Renungan
Hud-HUd
Non-Kontradiksi dan Kausalitas
Merenungi
segala yang ada, pertama pasti ada obyek yang merenung, obyek yang direnugi,
maupun relasi antara subyek yang merenung dengan obyek yang direnunginya. Maka,
pertama-tama tentu –agar semua renungan lain memiliki makna dan nilai- subyek
yang merenung (perenunng) seharusnyalah merenungi dirinya sendiri dan apa
sumber-sumber yang membuktikan kebenaran suatu pengetahuian dari dirinya
sendiri.
Aristoteles-lah
–sejauh pengetahuan penulis- orang yang pertama kali menemukan (‘menyatakan
secara formal’) bahwa di antara seluruh prinsip niscaya rasional, prinsip
non-kontradiksi (kemustahilan terjadinya kontradiksi logis) merupakan prinsip
logis yang paling mendasar. Artinya, tidak mungkin meyakini kebenaran apa pun,
-walaupun hanya merupakan kebenaran "inderawi" yang paling sederhana-
tanpa menerima prinsip non-kontradiksi
Pernyataan
matematis prinsip non-kontradiksi ini tidak lain adalah x sama dengan x, dan x
tidak sama dengan selain x, dan tidak pernah akan mungkin sama dengan selain x.
yang pertama di sebut prinsip identitas (qanun dzatiyah), yang kedua disebut
prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh), dan yang terakhir disebut prinsip
ketiadaan batas (qanun imtina’). Ketiga butir prima-principia ini terkadang
disebut sebagai prinsip non-kontradiksi.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya
tidak mungkin menyatakan kebenaran apapun. Karena
berarti benar bisa bercampur dengan salah.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya
tidak mengakui identitas diri sendiri. Karena
"aku" bisa saja sama dengan selain "aku".
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini bahkan
berakibat hilangnya identitas segala sesuatu. Sehingga
segala ini "ada" ataupun "tidak ada" sama saja.
Sehingga, benar jika kita bahwa prinsip
non-kontradiksi adalah suatu hukum dasariah segala yang ada.
Tak ada suatu pun yang meningkarinya.
Sehigga, dapat dikatakan secara "hudhuriy"
prinsip segala yang ada telah ada pada "jiwa" manusia.
Karena non-kontradiksi sebagai satu prinsip niscaya pada segala yang ada
ternyata niscaya pula pada jiwa manusia.
Sebagai satu
prinsip niscaya rasional lain yang tak kalah penting dari "prinsip
non-kontradiksi" adalah hukum sebab-akibat. Bunyi hukum sebab-akibat
adalah sebagai berikut, "Segala
sesuatu memerlukan sebab untuk meng-ada kecuali keberadaan itu sendiri."
Adapun beberapa sifat penting hukum kausalitas adalah;
1.
Keselarasan sebab dan akibat.
Artinya satu sebab yang sama akan menghasilkan satu akibat yang sama.
2.
Kesemasaan sebab dan akibat.
Artinya secara hakiki sebab sebenarnya semasa dengan akibat.
3.
Relasi eksistensial antara sebab
dan akibat. Artinya, dapat dikatakan sebab-lah yang memberikan
eksistensi/keberadaan pada, akibat atau sebaliknya akibat meng-ada karena
sebab.
Prinsip
niscaya rasional kausalitas ternyata merupakan suatu prinsip yang dapat
diturunkan dari prinsip yang lebih mendasar; yang prinsip non-kontradiksi. Ini
dapat kita buktikan melalui dua poin;
- Karena ada artinya memiliki
keberadaan, dan sesuatu pasti meliki dirinya, jadi keberadaan pasti ada
dengan sendirinya.
- Jika ada sesuatu selain keberadaan
tanpa sebab yang menyebabkannya ada, maka terdapat tiga kemungkinan.
·
Ia berasal dari ketiadaan. Ini
mustahil, karena berarti ada sama dengan tiada.
·
Ia berasal dari sesuatu yang lain.
Dalam hal ini sesuatu yang lain itulah "sebab"-nya.
