Sabtu, 16 Juni 2012


KKN Bukan Sebuah Budaya
Oleh: B.Herry Priyono*

Di negeri ini, gerakan pengurangan praktik KKN seperti tindakan menangkap angin. Bukan karena praktik itu tidak kasat mata, melainkan justru karena ada di mana-mana. Cuma, ada di mana-mana tidak berarti mudah dijaring dalam data. Tuntutan bagi data keluasan KKN selalu mengecoh, karena punya kemustahilan melingkar. Praktik KKN per definisi bersifat rahasia. Karena rahasia, sangat sulit tersedia bukti hitam-putih. Karena sulit tersedia bukti hitam-putih, maka sulit terkumpul data. 
Namun juga seandainya terkumpul data, kita berhadapan dengan gejala lain: di negeri ini, data dan analisa sudah lama tidak punya daya. Bukan karena mati, melainkan karena digusur oleh uang dan senjata. Dari data soal penculikan sampai perkosaan massal.
Kemudian tinggal tuntutan bagi efektivitas pelaksanaan hukum. Namun setiap orang juga tahu kualitas pengadilan di Indonesia. Jumlah kasus-hukum korupsi bukanlah data keluasan KKN, melainkan hanya data mengenai tingkat efektivitas pelaksanan hukum anti-korupsi. Maka berlaku satu totok-ukur sederhana: semakin kecil jumlah pengadilan tentang korupsi, semakin rendah tingkat pelaksanaan hukum anti-korupsi.
Hukum memang hanya salah satu masalah. Apa yang lebih menggelisahkan adalah cara pandang ekonomi tentang praktik KKN. Inti cara pandang ekonomi berupa kalkulasi cost-benefit, dan jantung kalkulasi cost-benefit ialah maksimalisasi keuntungan. Apa yang disebut ‘rasionalitas ekonomi’ ialah cara berpikir-bertindak berdasar prinsip maksimalisasi keuntungan. Pokok ini perlu dikenali selugas mungkin, agar kita tidak terkecoh oleh lagak ruwet ekonometri yang merupakan bahasa matematis dari rasionalitas sederhana tersebut.
Cara pandang ekonomi penting untuk dikenali, bukan karena itulah cara yang paling benar dalam melihat soal KKN, melainkan karena itulah bahasa yang luas dipakai untuk membenarkan praktik KKN. Para pejabat pemerintah, pemodal, direktur serta manajer perusahaan-perusahaan sangat luas mengenakan cara pandang ekonomi KKN ini.               
Ekonomisasi
Cara pandang ekonomi tentang praktik KKN mungkin bisa diringkas menjadi dua: KKN sebagai “minyak-pelumas mesin”, dan KKN sebagai “pasir-perusak mesin”. Cara pandang “KKN sebagai minyak-pelumas mesin” melihat bahwa suap, misalnya, sekadar menjadi mekanisme pengalihan kesejahteraan. Misalnya, dari kas perusahaan ke dompet pegawai pemerintah. Dalam ekonomi pasar, praktik itu justru menjadi cara efisien-efektif untuk mempercepat berbagai aturan birokrasi yang dikenal ruwet dan lamban.            
Maka KKN menjadi mekanisme imbalan bagi para pegawai negeri yang memang bergaji rendah. Besaran uang/fasilitas yang beralih melalui KKN akhirnya akan kembali lagi ke pasar. Di pasar terbuka, warga ikut menikmati buah pengalihan itu. Maka praktik KKN tidak dengan sendirinya merusak ekonomi, justru karena KKN merupakan bagian mekanisme pasar dengan dalil supply-demand. Yang diperjual-belikan adalah amplop, mobil, tamasya, ijin, kontrak, kuota, putusan hukum, dsb. KKN tidak menyebabkan krisis ekonomi, meskipun mungkin mempersulit pemulihan ekonomi setelah dilanda krisis.
Pada skala makro, KKN tidak berpengaruh pada tingkat pertumbuhan ekonomi. Contoh yang biasa diajukan ialah Korea Selatan. Negeri itu dikenal sebagai negeri dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus tingkat KKN yang tidak rendah.             Perspektif “KKN sebagai pasir-perusak mesin” melihat sebaliknya. KKN menggerus dan pada tingkat yang tinggi akan menghancurkan ekonomi suatu negara. Argumen bahwa KKN memotong kelambanan birokrasi perijinan dan putusan hukum mungkin bisa diterima dari satu aspek pembukuan perusahaan, tetapi tidak bisa diterima dari aspek akutansi yang lain. Aspek yang terakhir ini berupa pembebanan beaya KKN pada, misalnya, mark-up nilai proyek atau harga konsumen.
