Rabu, 04 Juli 2012


“Kita kalah, Ma, bisiku”.“Kita telah melawan, Nak,Nyo, sebaik-baiknya,sehormat-hormatnya”. 

Pramoedya telah menampilkan sebarisan

Srikandi, sebagai pendekar yang bertarung
dengan kekuatan sejarah. Apakah simpati

Pramoedya kepada perempuan diakibatkan

Oleh nasib mereka yang sering terkungkung
Dibawah kekerasan patriarki sebagai sebuah
Kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang
Menjadi kawan seperjuangan pengarang
menghadapi kekerasan politik? 

Jalan hidup seperti lintasan

Roller coaster.

Dari dinamo Lekra yang penuh
Kuasa, menjadi paria Pulau Buru
Sepanjang Orde Baru, dan kini
Memperoleh pengakuan
Internasional yang kian tinggi.
Bagaimana menempatkan

Tokoh paradoksal ini

Dalam peta sastra
Dan politik Indonesia?
                                                           
Penampilan bersahaja-terlalu bersahaja.Namun, ada sedikit yang aneh: dia tak memakai sandal seperti yang selalu dipakainya bertahun-tahun. Tentu saja, selain sebuah mesin tik yang erat ditentengnya dalam perjalanannya menuju New York awal april lalu itu.
            Mesin tik mengisyaratkan anakronisme, New York adalah paradoks. Dan ada satu pertanyaan menggoda: tidakkah Pramoedya Ananta Toer-seperti tokoh dalam novel fiksi-sain klasik karangan H.G Wells-merasa terlontar oleh mesin waktu ke dunia yang sama sekali berbeda?
            Kota manca negara terakhir yang dikunjunginya adalah Beijing sekitar 40 tahun silam, sebuah ibukota negeri komunis terbesar yang pernah menjadi sumber kekaguman baginya.
            Sementara New York ? Pram datang ketika indeks saham Dow-simbol kedigdayaan kapitalisme Amerika itu-menjilati angka tertinggi sepanjang sejarahnya; ketika microsof, bersama Intel Pentium, terus merangsek mesin-mesin tik seperti miliknya masuk ke museum barang antik dan  hanya beberapa tahun sebelum kedatangannya, seorang Francis Fukuyama mengumumkan “berakhirnya sejarah”, menyusul kolapsnya komunisme.
            Bagaimanapun, sejarah belum berakhir-juga bagi Pram. Menjelang 75 tahun usianya, dia justru baru saja menyibak satu lagi lembar sejarah pribadinya.
            Pram datang ke New York untuk menghadiri sebuah perlehatan, satu dari sedikit moment yang mungkin paling membahagiakannya; peluncuran buku The Mute’s Soliloquy –edisi bahasa Inggeris dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sebuah kolase pengalaman pribadi, surat untuk anak-anaknya dan permenungannya di Pulau Buru. Gumannya yang pahit itu, akhirnya, memperoleh pendengar yang lebih luas.
            Itu bukan sambutan hangat pertama yang diterima Pram dari kalangan internasional. Karya sastranya yang menjulang dari peri hidupnya yang mengiris-berkat penindasan dan pemberangusan Orde Baru-telah melambungkan namanya. Tak hanya banyak karyanya yang diterjemahkan
Kedalam bahasa asing, melainkan juga memperoleh berbagai penghargaan, termasuk “Freedom to Write Award” dari organisasi PEN di Amerika Serikat pada 1998.
            Namun, inilah pertama kali dia mendapatkan kembali kemerdekaannya yang lebih hakiki, kemerdekaan yang tak pernah sempurna diperolehnya, bahkan setelah lama dia dibebaskan dari Buru. Kali ini dia punya paspor dan bisa hadir dalam sebuah acara di luar negeri –sesuatu yang mustahil diera Soeharto.
            Pram absen di Manila ketika, pada 1995, yayasan setempat menganugrahinya “Ramon Magsaysay Awrd for Journalism, Literature, and Creative Comunication Arts”. Larangan berpergian terhadapnya, dan polemik yang menyertai pemberian penghargaan itu, hanya menegaskan satu hal: tak hanya di luar negeri, Pram juga dikagumi banyak anak muda Indonesia yang membaca karyanya diam-diam.
            Jaksa Agung Orde Baru membuat larangan setiap kali terbit karya Pram pasca-Buru-hampir setahun satu pada dasawarsa 1980: tetralogi (Bumi Manusia dan tiga lainnya), anologi sastra pra-Indonesia Tempo Doeloe, dan biografi R.M. Tirto Adhisurjo Sang Pemula. Dan tanpa Orde Baru sadari, nama Pram kian besar setiap kali karyanya dibrangus.
            Dari sejak Buru itu, dia mempersiapkan pertempuran ini dengan baik, “Saya cuma janji kepada diri saya sendiri: saya tidak akan mati dalam tiga puluh tahun,” kata Pram. “Saya mau melihat jatuhnya (Orde Baru). Itu yang bikin saya tidak mati.”
            Kepahitan tak terbayangkan-pembantaian terhadap orang-orang PKI dan penderitaan di Pulau Buru-dengan cara tertentu menyumbangkan energi yang cukup besar untuk seluruh penulisan. “Saya dalam posisi melwan penindasan, ketidakadilan. Itu yang memberi saya semangat Hidup.”
            Ada perasaan memiliki otoritas moral di situ. Ada daya hidup yang fantastis, dan mungkin juga dendam.