·
Ia tidak berasal dari sesuatu
selain dirinya, berarti keberadaannya adalah keberasaan wajib. Padahal ashalah al-wujud jelas menegaskan bahwa
tidak ada quiditas (mahiyyah) apapun
yang memiliki keberadaan wajib kecuali keberadaan (wujud) itu sendiri.
Sebagian orang percaya bahwa sumber
pengetahuan (sumber konsepsi maupun pembenarannya) hanyalah hal-hal yang
bersifat inderawi. Tapi pendapat ini mustahil,
karena;
- Tanpa menerima prinsip niscaya
rasional, -yaitu prinsip non-kontradiksi dna prinsip kausalitas-, seluruh
yang diindera dan konsepsi inderawi manusia kehilangan hubungan dengan
sesuatu yang obyektif yang dicerapnya. Salah satu implikasi dari hal
adalah bahkan keberadaan materi pun tidak dapat ditahkik sama sekali.
- Bagaimana mungkin sifat dasariah
inderawi yang "mungkin benar" dapat digunakan sebagai hujjah
bagi sesuatu yang "pasti benar"?
Ketiadaan dan Ketiadaan
Seputas
angin mengisi segenap kekosongan. Ah, kekosongan adalah ketiadaan udara atau
ruang atas materi-materi lain. Apakah betul? Itukah ketiadaan? Banayangkan
ruang dan waktu yang kosong melompong tanpa isi, kemudian tiba-tiba dari
relung-relung "ketiadaannya" datanglah dunia materi dengan berbagai
nuasa dan peristiwanya ini…,comes into
existence…Begitulah kita-ktia "model" penciptaan yang ada di
benak banyak orang. Karena itulah perlu pembahasan khusus tentang ketiadaan
dalam makalah ini. Model "creatio
ex nihilo" seperti yang dibayangkan tersebut lemah. Berikut adalah
beberapa kritik atas model "penciptaan" tersebut.
Kritik Pertama
Model
hanya menjelaskan penciptaan alam material saja, karena telah di-asumsikan
sebelumnya penciptaan tersebut ada dalam batasan-batasan ruang dan waktu yang
kosong melompong. Model pencipataan seperti ini tidak menjelaskan apapun
tentang penciptaan alam immaterial yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Kritik Kedua
Yang
disebut ketiadaan dalam model tersebut tidak benar-benar ketiadaan mutlak.
Karena "ketiadaan" dalam model penciptaan tersebut adalah kekosongan
dalam ruang dan waktu, sehingga paling tidak dapat dikatakan telah ada ruang dan waktu.
Jadi ada dua
jenis ketiadaan;
Ketiadaan
relatif yang menjadi makna dari non-existence. Non-existence ini mempunyai dua makna.
Pertama,
ketiadaan sesuatu yang keberadaannya masih mungkin. Contohnya, ketiadaan jagung
(spasio-temporal), ketiadaan hewan
mamalia yang berkaki sejuta, dan lain-lain. Kedua, ketiadaan sesuatu di antara
sesuatu-sesuatu yang lain yang ada. Contohnya; ketiadaan buku pada sbuah mejad.
Ketiadaa seperti ini masih mempunyai derajat "keberadaan" tertentu.
Kenapa, karena ketiadaan tersebut masih sama sekali artinya dingin, dan dingin
efek. Contoh lain, bisakah Anda mendorong ruang hampa/udara kosong? Bukahkah
ketiadaan suatu materi tertentu di udara kosong ini mempunyai efek. Anda tidak
bisa mendorongnya?
Yang kedua
adalah ketiadaan mutlak (al-‘adam al-muthlaq). Yaitu
ketiadaan yang menjadi makna dari nothingness. Keitadaan mutlak ini
benar-benar tidak ada sehingga tidak mempunyai efek apapun. Bahkan sebutan konsep
ketiadaan mutlak ini-pun sebenarnya masih mempunyai eksistensi di alam mental
kita sehingga tidak mencerminkan hakikat ketiadaan mutlak ini. Jika nihilo artikan sebagai nothingness (ketiadaan mutlak/al-‘adam
al-muthalq), maka teori creatio
ex nihilo tidak mempunyai makna
sama sekali.
