Rabu, 13 Juni 2012


SKISME DALAM ISLAM
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam
 
oleh Nurcholish Madjid
 
Pembicaraan tentang Agama Islam kecuali  jika  dibatasi  hanya kepada hal-hal yang sama sekali normatif belaka dengan tingkat idealisasi  sejarah  Islam  yang   tinggi   pasti   melibatkan pembicaraan  tentang  berbagai  skisme  atau  perpecahan dalam agama itu.  Kesadaran akan adanya skisme itu  akhir-akhir  ini, sebagaimana  telah  sering  dibicarakan, muncul dengan kuat di kalangan kaum muslimin Indonesia khususnya dan  dunia  umumnya
karena  adanya Revolusi Iran pada 1979. Dengan mengesampingkan beberapa  perorangan  atau  kelompok  yang  agaknya  mengalami kesulitan  besar  untuk  "mengakomodasi"  kenyataan baru berupa peranan amat mengesankan dari  kaum  Syi'ah  dalam  percaturan
keislaman  internasional  sekarang  ini,  Revolusi  Iran  bagi sebagian  orang-orang  muslim   menawarkan   semacam   "hikmah terselubung" (blessing in disguise) berupa cakrawala pandangan keagamaan (Islam) yang lebih meluas.  Karena  itu  jika  harus disebutkan  kegunaan  utama pembahasan kita sekarang ini, maka kegunaan itu ialah sebagai bagian  dari  usaha  bersama  untuk mendorong  lebih  jauh  kecenderungan positif tersebut. Dengan begitu diharap bahwa secara berangsur  kita  dapat  mewujudkan  dalam   kenyataan  berbagai  angan-angan  mengenai  umat  atau masyarakat Islam yang  mendekati  gambaran  dalam  Kitab  suci sebagai   "ruhama   baynahum"   (saling   cinta  kasih  antara sesamanya).  Tetapi  berbagai  pengalaman  menunjukkan   bahwa keadaan itu tidak akan tercipta jika kita tidak memiliki cukup kedewasann dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam  memandang
keberagamaan    "orang    lain"    (dalam    pengertian   yang seluas-luasnya).  Termasuk  ke  dalam  makna  kedewasaan  itu, kiranya,  ialah kesediaan dan kemampuan untuk melihat berbagai kenyataan sejarah secara  proporsional,  dengan  mengakui  dan memasukkannya   ke  dalam  hitungan  berbagai  faktor  sejarah sebagai ikut menentukan apa yang telah terjadi, dan  apa  yang sedang dan bakal terjadi.
Berdasarkan  itu semua, maka pembahasan kita dalam makalah ini insya Allah akan kita lakukan dalam semangat  tinjauan  kritis berdasarkan  pandangan  yang  memperhitungkan  berbagai faktor sejarah.
 
UMAT YANG TUNGGAL
 
Kenyataan historis pertama tentang  agama  Islam  ialah  bahwa umatnya  telah  terpecah  dan  bahkan saling menumpahkan darah sejak  masa-masa  amat  dini  perjalanan  sejarahnya.  Seorang muslim yang serius dan prihatin tentu merasakan adanya semacam anomali dalam kenyataan sejarah itu. Apalagi al-Qur'an sendiri sejak  dari  semula  menyatakan dan memperingatkan, tidak saja kepada kaum muslim tetapi juga kepada para penganut agama para Nabi  dan  Rasul  Allah  keseluruhannya, agar waspada terhadap bahaya perpecahan dan pertentangan.  Salah  satu  firman  suci dalam al-Qur'an yang relevan dengan masalah ini terbaca:  
Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya  Kami  (Tuhan)  maha  mengetahui  akan segala  sesuatu  yang  kamu  kerjakan.  Dan  ini adalah umatmu semua, umat yang tunggal,  sedangkan  Aku  adalah  Pelindungmu semua, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku. [1] Tafsir  atas  firman  itu  tidak  bisa lain daripada penegasan bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu  membentuk  persaudaraan umat  yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka pun tunggal, yaitu mengabdi  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa  yang  mencintai  dan melindungi   mereka.   Ini  menjadi  dasar  pandangan  tentang
Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah)  dan  Kesatuan  Risalah atau   pesan   suci  (Wahdat  al-Risalah),  yaitu  pesan  suci keprasahan yang tulus kepada kehendak  Ilahi  (al-islam  dalam makna  generiknya).  Dan  inilah  pula dasar pandangan tentang Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah).
 
Namun justru secara historis masalah kesatuan itulah di antara hal-hal  yang  amat  sulit dicapai oleh manusia. Lebih menarik lagi   sebagai   bahan   kajian   bahwa   manusia    cenderung berpecah-belah  justru  setelah  mereka  menerima ajaran Tuhan yang dibawa oleh para Utusan-Nya. Keadaan yang menyimpang dari seharusnya   ini  tidak  saja  karena  berbagai  usaha  mereka memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan  nyata
(jadi tentunya tumbuh dari niat yang baik dan ketulusan hati), tapi juga karena variasi cara  pendekatan  kepada  ajaran  itu membuahkan  variasi dalam interpretasi. Maka dalam gabungannya dengan naf:su  benar  sendiri  dan  sektarianisme  yang  jelas selalu  mengancam  setiap  orang  atau  golongan tanpa kecuali variasi pendekatan dan  interpretasi  itu,  meskipun  disertai dengan  penuh  niat baik dan tulus, acapkali malah menjuruskan orang banyak kepada perpecahan  dan  pertentangan.  Perpecahan dan   pertentangan  itu  semakin  destruktif  sifatnya  karena pembawaannya yang sering bergaya absolutistik  dan  tak  kenal
kompromi akibat watak dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan menyedihkan ini pun secara  ringkas  digambarkan  dalam  Kitab Suci: Pada  mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah mengutus  para  Nabi  untuk   membawa   berita   gembira   dan
peringatan,  dan  Dia  menurunkan  bersama para Nabi itu Kitab Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan  perkara  antara  umat manusia  berkenaan  dengan  masalah yang mereka perselisihkan. Dan mereka yang menerima Kitab Suci  itu  tidaklah  berselisih mcngenai  sesuatu  (masalah  Kebenaran) kecuali setelah datang berbagai penjelasan,  karena  rasa  permusuhan  antara  sesama mereka.  Maka  Allah  pun,  dengan  izin-Nya, memberi petunjuk
tentang kebenaran yang mereka perselisihkan itu kepada  mereka yang  beriman. Allah memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus kepada siapa yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki-Nya). [2] Jika  harus  menyebutkan  bukti  kebenaran  firman  itu,  maka
barangkali kita  hanya  harus  menyebutkan  kenyataan  tentang semua   agama,  yang  jelas  tanpa  kecuali  terbagi-bagi  dan terpecah-pecah menjadi berbagai golongan dan sekte. Lebih dari itu, kerapkali persengketaan di antara sesama mereka, termasuk  yang ada dalam satu agama pun, diselesaikan dengan pertumpahan darah  dan  penindasan. Barangkali, dari perspektif pesan suci semula agama bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd
daripada  penyelesaian  perselisihan  faham  keagamaan melalui penindasan dan penumpahan darah. Namun inilah yang  sebenarnya terjadi dalam pengalaman hidup umat manusia.
 
Tapi  mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain untuk membuat semuanya itu  "make  sense."  Mungkin  keterangan  itu dapat   diperoleh   dari  beberapa  firman  Ilahi  juga,  yang melengkapi firman-firman terkutip  di  atas  sehingga  menjadi pandangan   dan  pengertian  yang  bulat.  Firman  itu  ialah, misalnya: Kalau  seandainya  Tuhanmu  menghendaki,  maka  tentunya   Dia jadikan  manusia  umat  yang  tunggal.  Tetapi mereka itu akan tetap  selalu  berselisih,  kecuali  mereka  yang  mendapatkan rahmat  dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka. [3] Juga firman Allah: Manusia itu tidak lain kecuali  umat  yang  tunggal,  kemudian mereka berselisih. Jika seandainya tidak karena adanya "Sabda" (Kalimah)  yang  telah  lewat  dari  Tuhanmu,  maka   tentulah diputuskan  (sekarang  juga)  antara  mereka  berkenaan dengan  perkara yang mereka perselisihkan itu. [4] Firman-firman itu membuka  kemungkinan  berbagai  interpretasi tentang  apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci mengenai hakikat manusia  sebagai  makhluk  sejarah  berkenaan  dengan  perkara persatuan  dan  perpecahan.  Mengenai  "Sabda" (Kalimah) dalam firman  yang  dikutip  terakhir  itu,  misalnya,   ditafsirkan sebagai  berarti  "Keputusan"  Tuhan,  yang merupakan ekspresi Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam peristiwa tertentu. 
Here we have again the mystic doctrine of "the Word."..."Word" is  the Decree of God, the expression of His Universal Will or Wisdom in a particular case. When men began  to  deverge  from one  another...,  God made their very differences subserve the higher ends by increasing emulation in virtue and  piety,  and thus pointing back to the ultimate Unity and Reality. [5] Di  sini  (dalam  ayat  ini)  kita  mendapatkan  lagi  doktrin kesufian tentang  "Sabda."  "Sabda"  adalah  Keputusan  Tuhan, pernyataan  Iradat  atau Hikmat-Nya yang universal dalam suatu masalah tertentu. Ketika manusia telah bersimpangan jalan satu dari yang lain, Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka itu   membantu   mengarahkan   manusia   kepada    tercapainya tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan dalam kebaikan den  kesalahan,  dan  dengan  mengarah  kembali kepada Kesatuan den Wujud yang mutlak
 
Ayat  suci  dan  tafsirnya itu mengingatkan kita kepada sebuah hadits yang sering dikutip orang bahwa perselisihan di  antaraorang  yang beriman adalah suatu rahmat. [6] Dan ayat suci itubersesuaian dengan  ayat  suci  yang  lain,  yang  menyebutkan adanya Kehendak Ilahi tentang perbedaan antara sesama manusia, dan  adanya  Kehendak  agar  dengan  perbedaan   itu   manusia berlomba-lomba  ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat, emulation  in  virtue  and  piety).  Ayat   suci   itu   ialah
firman-Nya:
 
Jika   seandainya   Allah   menghendaki,   maka  pastilah  Dia menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia  tidak menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan dengan  sesuatu  (kelebihan,  yaitu  faktor  terpenting   yang membuat manusia berbeda-beda -NM) yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah kamu  semua  (dengan  menggunakan kelebihan  itu)  untuk  berbagai  kebaikan.  Kepada  Allah-lah
tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan  menerangkan  kepada kamu  tentang  segala  sesuatu yang pernah kamu perselisihkan. [7] Dari  perspektif  inilah  kita  akan  memasuki   bidang   yang sebenarnya  dari  pembahasan makalah ini, yaitu tinjauan ulang secara kritis-historis terhadap  perpecahan  sosial  keagamaan yang terjadi dalam Islam dalam perjalanan perkembangannya yang amat dini.
 
TENTANG "AL-FITNAT AL-KUBRA"
 
Mungkin bagi banyak orang cukup membosankan, namun pembicaraan tentang  pembunuhan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, sebagai fitnah besar yang mengawali skisme dalam Islam  tidak  mungkin dihindarkan.  Maka  dengan sedikit melawan semacam "konsensus" di kalangan kaum Sunni untuk menghindari  pembicaraan  tentang tingkah  laku  historis  para  Sahabat  yang  kurang mencocoki beberapa ketentuan normatif, [8]  kita  akan  melakukan  tahap
pembahasan  ini  dengan  pembicaraan singkat tentang peristiwa menyedihkan yang kemudian dikenal sebagai  al-fitnat  al-kubra ("ujian besar") itu. Pembunuhan  terhadap  khalifah  ketiga  terjadi duapuluh empat tahun setelah wafat Nabi. Sekelompok tentara (Arab Islam) dari Mesir datang Ke Madinah untuk mengajukan klaim kepada Khalifah tentang apa  yang  menjadi  hak  mereka.  Tapi  mereka  segera kembali  pulang  ke  Mesir,  karena  telah diberi tahu (secara palsu) bahwa persoalan mereka telah diselesaikan  dengan  baik oleh  Khalifah melalui perundingan dengan ketua utusan mereka. Namun setelah mereka mendapat berita yang  benar  bahwa  ketua utusan  mereka  itu  malah  telah  dibunuh,  mereka kembali ke
Madinah  untuk  mengajukan  tuntutan.  Setelah  beberapa  saat perundingan  dan  musyawarah, yang di situ kaum bukan-Umawi di Madinah  menunjukkan  sikap  netral,  delegasi   tentera   itu menyerbu  Utsman di rumahnya, dan membunuhnya. (Seperti halnya
dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya, Utsman memerintah hanya  dengan  mengandalkan  reputasi  dan  nama baik pribadi, tanpa  pengawal,  sebagaimana  layaknya  adat  kebiasaan  para sesepuh  (al-syaykh)  suku-suku  Arab menjalankan kepemimpinan
mereka. Kebiasaan itu membantu memudahkan  usaha  membunuhnya, sebagaimana  telah  terjadi  pada  Umar  sebelumnya  dan kelak terjadi pula pada Ali).  [9] Tentang mengapa  delegasi  tentara  itu  tidak  puas  terhadap Utsman dalam menjalankan tugas  kekhalifahannya, tersedia tidak hanya satu keterangan, melainkan banyak  dan  cukup  kompleks. Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk perintis pertama orang-orang Arab Makkah masuk Islam, namun dia adalah  seorang anggota  klan Umayyah yang berkuasa di kota itu, yang klan itu menjadi musuh utama Nabi, bahkan sikap permusuhan  mereka  itu
berlangsung  terus  sampai  boleh  dikata detik-detik terakhir sebelum Nabi  wafat.  Abu  Sufyan,  misalnya,  adalah  seorang penguasa   Makkah   yang   mengorganisasi   dan   memobilisasi orang-orang Quraisy melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat Nabi  menaklukkan  Makkah.  Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk Islam, juga anaknya Mu'awiyah  yang  sedikit  terlebih  dahulu berbuat  serupa,  namun  hal  itu  terjadi  lebih banyak hanya
berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi dan mengakui hak istimewa dan kehormatan mereka. 

