“Kita kalah, Ma, bisiku”.“Kita telah melawan, Nak,Nyo, sebaik-baiknya,sehormat-hormatnya”.
Pramoedya telah menampilkan sebarisan
Srikandi, sebagai pendekar yang bertarung
dengan kekuatan sejarah. Apakah simpati
Pramoedya kepada perempuan diakibatkan
Oleh nasib mereka yang sering terkungkung
Dibawah kekerasan patriarki sebagai sebuah
Kekuatan sejarah, dan karena itu perempuanlah yang
Menjadi kawan seperjuangan pengarang
menghadapi kekerasan politik?
Jalan hidup seperti lintasan
Roller
coaster.
Dari
dinamo Lekra yang penuh
Kuasa,
menjadi paria Pulau Buru
Sepanjang
Orde Baru, dan kini
Memperoleh
pengakuan
Internasional
yang kian tinggi.
Bagaimana
menempatkan
Tokoh paradoksal ini
Dalam
peta sastra
Dan
politik Indonesia?
Penampilan bersahaja-terlalu bersahaja.Namun,
ada sedikit yang aneh: dia tak memakai sandal seperti yang selalu dipakainya
bertahun-tahun. Tentu saja, selain sebuah mesin tik yang erat ditentengnya
dalam perjalanannya menuju New York awal april lalu itu.
Mesin tik
mengisyaratkan anakronisme, New York adalah paradoks. Dan ada satu pertanyaan
menggoda: tidakkah Pramoedya Ananta Toer-seperti tokoh dalam novel fiksi-sain
klasik karangan H.G Wells-merasa terlontar oleh mesin waktu ke dunia yang sama
sekali berbeda?
Kota manca
negara terakhir yang dikunjunginya adalah Beijing sekitar 40 tahun silam, sebuah
ibukota negeri komunis terbesar yang pernah menjadi sumber kekaguman baginya.
Sementara
New York ? Pram datang ketika indeks saham Dow-simbol kedigdayaan kapitalisme
Amerika itu-menjilati angka tertinggi sepanjang sejarahnya; ketika microsof,
bersama Intel Pentium, terus merangsek mesin-mesin tik seperti miliknya masuk
ke museum barang antik dan hanya
beberapa tahun sebelum kedatangannya, seorang Francis Fukuyama mengumumkan
“berakhirnya sejarah”, menyusul kolapsnya komunisme.
Bagaimanapun,
sejarah belum berakhir-juga bagi Pram. Menjelang 75 tahun usianya, dia justru
baru saja menyibak satu lagi lembar sejarah pribadinya.
Pram
datang ke New York untuk menghadiri sebuah perlehatan, satu dari sedikit moment
yang mungkin paling membahagiakannya; peluncuran buku The Mute’s Soliloquy
–edisi bahasa Inggeris dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sebuah kolase pengalaman
pribadi, surat untuk anak-anaknya dan permenungannya di Pulau Buru. Gumannya
yang pahit itu, akhirnya, memperoleh pendengar yang lebih luas.
Itu bukan
sambutan hangat pertama yang diterima Pram dari kalangan internasional. Karya
sastranya yang menjulang dari peri hidupnya yang mengiris-berkat penindasan dan
pemberangusan Orde Baru-telah melambungkan namanya. Tak hanya banyak karyanya
yang diterjemahkan
Kedalam bahasa asing, melainkan juga memperoleh berbagai
penghargaan, termasuk “Freedom to Write Award” dari organisasi PEN di Amerika
Serikat pada 1998.
Namun,
inilah pertama kali dia mendapatkan kembali kemerdekaannya yang lebih hakiki,
kemerdekaan yang tak pernah sempurna diperolehnya, bahkan setelah lama dia
dibebaskan dari Buru. Kali ini dia punya paspor dan bisa hadir dalam sebuah
acara di luar negeri –sesuatu yang mustahil diera Soeharto.
Pram absen
di Manila ketika, pada 1995, yayasan setempat menganugrahinya “Ramon Magsaysay
Awrd for Journalism, Literature, and Creative Comunication Arts”. Larangan
berpergian terhadapnya, dan polemik yang menyertai pemberian penghargaan itu,
hanya menegaskan satu hal: tak hanya di luar negeri, Pram juga dikagumi banyak
anak muda Indonesia yang membaca karyanya diam-diam.
