Senin, 02 Juli 2012


Oleh : Lathifah Musa

Ägama yang bersifat ideologi", Bagi pemikiran pasca modernis dianggap akan sulit menemukan tempatnya secara serasi dan harmonis. Pasca modernis telah mensifati seluruh ide dengan relativisme, sementara Islam ideologi telah membatasi kebenaran dengan standar yang pasti. Bagi dunia pasca modernisme yang terpenting adalah pengakuan adanya perbedaan paradigma dalam memandang masalah namun penilaian terhadapnya harus bersifat nihil. Dalam kerangka pandang pasca modernisme, kebenaran terdapat dalam setiap jantung gagasan, tetapi yang patut diperhatikan; kebenaran tersebut hanya cocok bagi masing-masing gagasan secara isolatif. Kebenaran tidak bisa saling dipertukarkan, maka simpanlah rapat-rapat dalam benak. Dunia pasca modernisme telah membangun persepsi untuk hanya menerima persamaan-persamaan empirik agar kehidupan berjalan serasi.

Inilah pasca modernisme. Ia sendiri cuma sebuah gagasan. Namun sebagai gagasan, pasca modernisme memiliki cara pandang yang telah berani memberikan penilaian tersendiri terhadap posisi umat Islam. Secara umum, analisis yang berkembang mengungkapkan tiga posisi umat Islam :
Pertama, fundamentalisme,yang mempercayai kebenaran secara unik, dan meyakini bahwa kebenaran itu ada di pihaknya.
Kedua, relativisme, sebagai suatu formula untuk menghentikan gagasan kebenaran unik tersebut, namun mencoba mengakui visi masing-masing seolah-olah benar.
Ketiga, fundamentalisme rasional, yang mempercayai adanya kebenaran yang pasti sekaligus tidak meyakini manusia bisa menganutnya secara pasti.
Baiklah, ini pun sekedar analisis tentang umat Islam di dunia pasca modernisme. Dalam konteks empirik, bisa jadi fakta tersebut kita hadapi bersama. Dunia Islam memang masih terkotak-kotak. Kenyataan yang dihadapi sejak kemerosotan berfikir kaum muslimin dan tercerai berainya persatuan. Penilaian selanjutnya terhadap pemilahan ini, para pemikir pasca modernisme masing-masing tentu memiliki gagasan. Diera ini, kita pun boleh saja menilai gagasan mereka adalah bagian dari upaya memecah belah umat Islam dan mengkotak-kotaknya. Boleh jadi menurut penilaian kita, analisis Barat telah terwarnai subyektivitas belaka, atau merupakan rekayasa yang disususn kemudian diopinikan untuk membingungkan dan menghancurkan umat Islam.
Penilaian apapun dan oleh siapapun, sebenarnya yang terpenting bagi umat Islam adalah: solusi apa yang harus ditempuh sekarang? Kenyataan empirik bukan suatu kondisi yang "pasti tidak bisa diubah". Tergantung pada, apakah umat Islam mau mengupayakan perubahan tersebut, sampai Allah swt menurunkan kemenangan?
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubahnya". (QS. Ar Raad :11)
Untuk itu kaum muslimin harus mencari dan memahami persoalan yang paling mendasar, yaitu bagaimana cara beragama yang benar. Tanpa perlu merasa terkotak-kotak, dan tanpa perlu terpengaruh oleh berbagai analisis yang diopinikan saat ini.
Benarkah Islam Menafikan Peran Akal?
Ketika membicarakan agama dalam diri manusia, beberapa pemikir mempertanyakan, apakah pemikiran tentang agama bisa diterima oleh akal manusia? Apakah akal manusia mampu membuktikan adanya hal-hal yang bersifat metafisik (gaib)? Kalangan cendikiawan ini menganggap adanya sang Pencipata manusia, malaikat, surga, neraka dan lain-lain yang tidak bisa terindera oleh panca indera manusia di dunia, menjadi bukti bahwa akal manusia tidak sanggup membuktikan keberadaanNya. Dengan demikian hal-hal tersebut hanya bersifat imajinatif belaka. Kesimpulan ini terjadi ketika para cendikiawan tersebut telah menetapkan suatu kaidah dalam setiap pengamatan dan penarikan kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut, yaitu "materi adalah tolok ukur umum penentuan nilai kebenaran".