Sebagai  klan  dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum Umawi segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu kesempatan untuk mengembalikan  kedudukan  mereka yang baru saja hilang. Mereka mengelilingi    Utsman    dengan    penasehat-penasehat    dan tenaga-tenaga  ahli,  seperti  seorang "aktivis" Umawi, Marwan ibn al-Hakam. Sebagian dari hadirnya para penasehat dan tenaga ahli  Umawi  itu  sebenarnya  merupakan lanjutan kebijaksanaan
Umar sebelumnya, karena  Umar  melihat  pada  kaum  Umawi  itu kecakapan  pemerintahan  yang  bisa dimanfaatkan. Tetapi tanpa keteguhan  kepribadian  Umar,  Utsman  menjadi  tidak   banyak berdaya  menghadapi  klannya  sendiri,  dan  ia pun terjerumus kedalam praktek-praktek nepotistik  yang  mengundang  berbagai reaksi keras banyak kalangan.
 
Sebenarnya  Utsman  melanjutkan  kebijakan  Umar,  tapi  tanpa mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para  tentera  suku  Arab (al-muqatilah)  yang  oleh  Umar  ditempatkan di berbagai kota garnizun di daerah-daerah taklukan dipertahankan  oleh  Utsman seperti  keadaan mereka semasa Umar, sementara perang sendiri, yang menjadi alasan penempatan itu,  telah  menjadi  peristiwa sesekali saja. Para tentera ini hidup menetap di tempat-tempat
tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari  penduduk bukan-Arab  sekelilingnya.  Bertindak  sebagai  penguasa  pada kota-kota perbatasan itu ialah para gubernur (bekas)  pedagang kaya  yang cakap memerintah dari keluarga-keluarga Quraisy dan sekutu mereka dari Taif (klan Tsaqif), yang kebanyakan  mereka itu  terdiri  dari  kaum  Umawi.  Mereka memegang pemerintahan menghadapi  kecenderungan  kesukuan  dan  semangat  kedaerahan
orang-orang  Arab,  dan  kekuasaan  mereka  itu  diawasi  oleh semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam  telah  menjadi ciri utama sifat ke-Arab-an mereka.
 
Sudah  sejak  masa  Umar  banyak orang Arab Quraisy yang kaya, yakni  para  pedagang  Mekkah,  yang  pergi  ke  daerah-daerah taklukan,  terutama  Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha perdagangan mereka di  sana.  Ini  acapkali  menimbulkan  rasa keberatan  dari  pihak  orang-orang  Arab  yang  kurang mampu, khususnya orang-orang Arab setempat.  Utsman  pun  tidak  bisa mengatasi   situasi   warisan   pendahulunya   itu,   meskipun kebenarnya  ia  berhasil  sedikit  mengubah   keadaan   dengan mengarahkan  sebagian  investasi  dari  Lembah  Mesopotamia ke Hijaz,  berbentuk  proyek-proyek  irigasi  di  berbagai  oase. Kebijaksanaan  Utsman  itu  membantu  mengurangi kecenderungan emigrasi ke luar  Hijaz  dan  memperkuat  kekuasaan  pusat  di Madinah  secara fisik (sumber daya manusia). Kebijaksanaan itu juga mengurangi ancaman bahwa budaya  Arab  akan  terserap  ke dalam   budaya   daerah-daerah   Bulan  Sabit  Subur  (Fertile Crescent, daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan  sabit dari  pantai  timur  Laut  Tengah  naik  ke  utara,  ke daerah pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang  ke  timur  dan kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia). 
 
Tetapi kebijaksanaan Utsman yang yang menghambat emigrasi dari Hijaz itu membuatnya tidak  populer  di  kalangan  orang-orang Makkah. Ini tumbuh menjadi faktor penunjang bagi protes-protes yang mulai dilancarkan para tentara. (Harus diingat bahwa pada saat  itu semua orang muslim adalah warga negara dan sekaligus tentara). Apalagi setelah  ekspedisi  menaklukkan  Iran  telah rampung dan tuntas, ketidakpuasan di kalangan tentara terhadap
kebijakan Utsman semakin keras dinyatakan orang, karena  tidak lagi  bisa  dialih-arahkan  kepada kegiatan-kegiatan ekspedisi militer. Suatu kerusuhan muncul di Kufah, sebuah kota garnizun yang  didirikan  Umar  dan kerusuhan itu harus ditindas dengan penumpahan darah. Para gubernur yang melanjutkan tugas  mereka semenjak  diangkat  oleh  Umar  banyak yang cakap dan sebagian dari  mereka  diterima  baik  oleh  penduduk  setempat.   Maka penduduk  Syria  puas dengan Mu'awiyah, Basrah dengan Ibn Amir (yang  di  waktu  damai  giat  berdagang  untuk   mengumpulkan kekayaan  tapi  bertindak  cukup  adil  karena ia menganjurkan orang lain agar berbuat serupa  pula).  Tetapi  gubernur  yang ditempatkan  di  Mesir  (di  kota Fusthath, Kairo lama), tidak pernah memuaskan orang-orang setempat, karena dipandang kurang menunjukkan ukuran moral yang tinggi (konon suka minuman keras
dan mabuk). Demikian pula Kufah, tidak ada  kebijakannya  yang dapat diterima di sana, bahkan gubernurnya pun ditolak orang.
 
Utsman dikenal sebagai amat berjasa menyatukan ejaan penulisan al-Qur'an dengan  memerintahkan  untuk  membakar  semua  versi ejaan  yang lain (sehingga sampai sekarang ejaan standar Kitab Suci agama Islam  itu  disebut  ejaan  atau  "rasm  Utsmani").
Penyatuan  ejaan  al-Qur'an  itu amat prinsipiil sebagai dasar penyatuan orang-orang Arab Muslim khususnya  dan  semua  orang Muslim  umumnya.  Namun,  sesungguhnya, usaha Utsman itu tidak berjalan tanpa  tantangan.  Ibn  Mas'ud,  salah  seorang  ahli membaca   al-Qur'an   yang   amat   terkenal   dan   disegani, berkedudukan  di  Kufah,  sempat  menunjukkan  perasaan  tidak sukanya kepada kebijakan Utsman. Menurut para ahli akhirnya ia patuh juga kepada  keputusan  Khalifah.  Tetapi  kejadian  itu tetap    meninggalkan    bekas,   sekalipun   akhirnya   dapat dinetralisasikan melalui usaha akomodasi berbagai versi bacaan Kitab  Suci  dalam  bentuk  pengakuan keabsahan "bacaan tujuh" Al-qira'at al-sab'ah.
 
Kebijaksanaan Utsman berkenaan dengan Kitab Suci  itu  sungguh patut  dipuji.  Dan  jika  ummat  Islam  sesudah itu menikmati kesatuan penulisan dan pembukuan Kitab Suci-nya yang tidak ada bandingnya  dalam  sistim  kepercayaan atau faham lainnya mana pun juga, maka sebagian besar keberuntungan itu adalah  berkat jasa   Utsman   ibn   Affan  yang  bergelar  Jami'  al-Qur'an. (Pengumpul al al-Qur'an). (Bahkan  kaum  Syi'ah  yang  dikenal sangat anti Utsman itupun akhirnya juga mengakui jasa khalifah ketiga ini, dengan menyesuaikan dan mengikuti  cara  penulisan Kitab Suci menurut ejaan Utsman, sekalipun mereka agaknya juga
mempunyai jalur penuturan dari Ali ibn  Abi  Thalib,  handalan utama mereka dalam masalah periwayatan). [10] Dan  seperti  hampir  semua  kebijaksanaan  Utsman  yang lain,
tindakannya untuk menyatukan sistem  penulisan  al-Qur'an  itu pun   dapat   dikatakan   sebagai  kelanjutan  kebijakan  Umar sebelumnya.
 
Salah satu kebijakan lagi  dari  Umar  yang  dilanjutkan  atau diwarisi  oleh  Utsman  ialah  yang  berkenaan  dengan  sistem keuangan  negara.   Umar   disebut   sebagai   "yang   pertama menciptakan   lembaga-lembaga"   (Arab:   awwal   man  dawwana al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem penggajian  tentera dengan  besar  dan  kecilnya  gaji  (sesungguhnya  lebih tepat disebut lumpsum) itu menurut tingkat kepeloporan seseorang dan
jasanya  dalam  agama  Islam.  Maka  untuk menunjang sistemnya inilah antara lain Umar  tidak  mengizinkan  tentera  memiliki tanah-tanah  produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah mereka bebaskan,  khususnya  di  kawasan  Bulan  Sabit  Subur. Kebijakan  Umar  di  bidang  ini  dan di bidang finansial pada umumnya  sangat  dihargai  oleh  para   ahli   sejarah   Islam (khususnya,  tentu  saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para ahli bukan-Muslim sebagai suatu tindakan  seorang  genius  dan bijak.  (Juga  Umarlah  yang  memprakarsai  pendirian  lembaga keuangan yang dikenal dengan  bayt  al-mal  --harfiah  berarti "rumah  harta").  Tapi  ketika  Utsman  mewarisinya,  ternyata sedikit  demi  sedikit  sistem  Umar  itu  mulai   menunjukkan  segi-segi   kelemahannya.   Ditambah   lagi,   seperti   telah disinggung, Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti pendahulunya  itu.  Tentera  di  berbagai  kota garnizun mulai merasakan tidak adilnya penghasilan  daerah  mereka  dikontrol dan  dibawa  ke  Madinah  sebagai  fay' (milik negara). Mereka
menginginkan untuk secara langsung  mengontrol  dan  menguasai penghasilan  daerahnya  masing-masing  itu.  Ketidakpuasan ini masih harus ditambah, sebagaimana  telah  dikemukakan,  dengan gejala-gejala  nepotisme  Umawi  yang semakin terasa pada masa
Utsman, khususnya  dalam  bidang-bidang  keuangan  ini.  Maka, mengulangi perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah pertanian daerah taklukan itu, [11] para  tentera  menghendaki agar  tanah-tanah  produktif  itu  langsung  dibagikan  kepada tentera penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari  pengawasan Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi berbeda dengan pandangan Umar yang tidak melihatnya demikian.
 
Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap  Utsman  itu  yang jelas  sebagian bukan karena kesalahan Utsman sendiri berakhir dengan  pembunuhan  Khalifah.  Dan  dengan  begitu  dimulailah perang   saudara  selama  lima  tahun,  hanya  selang  sekitar seperempat abad sejak wafat Nabi.
 
GOLONGAN-GOLONGAN KHAWARIJ, SYI'AH DAN SUNNAH
 
Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah  permulaan,  dan  hanyalah salah  satu,  dari  deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya kepada terjadinya skisme dalam Islam.  Segera  setelah  Utsman terbunuh,  maka,  menurut  sementara  ahli sejarah Islam, para bekas  pembunuh  itu  atau   simpatisan   mereka   mensponsori pengangkatan   Ali   (ibn   Abi   Thalib)   sebagai  khalifah, menggantikan Utsman. Kebetulan Ali yang adalah  kemenakan  dan menantu  Nabi,  serta  pelopor mula pertama dalam Islam, telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang  (warrior)  yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh
kesalihan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.
 
Bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak  disepakati  oleh semua  orang,  ketokohan  Ali  membuatnya paling tepat sebagai pengganti  (khalifah)  Nabi,  tidak  hanya  sekarang   sesudah Utsman,  tapi  sejak  wafat Nabi sendiri. Tentang mengapa yang terjadi ialah pengangkatan Abu Bakr, seorang Sahabat Nabi yang amat  dekat dan senior, serta mertua beliau (ayahanda A'isyah, salah seorang isteri beliau  yang  amat  dicintainya)  sebagai imam  (imam,  artinya  orang  yang  berdiri  di  depan, yakni, memimpin, khususnya dalam shalat berjama'ah)  ummat  Islam  di Madinah itu, adalah bahan kontroversi yang serius, yang sampai sekarang  masih  menjadi  bahan  pembicaraan.  Tetapi  agaknya penunjukan Abu Bakr, dengan pensponsoran kuat dari Umar, lebih mirip tindakan darurat (emergency), tercermin dari  penggunaan istilah  Khalifah (pengganti) olehnya untuk tugasnya itu. Baru di masa Umar sifat kedaruratan itu mulai  hilang,  dan  tumbuh kesadaran  padanya  akan  sifat  kepermanenan jabatan pemimpin ummat Islam. Maka Umar, untuk sebutan  resmi  jabatannya  itu, memilih  nama  atau  gelar  Amir  al-Mu'minin, yakni, Komandan Orang-orang Beriman, karena memang  program  utama  masyarakat Islam  waktu itu ialah melancarkan ekspedisi-ekspedisi militer ke luar Jazirah Arabia.  Program  itu  sendiri  konon  sebagai kelanjutan  rintisan  dan  pelaksanaan  pesan  Nabi  menjelang wafat.
 