            Bagaimanapun, perjara Buru bukanlah pengalaman yang pertama. Di saman kemerdekaan, pada usia 20-an, dia ditangkap Belanda dan dipenjarakan karena menerbitkan pemflet antikolonial. Di saman Orde Lama, dia kembali masuk bui karena buku Hoakiau di Indonesia, pembelaan terhadap orang-orang Tionghoa yang gebah pada 1960-an. Buku itu juga sempat dibrangus, tapi diterbitkan kembali setelah Soeharto jatuh, disusul kemudian denganpencabutan larangan atas semua bukunya yang lain.
            Namun, Buru, seperti kemudian bisa dibaca dari Nyanyi Sunyi, adalah puncak kulminasi perlawananya. “Ada tekanan untuk survive yang menajubkan.” Kata Willem Samuels, orang Amerika yang menerjemahkan karya itu ke bahasa Inggeris.
            Pram tahu persis bagaiman membunuh waktu-secara harfiah maupun simbolis. Dan mesin tik,seperti yang di bawanya ke New York, adalah senjatanya, azimatnya yang-untuk beberapa hal-mewakili keteguhan, keengganannya, dan mungkin juga ketidakmampuannya untuk berubah.
            Pram, menulis dengan gaya yang hampir sama, seperti cerpen dan roman-romannya sejak 1940-an. Sapardi Djoko Damono, dosen fakultas sastra Universitas Indonesia, berpendapat tidak terlalu banyak karya-karya Pram yang mempunyai keistimewaan. “Novel-novel Pram yang pendek memang kuat, seperti dalam Bukan Pasar Malam. Tetapi, ketika menulis panjang, kelihatan kelemahannya, lonngar dan tidak ekspresif,” katanya. Meski begitu, Sapardi mengagumi satu hal: konsistensi Pram dalam gaya penulisan realismenya.
            Tema-tema karya Pram mengingatkan orang pada Max Havelaar-nya Multatuli-satu sastrawan besar yang dikaguminya di samping John Steinbeck. Teme-tema itu dipetik sebagian besar dari dunia sekelilingnya yang nyata, atau dari tokoh-tokoh nyata hasil riset sejarahnya. Misalnya, Tjterita dari Blora, yang berpusar pada masa kecilnya.
            Kekaguman dan simpatinya pada tokoh ibu,  di samping sikap sinisnya pada tokoh-tokoh ulama, yang banyak mewarnai karyanya, ,juga buah pengalaman pribadinya. Neneknya dari pihak ibu adalah “selir” dari seorang penghulu Rembang, seorang haji, yang dicampakkan dari rumah setelah melahirkan-sebagai bagian dari kepercayaan di Jawa waktu itu.
            Sikap itu lebih mewakili antifeodalisme jawa keimbang anti-Islam seperti dituduhkan para pengcamnya-misalnya ketika dia melukiskan tokoh haji sebagai tuan tanah korup. Bagaimanapun itu memang tampak pula mempengaruhi seluruh sikapnya terhadap agama-agama manapun-yang menurutnya “sering dugunakan sekedar sebagai alat penindasan.”
            Sisi menonjol lain dari karya-karya Pram adalah identifikasi setiap tokohnya terhadap “perjuangan rakyat”. Aliran realisme-sosialis seperti itu memang menjadi arus besar di masa Orde Lama.
            “Ideologi saya adalah Pram-isme. Saya ingin menjadi diri sendiri, “kata Pram dalam wawancara dengan TEMPO belum lama ini. Tapi, bisakah sikap indivudualistis seperti itu-yang lebih mewakili aliran humanisme universal, yang pernah dikecamnya habis-diucapkan Pram pada 1960-an, pada masa jayanya?
            Dalam seminar sastra di Universitas Indonesia, 26 Januari 1963, sebagai tokoh Lekra terkemuka, Pram menggelar gagasannya tentang realisme sosialis yang dikutipnya dari  A.A.Zhadanov, seorang stalanis yang mengontrol seni dan kesusastraan Soviet pada 1930-an. Sebuah gagasan yang menjadi alat pembrangusan karya banyak sastrawan Eropa Timur dan mesin penindas yang menghadirkan gulag-gulag ala Pulau Buru juga.
            Begitulah sementar karya-karyanya mudah ditebak, mengingat konsistensinya, salah satu tragedi Pram adalah sikapnya-terutama-sikap politiknya-yang terasa jungkir balik bersam lintasan hidupnya yang panjang dan berliku: staf pad sebuah kantor berita, tentara, redaktur penerbitan, sebelummenjadi sastrawan puncak yang kemudian terbanting.
            Dan tak ada tragedi yang lebih menyengat kecuali dukungan tanpa syarat terhadap Manifesto Politik (Manipol) Seokarno. Dalam harian Bintang Merah, 1975, sebuah organ PKI, Pram menulis dukungannya. Dia juga juga memimpin delegasi seniman yang menghadap presiden. Sebagai nasionalis sejati yang percaya pad gagasan negara kesatuan, dia membantu tentara dalam konfrontasi dengan “pemberontakan” PRRI di Sumatra, dan memperoleh penghargaan dari H.A.Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat kala itu.