Manusia menurut mereka, hanya bisa mengindera materi dan dengan sendirinya hanya bisa memahami hal-hal yang bisa terindera tersebut. Tidak ada pembahasan hal-hal yang bersifat metafisik, sekalipun manusia senantiasa bertanya dan memerlukan jawabannya. Proses akal melalui kaidah ini, hanyalah berupa refleksi antara materi dengan otak secara mutlak. Tidak ada peran informasi dalam proses ini, karena keberadaan infomasi hanyalah menyalahi kaidah materialisme itu sendiri. Manusia pasti akan mempertanyakan dari mana datangnya informasi? Sementara pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan bahasa materi.
An Nabhany dalam kitabnya An Nidhomul Islam, mengungkapkan kritik terhadap kaidah ini, ditinjau dari dua sisi :
Yang pertama, mengenai teori refleksi dalam membahas proses berfikir. Pada kenyataannya tidak terjadi proses refleksi (pencerminan), karena otak ataupun materi tidak memiliki sifat sebuah reflektor (cermin). Yang terjadi adalah penangkapan kesan melalui panca indera dan tidak ada bedanya antara mata dengan panca indera yang lain, untuk kemudian kesan terhadap benda tersebut diteruskan ke otak. Dengan demikian yang terjadi dalam proses ini adalah penginderaan terhadap materi.
Yang kedua, penginderaan saja tidak cukup menghasilkan pemikiran. Sekalipun proses penginderaan tersebut diulang ribuan atau jutaan kali, tetap saja hanya menghasilkan penginderaan. Untuk menghasilkan pemikiran, manusia harus memiliki informasi pendahuluan, agar ia mampu mengintepretasikan fakta yang diinderanya. Atas dasar ini, materi sebagai azas tidak bisa diterima sebagai sebuah kaidah berfikir.
Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam dapat diterima oleh akal manusia? Dalam pembahasan ini, siapapun yang memiliki kemampuan berfikir akan mampu membuktikan dari benda-benda yang diinderanya bahwa dibalik benda-benda tersebut ada Pencipta yang Menciptakannya.
Fakta menunjukkan bahwa benda-benda di alam bersifat kurang, terbatas, lemah, dan saling membutuhkan. Berjalannya kehidupan dan semesta alam tidak hanya memerlukan faktor-faktor materi namun juga mekanisme yang membuat keteraturan berlangsung. Keteraturan ini tidak berasal dari materi-materi atau mekanisme ataupun gabungan kedua faktor ini. Keteraturan ini terjadi melalui suatu "kondisi khusus"yang mengikat materi-materi dan mekanisme-mekanisme yang ada. "Kondisi khusus"ini tidak berasal dari materi dan mekanisme itu sendiri. Materi, mekanisme dan kondisi khusus berasal dari zat yang lain, yang mampu dan menguasai kehidupan, alam, komponen-komponennya serta mekanisme-mekanisme yang ada di dalamnya. Inilah yang menjadi bukti adanya Al Khaliq Yang Maha Pengatur. Sebenarnya pembuktian ini cukup dengan mengarahkan pandangan manusia kepada seluruh hal yang mampu dijangkaunya yaitu benda-benda alam semesta, fenomena hidup (biotik) dan diri manusia itu sendiri.
Agama Islam menegaskan bahwa manusia harus senantiasa menggunakan akalnya, walaupun sebenarnya keimanan terhadap Pencipta merupakan hal yang fitri pada manusia. Namun keimanan yang hanya disandarkan pada perasaan nurani tanpa dikaitkan dengan akal sangatlah riskan dan tidak dapat dipertahankan lama. Perasaan sering menambah-nambah dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.