Perkembangan pranata politik Islam pada saat pengangkatan  Ali ialah  bahwa  sistem  kekhalifahan  telah  berjalan dan tumbuh selama  hampir  seperempat  abad,  lengkap  dengan   berbagai pelembagaannya   yang   sebagian   besar   sebagaimana   telah disinggung, diletakkan oleh Umar.  Maka  kekhalifahan  sebagai saat  itu  telah menjadi terlalu amat penting untuk dilewatkan begitu  saja,  dan  di  hadapan  berbagai  kritis  yang  mulai mengancam  ummat  Islam  lembaga  itu  menjadi  rebutan  dalam tema-tema "to be or not to be."  Telah  disebutkan  bahwa  Ali sebenarnya  adalah  tokoh  yang  amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya  itu  menjadi  problem  karena kenyataan  bahwa  sejak  semula  ia, dibawa oleh sikapnya yang salih dan populis, menunjukkan simpati  kepada  para  pemrotes kebijaksanaan   Utsman,   meskipun  jelas  mustahil  mendukung membunuhannya. Maka suasana  curiga  kepada  Ali  dari  banyak pihak menjadi tak terhindarkan. Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam  reaksi-reaksi  tidak  setuju  kepada  pengangkatan  Ali sebagai   khalifah,  tidak  saja  dari  kalangan  yang  secara langsung mempunyai  hubungan  darah  dengan  Utsman,  Khalifah terbunuh,  yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek  Mu'awiyah)  tetapi  juga dari  tokoh-tokoh  seperti A'isyah, puteri Abu Bakr dan isteri Nabi yang sangat dicintainya,  juga  al-Zubayr  ibn  al-Awwam, seorang  anggota  keluarga  Abu  Bakr. Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga,  tuntutan  untuk  pengusutan
pembunuhan  Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak abu Sufyan,  musuh  utama Nabi  sampai  penaklukan  Mekkah),  dan  dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash, gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.
 
Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap 'Ali  itu  tidak saja  membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan  sedikit  chaotik.  Reaksi-reaksi  itu segera  menyeret  masyarakat  Islam ke dalam kancah peperangan
sesama mereka, dengan korban jiwa  yang  tidak  sedikit.  'Ali yang  seorang  ahli  perang  (warrior)  yang  cakap dan berani agaknya dengan mudah  mengalahkan  A'isyah  dan  al-Zubayr  di pertempuran   dekat   Basrah  yang  kemudian  dikenal  sebagai "Peristiwa  Onta"  (karena  A'isyah  memimpin  pasukan  dengan menunggang  onta,  dan  onta  itu terbunuh dalam pertempuran). Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan
pada   ummat  Islam  yang  sampai  sekarang  belum  seluruhnya tersembuhkan.
 
Yang lebih parah, dengan akibat yang amat  jauh  dalam  bidang sosial-keagamaan,  ialah  permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya,  Ali  agaknya  akan akhirnya  memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah. Tetapi mungkin  sebagai  gabungan   antara   kesalihan   yang   lebih  mementingkan  perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik  Mu'awiyah  dan  para
pendukungnya,  Ali  secara  iktikad  baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya  ialah  bahwa  ia  justru kehilangan  dukungan  dari  para  sponsornya  yang  gigih  dan militan, yang sejak semula menginginkan  penyelesaian  militer terhadap  Mu'awiyah.  Mereka  ini  kemudian membentuk kelompok ketiga, dan  menamakan  diri  mereka  kaum  al-Syurat,  yakni, "orang-orang  yang menjual diri (kepada Allah)," dengan secara total menyerahkan  dan  mengorbankan  diri  untuk  agama  yang benar.  (Sebutan  ini  merujuk  kepada  firman  Allah, "Dan di antara manusia ada  yang  'menjual'  dirinya  demi memperoleh
ridla   Allah.  Dan  Allah  itu  Maha  Penyantun  kepada  para hamba-Nya." [12]

Maka sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran  tentang hakikat   dan  sifat  gerakan  mereka,  yaitu  gerakan  dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok  dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak terhindarkan  membawa  mereka  kepada  situasi  mudah   sekali terpecah-belah   dan   saling   bermusuhan,   untuk   akhirnya melenyapkan  diri  mereka  sendiri.  Egalitarianisme   radikal
kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosialpolitik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita  Islam  seperti diletakkan   oleh  Nabi  dan  merupakan  kelanjutan  cita-cita universal  dalam  tradisi  bangsa-bangsa  Irano-Semitik  sejak ratusan   tahun,   dan   yang   dengan  kuat  sekali  mewarnai pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.  Tetapi karena    dibawakan   dengan   militansi   yang   hampir   tak terkendalikan,  maka  konsep-konsep  itu  yang   antara   lain melahirkan  doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman  yang
benar  telah  menjerumuskan  masyarakat  Islam  kepada suasana "semua  lawan  semua,"  tanpa  ada  pihak   yang   benar-benar diuntungkan. Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka  unggulkan
dengan  penuh  antusiasme,  namun akhirnya mereka habisi dalam suatu pembunuhan politik.
 
Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong  tatanan  mapan, mereka   kemudian   lebih   dikenal   sebagai   kaum  Khawarij (pemberontak).  (Mereka  juga  dinamakan  kaum  al-Haruriyyun, nisbat  kepada  oase  al-Harura  dekat  Kufah,  tempat  mereka berpangkalan).  Seperti  telah  dikatakan  tadi,  mereka   ini kemudian    mengalami    penghancuran   diri   sendiri   (self annihilation) justru karena watak mereka yang sangat  akstrem. Akibatnya  ialah  bahwa  mereka  hampir-hampir  praktis  tidak tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini. 
 
Tetapi sebenarnya  hanya  secara  fisik  mereka  boleh  dikata terhapus  dari  sejarah.  Sedangkan  secara  doktrinal, justru banyak sekali faham-faham keagamaan yang kini  berkembang  dan mapan  di  kalangan  kaum  Muslimin  dapat  ditelusuri kembali sebagai asal  dari  problematika  kaum  Khawarij.  Bahkan  ada tanda-tanda  bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu  muncul  dalam  sistem  kalam  kaum  Mu'tazilah,   kini
menunjukkan  daya  tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim "liberal" (dalam  arti  lebih  banyak  menunjukkan sikap  kritis  dan  mungkin  ingin lepas dari kukungan tatanan
mapan sosial-keagamaan yang ada).
 
Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya Ali  oleh  kaum  Khawarij  ialah pengakuan dan dukungan hampir universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah  di  Damaskus, sekurang-kurangnya  secara  de  facto.  Terutama pada tahun 41 Hijri, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan  kembali kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai "Tahun  Persatuan"  (AmalJama'ah).
[13]
 
Dengan   modal   persatuan  itu  Mu'awiyah  dapat  melanjutkan 
program-program  ekspansi  militer  dan  politik  yang  sempat
tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah. (Mu'awiyah ternyata
menunjukkan kecakapan memerintah  yang  mengesankan,  sehingga
para  ahli  sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam
yang kedua terbesar, yakni,  sesudah  Umar  ibn  al-Khaththab.
Bahkan  cukup  menarik  bahwa  ibn Taymiyyah, dalam polemiknya
dengan kaum Syi'ah, masih  sempat  menunjuk  kepada  kenyataan
bahwa  sementara  Ali  mendapat  dukungan bagi kekhalifahannya
hanya dari sebagian umat Islam,  Mu'awiyah  mendapat  dukungan
yang   boleh   dikata  universal.  Ini,  dalam  pandangan  Ibn
Taymiyyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah  atas
Ali,  meskipun  ia  tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali
atas lawannya itu). [14]
 
Tetapi setelah Mu'awiyah  meninggal,  keadaan  kembali  kepada
kekacauannya  yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil
risiko yang dapat mengganggu  "keseimbangan  rawan"  (delicate
balance)  susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh
dengan  banyak  pengorbanan  itu,  sudah  sejak  semula  dalam
kekhalifahannya  Mu'awiyah  meminta agar masyarakat menyetujui
untuk mengangkat Yazid, anak  sendiri,  sebagai  penggantinya.
Sebagian  besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid
pun dinyatakan sebagai  Khalifah.  Tetapi  kekhalifahan  Yazid
yang  memang  tidak  banyak  memenuhi  gambaran  ideal seorang
penguasa  Muslim  itu  segera  mengundang  munculnya   kembali
pertentangan-pertentangan laten.
 
Tantangan  terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung
Ali  yang  memang  nampak  selalu  siap   menggunakan   setiap
kesempatan.  (Sesungguhnya  mereka  berharap, sepeninggal Ali,
agar  Hasan,  anaknya,  mempertahankan   klaim   kekhalifahan,
menghadapi  Mu'awiyah  di  Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan
mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim  itu
dan  hidup  hampir  menyendiri  secara  damai di Madinah. Maka
harapan para  pendukung  Ali  kini  ditujukan  kepada  Husayn,
saudara  Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah,
Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria  datang  menyerbu,  banyak
kalangan  penduduk  Kufah  sendiri  yang  menarik  dukungannya
kepada Husayn, setelah berhasil dibujuk oleh  gubernur  Syria.
Husayn  dengan  kekuatan  tenteranya  yang kecil menolak untuk
menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir  Karbala,
dekat  Kufah.  Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husayn,
putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam
dan tragis.
 
Terbunuhnya  Husayn,  seperti  terbunuhnya  Utsman sebelumnya,
merupakan  peristiwa  terpenting  dalam  fitnah  kedua,   yang
mempunyai   dampak   amat   luas   dan  mendalam  pada  sistem
sosial-keagamaan Islam sampai sekarang. Adalah sejak peristiwa
Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal
dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya  lengkapnya  ialah
syi'ah  Ali.  "Partai  Ali"). Dengan menggunakan sentimen umum
terhadap kematian tragis Husayn,  kaum  Syi'ah  perlahan-lahan
mengkonsolidasikan  diri dan mengembangkan pandangan-pandangan
sosial-politik  keagamaan  yang  kelak  menjadi  dasar  sistem
doktrinal Syi'isme.
 
Tetapi  Yazid  tidak  hanya  menghadapi  tantangan  dari  kaum
Syi'ah.  Di  Makkah  bangkit  Abdullah  ibn   al-Zubayr   (ibn
al-Awwam)  yang  ayahnya  dahulu  pernah menentang Ali bersama
A'isyah dan kalah kini bangkit menentang  Yazid  dengan  cukup
efektif.  Yazid  tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa
Damaskus  ini  meninggal  sesudah  menjabat  sebagai  khalifah
selama  sekitar  tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar
umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan  Makkah  sebagai
ibukota.
 
Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar
kota Makkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah
Arabia,  khususnya  di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan
berada  di  tangan  kaum  Khawarij  yang  seperti  selama  ini
melancarkan   perang  "hit  and  run"  terhadap  Abdullah  ibn
al-Zubayr.
 
Sebenarnya kaum  Khawarij  ini  hampir  berhasil  menghidupkan
beberapa  nilai  yang  diajarkan  oleh  Nabi,  khususnya faham
persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka  telah  membuat
mereka  termasuk  yang  pertama dalam sejarah Islam yang tidak
membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab.  Dan
politik  mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap
kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam
otonomi  penuh  mengurus  kepentingan  mereka  sendiri,  telah
membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.
 
Tetapi kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan  dari  kalangan
Muslim  yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka
untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang
disusun  seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah)
telah  mengundang  antipati  orang-orang  kota.  Ini   membuat
kekuasaan  kaum  Khawarij,  meskipun  selama  fitnah kedua ini
menguasai teritorial yang paling luas, tidak  pernah  efektif.
Apalagi,  setelah  secaara  singkat menjadi pendukung Abdullah
ibn al-Zubayr pada saat permulaan penampilan  khalifah  Makkah
itu,  kaum  Khawarij  terpecah  menjadi  dua, yang berbasiskan
Iran, yang dikenal sehagai  kaum  Azariqah,  menganggap  siapa
saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan
akibat hukum bunuh yang mereka  laksanakan  secara  konsekuen.
Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubayr yang
berpangkalan di Basrah, Irak.
 