Jaksa
Agung Orde Baru membuat larangan setiap kali terbit karya Pram
pasca-Buru-hampir setahun satu pada dasawarsa 1980: tetralogi (Bumi Manusia dan
tiga lainnya), anologi sastra pra-Indonesia Tempo Doeloe, dan
biografi R.M. Tirto Adhisurjo Sang Pemula. Dan tanpa Orde Baru sadari,
nama Pram kian besar setiap kali karyanya dibrangus.
Dari sejak
Buru itu, dia mempersiapkan pertempuran ini dengan baik, “Saya cuma janji
kepada diri saya sendiri: saya tidak akan mati dalam tiga puluh tahun,” kata
Pram. “Saya mau melihat jatuhnya (Orde Baru). Itu yang bikin saya tidak mati.”
Kepahitan
tak terbayangkan-pembantaian terhadap orang-orang PKI dan penderitaan di Pulau
Buru-dengan cara tertentu menyumbangkan energi yang cukup besar untuk seluruh
penulisan. “Saya dalam posisi melwan penindasan, ketidakadilan. Itu yang
memberi saya semangat Hidup.”
Ada
perasaan memiliki otoritas moral di situ. Ada daya hidup yang fantastis, dan
mungkin juga dendam.
Bagaimanapun,
perjara Buru bukanlah pengalaman yang pertama. Di saman kemerdekaan, pada usia
20-an, dia ditangkap Belanda dan dipenjarakan karena menerbitkan pemflet
antikolonial. Di saman Orde Lama, dia kembali masuk bui karena buku Hoakiau
di Indonesia, pembelaan terhadap orang-orang Tionghoa yang gebah pada
1960-an. Buku itu juga sempat dibrangus, tapi diterbitkan kembali setelah
Soeharto jatuh, disusul kemudian denganpencabutan larangan atas semua bukunya
yang lain.
Namun,
Buru, seperti kemudian bisa dibaca dari Nyanyi Sunyi, adalah puncak
kulminasi perlawananya. “Ada tekanan untuk survive yang menajubkan.”
Kata Willem Samuels, orang Amerika yang menerjemahkan karya itu ke bahasa
Inggeris.
Pram tahu
persis bagaiman membunuh waktu-secara harfiah maupun simbolis. Dan mesin
tik,seperti yang di bawanya ke New York, adalah senjatanya, azimatnya
yang-untuk beberapa hal-mewakili keteguhan, keengganannya, dan mungkin juga
ketidakmampuannya untuk berubah.
Pram,
menulis dengan gaya yang hampir sama, seperti cerpen dan roman-romannya sejak
1940-an. Sapardi Djoko Damono, dosen fakultas sastra Universitas Indonesia,
berpendapat tidak terlalu banyak karya-karya Pram yang mempunyai keistimewaan.
“Novel-novel Pram yang pendek memang kuat, seperti dalam Bukan Pasar Malam.
Tetapi, ketika menulis panjang, kelihatan kelemahannya, lonngar dan tidak
ekspresif,” katanya. Meski begitu, Sapardi mengagumi satu hal: konsistensi Pram
dalam gaya penulisan realismenya.
Tema-tema
karya Pram mengingatkan orang pada Max Havelaar-nya Multatuli-satu
sastrawan besar yang dikaguminya di samping John Steinbeck. Teme-tema itu
dipetik sebagian besar dari dunia sekelilingnya yang nyata, atau dari
tokoh-tokoh nyata hasil riset sejarahnya. Misalnya, Tjterita dari Blora,
yang berpusar pada masa kecilnya.
Kekaguman dan simpatinya pada tokoh
ibu, di samping sikap sinisnya pada
tokoh-tokoh ulama, yang banyak mewarnai karyanya, ,juga buah pengalaman
pribadinya. Neneknya dari pihak ibu adalah “selir” dari seorang penghulu
Rembang, seorang haji, yang dicampakkan dari rumah setelah melahirkan-sebagai
bagian dari kepercayaan di Jawa waktu itu.
Sikap itu
lebih mewakili antifeodalisme jawa keimbang anti-Islam seperti dituduhkan para
pengcamnya-misalnya ketika dia melukiskan tokoh haji sebagai tuan tanah korup.