Atas dasar ini Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah swt, serta melarang taqlid dalam masalah aqidah. Untuk itu Islam telah menjadikan akal sebagai "timbangan"dalam beriman kepada Allah swt.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal". (QS. Ali Imron : 190)
Setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta merujuk kepada akalnya secara mutlak dalam mengimani Allah swt.
Ájakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama dalam rangka mencari sunnatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al Qurán dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkan agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya.
Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang yang lemah, melainkan iman yang berlandaskan pemikiran cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitar), berfikir dan berfikir, kemudian lewat pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa’.
Sekalipun wajib menggunakan akalnya dalam mencapai keimanan kepada Allah swt, manusia tidak mungkin menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan akal dan inderanya. Melihat kenyataan ini, perlu diingat bahwa akal tidak mampu menjangkau zat-Nya dan hakikat zat-Nya. Karena Allah swt berada di luar ketiga unsur pokok alami (alam semesta, manusia dan kehidupan) yang bisa dijangkau manusia. Akal manusia tidak mampu memahami zat yang di luar jangkaunnya.
Apakah lantas dapat dikatakan, "Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Allah swt, sedangkan akalnya sendiri tidak mampu memahami zat Allah?" Tentu kita tidak dapat mengatakan demikian, karena pada hakikatnya iman adalah percaya terhadap wujud (adanya) Allah swt. Wujud-Nya dapat difahami melalui ciptaan-Nya.
Usaha manusia untuk memahami hakikat zat Allah merupakan suatu hal yang mustahil. Akal tidak mampu menjangkaunya. Bagi manusia, keterbatasan ini justru menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya menjadi sebab keraguan dan kebimbangan. Demikianlah, bila iman terhadap Allah swt telah dicapai melalui proses berfikir, maka kesadaran terhadap eksistensinya akan menjadi sempurna.
Bukti-bukti yang lain, seperti adanya rasul yang diutus Allah swt untuk menyampaikan risalah-Nya, bukti bahwa risalah sempurna (Al Qurán) berasal dari Allah swt juga dapat difahami melalui akal. Akal dapat memahami bahwa manusia tidak mampu memahami hakikat Penciptanya, dengan demikian aturan yang berfungsi sebagai tali penghubung antara manusia dengan Penciptanya tidak boleh berasal dari manusia. Aturan ini harus berasal dari Al Khaliq, maka tentu harus ada rasul yang menyampaikan risalah kepada umat manusia.
Mengenai Al Qurán yang datang dari Allah swt, ini pun dapat dibuktikan secara akal. Tidak ada satu pun bangsa Arab yang mampu menolak (baik yang mengimani maupun yang mengingkari) bahwa Al Qurán bukanlah perkataan manusia sekalipun kitab ini diturunkan dalam bahasa Arab. Al Qurán bukan pula perkataan Rasulallah Muhammad saw, meskipun beliau yang membawanya. Banyak hadits yang berasal dari Nabi saw sebagian diriwayatkan secara tawatur, yang kebenarannya tidak diragukan lagi yang apabila dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qurán, maka tidak dijumpai kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad saw, disamping membacakan ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadits.
Berdasarkan hal ini, iman kepada Allah dapat dicapai melalui akal. Iman ini menjadi dasar yang kuat untuk mengimani hal-hal yang metafisik dan segala hal yang dikabarkan Allah swt dalam Al Qurán dan hadits mutawatir. Maka iman kepada hari kiamat, surga, neraka, malaikat, jin, syaithan, serta apa saja yang diterangkan Al Qurán dan hadits yang qathí, walaupun diperoleh dengan jalan mengutip (naql) dan mendengar (sama’) pada hakikatnya merupakan iman yang aqli juga, karena dasarnya telah terbukti oleh akal. Sampai disini telah cukup penjelasan bahwa keimanan terhadap Islam dapat diterima oleh akal.