            Pram-secara langsung-atau tidak-berperan pula dalam memuluskan pembrangusan konstituante, parlamen demokratis hasil pemilu, lewat Dekrit Presiden 1959, yang mengawali era “Demokrasi Terpimpin”. Bersama sejumlah seniman, dia mendesak Soekarno mencabut keputusan pemerintah Republik Indonesia 1945, yang membebaskan pembentukan partai-partai politik sebanyak-banyaknya. Pram dan kawan-kawan melihat keputusanyang diprakarsai Mohammad Hatta ini sebagai suatu pengkhianatan terhadap revolusi karena kekuatan revolusi yang pada mulanya ada di tangan rakyat dipecah dan dibagi diantara partai-partai.
            Dukungan Pram sekarang ini terhadap Partai Rakyat Demokratik (PRD) untuk berlaga dalam sistem multipartai di era reformasi, tentu saja, sebuah revisi sikap pula .
            Kembali ke masa silam, polemiknya tentang Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalh kelanjutan logis dari sikap politiknya itu. Juga serangan kasarnya-seperti ditunjukkan dalamkarangan-karangannya di Lentera, rubrik kebudayaan harian PKI Bintang Timur-kepada para Manikebuis, kepada tokoh Masyumi seperti Hamka dan tokoh Partai Sosialis Indonesia, Sultan Takdir Alisyahbana.
            Kebenciannya kepada H.B. Jassin, salah satu penanda tangan Manikebu, bahkan kekal hingga kini. (Lihat: “Yang tidak setuju, ya, minggir saja”). Jassin berjasa memperkenalkan Pram dengan mengikut sertakan roman Perburuan-nya-karya pertama-ke sebuah sayembara penulisan yang kemudian dimenangkannya. Sebagai kritikus, Jassin juga hampir selalu memiliki pandangan positif terhadap karya-karyanya. Pram sendiri bahkan pernah mengaguminya sebagai guru humanisme. Namun, belakangan, dimatanya Jassin tidak punya rasa kemanusiaan karena diam saja menyaksikan “nasib” satu setengah juta” orang (PKI atau mereka yang dituduh PKI) diinjk-injak Orde Baru.
            Dalam hal ini, Pram konsisten. Sebuah tulisannya yang terbit pada 1953 berjudul Ofensif Kesusastraan 1953, H.B. Jassin Sudah Lama Mati Sebelum Gantung Diri. Dan ironis: Pram sudah lama membunuhnya, dan toh tetap menurut Jassin memiliki rasa kemanusiaan.
            Tulisan lain Pram di Lentera menjadi salah satu puncak penggasakan kaum Manikebus, berjudul: Tahun 1965 tahun pembabatan total. Ini sekaligus ironi pula-kali ini bahkan jauh lebih mengiris. Sebab,sejarah kemudian tahu pihak mana yang justru “dibabat total”.
            Tidak mudah untuk mencari keseimbangan-bahkan kini, berpuluh tahun kemudian-dalam merenungkan suasana kala itu, yang oleh Gunawan Mohamad digamabarkan sebagai “apokoliptik”. Tidak mudah mencari jalan tengah dari permainan zero-sum; permainan kalah-menang.
            Sesungguhnya tidak ada yang menang dalam pergumulan besar yang kemudian terbukti berdarah itu, ketika kongflik Lekra vs Manikebu hanyalah sebuah catatan kakinya saja. Penggiringan puluhan ribu orang seperti Pram ke Pulau Buru dan pembantaian PKI di mana-mana adalah tragedi bagi bangsa ini secara keseluruhan.
            Namun, melihat masa silam Pram-khususnya peranannya dalam polemik 1960-an itu-adalah mereduksinya menjadi sekedar sebagai mahluk politik. Bahkan sebagai redaktur Lentera, Pram sesungguhnya tidak cuma menawarkan sumpah serapah politik.
            A. Teeuw, kritikus Belanda yang juga pernah menjadi sasaran kecaman Pram, menyebut Lentera sebagai media utama tulisan Pram yang pada priode 1962-1965 “menakjubkan banyak dan anekanya” (Citra Manusia Indonesia, Pustaka Jaya, 1997). “Banyak karangan masa itu”, tulis Teeuw, “adalah hasil riset mendalam, berdasarkan bahan kepustakaan dasawarsa pertama abad ini.”
            Pram juga telah memulai usahanya menuliskan kembali sajarah sastra dan merombak pengajaran sastra Indonesia, antara lain dengan sejumlah pelacakan yang kelak pada 1982 diterbikannya dalam Tempo Doeloe. Juga dia mulai menerbitkan terjemahan Max Havelar, meski akhirnya tidak tuntas, di samping cerita sambung memikat:: Hikayat Siti Mariah.
            Riset sejarahnya, yang antara lain muncul dalam biografi tirto Adhisurjo, seorang pionir jurnalistik Indonesia, termasuk mencengangkan. Di tengah kecendrungan kental ke arah penulisan sejrah resmi yang didiktekan negara, “karya-karya alternatif” Pram seperti ini memberi sumbangan besar untuk melihat masa silam Indonesia secara lebih utuh.
            Karya-karya sastra Pram memang menduduki tempat tersendiri, “kata Sapardi Djoko Damono. Dan Teeuw, yang mengenal karya Pram pertama kali setengah abad lalu, menyebutnya sebagai “pengarang prosa Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini”.
            Sejrah belum berakhir-juga bagi Pram. Sejarah masih menjadi. Dan beruntung Pram kini, di usia senja, setelah semua dram itu, memiliki peluang untuk menuliskan sebuah akhir yang manis. Sebuah peluang, dan selebihnya....terserah Pram.                                                                         
     


