Ust. H. Miftah Fauzi Rakhmat
Kita awali pagi 10 dzulhijjah dengan memanjatkan
syukur ke hadirat ilahi. Puji bagi dia, yang telah memanjangkan umur
kita, yang telah memberikan kita tambahan usia, sehingga ‘id, hari raya
demi hari raya, kita lalui dalam limpahan nikmat-Nya yang tak terhingga.
Puji bagi dia, yang telah mempercayai kita, untuk mengelola setiap
detik dan tarikan nafas dalam hidup kita, dengan harapan setiap detik
akan mendekatkan kita kepada Tuhan, dan setiap tarikan nafas
membersihkan kita dari dosa dan kemaksiatan.
Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada kekasih
junjungan alam, Nabi besar Muhammad SAW, kelurga beliau yang disucikan,
dan para sahabat serta tabi’in yang mengikuti jalan beliau dalam
kecintaan.
Kita awali hari yang suci ini dengan membesarkan asma ilahi. Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar wa lillahil hamd. sehari
yang lalu, di padang arafah, saudara-saudara kita yang berada di tanah
suci, mengakui kelemahan dan kerendahan dirinya, memohonkan ampun atas
setiap dosa yang diperbuatnya. Mengikuti jemaah haji, marilah kita
sampaikan ‘arafah kita, kita sampaikan pengakuan kita di hadapan Allah
swt:
Ya
Allah, inilah kami, hamba-hamba-mu yang kau beri nikmat sebelum dan
sesudah kau ciptakan kami. Kau jadikan kami di antara mereka yang
mendapat petunjuk dalam agama-mu. Kau bimbing kami pada kebenaran-mu.
Kau jaga kami dengan kekuasaan-mu. Kau arahkan kami untuk mencintai para
kekasih-mu dan membenci para musuh-musuh-mu.
Ya
Allah, kemudian kau berikan kepada kami perintah, dan kami
membangkang-mu. Kau cegah kami berbuat salah dan kami menentang-mu. Kau
larang kami dari berbuat maksiat kepada-mu dan kami lawan perintah-mu.
Inilah kami di hadapan-mu, kecil, hina, dina, rendah dan ketakutan;
mengakui setiap dosa besar yang kami lakukan, dan kesalahan banyak yang
sudah kami kerjakan. Kami berlindung pada maaf-mu; kami bersandar pada
kasih-mu. Ampuni setiap dosa kami. Jadikan setiap langkah kami sesudah
ini adalah langkah yang mendekatkan kami kepada-mu.
Bersama
kita di tanah suci, jemaah haji bergerak menuju mina. Mereka bersiap
untuk melempar jumrah. Bersama mereka marilah kita lempari setan dengan
batu-batu keimanan kita. Dalam tafsir Al-Kabir, Al-Fakhr Al-Razi
mengisahkan sebuah percakapan antara Tuhan dengan hamba-nya. Alkisah,
Allah swt berfirman kepada hamba-nya, “wahai hamba-Ku, telah-Ku jadikan
taman surga bagimu dan kaupun telah memperuntukkan tamanmu untuk-ku.
Tapi renungkanlah, apakah telah kau lihat taman-ku sekarang ? apakah
engkau sudah masuk ke dalamnya ?” si hamba berkata, “belum ya Robbi.”
Allah berfirman lagi, “apakah Aku sudah masuk ke dalam taman mu ?” si
hamba menjawab, “sudah ya Robbi.” Allah kembali berfirman, “ketika
engkau hampir masuk ke dalam surga-Ku, Aku keluarkan setan dari
taman-Ku, semuanya untuk mempersiapkan kehadiranmu. Aku berkata
kepadanya, ‘keluarlah dari sini dalam keadaan hina dina.’ Aku keluarkan
musuhmu sebelum kau masuk ke dalamnya. Sekarang apa yang kamu lakukan.