Selain menghadapi kaum Khawarij,  Ibn  al-Zubayr  masih  harus
menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang
tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah  sekali  lagi
mencoba  memobilisasi  diri dan menemukan figur sentral mereka
pada  putera  Ali  yang   lain,   yaitu   Ibn   al-Hanafiyyah.
Pemberontakan  kaum  Syi'ah  ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi
Ubayd. Kaum Syi'ah, sama halnya  dengan  kaum  Khawarij,  juga
ingin  menegakkan  prinsip  persamaan  manusia,  namun  dengan
cara-cara yang lebih moderat. Mereka  dengan  tegas  mengambil
sikap   yang   menyamakan  status  antara  orang-orang  Muslim
bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi  egalitarianisme  mereka
ini  justru  membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang
kemudian berpaling melawan mereka. Tantangan orang  Kufah  ini
mempermudah  pemberontakan  kaum  Syi'ah untuk dipatahkan oleh
Ibn al-Zubayr dengan menggunakan kekuatan tentara dari  Basrah
yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.
 
Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah
tidak berarti bahwa mereka  benar-benar  bebas  dari  oposisi.
Kaum  Khawarij  dan  Syi'ah  itu  tetap merupakan ancaman yang
laten. Sementara itu, di utara,  di  Syria,  kekuatan-kekuatan
oposisi  kelanjutan  kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri.
Kaum Umawi yang berkoalisi dengan  kaum  Banu  Kalb  (sandaran
utama   kekuatan   Arab  Syria  bagi  kaum  Umawi  sejak  masa
Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam,  sepupu  Mu'awiyah,
sebagai  Khalifah.  (Adalah  Marwan  ini yang dahulu bertindak
sebagai penasehat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan  didakwa
sebagai  dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang
ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang  kemudian
membangkitkan   amarah   mereka   dengan   akibat   pembunuhan
khalifah). Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di  Syria  sebagai
salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang,
sehingga Mesir pun tidak  lama  jatuh  ke  tangan  Marwan  dan
anaknya,  Abd al-Malik. Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh
ke tangan kaum Umawi, yang berarti  hilangnya  basis  dukungan
bagi  Ibn  al-Zubayr  di  Mekkah.  Kota-kota garnizun di bawah
kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini  lebih  efektif  dalam
melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan
mereka dibawah kepemimpinan Ibn al-Zubayr yang  lunak.  Hingga
akhirnya  kaum  Umawi  berhasil merebut Makkah sendiri (Ka'bah
sempat hancur dan harus dibangun  kembali  karena  pertempuran
memperebutkan  kota  suci  itu), dan di situ Khalifah Abdullah
ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) terbunuh.
 
Kini kekhalifahan sepenuhnya pindah ke tangan anak Marwan, Abd
al-Malik (692-705), yang oleh Hodgson disebut sebagai khalifah
Islam  terbesar  ketiga  setelah  Umar  dan  Mu'awiyah.   Segi
kebenaran  Abd  al-Malik  ialah  bahwa  ia berhasil mengakhiri
fitnah (kedua), dengan melakukan  berbagai  akomodasi.  Dengan
tegas  Abd  al-Malik  mendasarkan  sistemnya  di  atas  konsep
kekuatan (force). Maka negara menjadi negara  kekuasan  (macht
staat), dan faham keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas
siapa yang  unggul  melalui  kekuatan  itu.  Juga  penggantian
kekhalifahan  dengan  tegas didasarkan kepada pewarisan, dalam
bentuk  suksesi  melalui   penunjukan   oleh   khalifah   yang
terdahulu.
 
Kebesaran  Abd  al-Malik  ibn  Marwan yang lain terletak dalam
kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam  terhadap  yang
lain.  Di  sisi  lain tindakannya bisa disebut sebagai sejenis
nasionalisme Arab. Tetapi ketika Abd al-Malik  mengganti  mata
uang  logam  Yunani  yang  bergambar kepala raja mereka dengan
mata uang logam khas Arab  dan  Islam  dengan  simbol  kalimah
syahadat, maka efeknya ialah penegasan kedaulatan Islam.
 
Berbeda  dengan  pandangan  keagamaan kaum Khawarij dan Syi'ah
pandangan keagamaan kaum Umawi memang  sangat  berat  berwarna
ke-Arab-an.  Bagi  mereka  Islam  adalah lambang Arabisme yang
dipersatukan, dan berfungsi terutama  sebagai  kode  etik  dan
ajaran  disiplin  bagi  kekuatan  elite penakluk dan penguasa.
Berdasarkan pandangannya itu Abd al-Malik  melihat  pentingnya
usaha  lebih  lanjut  mempersatukan  orang-orang Arab di bawah
bendera Islam melawan kecenderungan kesukuan yang sampai  saat
itu  masih  menunjukkan  potensi  latennya.  Solidaritas  Arab
berdasarkan  Islam   melawan   kecenderungan   kesukuan   lama
(Jahiliyah)  ini  kemudian  menjadi dasar ide tentang Jama'ah,
suatu  konsep  atau  idiologi  yang   meletakkan   nilai-nilai
persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan dan bahkan di
atas faham-faham keagamaan faksional.
 
Sebagai dukungan asasi bagi  konsep  Jama'ah-Nya  itu,  dengan
dibantu  oleh  keahlian  dan  kesarjanaan al-Hajjaj ibn Yusuf,
bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan Banu Tsaqif  (yang
sebelumnya  telah  membantu  menaklukkan  Mekkah, membunuh Ibn
al-Zubayr,  dan  menghancurkan   Ka'bah   serta   membangunnya
kembali),  Abd  al-Malik  meneruskan usaha mempersatukan ummat
Islam berkenaan dengan Kitab Suci mereka,  dengan  memperbaiki
cara  penulisannya  dan  memastikan  harakat bacaannya melalui
penambahan beberapa diakritik dan vokalisasi  (harakat).  [15]
Dampak  amat  penting  tindakan ini ialah penyatuan yang lebih
meyakinkan seluruh kekuatan Islam  (dan  Arab),  yang  menjadi
dasar   kebesaran   kekuasaan  Umawi  (lebih  tepat,  Marwani,
sebagaimana sebutan pilihan  sementara  ahli  sejarah  Islam).
Melalui   kebijaksanaan  Abd  al-Malik  ibn  Marwan  ini  maka
al-Qur'an  mempunyai  fungsi  lain,  yaitu   sebagai   lambang
persatuan  dan  kesatuan (Jama'ah) yang tak tergugat. Kemudian
dorongan untuk memahami lebih baik dan melaksanakan  ajarannya
secara lebih tepat tumbuh dengan pesat di kalangan umum.
 
Maka  dalam  usaha  memahami  lebih  baik  Kitab  Suci itu dan
melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih
lagi  para  penguasa  Umawi, semakin banyak merasakan perlunya
bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa  lalu  Islam,
yang  sebenarnya belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu
Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi
sendiri.  Tetapi,  sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari, masa Umar ibn  al-Khathab  nampak  paling  banyak
dijadikan  rujukan.  Maka  kaum  Umawi  di Damaskus itu, dalam
masalah pemerintahan menurut pengertian  seluas-luasnya,  jika
pemerintahan   itu   harus   dijalankan   dengan   norma-norma
keislaman, banyak melanjutkan rintisan  dan  percontohan  Umar
ibn  al-Khathab,  dengan  berbagai modifikasi dan penyesuaian.
Karena  itu  ketika  para  qadli  sebagai   pemegang   semacam
kekuasaan  yudikatif  di  daerah-daerah  (Abd  al-Malik adalah
orang  pertama  melembagakan  jabatan   qadli   itu),   banyak
referensi  dilakukan  kepada  preseden  yang ada dalam sejarah
Islam.  Maka  dengan   begitu   secara   berangsur   tumbuhlah
yurisprudensi  Islam,  yang kelak melahirkan disiplin terpisah
dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh. [16]

Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk
menetapkan  hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang
otoritas tradisi (sunnah) yang  sah  (valid).  Maka  perhatian
kepada  cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa
lalu itu, khususnya tentang Nabi  sendiri  dan  para  Sahabat,
tapi  juga  tentang  tokoh-tokoh  generasi  ketiga umat Islam,
menjadi semakin besar. Ini  semua  kelak  disistematisasi  dan
dikritik,  untuk  selanjutnya  dikodifikasi, oleh para sarjana
hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.
 
Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan  untuk  mencatat
hadits  telah  terjadi  sejak  masa sangat awal sejarah Islam,
rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi  sejarah  mencatat
bahwa  dorongan  paling  kuat  ke  arah  sana itu dimulai oleh
Khalifah Umar  ibn  Abd  al-Aziz  (ibn  Marwan)  yang  dikenal
sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang
kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.
 
Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang  sudah
ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan
Abd  al-Malik  ibn  Marwan.  Dorongan  yang  amat  kuat  untuk
menyudahi  berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan
penuh trauma itu telah mengharuskan kaum  Marwani  atau  Umawi
untuk   menunjukkan  sikap-sikap  yang  lebih  akomodatif  dan
kompromistis. Dalam  rangka  ini,  tindakan  terpenting  ialah
mengakui  Ali  sebagai  khalifah yang sah, pada urutan keempat
(artinya, Utsman, anggota-anggota  klan  mereka,  tetap  lebih
unggul   daripada   Ali,   namun  Ali  lebih  unggul  daripada
Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi  musuh  Ali).
Dengan  begitu  kaum  Marwani  atau  Umawi meletakkan landasan
dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di  situ  setiap
kelompok  memperoleh  kehormatannya,  sedikit atau pun banyak.
Tradisi ini berkembang dan  tumbuh  kuat,  dan  menjadi  dasar
faham  yang  kini  merupakan  anutan  terbesar  kaum Muslim di
dunia, yaitu faham yang menggabungkan antara ideologi  Jama'ah
(persatuan  dan  kesatuan)  dan  ideologi  Sunnah  (faham yang
memandang otoritas masa lalu  dan  tradisi  yang  sah  sebagai
bahan  rujukan),  maka  disebut  Ahl  al-Sunnah wa 'l-Jama'ah,
biasa disingkat dengan  Ahl  al-Sunnah,  lebih  singkat  lagi,
golongan Sunni.
 
PENUTUP
 
Dikarenakan terbatasaya ruang dan sifat pembahasan, yang dapat
dikemukakan di atas hanyalah masalah-masalah mendasar  tentang
faham-faham  pecahan  dini  Islam,  yaitu Khawarij, Syi'ah dan
Sunnah. Masing-masing pecahan itu sesungguhnya pecah  lagi  ke
dalam  berbagai kelompok, kemudian dibarengi atau disusul oleh
munculnya berbagai pecahan yang lain lagi.
 
Uraian di atas,  meskipun  jauh  dari  sempurna  dan  lengkap,
diharap   dapat   memberi   gambaran  (dan  kesadaran)  betapa
relatifnya pangkal skisme dalam Islam  (karena  berakar  dalam
pertikaian sosial-politik yang sama sekali tidak mungkin lepas
dari  konteks  ruang   dan   waktu   dalam   pengertian   yang
seluas-luasnya).   Maka  dengan  jelas  dapat  dilihat  betapa
absurd-nya memutlakkan  kebenaran  suatu  aliran  paham  dalam
agama   (Islam).  Juga  bisa  dilihat,  betapa  problematisnya
kekhalifahan dan kedudukan seorang khalifah, lebih-lebih  lagi
jika  kita  perhitungkan  pandangan  semua  kelompok  mengenai
masalah kekhalifahan itu.  (Patut  diperhatikan,  betapa  kaum
Syi'ah  cenderung  hanya mengakui Ali, kaum Khawarij hanya Abu
Bakr dan Umar, kaum Umawi lama hanya Abu Bakr,  Umar,  Utsman,
plus  Mu'awiyah, kaum Marwani atau Umawi, sama dengan golongan
Sunni, mengakui semuanya  namun  dengan  mengunggulkan  Utsman
atas  Ali  dan  Ali  atas  Mu'awiyah. Dan setiap kelompok itu,
dengan sendirinya, mempunyai sistem dan teori pembenaran  bagi
pandangan   masing-masing,   tidak   jarang  dinyatakan  dalam
gaya-gaya absolutistik dan "pasti benar").
 
Maka kesimpulannya, mungkin  yang  diperlukan  sekarang  ialah
mengembangkan  dasar  fikiran  nonsektarianisme,  dan  melihat
sektarianisme  sebagai  jenis   kemusyrikan,   sesuai   dengan
peringatan,  "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik,
yaitu mereka yang memecah belah agama mereka kemudian  menjadi
bersekte-sekte, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada
mereka" (yakni, antara  lain,  mengaku  benar  sendiri).  [17]
Sebenarnya   semangat   non-sektarianisme  inilah  salah  satu
pandangan dasar  Islam  yang  dibawa  Nabi,  karena  mengambil
pelajaran  dari  pengalaman  agama-agama  sebelumnya,  sebagai
tercermin dalam peringatan  yang  lain,  "Sesungguhnya  mereka
yang    memecah    belah   agama   mereka   kemudian   menjadi
bersekte-sekte, engkau (Muhammad) tidak sedikit  pun  termasuk
mereka." [18] Semangat non-sektarianis itulah salah satu makna
yang dimaksud bahwa agama Tawhid Nabi  Ibrahim  adalah  hanif,
yakni, sebagai jawab kecenderungan alami manusia untuk memihak
yang  baik  dan  benar:  "Maka  ikutilah  olehmu  semua  agama
Ibrahim,  secara  hanif."  [19]  Agaknya  kita semua ditantang
untuk memerangi sektarianisme yang kini masih menggejala.
 
