Rabu, 13 Juni 2012


Merobek hijab sufastaiyyah
Oleh Dr. Dimitri Mahayana
"Wa qul jaa`al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa." Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam, yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tidak mungkin
benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn. I/ 7 Agustus 1995, hal. 76, DR. Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan sophisme Yunani, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur atau diindera tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksi bukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemikirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russell setiap proposisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap kebenaran itu relatif.
Apapun sufastaiyyah, misinya sama. Menghancurkan kaidah dasar logika. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindera, Marx dan Hegel meniadakannya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russell menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar kepada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socrates dengan Kebaikan Tertinggi -nya. Plato dengan archetype-nya. Aristoteles dengan Causa-Prima-nya. ‘Ibn-’Arabi dengan al-jam’u bainal-’addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq -nya. Mereka telah me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori ruhaninya yang mungkin dan telah merobek secara sempurna seluruh hijab sufastaiyyah. Merobek seluruh keragu-raguannya akan Wujud Mutlak sebagai realitas yang hakiki dari semua yang maujud. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Berbahagialah orang yang telah berhasil merobek seluruh syak-wasangka -nya atas Kebenaran Mutlak, dan telah berhasil menghilangkan was-was dalam hati yang tidak lain berakar dari sufastaiyyah ini !
Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsikannya sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra, tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan Kekasih-Nya.
Orang - orang yang telah merobek seluruh hijab sufastaiyyah mengarahkan wajahnya lurus-lurus pada Wajah - Nya , Wajah Wujud Mutlak. Kemana pun mereka menghadapkan wajah, mereka yakin segala sesuatu diliputi Kebenaran Mutlak (baca : Allah = Al-Haqq) , "Sesungguhnya Ia atas segala sesuatu Maha Meliputi". Demikian kuatnya keyakinan mereka akan kebenaran sehingga perubahan apa-pun dalam alam material ini tidak lagi mempengaruhi iman mereka, sebagai mana yang dikatakan" walaupun gunung - gunung bergeser dari tempatnya, iman mereka tidak akan bergeser sedikitpun." Dan mereka tidak lagi ragu dan syak dalam lautan informasi di dunia material yang simpang siur ini, karena "Allah-lah yang menjadi pendengarannya, Allah - lah yang menjadi penglihatannya." Mereka - lah hamba - hamba Allah yang ikhlas yang telah menyadari bahwa Kebenaran Mutlak, bukan hanya harus diikuti, tapi lebih dekat daripada diri mereka sendiri, "Dan Kami lebih dekat terhadapnya daripada urat lehernya" . Ketaatan dan peribadatan yang sempurna kepada Allah.
Semoga kita menjadi salah satu dari mereka; Ilaahi, hablii kamaalal inqithoo`i ilaika wa anir quluubii, bidhiyaa `I nazharihaa ilaika, hattaa tahriqul abshooru quluubi hujuuban-nuur, fatashiila ila ma’dinil ‘azhiimati fatasiiru arwaahuna mu’allaqutan bi’izzi qudsika. Tuhanku, karuniakanlah kemuliaan keterputusan kepada selain-Mu dan hanya kepada-Muaku menatap dan cahayailah hatiku dengan cahaya pandangan kepada-Mu hingga terobeklah hijab - hijab cahaya dari pandanganku, dan sampailah aku pada Hadhirat Keagunga,-Mu, dan sampaikanlah ruh - ruh kami terpesona menatap kemuliaan ke-Kudusan-Mu (Munajat Sya’baniyyah)..





Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!