Jumat, 15 Juni 2012




Renungan Hud-HUd

Non-Kontradiksi dan Kausalitas

Merenungi segala yang ada, pertama pasti ada obyek yang merenung, obyek yang direnugi, maupun relasi antara subyek yang merenung dengan obyek yang direnunginya. Maka, pertama-tama tentu –agar semua renungan lain memiliki makna dan nilai- subyek yang merenung (perenunng) seharusnyalah merenungi dirinya sendiri dan apa sumber-sumber yang membuktikan kebenaran suatu pengetahuian dari dirinya sendiri.
Aristoteles-lah –sejauh pengetahuan penulis- orang yang pertama kali menemukan (‘menyatakan secara formal’) bahwa di antara seluruh prinsip niscaya rasional, prinsip non-kontradiksi (kemustahilan terjadinya kontradiksi logis) merupakan prinsip logis yang paling mendasar. Artinya, tidak mungkin meyakini kebenaran apa pun, -walaupun hanya merupakan kebenaran "inderawi" yang paling sederhana- tanpa menerima prinsip non-kontradiksi
Pernyataan matematis prinsip non-kontradiksi ini tidak lain adalah x sama dengan x, dan x tidak sama dengan selain x, dan tidak pernah akan mungkin sama dengan selain x. yang pertama di sebut prinsip identitas (qanun dzatiyah), yang kedua disebut prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh), dan yang terakhir disebut prinsip ketiadaan batas (qanun imtina’). Ketiga butir prima-principia ini terkadang disebut sebagai prinsip non-kontradiksi.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mungkin menyatakan kebenaran apapun. Karena berarti benar bisa bercampur dengan salah.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mengakui identitas diri sendiri. Karena "aku" bisa saja sama dengan selain "aku".
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini bahkan berakibat hilangnya identitas segala sesuatu. Sehingga segala ini "ada" ataupun "tidak ada" sama saja.
Sehingga, benar jika kita bahwa prinsip non-kontradiksi adalah suatu hukum dasariah segala yang ada. Tak ada suatu pun yang meningkarinya.
Sehigga, dapat dikatakan secara "hudhuriy" prinsip segala yang ada telah ada pada "jiwa" manusia. Karena non-kontradiksi sebagai satu prinsip niscaya pada segala yang ada ternyata niscaya pula pada jiwa manusia.
Sebagai satu prinsip niscaya rasional lain yang tak kalah penting dari "prinsip non-kontradiksi" adalah hukum sebab-akibat. Bunyi hukum sebab-akibat adalah sebagai berikut, "Segala sesuatu memerlukan sebab untuk meng-ada kecuali keberadaan itu sendiri." Adapun beberapa sifat penting hukum kausalitas adalah;
1.       Keselarasan sebab dan akibat. Artinya satu sebab yang sama akan menghasilkan satu akibat yang sama.
2.      Kesemasaan sebab dan akibat. Artinya secara hakiki sebab sebenarnya semasa dengan akibat.
3.      Relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Artinya, dapat dikatakan sebab-lah yang memberikan eksistensi/keberadaan pada, akibat atau sebaliknya akibat meng-ada karena sebab.
Prinsip niscaya rasional kausalitas ternyata merupakan suatu prinsip yang dapat diturunkan dari prinsip yang lebih mendasar; yang prinsip non-kontradiksi. Ini dapat kita buktikan melalui dua poin;
  1. Karena ada artinya memiliki keberadaan, dan sesuatu pasti meliki dirinya, jadi keberadaan pasti ada dengan sendirinya.
  2. Jika ada sesuatu selain keberadaan tanpa sebab yang menyebabkannya ada, maka terdapat tiga kemungkinan.
·         Ia berasal dari ketiadaan. Ini mustahil, karena berarti ada sama dengan tiada.
·         Ia berasal dari sesuatu yang lain. Dalam hal ini sesuatu yang lain itulah "sebab"-nya.