Bagaimanapun itu memang tampak pula mempengaruhi seluruh sikapnya terhadap
agama-agama manapun-yang menurutnya “sering dugunakan sekedar sebagai alat
penindasan.”
Sisi
menonjol lain dari karya-karya Pram adalah identifikasi setiap tokohnya
terhadap “perjuangan rakyat”. Aliran realisme-sosialis seperti itu memang
menjadi arus besar di masa Orde Lama.
“Ideologi
saya adalah Pram-isme. Saya ingin menjadi diri sendiri, “kata Pram dalam
wawancara dengan TEMPO belum lama ini. Tapi, bisakah sikap indivudualistis
seperti itu-yang lebih mewakili aliran humanisme universal, yang pernah
dikecamnya habis-diucapkan Pram pada 1960-an, pada masa jayanya?
Dalam
seminar sastra di Universitas Indonesia, 26 Januari 1963, sebagai tokoh Lekra
terkemuka, Pram menggelar gagasannya tentang realisme sosialis yang dikutipnya
dari A.A.Zhadanov, seorang stalanis yang
mengontrol seni dan kesusastraan Soviet pada 1930-an. Sebuah gagasan yang
menjadi alat pembrangusan karya banyak sastrawan Eropa Timur dan mesin penindas
yang menghadirkan gulag-gulag ala Pulau Buru juga.
Begitulah
sementar karya-karyanya mudah ditebak, mengingat konsistensinya, salah satu
tragedi Pram adalah sikapnya-terutama-sikap politiknya-yang terasa jungkir
balik bersam lintasan hidupnya yang panjang dan berliku: staf pad sebuah kantor
berita, tentara, redaktur penerbitan, sebelummenjadi sastrawan puncak yang
kemudian terbanting.
Dan tak
ada tragedi yang lebih menyengat kecuali dukungan tanpa syarat terhadap
Manifesto Politik (Manipol) Seokarno. Dalam harian Bintang Merah, 1975, sebuah
organ PKI, Pram menulis dukungannya. Dia juga juga memimpin delegasi seniman
yang menghadap presiden. Sebagai nasionalis sejati yang percaya pad gagasan
negara kesatuan, dia membantu tentara dalam konfrontasi dengan “pemberontakan” PRRI
di Sumatra, dan memperoleh penghargaan dari H.A.Nasution, Kepala Staf Angkatan
Darat kala itu.
Pram-secara
langsung-atau tidak-berperan pula dalam memuluskan pembrangusan konstituante,
parlamen demokratis hasil pemilu, lewat Dekrit Presiden 1959, yang mengawali
era “Demokrasi Terpimpin”. Bersama sejumlah seniman, dia mendesak Soekarno
mencabut keputusan pemerintah Republik Indonesia 1945, yang membebaskan
pembentukan partai-partai politik sebanyak-banyaknya. Pram dan kawan-kawan
melihat keputusanyang diprakarsai Mohammad Hatta ini sebagai suatu
pengkhianatan terhadap revolusi karena kekuatan revolusi yang pada mulanya ada
di tangan rakyat dipecah dan dibagi diantara partai-partai.
Dukungan
Pram sekarang ini terhadap Partai Rakyat Demokratik (PRD) untuk berlaga dalam
sistem multipartai di era reformasi, tentu saja, sebuah revisi sikap pula .
Kembali ke
masa silam, polemiknya tentang Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalh kelanjutan
logis dari sikap politiknya itu. Juga serangan kasarnya-seperti ditunjukkan
dalamkarangan-karangannya di Lentera, rubrik kebudayaan harian PKI Bintang
Timur-kepada para Manikebuis, kepada tokoh Masyumi seperti Hamka dan tokoh
Partai Sosialis Indonesia, Sultan Takdir Alisyahbana.
Kebenciannya
kepada H.B. Jassin, salah satu penanda tangan Manikebu, bahkan kekal hingga
kini. (Lihat: “Yang tidak setuju, ya, minggir saja”). Jassin berjasa
memperkenalkan Pram dengan mengikut sertakan roman Perburuan-nya-karya
pertama-ke sebuah sayembara penulisan yang kemudian dimenangkannya. Sebagai kritikus,
Jassin juga hampir selalu memiliki pandangan positif terhadap karya-karyanya.