WAWANCARA PRAMOEDYA ANANTA TOER:
 



“YANG TIDAK

SETUJU, YA,
MINGGIR SAJA

Setelah 20 tahun tak menyentuh sepatu, Pramoedya
Ananta toer “terpaksa” mengenakannya untuk sebuah
Perjalanan jauh. Ke New York. Diiringi anggota Partai
Rakyat Demokratik, keluarganya, wartawan asing dan lokal,
Serta kamera televisi asing yang merekam
Keberangkatannya Ke Bandara Cengkareng, Pram
 melankahkan kakinya-dalam rangka memenuhi
 undangan ke AS. Disana Pram akan meluncurkan buku
 terjemahan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
 Ia mengenakan sepatu.  
 ___________________________________________________
Sebelum berangkat, Pram bersedia menerima Mustafa Ismail, Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamin, dan fotografer Robin Ong dari Tempo hingga beberapa kali. Sembari menggunakan kaus putih dan kain sarung, Pram, ketikamenjawab pertanyaan Tempo, sesekali suaranya meninggi dan keras takkala menjawab pertanyaan agak sensitif. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Febfuari 1925 sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Pram mengaku ayahnya seorang nasionalisyang pernah dipenjara Belanda. Sejak SD, “saya banyak membaca karena orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk ukuran kota kecil, “tutur Pram. Pram mulai membaca koran dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa sejak usia delapan tahun, sehingga keterikatannya pada sejarah dan politik tampaknya dimulai pada usia yang sangat dini. Pendidikan formalnya hanya berakhir hingga SMP, tetapi minatnya unutk mendalami ilmu pengetahuan dan politik tetap intens.
            Pada awal 1960-an, Pram dikenal sebagai salah satu totkoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia).
            Kegiatan Pram di Lekra dan wewenangnya sebagai staf redaksi Lentera, lembaran budaya harian Bintang Timur, belakangan membuat ia terlibat dalam polemik terkenal, yang hingga kini tampaknya masih menyimpan rasa tak nyaman pada beberapa sastrawan yang berseberangan dengan dia.
            Ini disebabkan perbedaan konsep berkesenian diantara kedua kubu itu: kubu pertama, Pram dengan Lekra-nya. Kubu kedua adalah pencetus Manifes Kebudayaan. Perbedaan kedua kubu itu kemudia dirangkum dalam sebuah buku yang komprehensif bebrjudul Prahara Budaya yang disususn oleh Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto.
            Terakhir, pada 1965, PKI tumbang. Orang-orang bersimpati dan berafiliasi dengan partai itu pun “diangkat”. Ada yang dibunuh, tidak sedikit pula yang dipenjarakan. Salah seorang yang dipenjaraka itu adalah Pram, yang sampai dibawa ke Pulau Buru. Tanggal 13 oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya-kini disita-di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.
            Di Pulau Buru, hidupnya selama belasan tahun tidak mematikan semangatnya untuk menulis. Beberapa karyanya-tetralogi Pulau Buru, dimulai dari Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Sebuah Bangsa, dan berakhir dengan Rumah Kaca—berhasil diselundupkan ke luar dan diterbitkan.
            Pada 1979 ia dibebaskan, meski melaui berbagai rintangan. Ia tetap rajin menulis, dengan tulisan tangan atau dengan sebuah mesin tik tua, karena, “saya tidak bisa mengikuti irama Teknologi,” katanya ketika ditanya mengapa tidak menggunakan komputer. Dengan kacamata setebal plus empat setengah, ditemani 32 batang rokok sehari, Pram mengsi hari-harinya dengan membaca koran serta mendokumentasikannya dengan rapi di perpustakaanya yang mengagumkan dan terpelihara.
            Berikut adalah petikasn wawancara Pram dengan Tempo beberapa hari sebelum keberangkatannya ke A.S:
           