Wujud qua Wujud itu Tunggal
Hakikat Tuhan adalah Wujud qua Wujud
Prinsip
kausalitas ; bahwa segala sesuatu yang maujud memerlukan sebab agar meng-ada,
tentu kecuali keberadaan itu sendiri ; merupakan satu prinsip yang telah hadir
secara fitri dalam akal filosofis manusia. Setiap pemikir mau tidak mau mesti
menggunakan prinsip ini, sebagaimana juga prinsip non-kontradiksi, untuk
melandasi seluruh teori dan pengetahuannya.
Dalam
alam kausalitas ini, Tuhan sebagai Pencipta sekalian alam, tidak lain
dimengerti sebagai Sebab Pertama (Causa -Prima). Artinya sebab yang
bukan merupakan akibat dari sebab lain. Karena kalau Tuhan bukan Sebab pertama
berarti Ia bukanlah Pencipta dari sekalian alam, malahan dapat dikatakan ia
diciptakan. Maha Suci Tuhan dari semua yang mereka sifatkan!
Sebagai Sebab Pertama, hakikat
Tuhan adalah keberadaan-Nya. Keberadaan-Nya
tidak lain adalah keberadaan sebagai keberadaan (wujud qua wujud) atau Al-Wujud Al-Muthlaq.
Bukti. Kalau
hakikat Tuhan bukan keberadaan itu sendiri, maka pasti Ia memerlukan sebab
untuk mengada. Sebab untuk mengada yang diperlukan ini ada dua kemungkinan
1.
Sebab itu adalah diri-Nya sendiri.
Kemungkinan ini mustahil, karena akan terjadi rantai sebab akibat tanpa ujung.
2.
Sebab itu adalah selain diri-Nya
sendiri. Jika kemungkinan ini benar maka Tuhan bukan Sebab Pertama. Atau dengan
kata lain Tuhan adalah bukan Tuhan. Dan ini mustahil juga karena merupakan
suatu kontradiksi logis.
Jadi Tuhan itu Tunggal.
Karena wujud qua wujud itu tunggal.
Dan Tuhan tidak terbagi atau tidak tersusun atas
bagian-bagian yang lebih kecil. Karena wujud
qua wujud itu tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil.
Bukti
bahwa wujud qua wujud tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil adalah
sebagai berikut. Jika wujud qua wujud tersusun atas bagian yang lebih kecil,
maka ada dua kemungkinan
1.
Ada di antara bagian tersebut yang
merupakan wujud qua wujud. Maka ini mustahil karena akan menghasilkan rantai
tanpa ujung.
2.
Tidak ada di antara bagian tersebut
yang merupakan wujud qua wujud. Ini pun mustahil karena dengan demikian wujud
qua wujud tidak mempunyai keberadaan.
Dan Tuhan tidak terikat oleh
"ke-kapanan" maupun "ke-dimana-an" apapun.
Karena ke-kapanan maupun ke-dimana-an pasti terbagi. Ke-kapanan membagi masa
menjadi sekarang, esok, lusa. Ke-dimana-an membagi posisi menjadi di sana, di
situ dan lain-lain. Sedang Tuhan tidak terbagi.
Dan Tuhan itu bukanlah suatu
substansi bukan pula aksiden, jika dilihat dari hakikatnya, kecuali secara
aksidental. Karena dari defenisinya1
substansi adalah mahiyyah yang
diaktualisasi di alam eksternal yang tidak memerlukan substratum (dasar),
sedang wujud bukanlah mahiyyah. Wujud bukan pula aksiden, karena aksiden memerlukan substratum, sedang wujud pasti tidak
memerlukan substratum apa-pun, karena
substratum apa-pun justru
memerlukannya untuk mengada. Wujud
tidak mungkin merupakan substansi maupun aksiden, kecuali secara aksidental
saja. Suatu wujud partikular
merupakan substansi melalui ke-substansi-an mahiyyah
yang berkaitan, dan ia merupakan aksiden melalui ke-aksiden-an mahiyyah yang berkaitan. Konsep wujud adalah aksiden dalam artian konsep
ini adalah suatu predikat yang disarikan dari subyek-subyeknya.
Dan tidak ada apapun yang bisa
dilawankan dengan Tuhan, tidak pula ada suatu yang mirip dengan-Nya.
