandai oleh tingkat KKN yang tinggi
atau sangat tinggi. Tentu, Indonesia selalu mendapat skor sangat tinggi dalam
laporan tahunan badan-badan seperti Transparency
International, International Country
Risk, ataupun World Economic Forum. Artinya, Indonesia punya tingkat KKN sangat
tinggi.
Karena
selalu sangat tinggi, kita suka menyebutnya “sudah menjadi budaya”. Memang
tidak mudah membedakan apakah suatu pemberian (uang, barang, fasilitas)
merupakan suap, komisi, hadiah, ataukah tip.
Tidak mudah pula untuk persis menunjuk apakah suatu hubungan dekat telah
membentuk kolusi dalam transaksi. Watak berlapis-lapis praktik KKN mengikuti
kompleksitas dan ambiguitas lapis-lapis hubungan sosial manusia.
Namun
warga biasa juga tidak bodoh untuk membedakan antara hadiah dan suap. Warga
biasa tahu bahwa deal antara manajer
keuangan perusahaan dan petugas pajak merupakan bentuk kolusi dan korupsi. Kita
juga tahu bahwa kemudahan bisnis para sanak dan anak-anak pejabat merupakan
hasil nepotisme. Dan kita juga tahu bahwa amplop atau kartu-kredit yang
diberikan di bandara oleh pelaku bisnis kepada pejabat menjelang
keberangkatannya ke luar negeri adalah ikatan transaksi (quid pro quo) yang kolusif.
Ketika
mengatakan bahwa KKN sudah merupakan budaya, biasanya yang kita maksud hanyalah
bahwa KKN merupakan praktik yang sangat luas, dilakukan oleh begitu banyak
orang (termasuk kita). KKN bukan sebuah budaya, melainkan ekonomisasi dari
berbagai lapis hubungan sosial kita dalam bingkai ekonomi-politik yang
penuh-sesak dengan sejenis transaksi aneh: transaksi à la mafia.
* B. Herry Priyono, kandidat PhD pada London School of Economics
(LSE), Inggris.
Tulisan ini pernah dimuat bersambung di KOMPAS, 27 dan 28 Maret 2000, hlm. 4
Tulisan ini pernah dimuat bersambung di KOMPAS, 27 dan 28 Maret 2000, hlm. 4
.
0 komentar:
Posting Komentar