            Waktu di Pulau Buru, apakah pernah terpikirkan bahwa Anda akan seperti ini, diundang kemana-mana?
            Tak pernah membayangkan. Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional. Setelah saya menyelesaikan tugas, ya sudah, saya tak pernah memikirkannya atau membaca ulang tulisan saya sendiri.
            Anda kan banyak menulis roman sejarah, termasuk saat di Pulau Buru, bagaimana mengorganisasikan data itu?
            Penulisan tetralogi itu punya sejarah panjang. Setelah saya menerbitkan Hoakiau di Indonesia, saya diculik dan ditahan. Pulang dari tahanan ini, saya diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Tri Sakti). Bagaimana saya mengajar di perguruan tinggi? SMP saja saya tidak tamat. Jadi saya mengajar dengan cara saya sendiri. Setiap mahasiswa yang saya beri kuliah, saya wjibkan mempelajari koran selama satu tahun, lalu mereka membuat naskah kerja. Saya mengajar mulai 1962 sampai 1965. kalikan saja, tiga puluh naskah dari 30 mahasiswa. Itu sekian tahun yang saya pelajari, saya mendapat petunjuk, sumber-sumber hisroris, dari sanalah saya mempunyai bahan-bahan sejarah.
            Tapi waktu Anda dibawa ke Pulau Buru, bahan-bahan itu kan ditinggal?
            Kalau ada sesuatu yang menarik saya tidak lupa.
            Apa betul untuk mengingat kembali setting sejarah dan mengembalikan ingatan, anda selalu menceritakan berula-ulang kepada teman-teman di Pulau Buru?
            Ceritanya, sebelum diberikan izin menulis, sekitar sebelum pemilu tahun 1971. kami-sekitar 12 orang- dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu denagn yang lain. Saya bercerita kepada mereka setiap saat apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu setengah kali Pulau Bali sementara kam konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau Buru. Pada 1973 saya baru dibebaskan dari pengucilan.
            Apakah Anda dikenal oleh kawan-kawan itu sebagai pencerita?
            Oh, tidak. Praktis tidak begitu. Saya menulis saja. Tetapi waktu itu  keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoro, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.
            Apa betul pembebasan Anda pada tahun 1979 ada campur tangan pihak asing?
            Betul. Sebelum meninggalkan Buru kami harus menandatangani surat pernyataan bahwa kami diperlakukan dengan baik. Sebagai tahanan politik yang tak punya hak, ya kami tanda tangani saja. Ternyata, di utara Selat Madura, sekitar 30 orang diturunkandari kapal. Sementara itu, kapalnya langsung berangkat ke Jakarta. Rencananya, sebetulnya, kami mau disembunyikan di Pulau Nusa Kambangan. Tapi, sejak di Pulau Buru, tampaknya kami sudah diamati oleh gereja katolik. Saya melihat orang gereja itu diusir, ia tidak boleh dekat-dekat. Tapi dia memantau sampai dunia internasional tahu bahwa ada sebagian tahanan politik yang tak diangkut ke Jakarta. Lantas itu manjadi berita internasional.
            Setelah diketahui persoalannya oleh pihak internasional, rupanya mereka mengalah.
            Bagaimana dengan pembelaan Anda terhadap Soekarno, terutama berkaitan dengan para sastrawan tahun 1960-an yang menyerang Bung Karno dengan pandanganya yang membatasi pengarang melalui Manifes kebudayaan. Kenapa          Anda begitu kukuh membela pandangan realisme sosialis sampai sekarang?
            Saya tak pernah membela realisme sosialis. Saya memang diminta berbicara mengenai relisme sosialis di UI. Dengan pengetahuan saya yang sedikit ya saya laksanakan. Kok terus dicap pendukung realisme sosialis. Saya terima undangan itu justru mencari input.
            Sekarang kan Anda dekat dengan beberapa orang Manifes Kebudayaan, tetapi kelihatannya masih berjarak juga dengan dengan beberapa yang lain. Apa yang membedakan sikap Anda ini?
            Soal Manifes Kebudayaan, itu persoalan pada masa Soekarno, saat Indonesia terjadi perang dingin. Semua orang supaya bersatu melawan barat yang mehendaki Indonesia jadi jarahannya. Saya membantu Soekarno dan itu didukung juga oleh semua yang mehendaki Indonesia menjadi negara yang mandiri. Sementara itu, Mnifes Kebudayaan kan mehendaki kebebasan kreatif. Itu dilakukan setelah Central Inteligence Agency (CIA) membuat kongres. Setelah itu baru muncul Manifes Kebudayaan (Manikebu). Dan kita tahu tujuan CIA itu. Itu yang kita lawan. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia tahu orang-orang yang menerima uang dari Ameriaka berikut jumlanya.
            Anda menganggap penanda tangan Manifes Kebuda-yaan itu pengkhianat Soekarno?
            Menurut saya begitu. Sampai sekarang rasanya tidak berubah.
            Sejauh mana sih Manifes Kebudayaan merongrong kewibawaan Soekarno?
            Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat.
            Bukangkah orang Manifes Kebudayaan itu sedang mengkritik Soekarano?
            Itu bukan mengkritik. Ia membuat jalan lain yang merugikan.
            Apakah hubungan Anda dengan H.B. Jassin baik-baik saja?
            Dia guru saya. Tetapi, setelah saya menilai ia tidak konsekuen dengan ajarannya, ya saya tinggalkan. Dia guru saya yang mengajarkan tentang humanisme universal. Lantas ada enindasan terhadap minoritas Tionghoa, dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang, dia diam saja. Hak-hak satu setengah juta orang dirampas dan dinjak-injak, dia diam saja.           
Malah dia diberi penghargaan Mahaputra oleh Orde Baru. Jadi bagaimana prinsipnya tentang humanisme? Karena itu, ketika dia sakit, no. Saya tidak mau tahu.
            Sebetulnya seberapa keras benturan antara Anda dan orang-orang Manifes Kebudayaan ketika itu?