Karena dua hal yang berlawanan mempunyai beberapa syarat;
·
sama-sama ada
·
mempunyai substratum yang sama
·
mempunyai perbedaan yang ekstrim
·
dapat diklasifikasikan di dalam genus yang berdekatan / kira-kira sama
Sedang
wujud tidak punya substratum, tidak pula punya genus, dan tidak pula jarak (beda) yang
ekstrim terhadap apa – pun.. Karena itu pemisahan mahiyyah dari wujud
adalah suatu "pembubuhan/penghiasan" mahiyyah oleh wujud. Lebih lanjut, tidak ada suatu apa pun yang mirip dengan wujud. Karena, dua hal yang mirip adalah dua hal yang mempunyai
suatu yang sama dalam mahiyyah – nya,
sedang wujud bukanlah mahiyyah.
Ketakmampuan akal dlm memahami Wujud qua
Wujud
Pluralitas dan
mahiyyah
Dunia
ini jamak. Ada kuda. Ada manusia. Ada gunung. Ada laut. Ada sebab. Ada akibat.
Ada jauhar. Ada aksiden. Ya, seolah ada banyak "sesuatu-sesuatu".
Benarkah ada banyak sesuatu-sesuatu? Tapi bukankah keberadaan-nya tunggal.
Keberadaan-nya satu?
Jelas
pluralitas yang tampak di alam ini bukan merupakan pluralitas wujud. Karena
telah dibuktikan bahwa wujud itu tunggal. Jadi pluralitas timbul dari sesuatu
selain wujud. Apakah itu?
Yang
menyebabkan kita membedakan kuda dengan manusia, tidak lain adalah
ke"apa" an dari kuda dan ke"apa" an dari manusia. Bukan
keberadaan-nya. Ke"apa"an tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan
apa itu .................? Istilah Arab dari ke"apa"an adalah mahiyyah.
Istilah lain yang menunjukkan ke"apa"an adalah quiditas atau esensi.
Ke"apa"an
merupakan sumber pluralitas. Subyek pengamat, mengquidifikasi berbagai hal,
sehingga keberadaan yang tunggal memiliki berbagai "keapaan" dalam
jiwa subyek pengamat. Jadi jelas karena ke"apa"an bersifat subyektif,
pluralitas-pun bersifat subyektif. Belum tentu mereka bersifat obyektif.
Faham
‘ashalatul-wujud menyatakan yang benar-benar nyata hanyalah wujud,
sedang mahiyyah tak nyata. Jadi menurut faham ini mahiyyah tak obyektif.
Pluralitas pun tak obyektif. Yang nyata, yang obyektif hanyalah Tuhan, wujud
qua wujud, Yang Tunggal.
‘Ashalatul-wujud
merupakah faham yang didukung dan dibuktikan secara rasional oleh para filsuf
pengikut Mulla Shadra maupun didukung dan dibuktikan secara intuitif oleh para
ahli ‘irfan seperti ‘Ibn ‘Arabi.
’Ashalah
al-Wujud
Merenungi
seluruh yang maujud, dalam aliran Sholawat, maka selalu kita arungi. buih-buih mahiyyah
(ke-apa-an, quiditas) pada satu ketunggalan, satu keberadaan, satu
Wujud Mutlak. Maka, karena mahiyyah menimbulkan kejamakan (al-katsrah) sedang wujud
adalah ketunggalan (al-wahdah), maka inilah yang disebut al-wahdah fi al-katsrah
dan al-katsrah
fi al-wahdah.
Maka dari
samudera ke-apaan dan keberadaan,. ada tiga kemungkinan
- Baik mahiyyah maupun wujud qua wujud sama-sama real,-
ada di alam nyata, tidak hanya di alam fikiran atau jiwa subyek pemikir
(manusia).
- Yang real adalah mahiyyah, sedang wujud qua wujud hanyalah ada di
alam fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-mahiyyah.
- Yang real adalah wujud qua wujud, sedang mahiyyah hanyalah ada di alam
fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-wujud.