·         Ia tidak berasal dari sesuatu selain dirinya, berarti keberadaannya adalah keberasaan wajib. Padahal ashalah al-wujud jelas menegaskan bahwa tidak ada quiditas (mahiyyah) apapun yang memiliki keberadaan wajib kecuali keberadaan (wujud) itu sendiri.
Sebagian orang percaya bahwa sumber pengetahuan (sumber konsepsi maupun pembenarannya) hanyalah hal-hal yang bersifat inderawi. Tapi pendapat ini mustahil, karena;
  1. Tanpa menerima prinsip niscaya rasional, -yaitu prinsip non-kontradiksi dna prinsip kausalitas-, seluruh yang diindera dan konsepsi inderawi manusia kehilangan hubungan dengan sesuatu yang obyektif yang dicerapnya. Salah satu implikasi dari hal adalah bahkan keberadaan materi pun tidak dapat ditahkik sama sekali.
  2. Bagaimana mungkin sifat dasariah inderawi yang "mungkin benar" dapat digunakan sebagai hujjah bagi sesuatu yang "pasti benar"?


Ketiadaan dan Ketiadaan
Seputas angin mengisi segenap kekosongan. Ah, kekosongan adalah ketiadaan udara atau ruang atas materi-materi lain. Apakah betul? Itukah ketiadaan? Banayangkan ruang dan waktu yang kosong melompong tanpa isi, kemudian tiba-tiba dari relung-relung "ketiadaannya" datanglah dunia materi dengan berbagai nuasa dan peristiwanya ini…,comes into existence…Begitulah kita-ktia "model" penciptaan yang ada di benak banyak orang. Karena itulah perlu pembahasan khusus tentang ketiadaan dalam makalah ini. Model "creatio ex nihilo" seperti yang dibayangkan tersebut lemah. Berikut adalah beberapa kritik atas model "penciptaan" tersebut.
Kritik Pertama
Model hanya menjelaskan penciptaan alam material saja, karena telah di-asumsikan sebelumnya penciptaan tersebut ada dalam batasan-batasan ruang dan waktu yang kosong melompong. Model pencipataan seperti ini tidak menjelaskan apapun tentang penciptaan alam immaterial yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Kritik Kedua
Yang disebut ketiadaan dalam model tersebut tidak benar-benar ketiadaan mutlak. Karena "ketiadaan" dalam model penciptaan tersebut adalah kekosongan dalam ruang dan waktu, sehingga paling tidak dapat dikatakan telah ada ruang dan waktu.
Jadi ada dua jenis ketiadaan;
Ketiadaan relatif yang menjadi makna dari non-existence. Non-existence ini mempunyai dua makna.
Pertama, ketiadaan sesuatu yang keberadaannya masih mungkin. Contohnya, ketiadaan jagung (spasio-temporal), ketiadaan hewan mamalia yang berkaki sejuta, dan lain-lain. Kedua, ketiadaan sesuatu di antara sesuatu-sesuatu yang lain yang ada. Contohnya; ketiadaan buku pada sbuah mejad. Ketiadaa seperti ini masih mempunyai derajat "keberadaan" tertentu. Kenapa, karena ketiadaan tersebut masih sama sekali artinya dingin, dan dingin efek. Contoh lain, bisakah Anda mendorong ruang hampa/udara kosong? Bukahkah ketiadaan suatu materi tertentu di udara kosong ini mempunyai efek. Anda tidak bisa mendorongnya?
Yang kedua adalah ketiadaan mutlak (al-‘adam al-muthlaq). Yaitu ketiadaan yang menjadi makna dari nothingness. Keitadaan mutlak ini benar-benar tidak ada sehingga tidak mempunyai efek apapun. Bahkan sebutan konsep ketiadaan mutlak ini-pun sebenarnya masih mempunyai eksistensi di alam mental kita sehingga tidak mencerminkan hakikat ketiadaan mutlak ini. Jika nihilo artikan sebagai nothingness (ketiadaan mutlak/al-‘adam al-muthalq), maka teori creatio ex nihilo tidak mempunyai makna sama sekali.