Biasanya para pelaku bisnis segera mengelak dengan bilang bahwa mark-up nilai proyek dan harga konsumen bukanlah urusan intern perusahaan mereka. Di situ terletak masalah etika ekonomi-politik tentang apakah bisnis merupakan urusan privat atau publik.
Pada skala makro, perspektif “KKN sebagai pasir-perusak mesin” juga mengajukan data. Ekonom Paolo Mauro (1995), misalnya, menunjukkan korelasi antara tingkat korupsi dan tingkat investasi di 67 negara dalam rentang waktu 1960-1985. Ia menemukan bahwa tingginya korupsi terkait erat dengan rendahnya investasi (yang lalu terkait dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi). Misalnya, kalau saja Bangladesh berhasil mengurangi sedikit tingkat korupsinya menjadi setaraf Uruguay (dan ini hanya butuh perbaikan 1 standar-deviasi), maka tingkat investasi Bangladesh akan naik sebanyak 5%.
Beaya
Kalau indikator statistik di atas kelewat abstrak, mungkin bisa turun sedikit ke lingkup nasional. KKN di Indonesia terutama terpusat pada tiga poros kaitan: pelaku bisnis dengan pegawai pemerintah, pegawai dengan pegawai pemerintah, dan pelaku bisnis satu dengan pelaku bisnis lain.
Ambillah poros kaitan pertama: antara pelaku bisnis dan pegawai pemerintah. Praktik KKN biasanya terjadi dalam deal untuk lisensi, kuota, tender, pajak, kredit, subsidi, dan semacamnya. Berhadapan dengan gurita birokrasi negara yang ruwet dan lamban, manajer keuangan perusahaan melihat bahwa cost untuk KKN merupakan beaya efisiensi. Kalau jumlahnya besar bisa masuk ke pos pengeluaran direksi, kalau kecil bisa masuk, misalnya, ke pos pemasaran dalam pembukuan perusahaan.     
Kesulitan untuk menunjukkan cost dari praktik KKN secara nasional adalah bahwa bukti untuk itu hanya bisa disusun berdasarkan data pembukuan semua perusahaan, yang tentu sangat rahasia. Ozay Mehmet (1994) punya alternatif. Contoh kerugian ekonomis KKN bisa dilihat dari besaran uang/barang suap yang dikumpulkan oleh pegawai negara eselon I, II, dan III-V, berdasarkan persentase marginal costs investasi pembangunan pada tahun anggaran tertentu, lalu dihitung menurut ratio vertikal gaji tiap eselon. Mehmet mengambil contoh tahun anggaran 1990/1991, yaitu Rp.16.2 trilyun atau US$8.3 milyar. Sebagian hasilnya bisa dilihat dalam tabel berikut.
TABEL: Besaran Uang KKN dari Investasi Swasta 1990/1 (dalam Jutaan Rupiah)
Departemen
Total Suap, Komisi, dsb.
Bagian untuk Tiap Pejabat/Pegawai


Eselon I
Eselon II
Eselon III-V
Pertanian-Kehutanan
4373.4
57.6
17.9
0.29
Industri
380350.2
9508.8
820.0
0.74
Pertambangan-Energi
1738.8
72.4
14.5
2.38
Transpor-Turisme
80238.4
2005.6
247.7
0.55
Perdagangan-Koperasi
5861.5
122.1
14.5
0.17
Pekerjaan Umum
55395.3
1731.1
166.9
0.76
Sumber: Modifikasi dari tabel Ozay Mehmet, ‘Rent-Seeking and Gate-Keeping in Indonesia’, Labour, Capital and Society, 27/1, April 1994, hlm. 83.
Pejabat eselon I di Departemen Industri, misalnya, selama tahun anggaran 1990/1 menerima rata-rata Rp.9.5 milyar, atau US$ 5 juta, uang/barang KKN dari investasi swasta (kurs rata-rata tahun 1990, US$1=Rp.1901,-). Pejabat eselon II di Departemen Pekerjaan Umum menerima sekitar Rp.166.9 juta. Mehmet menyebut bahwa angka KKN di atas bersifat konservatif. Artinya, sudah memakai rumus yang bersifat menekan nilai. Tentu angka-angka itu merupakan potret penerimaan acak per orang. Ada yang menerima lebih banyak, ada yang sangat sedikit. Namun dari potret itu juga bisa dikenali mengapa bahkan seorang juru-tulis menteri bisa punya beberapa rumah dan mobil mewah.