Paham pertama, bahwa
baik mahiyyah
maupun wujud qua wujud sama-sama
nyata, merupakan paham yang "sesuai" dengan common-sense atau feeling orang banyak. Pendapat ini
salah. Buktinya, jika mahiyyah
dan wujud qua wujud sama-sama nyata, maka karena mahiyyah
itu banyak, sedang wujud qua
wujud itu tunggal, maka realitas itu banyak sekaligus tunggal. Dan ini
kontradiksi. Jadi tidak mungkin keduanya sama-sama nyata dalam artian yang
hakiki.
Paham kedua, bahwa yang nyata
dan benar-benar ada adalah mahiyyah tidak benar. Buktinya
diperoleh dengan membuktikan bahwa paham ketiga-lah, -yaitu ‘ashalah al-wujud-,
yang benar.
Paham ketiga, ‘ashalah al-wujud merupakan
paham yang benar. Buktinya yang
paling mudah adalah sebagai berikut;
Pertama,
wujud qua wujud pasti benar-benar
ada, karena ada artinya memiliki keberadaan, sedangkan wujud qua wujud tidak
lain adalah keberadaan itu sendiri.
Kedua, wujud sesuatu
merupakan sumber semua "penilaian" atas sesuatu tersebut. Tidak
mungkin mensifati apapun, tanpa meyakini
sesuatu tersebut memiliki wujud terlebih dahulu.
Ketiga, bagaimana
mungkin mahiyyah yang benar-benar ada, sedang wujud lah yang membuat segala sesuatu meninggalkan keadaan
"kesamaan"-nya? Keadaan "kesamaan" artinya kemungkinan ada
sama dengan kemungkinan tidak ada, dan seluruh mahiyyah yang tidak
mempunyai wujud terletak pada keadaan ini.
Masih
ada bukti-bukti lain yang lebih rumit yang dapat dibaca di Syarh-e Manzhumeh
dari Guru kita semua YM. Mulla Hadi Sabzavary, semoga rohnya dimuliakan-Nya.
Satu argumen
yang menentang ‘ashalah al-wujud adalah sebagai berikut. Sekiranya wujud itu
benar-benar ada, maka wujud adalah suatu maujud. Karena wujud itu maujud, maka
sebagai maujud ia perlu memiliki wujud. Dan selanjutnya wujud berikut ini pun
adalah maujud yang perlu memiliki wujud, dan seterusnya (ad infinitum). Ini
merupakan suatu petitio principii yang membentuk rantai argumen tanpa ujung
yang mustahil. Argumen tersebut salah. Letak
kesalahannya adalah di awal, cukup kita katakan bahwa wujud itu memiliki dirinya
sendiri, karena segala sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu wujud
pasti ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab yang memberinya wujud/keberadaan.
Dan titik. Wallahu a’lam..
Kesempurnaan dan
Wujud
Merenungi
keindahan alam, lebur dalam Ke-Indahan dan Ke-Sempurnaan Zat-Nya, al-faqir
berfikir tentang apa makna kesempurnaan. Sesuatu disebut sempurna jika ia
memiliki kesempurnaan. Kesempurnaan sulit didefinisikan, jika pun mungkin. Tapi
sekurangnya, ada syarat mesti sesuatu disebut sempurna, yaitu tidak membutuhkan
apa pun selain dirinya sendiri. Karena sesuatu disebut sempurna jika memiliki
kesempurnaan, maka pasti kesempurnaan itu sendiri sesuatu yang sempurna, karena
sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu jika kita meninjau kesempurnaan
qua kesempurnaan, pasti ia tidak
membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Tidak membutuhkan dari segala
modalitas (sudut pandang) apa pun yang mungkin.
Karena itu Kesempurnaan mesti-lah
identik dengan Wujud (Keberadaan) itu sendiri.
Kenapa? Karena
jika Kesempurnaan tidak identik dengan Wujud, maka ia mebutuhkan sebab untuk
maujud. Karena ia membutuhkan sebab untuk maujud, maka ia tidak sempurna.
Karena ia tidak sempurna, maka ia pasti ia bukan-lah Kesempurnaan. Ini suatu
kontradiksi. Jadi Kesempurnaan harus identik dengan Wujud.