Aku sudah berada di taman-mu tujuh puluh tahun. Mengapa belum juga kau
keluarkan musuh-Ku?. Mengapa belum kau usir dia ?” si hamba berkata,
“Tuhanku, engkau berkuasa mengeluarkan dia dari taman-mu. Tapi aku,
seorang hamba yang rentan dan lemah. Aku tidak-Kuasa mengeluarkanya.”
Allah kemudian berfirman, “orang lemah akan menjadi kuat apabila ia
memasuki perlindungan raja yang perkasa. Masuklah dalam perlindungan-Ku,
sehingga engkau sanggup mengeluarkan setan dari taman hatimu.
Ucapkanlah a’udzu billahi minasy syaithan al-rajim. Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”
Kitalah hamba Allah yang disuruh untuk mengusir setan dari hati kita.
Sebagaimana pada hari ini, para jemaah haji melempari jamrah untuk
meneladani bagaimana Nabi Ibrahim mengusir setan-setan yang menggodanya,
marilah kita lempari setan-setan yang bersemayam dalam hati kita,
sehingga tentram Allah swt masuk ke dalamnya.
Setelah melempar jumrah, jemaah haji di tanah suci kemudian berkurban.
Ibadah kurban yang diawali dengan pengorbanan Nabi Ibrahim as adalah
bentuk tertinggi dari kecintaan: bahwa demi menyembah Tuhan, segala
bentuk kehendak diri harus ditiadakan. Ibrahim as adalah seorang
manusia, yang sangat mendambakan seorang putra. Ketika putra yang
dinantikanya bertahun-tahun lahir ke dunia, Ibrahim diperintahkan untuk
menyembelihnya.
Ibrahim di hadapkan pada dua pilihan: mendahulukan kehendak dirinya
atau menaati perintah Tuhannya. Ibrahim tahu, kecintaanya pada Tuhan tak
akan tulus sebelum ia persembah-kan sesuatu yang sangat dicintainya.
Bukankah Allah swt berfirman, “lan tanalul birra hatta tunfiqu mim ma tuhibbun…tidaklah
sekali-kali kamu sampai pada kebaikan sebelum kamu berikan harta yang
paling kamu cintai (QS. Ali Imran:92). Dan ismail adalah anak semata
wayang Ibrahim, yang kepadanya tertumpah segenap kasih dan sayang
Ibrahim. Ia persembahkan putra yang sangat dicintainya, demi untuk
membuktikan kecintaanya kepada Allah swt.
Perjalanan para jemaah jaji, adalah potret kecil kehiduapan manusia.
Dimulai dari ‘arafah, maka hal pertama yang harus kita lakukan, adalah
mengakui kelemahan dan kerendahan diri kita, di hadapan Allah swt. Kita
akui segenap dosa kita, kita sampaikan permohonan taubat kita. Setelah
pengakuan itu, jemaah haji kemudian berkurban. Seolah-olah Allah swt
ingin menyatakan bahwa pengakuan sejati, taubat yang tulus, hanya lah
taubat yang disertai dengan keinginan untuk selalu mendahulukan kehendak
Allah, untuk selalu manaati Allah dengan segenap kecintaan, dan
meninggalkan keiginan-keinginan duniawi, meskipun untuk itu, sebagaimana
Ibrahim, kita harus korbankan apa yang sangat kita cintai.
Setelah itu, mulailah para jemaah haji mencukur rambutnya, mereka
akhiri periode ihram mereka. Mereka bertahallul. Jadilah mereka manusia
yang dibersihkan dari dosa-dosanya. Jadilah mereka para haji yang
kembali dalam keadaan suci, sebagaimana bayi yang baru dilahirkan
ibunya. Kesucian hanya akan diperoleh setelah pengakuan dan pengorbanan.
Setalah pengakuan dan pengorbanan, jamaah haji kembali pada kesucian.