Pram sendiri bahkan pernah mengaguminya sebagai guru humanisme. Namun,
belakangan, dimatanya Jassin tidak punya rasa kemanusiaan karena diam saja
menyaksikan “nasib” satu setengah juta” orang (PKI atau mereka yang dituduh
PKI) diinjk-injak Orde Baru.
Dalam hal
ini, Pram konsisten. Sebuah tulisannya yang terbit pada 1953 berjudul
Ofensif Kesusastraan 1953, H.B. Jassin Sudah Lama Mati Sebelum Gantung Diri.
Dan ironis: Pram sudah lama membunuhnya, dan toh tetap menurut Jassin memiliki
rasa kemanusiaan.
Tulisan
lain Pram di Lentera menjadi salah satu puncak penggasakan kaum
Manikebus, berjudul: Tahun 1965 tahun pembabatan total. Ini sekaligus
ironi pula-kali ini bahkan jauh lebih mengiris. Sebab,sejarah kemudian tahu
pihak mana yang justru “dibabat total”.
Tidak
mudah untuk mencari keseimbangan-bahkan kini, berpuluh tahun kemudian-dalam
merenungkan suasana kala itu, yang oleh Gunawan Mohamad digamabarkan sebagai
“apokoliptik”. Tidak mudah mencari jalan tengah dari permainan zero-sum;
permainan kalah-menang.
Sesungguhnya
tidak ada yang menang dalam pergumulan besar yang kemudian terbukti berdarah
itu, ketika kongflik Lekra vs Manikebu hanyalah sebuah catatan kakinya saja. Penggiringan
puluhan ribu orang seperti Pram ke Pulau Buru dan pembantaian PKI di mana-mana
adalah tragedi bagi bangsa ini secara keseluruhan.
Namun,
melihat masa silam Pram-khususnya peranannya dalam polemik 1960-an itu-adalah
mereduksinya menjadi sekedar sebagai mahluk politik. Bahkan sebagai redaktur Lentera,
Pram sesungguhnya tidak cuma menawarkan sumpah serapah politik.
A. Teeuw,
kritikus Belanda yang juga pernah menjadi sasaran kecaman Pram, menyebut Lentera
sebagai media utama tulisan Pram yang pada priode 1962-1965 “menakjubkan
banyak dan anekanya” (Citra Manusia Indonesia, Pustaka Jaya, 1997).
“Banyak karangan masa itu”, tulis Teeuw, “adalah hasil riset mendalam,
berdasarkan bahan kepustakaan dasawarsa pertama abad ini.”
Pram juga
telah memulai usahanya menuliskan kembali sajarah sastra dan merombak
pengajaran sastra Indonesia, antara lain dengan sejumlah pelacakan yang kelak
pada 1982 diterbikannya dalam Tempo Doeloe. Juga dia mulai menerbitkan
terjemahan Max Havelar, meski akhirnya tidak tuntas, di samping cerita
sambung memikat:: Hikayat Siti Mariah.
Riset
sejarahnya, yang antara lain muncul dalam biografi tirto Adhisurjo, seorang
pionir jurnalistik Indonesia, termasuk mencengangkan. Di tengah kecendrungan
kental ke arah penulisan sejrah resmi yang didiktekan negara, “karya-karya
alternatif” Pram seperti ini memberi sumbangan besar untuk melihat masa silam
Indonesia secara lebih utuh.
Karya-karya
sastra Pram memang menduduki tempat tersendiri, “kata Sapardi Djoko Damono. Dan
Teeuw, yang mengenal karya Pram pertama kali setengah abad lalu, menyebutnya
sebagai “pengarang prosa Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini”.
Sejrah
belum berakhir-juga bagi Pram. Sejarah masih menjadi. Dan beruntung Pram kini,
di usia senja, setelah semua dram itu, memiliki peluang untuk menuliskan sebuah
akhir yang manis. Sebuah peluang, dan selebihnya....terserah Pram.
“YANG TIDAK
SETUJU, YA,
MINGGIR SAJA
Setelah 20 tahun tak menyentuh sepatu, Pramoedya
Ananta toer “terpaksa” mengenakannya untuk sebuah
Perjalanan jauh. Ke New York. Diiringi anggota Partai
Rakyat Demokratik, keluarganya, wartawan asing dan lokal,
Serta kamera televisi asing yang merekam
Keberangkatannya Ke Bandara Cengkareng, Pram
melankahkan
kakinya-dalam rangka memenuhi
undangan ke AS.