CATATAN
 
 1. QS. al-Mu'minun/23:51-52.
 
 2. QS. al-Baqarah/2:213.
 
 3. QS. Hud/11:118-119.
 
 4. QS. Yunus/10:19..tb5.tb5
 
 5. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and Commentary
    (Jeddah: Dar al Qibla, 1403 H), h. 488, catatan 1407.
 
 6. Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan
    pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis bahwa justru
    hadits ini pun diperselisihkan, baik dari kesahihan sanadnya
    maupun dari segi lafalnya yang lebih persis. Lafal lain
    terbaca, misalnya, Ikhtilaf al-a'immah rahmah li al-ummah
    (Perbedaan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat). Tapi
    betapa pun diperselisihkan hadits itu nampaknya banyak
    dipercayai para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi
    pengantar dengan semangat hadits itu untuk penerbitan risalah
    Ibn Taymiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl
    al-Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan umat dalam ibadat dan
    Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo: Mathba'at
    al-Manar, 1326 H.).
 
 7. QS. al-Ma'idah 5:51.
 
 8. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penghindaran
    dari kenyataan pahit dalam sejarah Islam, salah satu unsur
    dalam faham Sunni ialah semacam konsensus untuk tidak
    membicarakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang menyangkut
    peperangan dan perebutan posisi politik yang terjadi antara
    para Sahabat Nabi sekitar seperempat abad sesudah wafat
    beliau. Terdapat pandangan bahwa kalangan "awam" sebaiknya
    tidak membicarakan hal itu. (Lihat, misalnya, H. Muhammad
    Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-Abid ala Jawharat
    al-Tauhid [tanpa data penerbitan], hh.241-242).
 
 9. Banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk
    pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang
    menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh
    at-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah
    bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang cukup
    jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Tapi uraian berikut
    hanyak dibuat dengan bersandar kepada kepada Marshall G.S.
    Hodgson, The Venture of Islam, tiga jilid (Chicago, The
    University of Chicago Press, 1974), jil. 1, passim.
 
10. Bukan saja samasekali tidak ada perbedaan antara al-Qur'an
    pada kaum Sunni dan al-Qur'an pada kaum Syi'i. Bahkan
    al-Qur'an kaum Syi'i pun ditulis dengan mengikuti ejaan atau
    rasm Utsmani, baik yang diterbitkan pada masa pemerintahan
    Syah Reza Pahlewi maupun yang diterbitkan pada masa
    pemerintahan Islam revolusioner (Khumaini). Yang pertama
    diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat Intisyarat Amir
    Kabir, Teheran, 1343 H./1965 M. (Meskipun tidak disebutkan
    dalam pengantar atau lainnya bahwa mushaf itu ditulis dengan
    ejaan Utsmani, namun kenyataannya ia persis sama dengan mushaf
    ejaan Utsmani). Yang kedua diwakili oleh mushaf terbitan
    Mu'assasat Intisyarat Shabirin, Teheran, 1405 Hijri qamari
    (lunar) atau 1363 Hijri Syamsi (solar). Dalam kata penutup
    terbitan mushaf ini (h. 983) ditegaskan oleh penerbit bahwa
    mushaf itu menggunakan ejaan yang paling asli dan paling
    aktual, yang dikenal dcngall "rasm al-mushaf" atau "rasm
    Utsmani." Bahkan qira'at atau bacaannya disebutkan, seperti
    pada mushaf- mushaf Sunni, sebagai berasal dari riwayat Hafsh
    dari Ashim, "yang dari jalur lain dari Imam Ali ibn Abi
    Thalib."
 
11. Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam Abu
    Hanifah, Abu Ya'quh Yusuf, Kitab al-Kharaj.
 
12. QS. al-Baqarah 2:207.
 
13. Karena hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de
    facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan"
    ('Am al Jama'ah). (Lihat, al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek,
    Tarikh al-Tasri al-Islami, [Beirut, Dar al-Fikr, 1387 H/1967],
    h. 110, juga h. 87). Dan kemudian konsep Jama'ah itu
    dikembangkan sebagai idiologi.
 
14. Sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam
    mempelajari berbagai polemik sekitar Ali dan Mu'awiyah ini.
    Misalnya, Ibn Taymiyyah, salah seorang pemikir Sunni mazhab
    Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan Syi'ah,
    mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap rakyatnya adalah
    termasuk sebaik-baik perilaku para penguasa, dan rakyatnya
    mencintainya. Padahal telah mantap dalam al-Shahihayn
    (Bukhari-Muslim) dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda,
    'Sebaik-baik para pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada
    mereka dan mereka cinta kepada kamu dan berdo'a untuk
    kebaikanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu ialah yang kamu
    benci kepada mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu
    mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (Minhaj al-Sunnah,
    jil. 3, h. 189). Sebaliknya tentang Ali, Ibn Taymiyyah masih
    sempat mencatat demikian, "... Dan tatkala dia (Ali) melamar
    anak perempuan Abu Jahl, beliau (Nabi) bersabda, Bani
    al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak
    perempuan mereka kepada Ali. Dan sungguh aku tidak akan
    mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sekali lagi
    tidak akan mengizinkan! Kecuali jika anak Abu Thalib itu
    menceraikan anak perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin
    dengan anak perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul
    menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan
    musuh Allah pada satu orang lelaki.'" (ibid., h. 194). Jadi
    dalam kutipan pertama Ibn Taymiyyah ingin mengesankan bahwa
    Mu'awiyah bertingkah laku sesuai dengan Sunnah, dan dalam
    kutipan kedua ia mau memperlihatkan betapa Ali pernah membuat
    hal yang menyakiti hati Nabi.
 
15. Perlu diingat bahwa meskipun al-Qur'an telah dipersatukan
    kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih mengalami
    kesulitan untuk memastikan pembacaannya, kecuali mereka yang
    benar-benar mengenal bahasa Arab karena dibesarkan sebagai
    orang Arab. Sedangkan mereka yang tidak demikian keadaannya
    akan terbentur kepada sistem huruf Arab, sama dengan
    huruf-hurut Semitik yang lain, yang hanya mengenal konsonan,
    tanpa huruf hidup. Sebagai contoh tulisan Arab tingkat awal
    itu berikut ini adalah (foto) kopi surat Rasulullah kepada
    al-Mundzir ibn Sawi, yang diturun oleh Dr. Muhammad Hamidullah
    dengan izin majalah orientalisme Jerman, Zeltschrift der
    Deutschen  Morgenlandischen dalam Majmu'at al-Watsa'iq
    al-Siyasiyyah li al-Ahd al-Nabawi wa Khilaafat al-Rasyidah
    (Beirut: Dar al-Irsyad. 1389 H/1969), dokumen No. 57 (antara
    hh. 114 dan 115):
 
    Tulisan seperti di masa Rasulullah itulah yang juga digunakan
    untuk kodifikasi al-Qur'an oleh Utsman dan menghasilkan mushaf
    rasmUtsmani. Perhatikan bahwa untuk perkembangan tulisan Arab
    saat itu, kesulitan masih harus ditambah dengan tidak adanya
    perbedaan simbol untuk cukup banyak bunyi, seperti untuk
    bunyi-bunyi ba', ta', tsa nun dan ya', dan antara bunyi-bunyi
    jim, ha' dan kha', antara dal dan dzal, antara ra' dan za'
    antara sin dan syin, antara shad dan dlal, antara tha' dan
    dha', antara 'ayn dan ghayn, akhirnya, antara fa' dan qaf.
    Maka penambahan beberapa diakritik, seperti satu, dua, tiga
    titik, di bawah dan di atas oleh al-Hajjaj merupakan fase amat
    penting dalam sejarah metode penulisan al-Qur'an.
 
16. Perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "faham" (dalam makna
    "mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk
    kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah
    merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh)
    (QS. al-An'am 6:98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap
    golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan
    perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh)
    ..." (QS. al-Tawbah/9:122. Jadi yang dimaksudkan dengan
    perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran
    keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan
    supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini
    sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara
    lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang
    berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominan
    dan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah
    hukum pun dianggap fiqh par excellence. Keadaan serupa itu
    bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani,
    sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar
    kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem
    hukum.
 
17. QS. al-Rum/30:32.
 
18. QS. al-An'am/6:169.
 
19. QS. Ali 'Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad
    adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup banyak
    ayat-ayat suci, antara lain, "Katakan Muhammad, 'Sesungguhnya
    aku diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus,
    yaitu agama yang teguh (konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yang
    hanif ." (QS. al-An'am/6:161).


































VI.21. SEJARAH AWAL DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
oleh Nurcholish Madjid
 
Dalam bidang fiqh  seperti  juga  dalam  bidang-bidang  yang
lain   masa  Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam  madzhab.  Di  satu  pihak
masa  itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada  masa  itu  juga  mulai  disaksikan
munculnya  tokoh-tokoh  dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan  di  bidang  keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.
 
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim  ditangan  para
Sahabat  Nabi).  Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa  Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni,  kaum  Muslim  generasi  ketiga),  dianggap   sebagai
masa-masa  paling  otentik  dalam  sejarah Islam, dan ketiga
masa  itu  sebagai  kesatuan  suasana  yang  disebut   salaf
(Klasik).
 
Walaupun  begitu  tidaklah  berarti  masa generasi kedua ini
bebas   dari   persoalan   dan   kerumitan.   Justru   sifat
transisional  masa  ini  ditandai  berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari  sisa  dan
kelanjutan  berbagai  konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III.  Tumbuhnya
partisan-partisan  politik  yang  berjuang  keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi  klaim-klaim  mereka,  seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian  itu  antara  lain
menjadi  sebab  bagi  berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang  Nabi  dan  para  sahabat.
Melukiskan   keadaan   yang  ruwet  itu  Musthafa  al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
 
Tahun  empat  puluh  Hijriah  adalah  batas  pemisah  antara
kemurnian   Sunnah  dan  kebebasannya  dari  kebohongan  dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya  Sunnah  itu
serta    digunakannya   sebagai   alat   melayani   berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah  perselisihan  antara  'Ali  dan  Mu'awiyah  berubah
menjadi peperangan dan yang  banyak  menumpahkan  darah  dan
mengorbankan   jiwa,   serta   setelah   orang-orang  Muslim
terpecah-pecah menjadi  berbagai  kelompok.  Sebagian  besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh  dendam  terhadap
'Ali  dan  Mu'awiyah  sekaligus  setelah  mereka itu sendiri
sebelumnya  merupakan  pendukung  'Ali   yang   bersemangat.
Setelah   'Ali   r.a.   wafat   dan   Mu'awiyah  habis  masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi  (Ahl
al-Bayt)  bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan  taat
pada Dinasti Umayyah.
 
Begitulah,   peristiwa-peristiwa   politik   menjadi   sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan  partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai  pengaruh  yang  lebih  jauh
bagi  tumbuhnya  aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya  dengan  al-Qur'an  dan
Sunnah,  dan  wajarlah  bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung  klaim-klaim  mereka.
Maka  sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash  Sunnah  pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul  hadits-hadits  yang  menguatkan  klaim  mereka,
setelah  hal  itu  tidak  mungkin  mereka  lakukan  terhadap
al-Qur'an karena  ia  sangat  terlindung  (terpelihara)  dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
 
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama  yang  dituju  para
pemalsu  hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka  dan  para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama  melakukan  hal  itu  ialah  kaum  Syi'ah
-dengan  perbedaan  berbagai  kelompok  mereka-  sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam  Syarh  Nahj  al-Balaghah,
"Ketahuilah  bahwa  pangkal  kebohongan  dalam hadits-hadits
tentang  keunggulan  (tokoh-tokoh)  muncul  dari  arah  kaum
Syi'ah..."  Tapi  kemudian  diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]
 
Dihadapkan keruwetan  itu,  para  Tabi'in  -dengan  dipimpin
tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang  amat  berat  namun  kemudian
membuahkan  hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum  Islam  melalui  fiqh  atau  "proses  pemahaman"  yang
sistimatis.
 
WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
 
Antara   Islam  sebagai  agama  dan  Hukum  terdapat  kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal  menetap  di  Madinah  Nabi  saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah  ada  sejak  di  Makkah,  bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh  dalam  periode  pertama  itu.
Dasar-dasar  itu  memang  tidak  semuanya  langsung bersifat
kehukuman atau legalistik,  sebab  selalu  dikaitkan  dengan
ajaran   moral   dan   etika.  Maka  sejak  di  Makkah  Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan  sosial  yang  antara
lain  mendasari  konsep-konsep  tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang  diperoleh  melalui  penindasan
adalah  haram),  keharusan  menghormati  hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus  harta  anak  yatim  secara  benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu  semua  tidak  akan  tidak  melahirkan   sistem   hukum,
sekalipun  keadaan  di  Makkah  belum  mengizinkan bagi Nabi
untuk    melaksanakannya.    Maka    tindakan    Nabi    dan
kebijaksanaannya  di  Madinah  adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
 
Pada masa para  sahabat  yang  kemudian  disusul  masa  para
Tabi'in,  prinsip-prinsip  yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam  yang  meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang  dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam  wawasan  geopolitik  Yunani  kuno  dianggap
sebagai   heatland  Oikoumene  (Daerah  Berperadaban  -Arab:
al-Da'irat    al-Ma'murah)    telah    mempunyai     tradisi
sosial-politik   yang  sangat  mapan  dan  tinggi,  termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan  Yunani-Romawi,  dan  Indo-Iran  umumnya. Karena itu
mudah dipahami  jika  timbul  semacam  tuntutan  intelektual
untuk  berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
 
Tuntutan intelektual itu  mendorong  tumbuhnya  suatu  genre
kegiatan  ilmiah  yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang  telah  terjadi  pada  masa  tabi'in  itu ialah semacam
pendekatan   ad   hoc   dan    praktis-pragmatis    terhadap
persoalan-persoalan      hukum,      dengan      menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci,  dan  dengan
melakukan  rujukan  pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka  yang  secara  ideal  terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.
 
Pendekatan  ini  dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
yang lapang  dan  luwes,  sehingga  mampu  menampung  setiap
perkembangan   yang   terjadi.   Berkenaan  dengan  hal  ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
 
...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut  perkembangan
zaman  dan  tempat,  seperti  'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara  sepenuhnya  terperinci,   dengan   dijelaskan   oleh
nash-nash   yang   bersangkutan;   maka  tidak  seorang  pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang  berkembang
menurut  perkembangan  zaman  dan  tempat,  seperti berbagai
kepentingan  kemasyarakatan   (al-mashalih   al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di  semua  zaman
dan  agar  dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]
 
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa  letak  kekuatan  Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap  perkembangan  zaman  dan  peralihan  tempat
(shalih  li  kull  zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat).  Untuk  mengerti  masalah  ini  sangat  menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
 
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam  dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan  murni,  seperti  hukum-hukum
ibadat,  tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu  ijtihad  yang  disetujuinya.  Dan  tugas  Rasul tidak
keluar  dari  lingkaran  tugas  menyampaikan  (tabligh)  dan
menjelaskan  (tabyin).  "Tidaklah  ia  (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
 
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik  dan  perang,  maka  Rasul  saw.
diperintahkan  bermusyawarah  mengenai  itu  semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat,  tapi  ditinggalkannya  dan
menerima  pendapat  para  sahabat,  sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk  kepada  Nabi  saw.,  guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan  meminta  tafsiran  tentang  makna-makna
berbagai  nash  yang  tidak  jelas  bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang  nash-nash
itu,   sehingga  Nabi  kadang-kadang  membenarkan  pemahaman
mereka  itu,  dan  kadang-kadang  beliau  menerangkan  letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]

Sudah  tentu  keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati  zaman  Nabi
sendiri,  kemudian  zaman  para  Sahabat,  dan diteruskan ke
zaman  para  Tabi'in.  Tapi  jika  pada  zaman  Nabi  tempat
rujukannya  ialah  Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para  sahabat  Nabi  itu  diwarisi  banyak
tokoh,  yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
sejak  pertikaian  politik  pada  paroh  kedua  kekhalifahan
'Utsman,     tanda-tanda     menyebarnya,    dan    kemudian
berselisihnya,  tempat  rujukan  itu  sudah  mulai   nampak.
Seperti  dilukiskan  Siba'i  yang  telah  dikutip  di  atas,
penyebaran  dan  perselisihan  otoritas  itu  memuncak  pada
sekitar  sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi  tanpa  peduli  dengan  sambutan sebagian besar umat
Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun  Persatuan"  atau
"Tahun  Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
"solidaritas" itu  agaknya  hanya  terbatas  pada  kenyataan
kembalinya  kesatuan  politik  (formal)  umat Islam di bawah
Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
 
DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK
 
Di   bawah   pimpinan   Khalifah   Mu'awiyah   (yang    masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum  Muslim
dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
dan  'Umar  (zaman  al-Syaykhani,  "Dua  Tokoh")  yang  amat
dirindukan  orang  banyak,  termasuk  para "aktivis militan"
yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut]  mensponsori
pengangkatan   'Ali  namun  akhirnya  berpisah  dan  menjadi
golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan  Mu'awiyah
itu,  namun  dalam  hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat  mungkin  berpegang  dan  meneruskan  tradisi   para
Khalifah  di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah  (tapi
suatu  koalisi  yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu).  Tapi  "koalisi"  itu
mempunyai  akibat  cukup  penting  dalam  bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman  (Islam)  kepada  Hadits  atau
Tradisi  (dengan  "T"  besar)  yang  berpusat di Madinah dan
Makkah serta mendapat dukungan langsung  atau  tak  langsung
dari rezim Damaskus.
 
Sementara  banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
Basrah   adalah  kawasan  yang  selalu  potensial  menentang
Damaskus secara efektif. Ini  kemudian  berdampak  tumbuhnya
dua  orientasi  dengan  perbedaan  yang cukup penting: Hijaz
(Makkah-Madinah)  dengan  orientasi  Haditsnya,   dan   Irak
(Kufah-Basrah)    dengan    orientasi    penalaran   pribadi
(ra'y)-nya. Penjelasan menarik  tentang  hal  ini  diberikan
oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,
 
Pada  zaman  itu  (zaman  Tabi'in),  dalam  ifta' (pemberian
fatwa)  ada  dua  aliran:   aliran   yang   cenderung   pada
kelonggaran  dan  bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum  dan  alasan-alasannya,  sebagai
dasar   ijtihad.  Tempatnya  ialah  Irak.  Dan  aliran  yang
cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal  tersebut,  dan
hanya  bersandar  kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
"petilasan," yakni,  tradisi  atau  Sunnah)  dan  nash-nash.
Tempatnya  ialah  Hijaz.  Adanya  dua  aliran  itu merupakan
akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
 
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan   seruannya,   kemudian   para  Sahabat  beliau
menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda  beliau  dan
menerapkannya.  Dan  (Hijaz)  tetap  menjadi  tempat tinggal
banyak dari  mereka  (para  Sahabat)  yang  datang  kemudian
sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui  kepada  penduduk  (berikut)-nya,  yaitu
kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...
 
Sedangkan  Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
pemerintahannya,  kompleksitas   kehidupannya,   dan   tidak
mendapatkan  bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah  oleh
mereka  itu  pun  masih  lebih  sedikit daripada yang ada di
Hijaz. Padahal  peristiwa-peristiwa  (hukum)  di  Irak  itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
ada  di  Hijaz;  begitu  pula  kebudayaan  penduduknya   dan
terlatihnya  mereka  itu kepada penalaran, adalah lebih luas
dan lebih banyak.  Karena  itulah  keperluan  mereka  kepada
penalaran  lebih  kuat  terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas  nampak,
mengingat  sedikitnya  Sunnah  pada mereka itu tidak memadai
untuk semua  tuntutan  mereka.  Ini  masih  ditambah  dengan
kecenderungan  mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]
 
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak  berpegang  kepada
penuturan  masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y  ("Kelompok  Penalaran",
dengan   isyarat   tidak   banyak  mementingkan  "riwayat"),
sesungguhnya  itu  hanya  karakteristik   gaya   intelektual
masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak  mengikuti
karakteristik  umum  itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
terdapat seorang  sarjana  bernama  Rabi'ah  yang  tergolong
"Kelompok  Penalaran,"  dan  di  kalangan para sarjana Irak,
kelak,  tampil  seorang  penganut  dan   pembela   "Kelompok
Riwayat"   yang   sangat  tegar,  yaitu  Ahmad  ibn  Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa  sesuatu  kelompok
hanya  melakukan  satu  metode  penetapan hukum atau tasry',
apakah itu penalaran atau penuturan  riwayat,  adalah  tidak
tepat.   Terdapat   persilangan  antara  keduanya,  meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari  kedua
katagori  tersebut.  Ini  semakin memperkaya pemikiran hukum
zaman Tabi'in.
 
IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB
 
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang  anggota  Majma'  al-Buhuts
al-Islamiyyah  (Badan  Riset  Islam)  Universitas  al-Azhar,
Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah  ijtihad
mutlak.  Yaitu  ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
seorang mujtahid  yang  terlebih  dahulu,  dan  yang  secara
langsung  diarahkan  membahas,  meneliti  dan  memahami yang
benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan  sebuah  pendapat
seorang  Sahabat  Nabi,  yang diduga bersandar kepada Sunnah
yang  karena  beberapa  sebab  Sunnah   itu   tidak   muncul
sebelumnya,  kemudian  pada  zaman  Tabi'in itu, lebih-lebih
zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana  lebih  mengizinkan  untuk
muncul.   Misalnya,   perubahan   situasi   politik,  dengan
perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa  perubahan  penting  dalam sikap keagamaan. Meskipun
sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
hukum  keagamaan  kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung,  berkenaan
dengan  hukum,  banyak berorientasi kepada preseden-preseden
para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum  'Abbasi  lebih
banyak    dan    lebih   tulus   perhatian   mereka   kepada
masalah-masalah  keagamaan  dari  pada  kaum  Umawi.   Sikap
berpegang  kepada  syari'ah  ini  bagi  kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan   legitimasi   politik   dan   kekuasaan   mereka
(dibandingkan  dengan  kedudukan  kaum Umawi, dan dihadapkan
kepada oposisi kaum Syi'ah  dan  Khawarij).  Tapi  disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
bagi perkembangan  kajian  agama,  dan  ini  pada  urutannya
memberi   peluang   lebih   baik  pada  para  sarjana  untuk
menyatakan  pendapatnya,  termasuk  menuturkan  riwayat  dan
Hadits.  Usaha  secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan  Hadits)  telah  mulai  tumbuh  sejak
jaman  'Umar  ibn  'Abd-al'Aziz  menjelang  akhir  kekuasaan
Umawi.  Kini  usaha  ini  memperoleh  dorongan   baru,   dan
merangsang  tumbuhnya  berbagai  aliran pemikiran keagamaan,
baik yang bersangkutan dengan bidang  politik,  teologi  dan
hukum, maupun yang lain. [5]
 
Semua    kegiatan    itu    juga    terpengaruh    kenyataan
sosial-politik, berupa  semakin  beragamnya  latar  belakang
etnis,  kultural  dan  geografis  anggota  masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria,  Mesir,
Persi,  dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
kita menyaksikan tampilnya  tokoh-tokoh  kesarjanaan  dengan
bidang  kajian  ilmu  yang lebih terspesialisasi, khususnya,
bidang  kajian  hukum  Islam  atau  fiqh.   Merekalah   para
pendahulu  imam-imam  madzhab,  bahkan  guru-guru para calon
imam madzhab itu.
 
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
suatu  aliran  pikiran  (yakni,  madzhab, school of thought)
dengan tempat. Telah disebutkan  adanya  dua  aliran  pokok:
Irak  dan  Hijaz.  Namun  diantara  keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa  yang  cukup
berarti,  dan  cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
tercermin  dalam  ketokohan  sarjana   atau   'ulama'   yang
mendominasi   suasana   intelektual  suatu  tempat,  seperti
dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri' al-Islami.
 
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
 
 1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
   kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
   Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
   dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
   dengannya. Wafat pada 94 H.
 
 2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
   kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
   istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
 
 3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
   al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
   sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
   Quraysy). Wafat pada 94 H.
 
 4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
   Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
   dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
   pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
   lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
   banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.

5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.
   Belajar dari 'Aisyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan
   lain-lain. Selain kepemimpinannya dalam fiqh dan Hadits, ia
   juga terkenal sebagai penyair, dia adalah guru Khalifah
   'Umar ibn 'Abd al-'Aziz. Wafat pada 98 H.
 
 6.Salim ibn 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari ayahnya
   sendiri, juga dari A'isyah, Abd Hurayrah, Sa'id ibn
   al-Musyyaib, dan lain-lain. Wafat pada 106 H.
 
 7.Sulayman ibn Yasar, klien Maymunah (istri Nabi saw.)
   Belajar dari patronnya sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu
   Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Tsabit, dan sebagainya. Wafat
   pada 107 H.
 
 8.Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Mendapat pendidikan dari
   'A'isyah (bibinya sendiri), Ibn Abbas, Ibn 'Umar, dan
   sebagainya. Wafat pada 106 H.
 
 9.Nafi', klien 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari patronnya
   sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya.
   Diutus oleh 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz ke Mesir, mengajar
   Sunnah. Berasal dari Daylam (daerah Iran). Wafat pada 117 H.
 
10.Muhammad ibn Muslim, yang terkenal dengan Ibn Syihab
   al-Zuhri. Lahir 50 H., dan belajar dari 'Abd-Allah ibn
   'Umar, Annas ibn Malik, Sa'id ibn al-Musayyaib, dan
   sebagainya. Mendapat perintah dari 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz
   untuk mencatat Sunnah penduduk Madinah sebagai rintisan
   resmi pertama pembukuan Hadits.
 