Sangatlah sesat untuk menyimpulkan dari tabel di atas bahwa keluasan KKN dimulai dan hanya dilakukan oleh para pegawai negeri. Mehmet menghitung bahwa lebih dari 90% uang KKN berasal dari sumber-sumber investasi swasta. Urutan supply-demand itu seperti soal ayam-atau-telur-dulu. Sektor swasta punya demand untuk memperoleh tender, ijin, kuota, dsb, yang merupakan supply di tangan aparat negara. Aparat negara punya demand uang komisi, saham, rumah, mobil, dsb, yang merupakan supply di tangan para pelaku bisnis. Supply dan demand adalah dua sisi dari satu keping mata uang: mata uang KKN. 
Pergantian rezim tidak menjamin pengurangan KKN. Langkah otonomi-desentralisasi, misalnya, ditanggapi dengan cepat dan penuh semangat oleh para pelaku bisnis dan pejabat daerah. Namun ada dua jenis entusiasme: entusiasme terhadap proses pemerataan serta demokrasi lokal, dan antusiasme para anggota mafia yang segera ingin makin menjarah sumber-sumber ekonomi daerah. Kalau tidak ditempuh secara bertahap dengan langkah pembenahan SDM dan penguatan civil society lokal, otonomi-desentralisasi hanya akan menjadi kebijakan yang membiakkan kelompok-kelompok mafia. Bukan hanya dalam birokrasi pemerintah lokal, melainkan juga pada jaringan bisnis lokal. Di luar lingkaran itu, warga biasa akan menerima satu bagian: remah-remah.
Dalam hal citra KKN, terutama para pegawai pemerintah eselon III-V secara acak seperti orang jatuh, lalu tertimpa tangga. Tampak dalam tabel, mereka mendapat jauh lebih sedikit dibanding atasan mereka. Namun mereka mudah kena getah, karena mereka tidak bisa berdalih bahwa tugas mereka merupakan urusan pribadi. Sebaliknya dengan para pelaku bisnis. Karena menanam, tidak menanam ataupun melarikan modal adalah hak pribadi (dalam arti bukan urusan publik seperti sifat publik tugas pegawai negara), maka dengan mudah muncul argumen bahwa tingginya mark-up proyek juga bukan tanggung-jawab publik mereka. Di situ kita bertemu dengan perkara rumit etika ekonomi-politik.
Apa yang saya maksud dengan perkara etika bukanlah resep moral tentang benar dan salah. Yang saya maksud lebih menyangkut satu soal ekonomi-politik dari praktik KKN dalam rangka manajemen negara-bangsa. Perkara itu berupa soal ketimpangan hubungan antara pemerintah dan sektor bisnis. Dan gejala ketimpangan itu tampak jelas dalam lebih kuatnya tuduhan KKN kepada pegawai pemerintah ketimbang kepada pelaku bisnis.  
Paradoks
Menimpakan beban KKN kepada pegawai pemerintah memang jauh lebih gampang, karena bingkai etika kapitalisme memang berdasar pada ketimpangan hubungan antara sektor bisnis dan pemerintah. Gejala berikut mungkin bisa menunjukkan apa yang saya maksud dengan ketimpangan etis. Setidaknya di negara demokratis, pejabat/pegawai negara yang tidak becus mengelola tugasnya bisa dituntut tanggung-jawabnya, dan dipecat. Entah lewat pemilu atau mosi tidak-percaya.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi para pelaku bisnis. Mereka tidak bisa dituntut secara hukum kalau mereka tidak melakukan investasi. Tindakan menanam atau tidak menanam modal menjadi hak pribadi mereka sendiri, bukan urusan publik dalam pengertian hukum. Seperti yang kita saksikan dalam krisis ekonomi, mereka dengan leluasa melarikan modal ke luar negeri, tanpa bisa dituntut secara hukum. Bahwa pelarian itu mengakibatkan PHK, pengangguran dan kelaparan bukanlah urusan mereka. Hal ini mirip dengan argumen para pelaku bisnis bahwa mark-up nilai proyek atau harga konsumen bukanlah urusan intern perusahaan. Desakan moral memang dibuat, tetapi tuntutan moral bukanlah jaring hukum.
Dari perbedaan itu segera tampak satu paradoks besar etika. Tugas para pejabat dan pegawai pemerintah adalah mengelola manajemen komunitas negara-bangsa. Tugas para pelaku bisnis adalah mengelola pengadaan investasi, yang menentukan kondisi ekonomi negara-bangsa. Kedua-duanya merupakan kegiatan dan urusan publik, bukan privat.