Pemikiran Islam adalah Pemikiran yang Cemerlang
Manusia bangkit tergantung dari pemikirannya. Sebuah pernyataan yang sulit untuk disanggah. Namun kemudian timbul pertanyaan, pemikiran seperti apa dan bagaimana?
Pemikiran yang mampu membangkitkan memang bukan ‘sembarang’pemikiran. Pemikiran yang dimaksud adalah yang memberikan hasil berarti (berpengaruh) bagi manusia. Pemikiran ini haruslah mencakup seluruh ruang lingkup jangkauan pandang manusia, yaitu tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Pemikiran yang juga harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan besar yang tersimpan dalam benak manusia, mengenai apa yang ada dibalik alam, manusia dan kehidupan? Pertanyaan mengenai zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan alam yang ada sesudahnya, dan apa hubungan ketiga unsur tadi dengan zat yang menciptakan dan menguasainya. Pemikiran yang menyeluruh inilah yang akan menjadi landasan berfikir (qaídah fikriyah) yang dapat melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia. Pemberian pemikiran yang bersifat menyeluruh ini akan mampu memecahkan pertanyaan-pertanyaan besar tadi. Selanjutnya, seluruh problema kehidupan akan mampu terjawab karena pada dasarnya pertanyaan apapun merupakan cabang dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tadi.
Islam telah memberikan pemikiran cemerlang (fikrul mustaniir) tentang apa yang ada dibalik alam semesta, fenomena hidup dan manusia. Telah terjawab secara cemerlang tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, bahwasanya kehidupan tersebut memiliki keterkaitan. Di atas landasan inilah terurai secara paripurna seluruh persoalan kehidupan manusia.
Bila manusia telah mampu menjawab persoalan mendasar ini, ia akan beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan pemahaman yang benar dan produktif tentang kehidupan ini. Pemikiran inilah yang menjadi dasar berdirinya ideologi yang akan menjadi jalan menuju kebangkitannya. Pemecahan ini pula yang menjadi titik tolak tegaknya sebuah peradaban. Pemecahan ini yang kemudian menjadi dasar lahirnya peraturan-peraturan dan menjadi dasar tegaknya sebuah sistem kehidupan. Dengan demikian asas bagi berdirinya Islam sebagai sebuah prinsip ideologi dan sistem kehidupan adalah aqidah Islamiyah.
Allah swt berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasulNya an kepada kitabnya yang diturunkan Allah kepada asul sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya."(QS An Nisaa’: 136)
Islam Sebagai Sebuah Ideologi
Islam merupakan aqidah aqliyah (yang sampai melalui proses berfikir) yang melahirkan peraturan hidup secara menyeluruh. Peraturan yang lahir dari aqidah ini berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai persoalan hidup manusia. Peraturan ini pun menjelaskan bagaimana cara pelaksanaannya, bagaimana pemeliharaan aqidah serta tatacara mengembannya (mendakwahkannya).
Islam sebagai ideologi dapat tumbuh lestari di benak manusia. Inilah hakikat sebuah ideologi yang benar karena bersumber dari Al Khaliq, Pencipta alam, manusia dan kehidupan.
Ideologi selain yang berasal dari Pencipta manusia, sekalipun terlahir dari akal yang jenius, tetap saja tidak akan mampu menjangkau segala sesuatu secara pasti. Pemahaman manusia terhadap proses lahirnya peraturan selalu memiliki perbedaan, perselisihan dan pertentangan, serta terpengaruh lingkungan dan kondisi dimana manusia hidup di dalamnya. Hal ini berpotensi menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi umat manusia.
Maka inilah Islam. Sebagai sebuah prinsip ideologi yang berasal dari Sang Pencipta manusia, Islam memiliki pola operasional (metodologi) yang menjadi kebutuhan dasar bagi ideologi itu sendiri agar dapat terwujud menjadi sebuah realita. Islam sebagai sebuah asas kehidupan menjadi kaidah berfikir sekaligus kepemimpinan berfikir, dan pada saat inilah Islam akan mampu menjadi arah pamikiran manusia dan pandangan hidupnya. Di atas landaan ini dibangun pemikiran tentang kehidupan dan seluruh solusi problema hidup manusia.