            Saya cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Masa semua kekuatan ini harus terkepal pada jari tinju untuk membela dan memukul lawan RI. Itu saja. Yang tidak setuju ya minggir saja. Negara kan dalam keadaan bahaya. Soekarno sendiri sudah tujuh kali lolos dalam pembunuhan.
            Anda juga dituduh membakar karya-karya orang Manifes Kebudayaan?
            Omong kosong. Kalau saya bakar dokumentasi orang lain, kan gila. Jika saya mau, saya bawa pulang.
            Kenapa Anda seperti hidup dalam dendam masa lalu?
            Itu terserah saja, orang kan punya pendapat. Menurut penilaian saya sendirisaya tidak pernah mengkhianati prinsip saya.
            Apa betul sastrawan-sastrawan Lekra, katanya, dulu sangat arogan dan menindas?
            Manindas? Kekuasaannya itu dari mana? Yang berkuasa itu Angkatan Darat karena menguasai teritorial. Saya bekerja membantu harian Bintang Timur. Kantor Bintang Timur pernah dilempar granat sekali, tak pernah ada penyelidikan. Padahal Bintang Timur itu loyal terhadap soekarno. Pelanggaran-pelanggaran ide itu bukan berasal dari Soekarno, bukan dari Lekra, tapi dari Angkatan Darat. Koran-koran dibredel. Itu dilakukan oleh Angkatan Darat. Tapi yang dituduh melakukan itu adalah Lekra. Aneh-aneh saja.
            Sekarang kita bicara karya sastra. Dalam Bumi Manusia, buku itu seperti bercerita sendiri. Kemudian terjadi pergeseran teks pada Jejak Langkah saat pengarang menjadi pihak yang berkisah. Apakah itu disengaja?
            Cerita itu yang bermain sendiri. Dan ini memang satu cara satu cara menulis yang saya pelajari dari Steinbeck dan Idrus. Jadi, kalau kiat membaca,  kata-kata itu membangunkan gambar di dalam otak. Sampai setua ini, itulah cara saya (menulis).
            Dengan sastra membela rakyat, seperti yang Anda katakan, apakah itu bukan pandangan dari realisme sosialis?
            Barangkali, tapi saya tidak tahu betul. Saya hanya menulis yang saya yakini. Dan keyakinan terbesar adalah berpihak pada rakyat dengan cara dan kemampuan apa pun. Bahwa itu disalahkan silahkan saja, itu hak orang lain. Karena itu, saya tak pernah merasa punya musuh dala sastra.
            Kalau setiap karya harus menyuarakan rakyat, lalu sebetulnya bagaiman penilaian Anda terhadap karya yang tak bercerita tentang rakyat?
            Ya, boleh saja bercerita tentang individual asalakan membela kebenaran dan keadilan.
            Dalam sebuah karya sastra mana yang lebih penting, pembelaan pada rakyat, atau keindahan yang diciptakan dalam karya sastra itu?
            Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan? Menurut Pujangga baru, keindahan itu terletak pada bahasa. Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusian: pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusian, bukan dalam mengutak-atik bahasa.
            Kalau yang lebih penting adalah pemihakan kepada rakyat, sementara keindahan itu nomor dua, lalu apa bedanya antara karya sastra yang membela rakyat dan pidato politik yang membela rakyat?
            Ya, itu sejalan saja. Setiap orang tidak bias lepas dari politik. Poliitk dalam hal ini berarti kekuasaan. Segala sesuatu yang bersinggungan atau terangkum dalam kekuasaan adalah politik. Mengibarkan bendera Merah Putih serta pemihakan pada RI itu sudah politik. Membayar pajak itu sudah politik, karena itu memberikan masukan pada kas negara. Kalau tak menolak menjadi warga negara Indoensia itu juga politik.
            Termasuk karya sastra?
            Termasuk. Semuanya.
            Katanya Anda tak membaca karya-karya sastrawan Indonesia, Anda tak tertarik atau tak mau?
            Tidak ada artinya untuk saya. Orang dalam penindasan, membaca dengan foya-foya. Membaca buku Perjalanan Pengantin (karya Ajip Rosidi, Red.), saya tak bisa. Orang yang tertindas seperti saya tak bisa menikmati karya seperti itu.
            Kalau karya Seno Gumira Adjidarma?
            Cuma karya dia yang saya baca. Satu saja cerpennya yang saya baca. Dan itu sudah lam sekali. Ketika saya baru pulang dari Pulau Buru. Dan saya lihat dia pengarang baik. Dia mempunyai keberanian. Tidak ragu-ragu menyatakan kebenaran yang dianggap kebenaran.
            Novel Saman karya Ayu Utami?
            Satu halaman saya baca. Isinya teks melulu. Untuk saya, itu kan sudah lewat.
            Apakah itu sebabnya semua tulisan Anda, jika bukan novel-novel tentang revolusi, novel sejarah?
            Ya, karena, menurut saya, sejarah itu penting. Sejarah itu kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi, kalau dia tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.
            Peristiwa Mei, misalnya, jatuhnya Orde Baru, apakah akan dibuat novel?
            Saya tidak menulis itu. Itu merupakan suatu bagian dari proses yang belum selesai. Soal Orde Baru. Jika saya tulis juga, itu menjadi jurnalisme. Bukan sastra.
            Dari sekian karya Anda meski-pun Anda tidak pernah membacanya kembali, mana yang paling anda sukai?
            Sama saja. Semua itu anak-anak rohani saya. Masing-masing punya sejarahnya sendiri. Semua saya sayang.
            kebebasan ini membuat Anda kembali berkumpul dengan keluarga. Apakah Anda pernah berterima kasih untuk kembali berkumpul dengan Orde Baru itu?
            Terima kasih? Buat apa saya berterima kasih. Pernah ada pertemuan dengan wartawan lokal dan luar negeri.mereka bertanya apakah saya tidak menginginkan amnesti. Lha, yang berhak memberikan amnesti itu saya kepada kekuasaan. Seperti sekarang, Budiman menolak grasi, itu (keputusan) yang betul. Kenapa diampuni, memang dia salah apa? Kan persoalannya karena pemikiran dia tidak sama dengan penguasa. Sekitar tiga  tahun sebelumnya saya ucapkan itu: saya yang berhak memberikan amnesti, bukan sebaliknya. 
 