Namun urusan publik yang sama-sama dilakukan oleh pegawai pemerintah dan pelaku bisnis itu dinilai menurut dua standar etika yang berbeda. Kegiatan dan tugas pegawai negara merupakan urusan publik yang menuntut pertanggung-jawaban publik. Sebaliknya, aktivitas pelaku bisnis merupakan urusan publik yang berdasar pada kebebasan pribadi.
Maka dilihat dalam rangka aktivitas keduanya sebagai urusan publik, ketimpangan hubungan menjadi: pegawai pemerintah ÷ pelaku bisnis = {+ +} vs {+ –}. Atau, dilihat dalam rangka hak pribadi, ketimpangan hubungan menjadi: pegawai pemerintah ÷ pelaku bisnis = {– –} vs {– +}. Akarnya sederhana: keramatnya hak milik pribadi. Ketimpangan hubungan itu berasal dari prinsip bahwa negara adalah milik publik, sedang modal adalah milik pribadi. Watak pemilikan menentukan arah dan sifat pertanggung-jawaban.
Dari paradoks itu juga jelas mengapa, dibanding dengan pelaku bisnis, para pegawai pemerintah berada dalam posisi yang selalu jauh lebih lemah dan rentan terhadap tuduhan KKN. Sebab, KKN lebih dilihat sebagai penyalahgunaan jabatan publik bagi tujuan pribadi, padahal pelaku bisnis tidak punya jabatan publik dalam pengertian seperti watak publik jabatan pegawai pemerintah. Maka menimpakan beban dan tanggung-jawab KKN kepada para pegawai pemerintah selalu sangat mudah. Bukan karena para pelaku bisnis tidak melakukan KKN, melainkan karena mereka bisa mengelak dengan memakai paradoks di atas. Kadang dengan merujuk gagasan Bernard Mandeville, sering dengan mengacu pandangan Adam Smith ataupun Friedrich von Hayek.  
Itulah mengapa desakan moral mudah patah, karena kita menerapkan standar ganda etika. Patahnya desakan-desakan moral itu bagaikan lunglai rumput oleh derap gemuruh kawanan serigala yang setiap hari memburu mangsa berikutnya. Meluasnya praktik KKN juga berlangsung melalui proses psiko-sosial ini: daripada lunglai, lebih praktis bergabung. Sejarah adalah pertarungan abadi antara basic instinct dan utopia.
Etika               
Paradoks di atas juga bisa menjelaskan mengapa perkembangan etika bisnis jauh lebih ketinggalan dibanding etika politik. Biasanya benteng refleksi etika adalah pengandaian bahwa apa yang lebih mulia adalah apa yang bersifat altruistik. Artinya, bagi kepentingan semakin banyak orang (alter: lain).
Dalam bingkai itu, kegiatan dan tugas para pegawai negara masuk sedemikian rapih ke dalam pengandaian etika. Intinya, negara adalah milik dan urusan seluruh masyarakat, maka pertanggung-jawabannya juga kepada masyarakat. Watak altruistik dari publik-nya urusan dan publik-nya tanggung-jawab pegawai negara bersifat sama-dan-sebangun {+ +}. Dan ciri altruistik itu dengan mudah bisa diterjemahkan ke dalam pasal hukum.
Karena itu etika begitu fasih mengobrak-abrik perilaku para diktator, pejabat negara yang korup, atau para jendral yang haus darah. Intinya: mereka melaksanakan urusan publik berdasarkan selera pribadi. Dan kita merasa bahwa kritik etika politik itu cocok dengan harapan kita. Namun biasanya kritik yang diajukan oleh etika politik juga hanya mengatakan apa yang sudah sedemikian jelas.   
Tetapi refleksi etika selalu gagap berhadapan dengan kegiatan dan urusan publik yang dilakukan oleh para pelaku bisnis. Kegagapan itu berakar dalam paradoks di atas. Kegiatan para pelaku bisnis (yaitu: investasi) adalah kegiatan dan urusan publik yang menyangkut seluruh masyarakat, tetapi sumber investasi (yaitu: modal) dipatok sebagai hak pribadi. Apakah modal akan ditanam atau dilarikan dilihat sebagai urusan pribadi. Ciri privat pemilikan modal berbanding-terbalik dengan sifat publik kegiatan para pelaku bisnis {– +}. Pertanggung-jawaban aktivitas bisnis para pemodal lalu bukan kepada publik, melainkan soal privat, dan watak privat tanggung-jawab mereka ini merupakan turunan langsung dari ciri privat pemilikan atas modal. Maka dengan mudah muncul argumen para pelaku bisnis bahwa melarikan modal atau melakukan KKN bukanlah urusan publik dalam arti hukum.