Begitu pula setiap insan, setelah pengakuan dan pengorbanan, mereka akan
kembali pada kesucian. Jemaah haji kemudian bergerak menuju baitullah.
Di sana mereka berputar mengitari rumah Tuhan. Pengakuan dan taubat yang
sempurna-pengorbanan yang paripurna-adalah taubat dan pengorbanan yang
diiringi dengan perputaran di seputar rumah Tuhan. Dengan kata lain,
taubat kita hanya akan diterima, pengorbanan kita hanya akan dikabulkan,
sekiranya kita memelihara sisa umur kita untuk terus menerus berputar
di sekitar rumah Tuhan. Jemaah haji yang memelihara kesucian, setelah
seluruh ritus dan amalan, diperintahkan untuk mengemban sebuah
kewajiban, untuk senantiasa menghabiskan hidupnya hanya dalam ketaatan
kepada Tuhan, sebagaimana di tanah suci, setelah ‘arafah, tahallul, dan
kurban, mereka thawaf di seputar rumah Tuhan.
Karena itu, apa pun yang kita lakukan, kita tidak menjauhi Tuhan. Kita
persembahkan kekayaan kepada Tuhan dengan membagi-bagikannya kepada
hamba-hamba-Nya yang memerlukan. Bukankah dalam sebuah hadis qudsi,
Allah swt berfirman, “dekatilah aku di tengah orang-orang kecil di antara kamu. Temuilah aku di tengah orang-orang yang menderita.”
Kita peruntukan kedudukan kepada Tuhan dengan menggunakanya untuk
melindungi orang-orang yang lemah dan dilemahkan. Kita syukuri semua
anugerah Tuhan kepada kita, dengan berusaha membahagiakan sesama
manusia. Insya Allah, dengan begitu, kita bergabung dengan jemaah haji,
yang memperoleh haji yang mabrur, sa’i yang masykur, dan usaha yang
tidak pernah merugi.
Dengan senantiasa berputar di sekitar rumah Tuhan. Kita menjalankan
syukur yang sebenar-benarnya. Dalam surat Al-Baqarah, Allah swt
bercerita tentang tiga kelompok manusia: orang bertaqwa, orang kafir,
orang munafik, adalah penyakit yang yang bersemayam dalam hati mereka.
Penyakit itu ditandai dengan dusta yang mereka lakukan. Dalam hati
mereka ada penyakit, lalu Allah menambahpenyakitnya, dan bagi mereka
siksa yang pedih karena dusta yang mereka lakukan.(QS. Al-Baqarah:10)
Apa yang dimaksud dengan dusta ? berdusta bukan saja menyampaikan
sesuatu yang bukan fakta. Berdusta dalam banyak ayat Al-Quran, ditandai
dengan dua hal. pertama, kurangnya manusia mensyukuri nikmat Tuhanya.
Bukankah turun kepada kita surat Al-Rahman, yang menceritakan nikmat
Tuhan yang tak terhingga, bukankah ada satu ayat yang paling sering
dibaca berulang, “fabiayyi ala’I rabbikuma tukaddziban?” wahai jin dan manusia, nikmat Tuhan manakah yang akan kalian dustakan? Nikmat Tuhan yang manakah yang belum kalian syukuri ?
Kedua, kata dusta dalam Al-Quran juga berarti meninggalkan sunnah dan ajaran Nabi. Kaddzabat tsamudu bitaghwaha, kaum tsamud telah mendustakan rasulnya karena kesesatan mereka (QS. Al-Syams;11); kaddzabat qoblahum qaumu nuhin wa’adin wa fir’aun dzul awtad,
telah mendustakan para rasul sebelum mereka itu, kaum nuh ‘Ad, dan
fir’aun yang mempunyai tentara yang banyak (QS.Shad;12). Tidak-Kurang
dari 70 ayat dalam Al-Quran bercerita tentang dusta yang dilakukan
kaum-kaum terdahulu, yaitu perbuatan mereka yang meninggalkan sunnah
yang diajarkan Nabi-Nabi mereka.