Wujud qua Wujud itu Tunggal

Hakikat Tuhan adalah  Wujud qua Wujud
Prinsip kausalitas ; bahwa segala sesuatu yang maujud memerlukan sebab agar meng-ada, tentu kecuali keberadaan itu sendiri ; merupakan satu prinsip yang telah hadir secara fitri dalam akal filosofis manusia. Setiap pemikir mau tidak mau mesti menggunakan prinsip ini, sebagaimana juga prinsip non-kontradiksi, untuk melandasi seluruh teori dan pengetahuannya.
Dalam alam kausalitas ini, Tuhan sebagai Pencipta sekalian alam, tidak lain dimengerti sebagai Sebab Pertama (Causa -Prima). Artinya sebab yang bukan merupakan akibat dari sebab lain. Karena kalau Tuhan bukan Sebab pertama berarti Ia bukanlah Pencipta dari sekalian alam, malahan dapat dikatakan ia diciptakan. Maha Suci Tuhan dari semua yang mereka sifatkan!
Sebagai Sebab Pertama, hakikat Tuhan adalah keberadaan-Nya. Keberadaan-Nya tidak lain adalah keberadaan sebagai keberadaan (wujud qua wujud) atau Al-Wujud Al-Muthlaq.
Bukti. Kalau hakikat Tuhan bukan keberadaan itu sendiri, maka pasti Ia memerlukan sebab untuk mengada. Sebab untuk mengada yang diperlukan ini ada dua kemungkinan
1.       Sebab itu adalah diri-Nya sendiri. Kemungkinan ini mustahil, karena akan terjadi rantai sebab akibat tanpa ujung.
2.      Sebab itu adalah selain diri-Nya sendiri. Jika kemungkinan ini benar maka Tuhan bukan Sebab Pertama. Atau dengan kata lain Tuhan adalah bukan Tuhan. Dan ini mustahil juga karena merupakan suatu kontradiksi logis.
Jadi Tuhan itu Tunggal. Karena wujud qua wujud itu tunggal.
Dan Tuhan tidak terbagi atau tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil. Karena wujud qua wujud itu tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil.
Bukti bahwa wujud qua wujud tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil adalah sebagai berikut. Jika wujud qua wujud tersusun atas bagian yang lebih kecil, maka ada dua kemungkinan
1.       Ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Maka ini mustahil karena akan menghasilkan rantai tanpa ujung.
2.      Tidak ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Ini pun mustahil karena dengan demikian wujud qua wujud tidak mempunyai keberadaan.
Dan Tuhan tidak terikat oleh "ke-kapanan" maupun "ke-dimana-an" apapun. Karena ke-kapanan maupun ke-dimana-an pasti terbagi. Ke-kapanan membagi masa menjadi sekarang, esok, lusa. Ke-dimana-an membagi posisi menjadi di sana, di situ dan lain-lain. Sedang Tuhan tidak terbagi.
Dan Tuhan itu bukanlah suatu substansi bukan pula aksiden, jika dilihat dari hakikatnya, kecuali secara aksidental. Karena dari defenisinya1 substansi adalah mahiyyah yang diaktualisasi di alam eksternal yang tidak memerlukan substratum (dasar), sedang wujud bukanlah mahiyyah. Wujud bukan pula aksiden, karena aksiden memerlukan substratum, sedang wujud pasti tidak memerlukan substratum apa-pun, karena substratum apa-pun justru memerlukannya untuk mengada. Wujud tidak mungkin merupakan substansi maupun aksiden, kecuali secara aksidental saja. Suatu wujud partikular merupakan substansi melalui ke-substansi-an mahiyyah yang berkaitan, dan ia merupakan aksiden melalui ke-aksiden-an mahiyyah yang berkaitan. Konsep wujud adalah aksiden dalam artian konsep ini adalah suatu predikat yang disarikan dari subyek-subyeknya.