Atau, dengan kata lain, Kesempurnaan adalah Hakikat
Zat-Nya. Karena Wujud adalah hakikat Zat-Nya.
Dan, benar bahwa Kesempurnaan tidak mungkin
didefinisikan. Karena Wujud tidak dapat didefinisikan.
Dan, Kesempurnaan itu basith (sederhana, tidak tersusun).
Karena mustahil bagi Wujud bersifat tidak basith.
Mungkin banyak
hikmah yang akan tercurah bagi kita untuk merenungi saduran kutipan dari
"40-Hadits" Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini, pada saat beliau
menjelaskan hadis ke-36 tentang Sifat Zattiyyah Allah Swt;
"Dengan
demikian, maka jika Allah Swt. itu sederhana dan sempurna, dan jauh dari
sesuatu yang menjadi keniscayaan makhluk,- yang butuh dan memerlukan sesuatu
yang lain-, maka Allah Swt sempurna dilihat dari semua sisi, mencakup semua
nama dan sifat, hakikat yang asli, dan Wujud yang badihi yang tidak dimasuki
ketiadaan,Wujud yang di dalamnya tidak bercampur antara yang sempurna dan tidak
sempurna. Dengan demikian, Allah adalah Wujud yang hakiki. Sebab, kalau sekiranya
ketiadaan masuk ke dalamnya, pasti terbentuk kekurangan sesuatu yang tersusun
(tidak basith), yaitu hubungan antara ketersusunan Wujud dengan al-‘adam
(ketiadaan). Dia Mengetahui, Hidup, Berkuasa, Melihat, Mendengar dalam arti
hakiki. Berdasarkan alasan ini, maka benarlah Imam Ash-Shadiq (a.s.) ketika
beliau bersabda, " Mengetahui adalah Zat-Nya. Berkuasa, Mendengar, dan
Melihat adalah Zat-Nya." (Catatan : Kutipan diambil dari terjemah ke dalam
bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Tapi beberapa kalimat dirubah oleh
al-faqir, hanya untuk memperjelas arti kutipan, karena terjemahan sama sekali
tidak jelas), wallohu a’lam.
Emanasi
Wujud yang
satu, tunggal dan tiada terbagi. Satu-nya
bukanlah satu bilangan rasional. Bukan pula bilangan nyata. Satu-nya tidak memungkinkan untuk men-dua. Tidak mungkin pula diambil setengah-nya. Satu ahadiyyul-ma’na.
Wujud yang
Sempurna tiada terkata. Bahkan Ia -lah kesempurnaan itu sendiri. Kesempurnaan
dari segala seginya. Yang tak dapat dipilah - pilah ke dalam fractal -fractal penyifatan manusia nan
senantiasa terkurung oleh keterbatasannya yang esensial. Kesempurnaan yang jika kita mengerti dari segi - seginya
yang terpisah, akan meruntuhkan makna sejatinya.
Wujud
yang Luas tiada terbatas oleh apa-pun. Karena jika pun ada pembatasnya;
pembatasnya tidak lain adalah ketiadaan mutlak yang bahkan tidak akan pernah
bisa dibayangkan oleh akal manusia. Luas dalam semua aspeknya. Mutlak dalam
seluruh segi-nya.
Bagaimana
mungkin Wujud yang Tunggal, Sempurna
dan Luas Tiada Berbatas ini menampakkan dirinya dalam mahiyyah - mahiyyah yang tersebar dalam alam kejamakan, tidak
sempurna dan terbatas, tak terhingga banyaknya tersebar dalam milyunan ruang,
milyunan waktu dan milyunan alam ini ?
Rantai
kausalitas yang mungkin adalah sebagai berikut. Wujud tunggal akan mengakibatkan sesuatu yang tunggal pula. Sesuatu
yang tidak terbagi pula. Hanya sesuatu ini telah kehilangan sifat Sempurna dan
Mutlak - nya. Karena minimal ia membutuhkan Sebab untuk meng - ada.