Marilah kini kita lihat diri kita, seberapa banyak lagi sunnah Nabi
yang masih kita ikuti? Apakah kita termasuk kedalam kelompok mereka yang
mendustakan ajaran rasul-Nya ? menjelang wafatnya, Rasulullah saw
bersabda, “aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, sekiranya kalian
pegang teguh keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu
kitab Allah, dan keluargaku, ahli baitku.” Apakah kita masih mendawamkan
Al-Quran dalam keseharian hidup kita ? apakah kita msih menjadikanya
pedoman, untuk menuntun kebingungan kita? Ataukah kita hanya
meletakkanya sebagai penghias ruangan muka.
Kemanakah kini pusaka yang kedua? Keluarga suci yang dititipkan Nabi
untuk umatnya? Tahukah kita siapa mereka? Pernahkah kita baca sejarah
mereka agar menjadi cerminan hidup kita? Sekiranya kita menjawab tidak
untuk setiap pertanyaan itu, kembalilah ke ‘arafah, akuilah setiap
kekurangan itu, kembalilah berkurban, tinggalkan seluruh kehidupan
dunia, untuk kemudian kembali dan mengikuti ajaran Nabi dan keluarganya,
setalah itu bercukurlah, dan mulailah untuk berputar di sekitar rumah
Tuhan, dengan menghabiskan sisa usia kita, dalam syukur dan
perkhidmatan, dengan senantiasa menjadikan Al-Quran dan kelurga suci
Nabi sebagai pedoman.
Marilah kini kita berdoa, semoga Allah yang Maha Kuasa, berkenan untuk
memberikan karunia, menganugerahkan kita kemampuan, untuk senantiasa
bertaubat dan berkurban, sehingga jadilah kita Ibrahim-ibrahim baru,
yang menjawab setiap perintah Tuhan, dan melakukannya dengan penuh
keikhlasan.
Ya Allah, Tuhan kami, inilah hari yang penuh berkat dan keberuntungan. Hari ini berkumpul kaum muslimin, memenuhi
sudut-sudut bumi-mu, hadir di antara mereka, pemohon, peminta dan
perindu. Ada di tengah-tengah mereka, yang kini berdiri ketakutan dan
mengharapkan perlindunga-mu.\
Ya Allah, kami bermohon kepada-mu, Demi kemuran dan kebaikan-mu,
sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Gabungkan kami pada
hari ini, dengan orang saleh yang berdoa kepada-mu
Ya Allah, angkatlah cobaanmu pada penduduk negeri ini. Terimalah taubat
kami, dalam syukur dan pengorbanan kami. Selamatkan kami dari adzab
yang pedih, yang engkau turunkan dari atas kami, atau dari bawah kami,
atau dengan perpecahan di antara kami.
Ya Allah, sekiranya pada hari ini, engkau hanya menerima taubat orang yang berserah diri dan mengakui segala dosanya, demi keagungan-mu, kami berserah diri dan mengakui segala dosa kami.
Ya llah, sekiranya pada hari ini, engkau hanya menerima kurban orang yang senantiasa taat kepada-mu, demi kebesaran-mu kami bersumpah, untuk berusaha meghabiskan sisa usia kami, dalam peribadatan dan ketaatan kepada-mu.
Ya Allah, kami tidak akan mampu melakukan semua itu, kecuali karena
kasih dan sayang-mu jua. Sampaikanlah salawat dan salam, kepada Muhammad
junjungan alam, serta keluarganya yang di muliakan.
Khotbah Ust. H. Miftah Fauzi Rakhmat setelah shalat Idul Adha di
lapangan AKPI, jl. Kampus I, bandung, pada hari Jumat, 22 Februari
2002/10 Dzulhijjah 1422H.
Sumber: http://almunawwarah.com
0 komentar:
Posting Komentar