Disana Pram akan meluncurkan buku
terjemahan Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu.
Ia mengenakan sepatu.
___________________________________________________
Sebelum berangkat, Pram bersedia menerima Mustafa Ismail,
Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Mardiyah Chamin, dan fotografer Robin Ong
dari Tempo hingga beberapa kali. Sembari menggunakan kaus putih dan kain
sarung, Pram, ketikamenjawab pertanyaan Tempo, sesekali suaranya meninggi dan
keras takkala menjawab pertanyaan agak sensitif. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6
Febfuari 1925 sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Pram mengaku
ayahnya seorang nasionalisyang pernah dipenjara Belanda. Sejak SD, “saya banyak
membaca karena orang tua saya mempunyai perpustakaan yang cukup besar untuk
ukuran kota kecil, “tutur Pram. Pram mulai membaca koran dalam bahasa Belanda,
Melayu, dan Jawa sejak usia delapan tahun, sehingga keterikatannya pada sejarah
dan politik tampaknya dimulai pada usia yang sangat dini. Pendidikan formalnya
hanya berakhir hingga SMP, tetapi minatnya unutk mendalami ilmu pengetahuan dan
politik tetap intens.
Pada awal
1960-an, Pram dikenal sebagai salah satu totkoh Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat), organisasi yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia).
Kegiatan
Pram di Lekra dan wewenangnya sebagai staf redaksi Lentera, lembaran budaya
harian Bintang Timur, belakangan membuat ia terlibat dalam polemik
terkenal, yang hingga kini tampaknya masih menyimpan rasa tak nyaman pada
beberapa sastrawan yang berseberangan dengan dia.
Ini
disebabkan perbedaan konsep berkesenian diantara kedua kubu itu: kubu pertama,
Pram dengan Lekra-nya. Kubu kedua adalah pencetus Manifes Kebudayaan. Perbedaan
kedua kubu itu kemudia dirangkum dalam sebuah buku yang komprehensif bebrjudul Prahara
Budaya yang disususn oleh Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto.
Terakhir,
pada 1965, PKI tumbang. Orang-orang bersimpati dan berafiliasi dengan partai
itu pun “diangkat”. Ada yang dibunuh, tidak sedikit pula yang dipenjarakan.
Salah seorang yang dipenjaraka itu adalah Pram, yang sampai dibawa ke Pulau
Buru. Tanggal 13 oktober 1965, Pram ditangkap di rumahnya-kini disita-di
kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.
Di Pulau
Buru, hidupnya selama belasan tahun tidak mematikan semangatnya untuk menulis.
Beberapa karyanya-tetralogi Pulau Buru, dimulai dari Bumi Manusia, Jejak
Langkah, Anak Sebuah Bangsa, dan berakhir dengan Rumah Kaca—berhasil
diselundupkan ke luar dan diterbitkan.
Pada 1979
ia dibebaskan, meski melaui berbagai rintangan. Ia tetap rajin menulis, dengan
tulisan tangan atau dengan sebuah mesin tik tua, karena, “saya tidak bisa
mengikuti irama Teknologi,” katanya ketika ditanya mengapa tidak menggunakan
komputer. Dengan kacamata setebal plus empat setengah, ditemani 32 batang rokok
sehari, Pram mengsi hari-harinya dengan membaca koran serta
mendokumentasikannya dengan rapi di perpustakaanya yang mengagumkan dan
terpelihara.
Berikut
adalah petikasn wawancara Pram dengan Tempo beberapa hari sebelum
keberangkatannya ke A.S:
Waktu di Pulau Buru, apakah pernah terpikirkan bahwa Anda akan
seperti ini, diundang kemana-mana?
Tak
pernah membayangkan. Menulis, bagi saya, adalah tugas pribadi dan tugas nasional.
Setelah saya menyelesaikan tugas, ya sudah, saya tak pernah memikirkannya atau
membaca ulang tulisan saya sendiri.
Anda kan banyak menulis roman sejarah, termasuk saat di Pulau
Buru, bagaimana mengorganisasikan data itu?