Islam telah menetapkan hukum-hukum tentang pemecahan persoalan kehidupan, pemikiran-pemikiran serta pandangan tentang berbagai pendapat yang baru sebagai sesuatu yang bersumber dari aqidah Islam. Artinya, semua ini digali dari garis-garis hukum yang bersifat global dengan metodologi yang juga telah disahkan oleh Islam. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan metodologi ini semaunya.
Dengan demikian Islam adalah pemikiran yang menyeluruh (fikroh) dan pola operasional (thoriqoh), yang akan mengatur kehidupan manusia dengan peraturan yang sempurna, serasi serta harmonis. Tidak ada yang sanggup menciptakan mekanisme pengaturan sempurna ini selain Sang Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan itu sendiri. Metodologi buatan manusia tidak akan mampu mengukur dan menilai kesempurnaan mekanisme ini. Namun manusia dikaruniai akal yang sanggup dan mampu memahaminya (kesempurnaan sistem Islam).
Islam telah memberikan batasan bagi manusia dengan pemikiran-pemikiran tertentu, namun tidak berarti membatasi aktivitas berfikirnya. Islampun telah mengikat perilaku manusia dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum tertentu, namun tidak menjeratnya.
Dengan demikian pandangan seorang muslim terhadap kehidupan di dunia ini adalah pandangan yang penuh cita-cita, serius, realistis dan proporsional. Dunia harus diraih, namun tidak dijadikan tujuan. Seorang muslim akan bekerja di penjuru dunia ini dan menikmati perhiasan-perhiasan dan rezeki yang baik (halal), yang telah dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya, dengan kesadaran penuh bahwa dunia hanyalah sementara, dan hanya akhiratlah negeri yang kekal dan abadi.
Islam telah memberikan cara menyelesaikan masalah ekonomi, politik, sosial, pemerintahan dan lain-lain, seperti juga Islam telah menerangkan tata cara shalat, puasa, pernikahan dan zakat. Islam telah menjelaskan cara-cara pemilikan harta, transaksi dan muamalah, sebagaimana Islam telah menjelaskan masalah sanksi-sanksi hukum bagi orang-orang yang melanggarnya. Islam pun memberi petunjuk bagaimana mengatur hubungan negara dengan negara, umat dan bangsa lain dan menjelaskan pula cara mengemban dakwah. Syariat Islam telah mengharuskan kaum muslimin memiliki sifat-sifat mulia, dan hal ini harus dianggap sebagai hukum-hukum Allah swt, bukan karena sifat itu terpuji di hadapan manusia.
Seperti inilah, Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan manusia lainnya serta hubungan dengan Allah swt dalam suatu keserasian pemikiran. Maka jadilah manusia sebagai seorang mukallaf (yang dikenai beban hukum), yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan suatu dorongan (motivasi), metode, arah dan tujuan tertentu.
Inilah dia seorang muslim. Ia akan menjalani kehidupan ini dengan suatu pamahaman yang khas. Ia akan hidup dengan corak dan pola kehidupan tertetu, sebagai wujud dari komitmennya terhadap aqidah Islamiyah.
Cara beragama inilah satu-satunya yang kokoh dan mampu mencegah seorang muslim terpaling dalam kesesatan. Cara beragama yang dijelaskan secara gamlang dalam Al Qurán dan sunnah Rasulullah. Cara beragama ini pula yang akan menyelamatkan eksistensi kaum muslimin dan kemudian membangkitkannya dalam era apapun, termasuk diera pasca modernisme.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Ernest Gellner. 1994. Menolak Post Modernisme. Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Penerbit Mizan. Bandung.
  2. An Nabhany. 1994. Syakhsiyah Islamiyah. Jilid I. Darul Ummah. Beirut.
  3. An Nabhany. 1980. Nizhomul Islamiyah. Darul Ummah. Beirut.
  4. Ibid.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!