Kemudian
dari Wujud dan sesuatu itu, terdapat
tiga sesuatu yang mungkin menjadi sebab; (sesuatu itu sendiri), (Wujud, sesuatu tersebut) dan (sesuatu
tersebut, Wujud) sehingga mungkin
dihasilkan sebagai akibat tiga sesuatu
yang lain. Tentu dua sesuatu yang
terakhir sudah kehilangan sifat tunggal dan tiada terbaginya, maupun
kesempurnaan dan kemutlakannya. Dua sesuatu
ini telah memiliki sifat tidak sempurna maupun tidak mutlak (karena minimal
memerlukan sebab untuk mengada), tersusun (karena sebabnya tersusun) dan
relatif (karena sebabnya tersusun atas relasi antara dua sesuatu yang lain).
Kemudian
dari lima sesuatu ini dapat diturunkan lagi dengan memperhatikan seluruh relasi
sebab yang mungkin, dan seterusnya. Sehingga akhirnya, dari Wujud yang Tunggal muncullah alam yang
jamak ini.
Pandangan
"kosmologi" seperti yang diuraikan di atas disebut sebagai teori
emanasi. Tapi perlu dicatat, versi teori yang dituliskan ini tidak sama persis
dengan teori emanasi menurut penemu aslinya, Ibnu Sina. Sengaja pula tidak
diberikan "nama-nama" dari sesuatu - sesuatu tersebut, karena
penamaannya sebenarnya tidaklah esensial dan bahkan dikhawatirkan membingungkan
orang yang pertama kali mencoba memahaminya.
Beberapa sifat
penting dari emanasi Wujud diberikan
sebagai berikut.
Emanasi Wujud
tidak tergantung
waktu maupun ruang, bahkan ruang dan waktu-lah yang tergantung padanya.
Jadi tidak dapat ditanyakan kapankah (atau dimanakah) emanasi terjadi? Atau
bahkan dapat dikatakan pula setiap saat di setiap ruang apa pun atau pun di
setiap sesuatu yang tak dapat diperikan oleh ruang dan waktu apa pun terjadi
emanasi Wujud.
Semua sesuatu selain Wujud dalam
emanasi tidak memiliki Wujud
sejati. Karena
menurut ashalah al-wujud Yang Nyata
Wujud-Nya hanyalah Wujud. Dan mahiyyah
hanyalah memiliki eksistensi "imajiner".
Sehingga semua selain Wujud hanyalah ada di alam mental. Karena itu
tidak salah kalau semua selain Wujud disebut
Akal.
Sehingga sesuatu yang pertama muncul dari Wujud disebut sebagai Akal Pertama atau
Akal Universal. Karena seluruh akal lain
meniscayakan eksistensinya sebagai dalam rantai kausalitasnya.
Atau terkadang Akal Pertama juga disebut sebagai Nur
Muhammad. Karena nuur
inilah yang memungkinkan Wujud menyatakan
dirinya dalam selainnya di alam akal, sehingga secara reciprocal dapat dinyatakan nuur
inilah yang memberikan "eksistensi mental pertama" ,
"pemahaman pertama", Wujud atas
dirinya sendiri. Nuur inilah
Kegemilangan Mata Air Wujud dalam
"memuji / memahami" dirinya sendiri.
Sehingga tak salah jika dikatakan seluruh-nya
"dicipta" dari Nur Muhammad. Sebagaimana
dipercayai oleh sebagian orang, bahwa yang pertama kali dicipta adalah Nur
Muhammad, dan semua selain itu diciptakan lewat eksistensi Nur Muhammad.
Jelas tahapan Nur Muhammad tak terbatas ruang dan
waktu. Karena ruang maupun waktu terbagi sedang
Nur Muhammad tak terbagi.
Dan eksistensinya sebagai sebab niscaya pada se-gala
selain Wujud.
Rantai emanasi manapun pasti melewatinya.
Sehingga benarlah jika kita katakan bahwa
"dalam" segala "terdapat" Wujud maupun
Nur Muhammad. Walau harus dipahami tidak ada persatuan
material apa pun.
Sehingga semoga mencukupi jika kita akhiri makalah ini
dengan, Innallooha
wa malaa`ikatahu yusholluuna ‘alan - nabiy. Yaa ayyuhalladziina aamanuu sholluu
‘alaihi wasalimuu tasliimaa....
.
wallahu
a’lam
0 komentar:
Posting Komentar