Penulisan tetralogi itu punya sejarah panjang. Setelah saya
menerbitkan Hoakiau di Indonesia, saya diculik dan ditahan. Pulang dari tahanan
ini, saya diminta mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Tri
Sakti). Bagaimana saya mengajar di perguruan tinggi? SMP saja saya tidak tamat.
Jadi saya mengajar dengan cara saya sendiri. Setiap mahasiswa yang saya beri
kuliah, saya wjibkan mempelajari koran selama satu tahun, lalu mereka membuat
naskah kerja. Saya mengajar mulai 1962 sampai 1965. kalikan saja, tiga puluh
naskah dari 30 mahasiswa. Itu sekian tahun yang saya pelajari, saya mendapat
petunjuk, sumber-sumber hisroris, dari sanalah saya mempunyai bahan-bahan
sejarah.
Tapi waktu Anda dibawa ke Pulau Buru, bahan-bahan itu kan
ditinggal?
Kalau ada
sesuatu yang menarik saya tidak lupa.
Apa betul untuk mengingat kembali setting sejarah dan
mengembalikan ingatan, anda selalu menceritakan berula-ulang kepada teman-teman
di Pulau Buru?
Ceritanya,
sebelum diberikan izin menulis, sekitar sebelum pemilu tahun 1971. kami-sekitar
12 orang- dikucilkan dan tak boleh bergaul di antara satu denagn yang lain.
Saya bercerita kepada mereka setiap saat apel. Akhirnya cerita itu menyebar ke
seluruh kamp konsentrasi yang tak kecil itu. Luas Pulau Buru itu satu setengah
kali Pulau Bali sementara kam konsentrasi itu luasnya sepertiga dari Pulau
Buru. Pada 1973 saya baru dibebaskan dari pengucilan.
Apakah Anda dikenal oleh kawan-kawan itu sebagai pencerita?
Oh, tidak.
Praktis tidak begitu. Saya menulis saja. Tetapi waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan
politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk
mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoro, dia
perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah
begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.
Apa betul pembebasan Anda pada tahun 1979 ada campur tangan pihak
asing?
Betul. Sebelum meninggalkan Buru kami harus menandatangani
surat pernyataan bahwa kami diperlakukan dengan baik. Sebagai tahanan politik
yang tak punya hak, ya kami tanda tangani saja. Ternyata, di utara Selat
Madura, sekitar 30 orang diturunkandari kapal. Sementara itu, kapalnya langsung
berangkat ke Jakarta. Rencananya, sebetulnya, kami mau disembunyikan di Pulau
Nusa Kambangan. Tapi, sejak di Pulau Buru, tampaknya kami sudah diamati oleh
gereja katolik. Saya melihat orang gereja itu diusir, ia tidak boleh
dekat-dekat. Tapi dia memantau sampai dunia internasional tahu bahwa ada
sebagian tahanan politik yang tak diangkut ke Jakarta. Lantas itu manjadi
berita internasional.
Setelah
diketahui persoalannya oleh pihak internasional, rupanya mereka mengalah.
Bagaimana dengan pembelaan Anda terhadap Soekarno, terutama
berkaitan dengan para sastrawan tahun 1960-an yang menyerang Bung Karno dengan
pandanganya yang membatasi pengarang melalui Manifes kebudayaan. Kenapa Anda begitu kukuh membela pandangan
realisme sosialis sampai sekarang?
Saya
tak pernah membela realisme sosialis. Saya memang diminta berbicara mengenai
relisme sosialis di UI. Dengan pengetahuan saya yang sedikit ya saya
laksanakan. Kok terus dicap pendukung realisme sosialis. Saya terima undangan
itu justru mencari input.
Sekarang kan Anda dekat dengan beberapa orang Manifes Kebudayaan,
tetapi kelihatannya masih berjarak juga dengan dengan beberapa yang lain. Apa
yang membedakan sikap Anda ini?
Soal
Manifes Kebudayaan, itu persoalan pada masa Soekarno, saat Indonesia terjadi
perang dingin. Semua orang supaya bersatu melawan barat yang mehendaki
Indonesia jadi jarahannya. Saya membantu Soekarno dan itu didukung juga oleh
semua yang mehendaki Indonesia menjadi negara yang mandiri. Sementara itu,
Mnifes Kebudayaan kan mehendaki kebebasan kreatif. Itu dilakukan setelah
Central Inteligence Agency (CIA) membuat kongres. Setelah itu baru muncul
Manifes Kebudayaan (Manikebu). Dan kita tahu tujuan CIA itu. Itu yang kita
lawan. Soekarno sendiri mengatakan bahwa ia tahu orang-orang yang menerima uang
dari Ameriaka berikut jumlanya.