                 
                              







CERITA-CERITA PULAU BURU
SEJARAH DAN NYANYI
BURUNG KEDASIH

 











Tokoh-tokoh pramoedya memang kalah dilanda

Sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup
mengalahkan kekalahannya sendiri dengan
mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan
untuk tidak menang
____________________________________________

Pramoedya ist ein Begriff—pramoedya bukan sekedar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang ibu yang amat simpatik, Prof. Irene Hilgers Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, keika mengundang seorang mahasiswa filsafat di Muenchen tahun 1980, yang kebetulan saya sendiri, untuk membicarakan buku Bumu Manusia yang baru saja terbit. Pramoedya memang telah membuat namanya menjadi sebuah pengertian jauh sebelum diasingkan selama 14 tahun. Namun rupanya belantara pengasingan itulah     yang memberinya pengertian tentang sejarahIndonesia dan bahkan tentang manusia dalam sejarah.
            Membaca empat jilid roman sejarah Pulau Buru-Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak langkah, dan Rumah Kaca-adalah menelusuri riwayat hidup Minke, anak seorang bupati Jawa, yang menolak meneruskan jabatan bapaknya, bersekolah Belanda di HBS, kuliah kedokteran di STOVIA, dan menjadi orang pergerakan yang menciptakan reputasinya sebagai wartawan-pengarang yang sanggup menulis dengan pisau belati. Akan tetapi membaca riwayat Minke adalah berhadapan dengan sebauh thickdescription tentang keadaan Hindia Belanda di Pulau Jawa pada saat pergantian abad , sementara dengan mengikuti lukisan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan Kolonial pada masa itu, kita belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam barhadapan dengan sejarahnya.
            Para ahli filsafat sejarah masih berdebat apakah sebetulnya sejarahlah yang membentuk manusia (sebagaimana diajarkan oleh Hegel dan MarX, misalnya), ataukah sebetulnya manusia sendirilah yang membentuk sejarahnya (sebagaimana dibela secara militan oleh Karl Popper). Adalah uniknya bahwa Pramoedya sendiri telah melibatkan diri dalam teka-teki filsafat itu dengan caranya sendiri. Dalam pandangannya, Sejarah adalah gelombang dasyat yang siap menggulung siapa saja, tetapi manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat diempas kedartan dan menjadi sampah di pantai.
            Tokoh-tokh Pram memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang. “Kita kalah, Ma, Bisikku.” “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Itulah kalimat penutup buku Bumi Manusia yangf dengan keindahannya yang getir menunjukkan persainagn abadi antara determinisme sejarah dan pilihan moral yang bebas.
            Di tangan Pramoedya, sejarah selalu merupkan kisah tentang unggulnya kekuatan-kekuatan anomin dalam suatu zaman, yang penuh daya-dera yang menggilas, tetapi gagal menghentikan seseorang untuk mengatakan “tidak!” Weltanschuung pengarang ini mirip kombinasi antara keberanian dan kerendahan hati sekaligus: sejarah akan mendesakkan diri ke mana saja, tetapi manusia tetap manusia tetap tak terkalahkan.
            Apakah kerena itu perjuangan dan heroisme dalam roman-roman ini selalu berkibar di tangan perempuan? Apakah simpati pengarang kepada perempuan diakibatkan oleh nasib mereka yang sering terkukngkung di bawah kekerasan patriarki sebagai sebuah kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang menjadi kawan seperjuangan pengrang menghadapi kekerasan politik? Ataukah oleh hormat tokoh-tokoh perempuan yang besar peranannya dalam biografi pengarang?
            Apa pun sebabnya, Pramoedya telah menampilkan barisan srikandi, sebagai pendekar yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Sanikem dijual oleh ayahnya kepada seorang administratur pabrik gula di Tulunga, Sidoarjo, Jawa Timur, Herman Mellema. Dia menerima dirinya sebagai seorang nyai dengan nama Nyai Ontosoroh karena tak kuasa melawan kehendak ayahnya yang ingin naik pangkat. Tapi ia tak mau menjadi nyai yang dungu. Dengan bimbingan tuannya, dia belajar membaca dan menulis, belajar bicara basaha Belanda, dan membaca bebrapa bahasa Barat, mahir menyusun pembukuan dan mengelola perusahaan susu dan perlahan-lahan mengumpulkan modal sendiri. Sayang, kedudukannya sebagai nyai tidak dilindungi hukum manapun, dan karena itu tidak mempunyai hak hukum apa pun. Setelah tuannya meninggal, seluruh hartanya, bahkan anak perempuannya, Annelies, harus diserahkan ke ahli waris Herman Mellema, berdasarkan keputusan pengadilan di Amsterdam.
            Demikian pun Bunda, ibu Minke. Dengan cara elegan Bunda memainkan peran agen-ganda antar Minke dan ayahnya, seorang bupati di kota B, yang gandrung jabatan dan silau oleh kekuasaan. Diperingatkannya Minke agar tahu memberi sembah kepada ayahnya, sementara dipihak lain dia dapat menerima bahwa anaknya menjadi bupati dan ingin jadi manusia merdeka selama dia tetap menjadi “kedasih yang bersambut”.            