Dan tidak ada apapun yang bisa dilawankan dengan Tuhan, tidak pula ada suatu yang mirip dengan-Nya. Karena dua hal yang berlawanan mempunyai beberapa syarat;
·         sama-sama ada
·         mempunyai substratum yang sama
·         mempunyai perbedaan yang ekstrim
·         dapat diklasifikasikan di dalam genus yang berdekatan / kira-kira sama
Sedang wujud tidak punya substratum, tidak pula punya genus, dan tidak pula jarak (beda) yang ekstrim terhadap apa – pun.. Karena itu pemisahan mahiyyah dari wujud adalah suatu "pembubuhan/penghiasan" mahiyyah oleh wujud. Lebih lanjut, tidak ada suatu apa pun yang mirip dengan wujud. Karena, dua hal yang mirip adalah dua hal yang mempunyai suatu yang sama dalam mahiyyah – nya, sedang wujud bukanlah mahiyyah.


Ketakmampuan akal dlm memahami Wujud qua Wujud
Pluralitas dan mahiyyah
Dunia ini jamak. Ada kuda. Ada manusia. Ada gunung. Ada laut. Ada sebab. Ada akibat. Ada jauhar. Ada aksiden. Ya, seolah ada banyak "sesuatu-sesuatu". Benarkah ada banyak sesuatu-sesuatu? Tapi bukankah keberadaan-nya tunggal. Keberadaan-nya satu?
Jelas pluralitas yang tampak di alam ini bukan merupakan pluralitas wujud. Karena telah dibuktikan bahwa wujud itu tunggal. Jadi pluralitas timbul dari sesuatu selain wujud. Apakah itu?
Yang menyebabkan kita membedakan kuda dengan manusia, tidak lain adalah ke"apa" an dari kuda dan ke"apa" an dari manusia. Bukan keberadaan-nya. Ke"apa"an tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan apa itu .................? Istilah Arab dari ke"apa"an adalah mahiyyah. Istilah lain yang menunjukkan ke"apa"an adalah quiditas atau esensi.
Ke"apa"an merupakan sumber pluralitas. Subyek pengamat, mengquidifikasi berbagai hal, sehingga keberadaan yang tunggal memiliki berbagai "keapaan" dalam jiwa subyek pengamat. Jadi jelas karena ke"apa"an bersifat subyektif, pluralitas-pun bersifat subyektif. Belum tentu mereka bersifat obyektif.
Faham ‘ashalatul-wujud menyatakan yang benar-benar nyata hanyalah wujud, sedang mahiyyah tak nyata. Jadi menurut faham ini mahiyyah tak obyektif. Pluralitas pun tak obyektif. Yang nyata, yang obyektif hanyalah Tuhan, wujud qua wujud, Yang Tunggal.
‘Ashalatul-wujud merupakah faham yang didukung dan dibuktikan secara rasional oleh para filsuf pengikut Mulla Shadra maupun didukung dan dibuktikan secara intuitif oleh para ahli ‘irfan seperti ‘Ibn ‘Arabi.
’Ashalah al-Wujud
Merenungi seluruh yang maujud, dalam aliran Sholawat, maka selalu kita arungi. buih-buih mahiyyah (ke-apa-an, quiditas) pada satu ketunggalan, satu keberadaan, satu Wujud Mutlak. Maka, karena mahiyyah menimbulkan kejamakan (al-katsrah) sedang wujud adalah ketunggalan (al-wahdah), maka inilah yang disebut al-wahdah fi al-katsrah dan al-katsrah fi al-wahdah.
Maka dari samudera ke-apaan dan keberadaan,. ada tiga kemungkinan
  1. Baik mahiyyah maupun wujud qua wujud sama-sama real,- ada di alam nyata, tidak hanya di alam fikiran atau jiwa subyek pemikir (manusia).
  2. Yang real adalah mahiyyah, sedang wujud qua wujud hanyalah ada di alam fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-mahiyyah.
  3. Yang real adalah wujud qua wujud, sedang mahiyyah hanyalah ada di alam fikiran manusia. Paham ini disebut ‘ashalah al-wujud.