Anda menganggap penanda tangan Manifes Kebuda-yaan itu pengkhianat
Soekarno?
Menurut saya begitu. Sampai sekarang rasanya tidak berubah.
Sejauh mana sih Manifes Kebudayaan merongrong kewibawaan Soekarno?
Karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat.
Bukangkah orang Manifes Kebudayaan itu sedang mengkritik
Soekarano?
Itu bukan mengkritik. Ia membuat jalan lain yang merugikan.
Apakah hubungan Anda dengan H.B. Jassin baik-baik saja?
Dia guru saya. Tetapi, setelah saya menilai ia tidak
konsekuen dengan ajarannya, ya saya tinggalkan. Dia guru saya yang mengajarkan
tentang humanisme universal. Lantas ada enindasan terhadap minoritas Tionghoa,
dia diam saja. Ada pembantaian jutaan orang, dia diam saja. Hak-hak satu
setengah juta orang dirampas dan dinjak-injak, dia diam saja.
Malah dia diberi penghargaan Mahaputra oleh Orde Baru. Jadi
bagaimana prinsipnya tentang humanisme? Karena itu, ketika dia sakit, no. Saya
tidak mau tahu.
Sebetulnya seberapa keras benturan antara Anda dan orang-orang
Manifes Kebudayaan ketika itu?
Saya
cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Masa semua kekuatan ini harus
terkepal pada jari tinju untuk membela dan memukul lawan RI. Itu saja. Yang
tidak setuju ya minggir saja. Negara kan dalam keadaan bahaya. Soekarno sendiri
sudah tujuh kali lolos dalam pembunuhan.
Anda juga dituduh membakar karya-karya orang Manifes Kebudayaan?
Omong kosong. Kalau saya bakar dokumentasi orang lain, kan
gila. Jika saya mau, saya bawa pulang.
Kenapa Anda seperti hidup dalam dendam masa lalu?
Itu
terserah saja, orang kan punya pendapat. Menurut penilaian saya sendirisaya
tidak pernah mengkhianati prinsip saya.
Apa betul sastrawan-sastrawan Lekra, katanya, dulu sangat arogan
dan menindas?
Manindas? Kekuasaannya itu dari mana? Yang berkuasa itu
Angkatan Darat karena menguasai teritorial. Saya bekerja membantu harian
Bintang Timur. Kantor Bintang Timur pernah dilempar granat sekali, tak pernah
ada penyelidikan. Padahal Bintang Timur itu loyal terhadap soekarno.
Pelanggaran-pelanggaran ide itu bukan berasal dari Soekarno, bukan dari Lekra,
tapi dari Angkatan Darat. Koran-koran dibredel. Itu dilakukan oleh Angkatan
Darat. Tapi yang dituduh melakukan itu adalah Lekra. Aneh-aneh saja.
Sekarang kita bicara karya sastra. Dalam Bumi Manusia, buku itu
seperti bercerita sendiri. Kemudian terjadi pergeseran teks pada Jejak Langkah
saat pengarang menjadi pihak yang berkisah. Apakah itu disengaja?
Cerita
itu yang bermain sendiri. Dan ini memang satu cara satu cara menulis yang saya
pelajari dari Steinbeck dan Idrus. Jadi, kalau kiat membaca, kata-kata itu membangunkan gambar di dalam
otak. Sampai setua ini, itulah cara saya (menulis).
Dengan
sastra membela rakyat, seperti yang Anda katakan, apakah itu bukan pandangan
dari realisme sosialis?
Barangkali,
tapi saya tidak tahu betul. Saya hanya menulis yang saya yakini. Dan keyakinan
terbesar adalah berpihak pada rakyat dengan cara dan kemampuan apa pun. Bahwa
itu disalahkan silahkan saja, itu hak orang lain. Karena itu, saya tak pernah
merasa punya musuh dala sastra.
Kalau setiap karya harus menyuarakan rakyat, lalu sebetulnya
bagaiman penilaian Anda terhadap karya yang tak bercerita tentang rakyat?