11.Abu Ja'far ibn Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn, yang
   dikenal dengan sebutan al-Baqir. Dia adalah imam kelima kaum
   Syi'ah. Belajar dari ayahandanya sendiri, juga dari Jabir
   dan 'Abd-Allah Ibn 'Umar, dan sebagainya. Dikenal sebagai
   "Kepala Bani Hasyim" di zamannya. Wafat pada 114 H.
 
Di Makkah beberapa sarjana terkenal juga tampil:
 
1.'Abd-Allah ibn, 'Abbas ibn 'Abd-Muthalib. Lahir dua tahun
  sebelum Hijrah, dan pernah dibacakan do'a oleh Nabi agar
  mempunyai pemahaman mendalam (tafaqquh) dalam agama. Beliau
  diajar tentang ta'wil. Dianggap Bapak Ilmu tafsir al-Qur'an.
  Belajar banyak dari 'Umar, 'Ali dan Ubay ibn Ka'b. Wafat di
  Thaif pada 68 H.
 
2.Mujahid ibn Jabr, Klien Bani Makhzum. Belajar dari Sa'd,
  'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan lain-lain. Wafat
  pada 103 H.
 
3.'Ikrimah, klien Ibn 'Abbas. Belajar dari Ibn 'Abbas,
  'A'isyah, Abu Hurayrah, dll. Pernah menyatakan ia sependapat
  dengan kaum Khawarij. Wafat pada 107 H.
 
4.'Atha ibn Rabbah. Belajar dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn
  'Abbas, dan sebagainya. Disebutkan berkulit hitam kelam,
  yang fasih dan luas pengetahuan. Sangat banyak mendapat
  pujian dari para 'ulama' yang lain, termasuk mereka yang
  hidup sezaman. Wafat pada 114 H.
 
Dari kalangan warga Kufah yang tampil antara lain ialah:
 
1.'Alqamah ibn Qays al-Nakha'i. Lahir di masa Nabi masih
  hidup, dan belajar dari 'Umar, 'Utsman, Ibn Mas'ud, 'Ali,
  dan lainnya. Murid terkemuka Ibn Mas'ud. Wafat pada 62 H.
 
2.Masruq ibn al-Ajda' al-Hamdani. Belajar dari 'Umar, 'Ali,
  Ibn Mas'ud, dan sebagainya. Wafat pada 63 H.
 
3.Al-Aswab ibn Yazid al-Nakha'i, dan
 
4.Ibrahim ibn Yazid al-Nakha'i. Keduanya bersaudara, dan
  sama-sama tampil sebagai sarjana terkemuka. Kedua-duanya
  wafat pada 95 H.
 
5.'Amir ibn Syarahil al-Sya'bi. Lahir 17 H. Sarjana Tabi'in
  yang paling terkemuka. Guru utama Imam Abu Hanifah. Belajar
  dari 'Ali, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, 'A'isyah, Ibn 'Umar,
  dan sebagainya. Cukup menarik bahwa al-Sya'bi tidak suka
  kepada metode qiyas (analogi) yang menjadi ciri Ahl al-Ra'y
  yang dikembangkan muridnya, Abu Hanifah.
 
Kemudian dari Basrah, tampil tokoh-tokoh, antara lain:
 
1.Anas ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia
  Sahabat Nabi sejak Hijrah sampai wafat. Karena penampilannya
  sebagai sarjana dan peranannya dalam mendidik para Tabi'in
  maka ia termasukkan dalam daftar ini. Selain belajar dari
  Nabi juga banyak belajar dari Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman,
  Ubbay, dll. Wafat pada 90 H.
 
2.Abu al-'Aliyah Rafi' ibn Mahran al-Riyahi. Belajar dari
  'Umar, Ibn Mas'ud, 'Ali dan 'A'isyah. Wafat pada 90 H.
 
3.Al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yassar, klien Zayd ibn Tsabit.
  Dibesarkan di Madinah dan menghafal al-Qur'an di zaman
  'Utsman. Seorang pejuang yang terkenal berani, di samping
  seorang sarjana terkemuka. Wafat pada 110 H.
 
4.Abu al-Syaitsa', Jabir ibn Zayd, kawan Ibn 'Abbas. Banyak
  belajar dari kawannya sendiri itu. Wafat pada 93 H.
 
5.Muhammad ibn Sirin, klien Anas ibn Malik. Belajar dari
  patronnya, kemudian dari Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas dan Ibn
  'Umar. Wafat pada 110 H.
 
6.Qatadah ibn Da'aman al-Dusi. Selain ahli hukum Islam, ia
  juga ahli bahasa, sejarah dan geneologi (al-nasab). Wafat
  pada 118 H.
 
Dari daerah Syam (Syria) beberapa tokoh ahli  hukum  tampil,
seperti  'Abd-al-rahman  ibn  Gahnim  al-Asy'ari,  Abu Idris
al-Khulani, Qabishah ibn Dzu'ayb,  Makhul  ibn  Abi  Muslim,
Raja  ibn  Hayah  al-Kindi, dan lain-lain. Namun yang paling
penting dari para sarjana Syam itu ialah Khalifah 'Umar  ibn
'Abd-al-'Aziz,   terkenal   sebagai   'Umar  II  dan  banyak
dipandang sebagai yang kelima dari al-Khulafa'  al-Rasyidin,
Dialah  yang  mengukuhkan  tarbi,  (mengakui  empat Khalifah
pertama: Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali) dan  mensponsori
secara   resmi  (kenegaraan)  usaha  penulisan  Sunnah  atau
Hadits. Dia wafat pada 101 H.
 
Mesir saat itu belum menjadi  tandingan  tempat-tempat  yang
tersebut  di atas. Kota Kairo belum ada (baru didirikan oleh
Dinasti   Fathimiyah   kelak,   bersama   Masjid-Universitas
al-Azharnya),   dan   ibukota   Mesir  ialah  Fusthath  yang
perkembangannya  tidak  terlalu  pesat  seperti   lain-lain.
Walaupun begitu telah tampil pula di kalangan Mesir beberapa
sarjana terkemuka, seperti  'Abd-Allah  ibn  al-'Ash  (wafat
pada  65  H.), 'Abd-al-Khayr ibn 'Abd-allah al-Yazani (wafat
pada 90 H.), Yazid ibn Abi Habib yang disebut-sebut  sebagai
pelopor ilmu pengetahuan di Mesir dan ahli masalah halal dan
haram (wafat pada 128 H.).
 
Di Jazirah Arabia sebelah selatan, yaitu Yaman, juga  banyak
muncul sarjana-sarjana dengan pengaruh yang jauh keluar dari
batasan daerahnya sendiri. Mereka itu, antara  lain,  Thawus
ibn  Kaysan  al-Jundi  (wafat pada 106 H.) yang belajar dari
Zayd  ibn  Tsabit,  'A'isyah,  Abu  Hurayrah,  dan  lainnya.
Kemudian  Wahb  ibn  Munabbin al-Shan'ani, yang belajar dari
Ibn 'Umar, Ibn 'Abbas, Jabir, dan lainnya. Wafat pada 114 H.
Selanjutnya   ialah   Yahya  ibn  Abi  Katsir  yang  menurut
sementara 'ulama' yang lain seperti Syu'bah  dianggap  lebih
ahli tentang Hadits daripada al-Zuhri tersebut. [7]
 
Para   tokoh  ahli  hukum  itu  dan  kegiatan  ilmiah  serta
pengajarannya telah mendorong tumbuhnya para spesialis hukum
angkatan  berikutnya,  seperti  al-Awza'i, Sufyan al-Tsawri,
al-Layts ibn Sa'd, dan lainnya. Mereka ini, pada gilirannya,
telah  melapangkan  jalan  bagi  tampilnya para imam madzhab
yang sampai saat ini pengaruhnya masih  amat  kukuh  seperti
Abu Hanifah, Malik, al-Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal.
 
CATATAN
 
1.Musthafa al-Siba'i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri'
  al-Islami (Kairo: al-Dar al-Qawmiyyah. 1949), hh. 7fe7).
 
2.Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan
  1968/1388), jil. I h. 13.
 
3.Ibid., h. 17.
 
4.Al-Syaykh 'Ali al-Khafifi, "Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in
  wa Tabi'i 'l-Tabi'in," dalam Al-Ijtihad fi al-Syari'at
  al-Islamiyyah. (Riyadl: Jami'at al-Imam Muhammad ibn Su'ud
  al-lslamiyyah, 1404/1984), hh. 224-5.
 
5.Ibid., h. 223.
 
6.Ibid. h. 222.
 
7.Untuk keterangan lebih lengkap tentang tokoh-tokoh ini,
  lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg, Tarikh al-Tasyri'
  al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387/1968), h. 126-41.


IV.23. TRADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH
       DAN MASALAH STAGNASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM        (1/2)
       oleh Nurcholish Madjid
 
Kita telah membicarakan garis  perkembangan  pemikiran  sistem
hukum Islam --yang kemudian dikenal dengan (ilmu) fiqh-- sejak
dari  pertumbuhannya  di  masa  para  Sahabat,  kemudian  para
Tabi'in  dan  pengikut  mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di
masa para imam madzhab. Sampai  dengan  masa  itu,  yang  kita
saksikan  dalam  sejarah  perkembangan fiqh ialah dinamika dan
kreativitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik
dan  kontroversi,  namun  dalam  suasana saling menghargai dan
tenggang rasa yang besar. Keadaan demikian itu dilukiskan K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dari Tebuireng:
 
Telah  diketahui  bahwa  sesungguhnya  telah terjadi perbedaan
dalam furu' (makalah rincian) antara para  Sahabat  Rasulullah
saw  (semoga Allah meridlai mereka semua), namun tidak seorang
pun dari mereka memusuhi yang lain,  juga  tidak  seorang  pun
dari  mereka  yang  menyakiti  yang  lain,  dan  tidak  saling
menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun  cacat.  Demikian
pula  telah  terjadi  perbedaan  dalam  furu'  antara Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridlai keduanya)  dalam
banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu
dalam  bab-bab  ibadat  dan  mu'amalah,  serta   antara   Imam
al-Syafi'i  dan  gurunya,  Imam  Malik, (semoga Allah meridlai
keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar
enam  ribu,  demikian  pula  antara  Imam Ahmad ibn Hanbal dan
gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak  masalah,  namun  tidak
seorang  pun  dari  mereka  yang  menyakiti  yang  lain, tidak
seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang  pun
dari  mereka  mendengki  yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan  yang  lain  kepada  kesalahan  dan  cacat.
Sebaliknya  mereka  tetap  saling  mencintai, saling mendukung
sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa  untuk  segala
kebaikan mereka itu.[1]
 
K.H.  Hasyim  Asy'ari  juga menyebut, terjadi banyak perbedaan
pendapat  antara  para  tokoh  intern  madzhab  sendiri   pada
saat-saat   permulaan  perkembangannya,  seperti  antara  Imam
al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar
dan  Imam  al-Ramli  dan  para  pengikut  mereka, namun "tidak
seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang  pun
dari  mereka  menyakiti  yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan  yang  lain  kepada  kesalahan  dan  cacat,
bahkan    sebaliknya    mereka    selalu   saling   mencintai,
berpersaudaraan, dan saling menolong." [2]
 
Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai sekitar
abad  keempat  Hijri,  maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan
perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan pikiran para imam  itu
menjadi  titik  tolak,  tapi kemudian dikembangkan begitu rupa
sehingga yang terwujud ialah sebuah  aliran  yang  meluas  dan
mendalam  dan  cukup  pada  dirinya sendiri (self-sufficient).
Maka dari titik tolak  pemikiran  Imam  al-Syafi'i,  misalnya,
tumbuh   dan   berkembang  pemikiran  yang  lebih  meluas  dan
mendalam,  yang  serba  berkecukupan.  Karena  itu  yang   ada
bukanlah  pemikiran  Imam  al-Syafi'i  itu  an sich, melainkan
pemikiran yang meskipun  tetap  berwatak  "kesyafi'ian"  namun
dalam  banyak  hal  Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi
tersangkut  paut.  Inilah  yang  dimaksudkan  dengan   istilah
"madzhab,"  yaitu  suatu  kesatuan  pemikiran  yang tumbuh dan
berkembang, bertitik tolak dari produk intelektual satu orang,
namun  belum  tentu  orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang
sebagai  ikut  bertanggungjawab.  Penilaian  ini   lebih-lebih
beralasan,  karena  para  tokoh  pemikir  yang menjadi pangkal
pengembangan madzhab tersebut semasa hidupnya  sendiri  sering
mengisyaratkan   keengganan  menjadi  pusat  pengikutan.  Jadi
sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i  menjadi  imam
madzhab   adalah  secara  post  factum,  yaitu  setelah  fakta
perkembangan pemikiran  yang  bertitik  tolak  dari  dia  itu,
menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada.
 
Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para
pengikut tokoh yang kelak  disebut  "imam  madzhab"  tersebut.
Mula-mula  masih terdapat sisa-sisa kreativitas dan keberanian
intelektual yang menghasilkan  karya-karya  tersendiri  dengan
tingkat   orisinalitas   yang  memadai,  seperti  yang  banyak
dilakukan oleh misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi,  al-Rabi',
al-Buwaythi,   al-Muzni,  dan  lain-lain  dari  kalangan  para
penganut  madzhab  Syafi'i.  Demikian  pula  tokoh-tokoh  dari
madzhab-madzhab yang lain.
 
Tetapi  masa  itu  segera  diikuti  oleh  masa  dengan tingkat
kreativitas dan orisinalitas intelektual  yang  lebih  rendah.
Inilah  masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas
syarah). Ciri umum masyarakat Muslim saat  itu  ialah  suasana
traumatis  terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang
muncul sebagai dambaan atau  obsesi  utama  masyarakat,  ialah
ketenangan  dan ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai,
tapi dengan  ongkos  yang  amat  mahal,  yaitu  stagnasi  atau
kemandekan.  Sebab  ketenangan  dan  ketenteraman  itu  mereka
"beli" dengan menutup dan  mengekang  kreativitas  intelektual
dan  penjelasan,  atas  nama  doktrin  taqlid  dan tertutupnya
ijtihad.  Ketidakberanian   mengambil   risiko   salah   dalam
penelitian  dan  penjelajahan  itu kemudian dirasionalisasikan
dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan  para  imam  madzhab
dan  pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah "final,"
dan apapun produk  pemikiran  mereka  harus  diterima  sebagai
berlaku  "sekali  dan  untuk  selamanya". Ditambah lagi dengan
keadaan  politik  negeri-negeri  Muslim   yang   telah   mulai
kehilangan  "elan  vital"-nya  antara  lain  karena  banyaknya
serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan
bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan
dan ketenteraman  menjadi  semakin  beralasan,  yang  kemudian
lambat  laun  berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum
Muslim di seluruh dunia. Karena orisinalitas  pemikiran  tidak
berkembang  lagi,  maka  yang  terjadi  ialah  pengulangan dan
penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran  kritis  juga
terkekang,  maka  tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
Jadi tidak berlebihan jika masa itu  sering  ditunjuk  sebagai
permulaan  kemunduran  peradaban  Islam,  yang kemudian kelak,
berakhir  dengan  kekalahan  mereka  oleh  ummat-ummat   lain,
khususnya bangsa-bangsa Eropa.
 
SYARAH DAN HASYIYAH
 
Mulai  saat  itulah  kurang lebih muncul ide tentang keharusan
seorang Muslim memilih salah satu  dari  madzhab-madzhab  yang
ada  sebagai  anutan.  Logika  keharusan ini ialah ide tentang
taqlid,  yang  taqlid  itu,  sebagaimana   telah   disinggung,
merupakan  dinamik  dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa
sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena
situasi  politik  yang  tidak  mantap, keharusan memilih suatu
madzhab seperti itu dapat  dibenarkan.  Begitu  pula  larangan
mencampuradukkan   lebih  dari  satu  madzhab,  yang  kemudian
dikenal sebagai  talfiq,  juga  sangat  dicela,  karena  dalam
praktek  serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam
paham  (seperti,  misalnya,  mengenai  suatu  hukum   tertentu
seseorang   cenderung  mencari  yang  mudah  dan  ringan  dari
berbagai madzhab, tanpa kesungguhan meneliti bagaimana pangkal
sebenarnya hukum itu).
 
Keharusan   memilih  salah  satu  madzhab  sekaligus  larangan
mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun tulusnya hal itu
dilakukan--  secara  tersirat  mengandung  doktrin bahwa suatu
pemikiran madzhab adalah suatu  kesatuan  organik  yang  tidak
boleh   dipisah-pisah.   Pemisahan   itu   akan   menghasilkan
inkonsistensi, dan yang terakhir ini  tentu  berakibat  kepada
masalah   istiqamah   atau   keteguhan  dan  keikhlasan  dalam
beragama. Tapi konsekuensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana
telah  disinggung  tadi-- hilangnya kreativitas dan orisinalis
intelektual, dan bersamaan dengan itu  hilang  pula  kemampuan
memberi responsi pada keadaan masyarakat nyata (historis) yang
senantiasa berkembang dan berubah.
 
Pada saat itulah sejauh  mengenai  kegiatan  intelektual  yang
muncul,  ialah  karya-karya  syarah,  yaitu karya tulis berupa
kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal,  yang
dipandang  sebagai  matan  (teks inti). Kegiatan pseudo-ilmiah
serupa ini paling banyak  terjadi  dalam  pemikiran  judisial,
tetapi  sesungguhnya  juga  merambah  ke  berbagai cabang ilmu
keislaman yang lain, seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.
 
Tapi syarah bukanlah akhir  perjalanan  tradisi  pseudo-ilmiah
dalam  masa  kemandekan  intelektual  ini. Sebuah karya sparah
membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga
merupakan  "elaborasi  atas  elaborasi," yang biasanya disebut
hasyiyah.

Untuk  memperoleh  gambaran  apa  yang  dinamakan  syarah  dan
hasyiyah  itu,  berikut  ini  adalah contoh kutipan dari matan
kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab fiqh yang paling standar.  di
pesantren-pesantren.  Matan  itu  kemudian diberi syarah dalam
kitab    Fat'h    al-Qarib,    juga    sangat    standar    di
pesantren-pesantren,  dan akhirnya diberi hasyiyah dalam kitab
al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi:
 
Matan: Air yang boleh untuk  menyucikan  ada  tujuh  air:  air
langit,  air  laut,  air  sungai,  air  sumur, air sumber, air
salju, dan air embun. [3]
 
Syarah: (Air yang boleh) artinya  sah  (untuk  menyucikan  ada
tujuh:  air  langit)  artinya  yang  terjun dari langit, yaitu
hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai)  artinya  yang
tawar  (air  sumur,  air  sumber, air salju dan air embun) dan
tujuh air itu tercakup dalam ungkapan  Anda  "Apa  yang  turun
dari  langit  dan  apa  yang menyembul dari bumi dalam keadaan
bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptann. [4]
 
Syarah ini kemudian diberi  hasyiyah,  yaitu  penjabaran  atau
elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh hasyiyah-nya
(tapi karena hasyiyah yang bersangkutan  itu  panjang  sekali,
maka   demi  kepraktisan  kita  akan  mengutip  hasyiyah  yang
menyangkut salah satu dari air  yang  tujuh  itu,  yaitu  "air
sungai" saja):
 
Hasyiyah:   (Perkataannya  dan  air  sungai)  rangkaian  dalam
pengertian di, artinya air  yang  mengalir  di  sungai  (nahr)
dengan  fa'thah  ha'  dan matinya dan yang pertama lebih fasih
dan al di situ adalah untuk jenis, maka ia  mencakup  Nil  dan
Furat  dan  sebagainya, dan asalnya dari surga sebagaimana hal
itu  disebutkan  dalam  nas  mengenainya  sebab   sesungguhnya
diturunkan  dari  surga  Nil  Mesir dan Sihun sungai India dan
Jihun sungai Balkh dan keduanya itu bukanlah Sihan  dan  Jiham
menurut  yang  unggul  berlainan  dengan  orang yang menyangka
keduanya itu sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan
adalah  sungai  al-Mashishah  dan  Dajlah dan Furat adalah dua
sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha  dan  itulah  makna
firman Dia Yang Maha Tinggi "Dan Kami turunkan dari langit air
dengan takaran tertentu" maka pada waktu keluarnya Ya'juj  dan
Ma'juj  sungai-sungai itu diangkat dan itulah makna firman Dia
Yang Maha Tinggi  "Dan  sesungguhnya  Kami  tentulah  berkuasa
untuk menghilangkannya." [5]
 
Kutipan  di  atas  itu  sengaja dibuat dalam bentuk terjemahan
harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai konteks, menurut
keadaan  aslinya  dalam kitab. Maksudnya ialah agar kita dapat
merasakan kesulitan yang dihadapi  oleh  mereka  yang  membaca
"kitab  gundul,"  jika  mereka  tidak  terlatih  membaca dalam
konteks.  Dan  keadaan  menurut  aslinya  itu  dapat   memberi
gambaran  tentang  ungkapan  "ilmiah" masa kemunduran itu yang
tidak dapat disebut mengagumkan, jauh  di  bawah  ukuran  masa
kejayaan  intelektual  sebelumnya seperti diwakili karya-karya
Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Taymiyyah, dan
sebagainya.
 
Bahkan  dalam  kutipan  itu  dapat  dilihat munculnya beberapa
dongeng  dan  mitologi,   yang   dirangkaikan   dengan   paham
keagamaan,  seperti  bahwa  sungai  Nil berasal dari surga dan
sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak berasal dari
Sidrat  al-Muntaha!  Juga ada mitos lain yang tercampur dengan
pandangan keagamaan tertentu seperti cerita tentang  datangnya
Ya'juj  dan  Ma'juj  (Gog dan Mogog) yang tersebut dalam Kitab
Suci  al-Qur'an  [6],  yang  pada  saat  itu   akan   diangkat
sungai-sungai  Nil,  Furat  dan  Dajlah  itu ke langit sebagai
tafsir atas ayat suci al-Qur'an pula. [7]
 
KESIMPULAN
 
Semangat obskurantisme atau kemasabodohan  intelektual  akibat
berbagai    faktor    ekstern    dalam    proses-proses    dan
struktur-struktur  politik  masa  itu   sedemikian   mencekam,
sehingga   mewarnai  sikap  intelektual  sebagian  besar  kaum
Muslim. Dan dalam pandangan  mereka,  ilmu  pengetahuan  telah
"habis,"  dan  yang  tersisa  ialah  mencerna  apa  saja  yang
diwariskan  dari  generasi  sebelumnya.  Stagnasi  ini   tidak
dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi
secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan  kalah
oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan,
yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih  persisnya,  Barat
Laut, bangsa-bangsa pelopor umat manusia masuk Zaman Modern.
 
Banyak  ahli  yang  mengatakan,  semua ini diawali karena umat
Islam terkena penyakit "puas  diri",  akibat  dominasi  mereka
atas   kehidupan  di  muka  bumi  selama  berabad-abad  (dalam
perhitungan konservatif setidaknya selama delapan  abad,  yang
berarti  empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa
Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan  ketika
mereka  dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis ke Mesir di
bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka  itu,
keadaan  sudah  sangat  terlambat,  sehingga  dorongan ke arah
kebangkitan kembali yang  muncul  sejak  itu  sampai  sekarang
belum mencapai tujuan yang dimaksud.
 
Tapi  tentu  saja  umat Islam masih tetap mempunyai kesempatan
yang  baik.  Berbagai  gejala  masa-masa  terakhir  ini,  yang
biasanya  diletakkan  dalam bracket "kebangkitan Islam", dapat
diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya
lebih   baik   daripada   sekarang,   apalagi   daripada  masa
obskurantisme tersebut di atas  itu.  Sebuah  adagium  mungkin
relevan  dengan  masalah  ini yaitu yang berbunyi: "Tidak akan
menjadi baik  umat  ini  kecuali  dengan  sesuatu  yang  telah
membuat baiknya umat terdahulu." [8] Sementara banyak tafsiran
yang  berbeda-beda  tentang  apa  "yang  membuat   baik   umat
terdabulu,"  namun  dari  pembacaan  kepada  sejarah peradaban
Islam,  khususnya  sejarah  pemikirannya,  jelas  bahwa   yang
membuat  baik  mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang
dalam ungkapan kontemporer dinamakan "Etos Ilmiah".
 
Berbeda dengan obskurantisme, etos  ilmiah  yang  benar  harus
memandang  ilmu  tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu
hanya mempunyai perbatasan (frontier),  yaitu  ujung  terakhir
perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada
pada Allah, karena itu tak terjangkau.  Tapi  perbatasan  atau
frontier  ilmu  hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang
tidak sempurna,  karena  itu  harus  selalu  diusahakan  untuk
ditembus  dengan  keberanian intelektual serta kreativitas dan
orisinalitasnya. [9]  Semuanya  itu  memerlukan  suasana  yang
bersifat   kondusif.  Dan  suasana  itu  tidak  lain,  seperti
dikemukakan KH. Hasyim Asy'ari di atas,  ialah  toleransi  dan
saling menghargai dalam perbedaan.
 
CATATAN
 
1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at
   al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at
   Nahdlat al-'Ulama, tt.). h. 11. (Risalah ini ditulis pada
   1360 H atau 1941 M).
 
2. Ibid., h. 12.
 
3. Abu Syuja' Ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah wa
   al Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h. 2-3.
 
4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib (Semarang:
   Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 3.
 
5. Al-Syaykh Ibrahim al-Hajuri, Hasyiyat al-Hajuri (Semarang:
   Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 27.
 
6. Lihat Q.s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu al
   Qarnayan)
 
7. Lihat Q., s. al Mu'minun/23:18.
 
8. "La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi
   awwaluha."
 
9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman
   Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus,
   sementara dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada
   mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya
   kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal.
   Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak
   mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. "Katakan, 'Kalau
   seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku,
   maka lautan itu akan habis sebelum Kalimat Tuhanku habis,
   meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula." (Q., s. al
   Kahf/18:109).


Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!