Paham pertama, bahwa baik mahiyyah maupun wujud qua wujud sama-sama nyata, merupakan paham yang "sesuai" dengan common-sense atau feeling orang banyak. Pendapat ini salah. Buktinya, jika mahiyyah dan wujud qua wujud sama-sama nyata, maka karena mahiyyah itu banyak, sedang wujud qua wujud itu tunggal, maka realitas itu banyak sekaligus tunggal. Dan ini kontradiksi. Jadi tidak mungkin keduanya sama-sama nyata dalam artian yang hakiki.
Paham kedua, bahwa yang nyata dan benar-benar ada adalah mahiyyah tidak benar. Buktinya diperoleh dengan membuktikan bahwa paham ketiga-lah, -yaitu ‘ashalah al-wujud-, yang benar.
Paham ketiga, ‘ashalah al-wujud merupakan paham yang benar. Buktinya yang paling mudah adalah sebagai berikut;
Pertama, wujud qua wujud pasti benar-benar ada, karena ada artinya memiliki keberadaan, sedangkan wujud qua wujud tidak lain adalah keberadaan itu sendiri.
Kedua, wujud sesuatu merupakan sumber semua "penilaian" atas sesuatu tersebut. Tidak mungkin mensifati apapun, tanpa meyakini sesuatu tersebut memiliki wujud terlebih dahulu.
Ketiga, bagaimana mungkin mahiyyah yang benar-benar ada, sedang wujud lah yang membuat segala sesuatu meninggalkan keadaan "kesamaan"-nya? Keadaan "kesamaan" artinya kemungkinan ada sama dengan kemungkinan tidak ada, dan seluruh mahiyyah yang tidak mempunyai wujud terletak pada keadaan ini.
Masih ada bukti-bukti lain yang lebih rumit yang dapat dibaca di Syarh-e Manzhumeh dari Guru kita semua YM. Mulla Hadi Sabzavary, semoga rohnya dimuliakan-Nya.
Satu argumen yang menentang ‘ashalah al-wujud adalah sebagai berikut. Sekiranya wujud itu benar-benar ada, maka wujud adalah suatu maujud. Karena wujud itu maujud, maka sebagai maujud ia perlu memiliki wujud. Dan selanjutnya wujud berikut ini pun adalah maujud yang perlu memiliki wujud, dan seterusnya (ad infinitum). Ini merupakan suatu petitio principii yang membentuk rantai argumen tanpa ujung yang mustahil. Argumen tersebut salah. Letak kesalahannya adalah di awal, cukup kita katakan bahwa wujud itu memiliki dirinya sendiri, karena segala sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu wujud pasti ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab yang memberinya wujud/keberadaan. Dan titik. Wallahu a’lam..
Kesempurnaan dan Wujud
Merenungi keindahan alam, lebur dalam Ke-Indahan dan Ke-Sempurnaan Zat-Nya, al-faqir berfikir tentang apa makna kesempurnaan. Sesuatu disebut sempurna jika ia memiliki kesempurnaan. Kesempurnaan sulit didefinisikan, jika pun mungkin. Tapi sekurangnya, ada syarat mesti sesuatu disebut sempurna, yaitu tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Karena sesuatu disebut sempurna jika memiliki kesempurnaan, maka pasti kesempurnaan itu sendiri sesuatu yang sempurna, karena sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu jika kita meninjau kesempurnaan qua kesempurnaan, pasti ia tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Tidak membutuhkan dari segala modalitas (sudut pandang) apa pun yang mungkin.
Karena itu Kesempurnaan mesti-lah identik dengan Wujud (Keberadaan) itu sendiri.
Kenapa? Karena jika Kesempurnaan tidak identik dengan Wujud, maka ia mebutuhkan sebab untuk maujud. Karena ia membutuhkan sebab untuk maujud, maka ia tidak sempurna. Karena ia tidak sempurna, maka ia pasti ia bukan-lah Kesempurnaan. Ini suatu kontradiksi. Jadi Kesempurnaan harus identik dengan Wujud.