            Perempaun lain adalah Ang San Mei,seorang gadis Tionghoa. Dia belajar pada sebuah sekolah menengah Katolik di Sanghai, ikut pergerakan kaum muda di Cina untuk menggulingkan kaisarina Ye Si, dan mengalami persekusi oleh kaum tua yang ingin mempertahankan politik tradisional. Mei meninggalkan Cina dan pergi ke selatan. Di Batavia di bekerja (dan menyamar) sebagai guru bahasa Inggeris. Minke menikah untuk kedua kali dengan Mei dalam suatu perkawinan yang aneh. Hidup bersama selama lima tahun, kesempatan berkumpul sangat jarang, karena tiap malam Mei-dengan izin suaminya-meninggalkan rumah untuk untuk mengatur gerakan kaum muda bersama kawan-kawannya yang ada di Batavia, sedangkan Minke sendiri cukup sibuk dengan kuliahnya di Stovia. Kesehatan Mei melorot. Dia jatuh sakit dan meninggal dalam kesunyian setelah dirawat dua bulan di rumah sakit. Mei adalah representasi perjuangan melawan  acient regimedan memberi romantika yang indah kepada jejak langkah, yang sarat dengan gerakan politik.
            Sepeninggal Mei, Minke berkenalan dengan seorang gadis cantik berdarah biru, dari latar belakang Indonesia Timur. Gadis Maluku ini bernama Prinsec van Kasiruta, dibuang bersama ayahnya di daerah Priangan, karena gerakan politik. Dia berpendidikan MULO,  mahir berbahasa Belanda, dapat berbahasa Melayu dan sedikit Sunda dan karena itu diminta menjadi pembantu redaksi Medan yang dipimpin Minke. Sang pemimpin redaksi, Minke, kemudian meminang Prinses pada bapaknya, Tuan Raja, dalam pengasingan, dan mereka menikah. Dibesarkan dalam keluarga pergerakan, prinses ternyata pandai menunggang kuda dan menggunakan senjata api berkat latihan sejak kecil. Dia menjadi pembela Minke terhadap musuh-musuh politiknya yang selalu mengancamnya secara fisik. Dalam suatu serangan diam-diam terhadap Minke, Prinses, yang menyamar tanpa diketahui suaminya, menghadapi seorang diri anggota geng tersebut, menembak tiga diantaranya, dua mati seketika, dan seorang dapat diselamatkan di rumah sakit. Sebagai seorang terpelajar, dia tetap mempertahankan etos perempuna Kasiruta: “Dia akan membunuh pendurhaka suami yang dicintainya.“ Karena “yang diketahuinya hanya suamiku....” dan “yang ada hanya suamiku”. Bercinta baginya, adalah saling melindungi. Apakah disini pengarang telah bergulat dengan masalah gender equality bahkan jauh sebelum istilah itu muncul dalam wacana kaum Feminis?
            Lalu Piah, pembantu rumah tangga yang melayani Minke dan Prinses. Diluar pengetahuan Minke, Prinses telah memberikannya pendidikan politik. Ketika Minke dibuang ke luar Jawa tanpa dapat ditemani oleh isterinya (karena dilarang pemerintah), Piah dimintanya bersumpah setia untuk Prinses. Jawaban Piah sangat menggetarkan perasaan: “Sampai hati juragan menuntut sumpah dari sahaya, sumpah untuk tuan sahaya sumpah untuk pemimpin sahaya ? tidakkah cukup saya sebagai anggota syarikat?” ketika Minke mengucapkan selamat tinggal dan menitipkan Prinses, jaminan Piah adalah: “Juragan tetap di hati kami.” Perempuan desa ini memrepresentasikan  orang kecil berjiwa besar.
            Perempuan yang paling berhasil tentulah Siti Soendari, anak teman sekolah Minke, yang tinggal di Pemalang. Ditinggal mati oleh ibu, Siti Soendari dibesarkan oleh ayahnya dalam suasana terpaelajar. Selepas sekolah, Soendari memilih menjadi perempuan merdeka yang bekerja untuk cita-citanya. Dengan sopan tetapi teguh dia menapik setiap bujukan ayahnya yang dipaksa oleh Belanda. Agar segera menikahkan anaknya. Dia berhasil mengatsi rasa takut kepada ayahnya demi mempertahankan cita-citanya, suatu hal yang masih tak dapat diwujudkanoleh R.A. Kartini sebelumnya. Kalau dia hidup tahun1990-an tentulah Soendari juga akan mengucap: Women’s right: Human right.
            Sebaliknya, tokoh lelaki dalam roman-roman Pulau Buru adalah tawanan kekuatan sejarah. Bagi mereka sejarah menjadi captive history, yang membawa mereka turun naik bersama aluan gelombang.
            Sastrotomo adalah prototip pribumi pegawai kolonial yang melihat jabatan sebagai tujuan hidup. Dia bersedia merendahkan diri, mempertaruhkan keluarga dan menjual anak perempuannya sendiri untuk membayar kenaikan pangkat sebagai juru bayar di pabrik gula. Anak gadisnya, Sunikem, diserahkan ke administratur Herman Mellema, yang kemudian menjadi pemilik perkebunan Boerderij Buitenzorg, tempat Sunikem mendapatkan namanya Nyai Ontosoroh.
            Kisah yang sama berulang pada anak laki-laki Sastrotomo bernama Sastro Kassier, pemegang kas di pabrik gula Tulangan. Dia juag ahrus menyerahkan anak perempuannya, Surati, kepada pengusaha pabrik gula yang baru, Frits Homerus Vlekkenbaaij, yang oleh penduduk setempat di panggil Tuan Plikemboh.
            Tipe laki-laki lainya adalah si Darsam dan Trunadongso, dua pendekar yang sealu siap mati untuk tanah majikan dan tanahnya sendiri. Sayangnya, mereka tidak menyadaribahwa senjata parang yang mereka banggakan tak dapat menghadapai kekuatan politik yang tak mereka pahami, tetapi yang akibatnya mereka rasakan setiap hari. Demikian pula Marko, yang dengan semangat berkobar berkerja untuk Medan, terlalu sedikit pengetahuan politiknya, sehingga menurunkan berita yang dianggap menghina Gubernur Jendral. Akibatnya Minke sebagia peminpin Redaksi Medan harus menjalani hukumanpembuangan ke luar Pulau Jawa.                                    


0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!