Susahnya, para filsuf gagap. Dan para ekonom juga bungkam, sangat jarang mengintegrasikan soal paradoks etika itu dalam analisa ekonomi. Mungkin karena gagap dengan logika filsafat, atau khawatir kalau kedengaran tidak ilmiah. Namun yang dimaksud “ilmiah” di situ tentulah formalisasi matematis, yang hanyalah salah satu dari berbagai modus logika. Tentu saja tindakan kita selalu lolos dari rumus, apalagi praktik KKN yang per definisi mengelak dari formalisasi. Etika ekonomi, atau bahkan lebih sempit lagi etika bisnis, merupakan hutan yang belum dirambah oleh para filsuf dan ekonom.      
Globalisasi ekonomi tentu membuat kita semakin sulit lolos dari paradoks tersebut. Modal semakin tidak mengenal tanah-air. Syarat investasi (misal: pajak, tarif, upah yang rendah) semakin meremuk inisiatif kesejahteraan yang dibuat pemerintah. Kalau syarat-syarat seperti itu tidak dipenuhi, modal tidak ditanam, atau dilarikan ke luar negeri. Gejala ini merupakan penjelmaan sempurna dari paradoks tadi. Investor itu mirip anak kecil yang kalau permintaannya tidak dipenuhi, akan minggat atau menyembunyikan mainannya.
Kadar      
Kegagapan etika menghadapi paradoks besar tersebut lalu juga tercermin dalam kegagapan tata-hukum untuk membuat perundangan bagi berbagai tindakan pelaku bisnis. Misalnya, UU pelarian modal, relokasi, harga jual, dan tentu UU KKN. Namun dalam tata ekonomi-politik, pada akhirnya paradoks etika itu hanya bisa didekati melalui perundang-undangan. Dan UU KKN bagi para pelaku bisnis merupakan bagian sentral dari cara menghadapinya. Tentu, hal itu belum menyangkut pelaksanan hukum.
Masyarakat yang bebas dari KKN memang sebuah utopia. Tidak ada negara atau masyarakat yang bebas KKN. Yang ada ialah perbedaan kadar: beberapa punya kadar yang rendah, negara lain sedang, dan beberapa lain ditandai oleh tingkat KKN yang tinggi atau sangat tinggi. Tentu, Indonesia selalu mendapat skor sangat tinggi dalam laporan tahunan badan-badan seperti Transparency International, International Country Risk, ataupun World Economic Forum. Artinya, Indonesia punya tingkat KKN sangat tinggi.
Karena selalu sangat tinggi, kita suka menyebutnya “sudah menjadi budaya”. Memang tidak mudah membedakan apakah suatu pemberian (uang, barang, fasilitas) merupakan suap, komisi, hadiah, ataukah tip. Tidak mudah pula untuk persis menunjuk apakah suatu hubungan dekat telah membentuk kolusi dalam transaksi. Watak berlapis-lapis praktik KKN mengikuti kompleksitas dan ambiguitas lapis-lapis hubungan sosial manusia.
Namun warga biasa juga tidak bodoh untuk membedakan antara hadiah dan suap. Warga biasa tahu bahwa deal antara manajer keuangan perusahaan dan petugas pajak merupakan bentuk kolusi dan korupsi. Kita juga tahu bahwa kemudahan bisnis para sanak dan anak-anak pejabat merupakan hasil nepotisme. Dan kita juga tahu bahwa amplop atau kartu-kredit yang diberikan di bandara oleh pelaku bisnis kepada pejabat menjelang keberangkatannya ke luar negeri adalah ikatan transaksi (quid pro quo) yang kolusif.
Ketika mengatakan bahwa KKN sudah merupakan budaya, biasanya yang kita maksud hanyalah bahwa KKN merupakan praktik yang sangat luas, dilakukan oleh begitu banyak orang (termasuk kita). KKN bukan sebuah budaya, melainkan ekonomisasi dari berbagai lapis hubungan sosial kita dalam bingkai ekonomi-politik yang penuh-sesak dengan sejenis transaksi aneh: transaksi à la mafia.
* B. Herry Priyono, kandidat PhD pada London School of Economics (LSE), Inggris.
Tulisan ini pernah dimuat bersambung di KOMPAS, 27 dan 28 Maret 2000, hlm. 4
.

Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!