Atau, dengan kata lain, Kesempurnaan adalah Hakikat Zat-Nya. Karena Wujud adalah hakikat Zat-Nya.
Dan, benar bahwa Kesempurnaan tidak mungkin didefinisikan. Karena Wujud tidak dapat didefinisikan.
Dan, Kesempurnaan itu basith (sederhana, tidak tersusun). Karena mustahil bagi Wujud bersifat tidak basith.
Mungkin banyak hikmah yang akan tercurah bagi kita untuk merenungi saduran kutipan dari "40-Hadits" Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini, pada saat beliau menjelaskan hadis ke-36 tentang Sifat Zattiyyah Allah Swt;
"Dengan demikian, maka jika Allah Swt. itu sederhana dan sempurna, dan jauh dari sesuatu yang menjadi keniscayaan makhluk,- yang butuh dan memerlukan sesuatu yang lain-, maka Allah Swt sempurna dilihat dari semua sisi, mencakup semua nama dan sifat, hakikat yang asli, dan Wujud yang badihi yang tidak dimasuki ketiadaan,Wujud yang di dalamnya tidak bercampur antara yang sempurna dan tidak sempurna. Dengan demikian, Allah adalah Wujud yang hakiki. Sebab, kalau sekiranya ketiadaan masuk ke dalamnya, pasti terbentuk kekurangan sesuatu yang tersusun (tidak basith), yaitu hubungan antara ketersusunan Wujud dengan al-‘adam (ketiadaan). Dia Mengetahui, Hidup, Berkuasa, Melihat, Mendengar dalam arti hakiki. Berdasarkan alasan ini, maka benarlah Imam Ash-Shadiq (a.s.) ketika beliau bersabda, " Mengetahui adalah Zat-Nya. Berkuasa, Mendengar, dan Melihat adalah Zat-Nya." (Catatan : Kutipan diambil dari terjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Tapi beberapa kalimat dirubah oleh al-faqir, hanya untuk memperjelas arti kutipan, karena terjemahan sama sekali tidak jelas), wallohu a’lam.


Emanasi
Wujud yang satu, tunggal dan tiada terbagi. Satu-nya bukanlah satu bilangan rasional. Bukan pula bilangan nyata. Satu-nya tidak memungkinkan untuk men-dua. Tidak mungkin pula diambil setengah-nya. Satu ahadiyyul-ma’na.
Wujud yang Sempurna tiada terkata. Bahkan Ia -lah kesempurnaan itu sendiri. Kesempurnaan dari segala seginya. Yang tak dapat dipilah - pilah ke dalam fractal -fractal penyifatan manusia nan senantiasa terkurung oleh keterbatasannya yang esensial. Kesempurnaan yang jika kita mengerti dari segi - seginya yang terpisah, akan meruntuhkan makna sejatinya.
Wujud yang Luas tiada terbatas oleh apa-pun. Karena jika pun ada pembatasnya; pembatasnya tidak lain adalah ketiadaan mutlak yang bahkan tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh akal manusia. Luas dalam semua aspeknya. Mutlak dalam seluruh segi-nya.
Bagaimana mungkin Wujud yang Tunggal, Sempurna dan Luas Tiada Berbatas ini menampakkan dirinya dalam mahiyyah - mahiyyah yang tersebar dalam alam kejamakan, tidak sempurna dan terbatas, tak terhingga banyaknya tersebar dalam milyunan ruang, milyunan waktu dan milyunan alam ini ?
Rantai kausalitas yang mungkin adalah sebagai berikut. Wujud tunggal akan mengakibatkan sesuatu yang tunggal pula. Sesuatu yang tidak terbagi pula. Hanya sesuatu ini telah kehilangan sifat Sempurna dan Mutlak - nya. Karena minimal ia membutuhkan Sebab untuk meng - ada.