Ya, boleh saja bercerita tentang individual asalakan
membela kebenaran dan keadilan.
Dalam sebuah karya sastra mana yang lebih penting, pembelaan pada
rakyat, atau keindahan yang diciptakan dalam karya sastra itu?
Soal keindahan itu banyak persoalan. Apa itu keindahan?
Menurut Pujangga baru, keindahan itu terletak pada bahasa. Bagi saya, keindahan
itu terletak pada kemanusian: pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan
itu terletak pada kemurnian kemanusian, bukan dalam mengutak-atik bahasa.
Kalau
yang lebih penting adalah pemihakan kepada rakyat, sementara keindahan itu
nomor dua, lalu apa bedanya antara karya sastra yang membela rakyat dan pidato
politik yang membela rakyat?
Ya, itu sejalan saja. Setiap orang tidak bias lepas dari
politik. Poliitk dalam hal ini berarti kekuasaan. Segala sesuatu yang
bersinggungan atau terangkum dalam kekuasaan adalah politik. Mengibarkan
bendera Merah Putih serta pemihakan pada RI itu sudah politik. Membayar pajak
itu sudah politik, karena itu memberikan masukan pada kas negara. Kalau tak
menolak menjadi warga negara Indoensia itu juga politik.
Termasuk
karya sastra?
Termasuk. Semuanya.
Katanya Anda
tak membaca karya-karya sastrawan Indonesia, Anda tak tertarik atau tak mau?
Tidak ada artinya untuk saya. Orang dalam penindasan, membaca dengan
foya-foya. Membaca buku Perjalanan Pengantin (karya Ajip Rosidi, Red.),
saya tak bisa. Orang yang tertindas seperti saya tak bisa menikmati karya
seperti itu.
Kalau karya
Seno Gumira Adjidarma?
Cuma karya dia yang saya baca. Satu saja cerpennya yang
saya baca. Dan itu sudah lam sekali. Ketika saya baru pulang dari Pulau Buru.
Dan saya lihat dia pengarang baik. Dia mempunyai keberanian. Tidak ragu-ragu
menyatakan kebenaran yang dianggap kebenaran.
Novel Saman
karya Ayu Utami?
Satu halaman saya baca. Isinya teks melulu. Untuk saya, itu
kan sudah lewat.
Apakah itu
sebabnya semua tulisan Anda, jika bukan novel-novel tentang revolusi, novel
sejarah?
Ya, karena, menurut saya, sejarah itu penting. Sejarah itu
kan rumah tempat orang melanglangi dunia. Jadi, kalau dia tak tahu dari mana ia
berangkat, ia tak mengerti tujuan.
Peristiwa
Mei, misalnya, jatuhnya Orde Baru, apakah akan dibuat novel?
Saya tidak menulis itu. Itu merupakan suatu bagian dari
proses yang belum selesai. Soal Orde Baru. Jika saya tulis juga, itu menjadi
jurnalisme. Bukan sastra.
Dari sekian
karya Anda meski-pun Anda tidak pernah membacanya kembali, mana yang paling
anda sukai?
Sama saja. Semua itu anak-anak rohani saya. Masing-masing
punya sejarahnya sendiri. Semua saya sayang.
kebebasan
ini membuat Anda kembali berkumpul dengan keluarga. Apakah Anda pernah
berterima kasih untuk kembali berkumpul dengan Orde Baru itu?
Terima kasih? Buat apa saya berterima kasih. Pernah ada
pertemuan dengan wartawan lokal dan luar negeri.mereka bertanya apakah saya
tidak menginginkan amnesti. Lha, yang berhak memberikan amnesti itu saya kepada
kekuasaan. Seperti sekarang, Budiman menolak grasi, itu (keputusan) yang betul.
Kenapa diampuni, memang dia salah apa? Kan persoalannya karena pemikiran dia
tidak sama dengan penguasa. Sekitar tiga
tahun sebelumnya saya ucapkan itu: saya yang berhak memberikan amnesti,
bukan sebaliknya.
Tokoh-tokoh pramoedya memang kalah dilanda
Sejarahnya,
tapi sekaligus juga sanggup
mengalahkan
kekalahannya sendiri dengan
mengatasi
baik ketakutan maupun kesombongan
untuk
tidak menang
____________________________________________
0 komentar:
Posting Komentar