Kemudian dari Wujud dan sesuatu itu, terdapat tiga sesuatu yang mungkin menjadi sebab; (sesuatu itu sendiri), (Wujud, sesuatu tersebut) dan (sesuatu tersebut, Wujud) sehingga mungkin dihasilkan sebagai akibat tiga sesuatu yang lain. Tentu dua sesuatu yang terakhir sudah kehilangan sifat tunggal dan tiada terbaginya, maupun kesempurnaan dan kemutlakannya. Dua sesuatu ini telah memiliki sifat tidak sempurna maupun tidak mutlak (karena minimal memerlukan sebab untuk mengada), tersusun (karena sebabnya tersusun) dan relatif (karena sebabnya tersusun atas relasi antara dua sesuatu yang lain).
Kemudian dari lima sesuatu ini dapat diturunkan lagi dengan memperhatikan seluruh relasi sebab yang mungkin, dan seterusnya. Sehingga akhirnya, dari Wujud yang Tunggal muncullah alam yang jamak ini.
Pandangan "kosmologi" seperti yang diuraikan di atas disebut sebagai teori emanasi. Tapi perlu dicatat, versi teori yang dituliskan ini tidak sama persis dengan teori emanasi menurut penemu aslinya, Ibnu Sina. Sengaja pula tidak diberikan "nama-nama" dari sesuatu - sesuatu tersebut, karena penamaannya sebenarnya tidaklah esensial dan bahkan dikhawatirkan membingungkan orang yang pertama kali mencoba memahaminya.
Beberapa sifat penting dari emanasi Wujud diberikan sebagai berikut.
Emanasi Wujud tidak tergantung waktu maupun ruang, bahkan ruang dan waktu-lah yang tergantung padanya. Jadi tidak dapat ditanyakan kapankah (atau dimanakah) emanasi terjadi? Atau bahkan dapat dikatakan pula setiap saat di setiap ruang apa pun atau pun di setiap sesuatu yang tak dapat diperikan oleh ruang dan waktu apa pun terjadi emanasi Wujud.
Semua sesuatu selain Wujud dalam emanasi tidak memiliki Wujud sejati. Karena menurut ashalah al-wujud Yang Nyata Wujud-Nya hanyalah Wujud. Dan mahiyyah hanyalah memiliki eksistensi "imajiner".
Sehingga semua selain Wujud hanyalah ada di alam mental. Karena itu tidak salah kalau semua selain Wujud disebut Akal.
Sehingga sesuatu yang pertama muncul dari Wujud disebut sebagai Akal Pertama atau Akal Universal. Karena seluruh akal lain meniscayakan eksistensinya sebagai dalam rantai kausalitasnya.
Atau terkadang Akal Pertama juga disebut sebagai Nur Muhammad. Karena nuur inilah yang memungkinkan Wujud menyatakan dirinya dalam selainnya di alam akal, sehingga secara reciprocal dapat dinyatakan nuur inilah yang memberikan "eksistensi mental pertama" , "pemahaman pertama", Wujud atas dirinya sendiri. Nuur inilah Kegemilangan Mata Air Wujud dalam "memuji / memahami" dirinya sendiri.
Sehingga tak salah jika dikatakan seluruh-nya "dicipta" dari Nur Muhammad. Sebagaimana dipercayai oleh sebagian orang, bahwa yang pertama kali dicipta adalah Nur Muhammad, dan semua selain itu diciptakan lewat eksistensi Nur Muhammad.
Jelas tahapan Nur Muhammad tak terbatas ruang dan waktu. Karena ruang maupun waktu terbagi sedang Nur Muhammad tak terbagi.
Dan eksistensinya sebagai sebab niscaya pada se-gala selain Wujud. Rantai emanasi manapun pasti melewatinya.
Sehingga benarlah jika kita katakan bahwa "dalam" segala "terdapat" Wujud maupun Nur Muhammad. Walau harus dipahami tidak ada persatuan material apa pun.
Sehingga semoga mencukupi jika kita akhiri makalah ini dengan, Innallooha wa malaa`ikatahu yusholluuna ‘alan - nabiy. Yaa ayyuhalladziina aamanuu sholluu ‘alaihi wasalimuu tasliimaa....
.
wallahu a’lam


Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!