Andai Aku Seorang Muslim Liberal
Oleh: Haidar Bagir
1. Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan
melepaskan segenap keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir
atas Islam yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. Namun,
aku akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam arti bahwa otoritas
itu bersumber pada bukti-bukti yang meyakinkan secara rasional dan berdasar
pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini kebenarannya. Aku percaya bahwa
otoritas keulamaan baru mempunyai makna jika ia dikaitkan dengan
prinsip-prinsip ilmiah seperti ini, bukan semata-mata dengan simbol-simbol yang
tak bisa dijelaskan sepanjang prinsip-prinsip itu, seperti karisma, kesalehan
lahiriah, keturunan, (semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman tradisional,
dan sebagainya. Dengan kata lain, otoritas keulamaan aku terima dalam makna
yang sesuai dengan makna-asli ajektif yang terlekat kepada kata otoritas dalam
ungkapan ini, yakni “yang bersifat ilmiah.” Semua ini aku yakini karena
al-Qur’an, sebagai otoritas tertinggi dalam Islam mengajarku bahwa agama Islam
adalah untuk orang-orang yang berakal, Nabinya pun dengan tegas menyatakan “tak
ada agama bagi orang yang tak berakal.” Selanjutnya, penolakanku terhadap
segala bentuk otoritas keulamaan qua simbol-simbol itu tentu saja tak terbatas
pada otoritas keulamaan masa sekarang, ia malah terutama berhubungan dengan
otoritas keulamaan masa lampau, sampai masa lampau yang paling jauh dalam
sejarah Islam. Karena opini para ulama masa lampau memiliki peluang lebih besar
untuk kehilangan relevansi dengan masa kita sekarang akibat perbedaan
tantangan, budaya, dan psikologi.
2. Tapi, aku juga sadar bahwa akal dan
prinsip-prinsip ilmiah yang diakuinya kapan saja selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya
sendiri. Karena itu, aku tak akan pernah merasa kapan saja dalam hidupku bahwa
keyakinanku akan sesuatu bersifat final. Aku selalu sadar bahwa
keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap sebagai bersifat tentantif, selalu
siap untuk direvisi dan direvisi lagi, sejalan dengan pertambahan wawasan dan
ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
3. Lebih dari itu, aku percaya bahwa
rasionalitas saja bukanlah satu-satunya soko-guru keilmiahan. Aku, percaya pada
bahwa akal juga mencakup apa yang -- oleh orang-orang seperti Aristoteles,
Rumi, Bergson, Heidegger, atau Muhammad Iqbal – disebut sebagai intuisi atau --
oleh sebagian pemikir lain -- disebut sebagai intelek (intellect). Inilah suatu daya (quwwah)
yang dalam tradisi Islam sering diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ad). Bahkan,
aku percaya bahwa setiap saat intuisiku ikut menentukan penarikan
pendapat-ilmiahku – kumaui atau tidak. Memang, tak seperti penalaran rasional,
aku tak bisa mengendalikan operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi
bersifat holistik sintetik, dan
mengontrol?) Tapi, aku percaya bahwa aku bisa menjadikan pemikiran intuitifku
mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga obyektivitas dan
keikhlasanku.
4. Karena adanya kebutuhan agar aku tetap obyektif dan ikhlas seperti itu,
maka sepanjang upayaku untuk mencari opini yang benar aku akan memelihara fokus
pada kebenaran itu sendiri, bukan pada popularitas (khalif tu’raf), permusuhan pada pendapat yang (sementara ini) tidak
aku sepakati, dan sejauh mungkin menyisikan kemungkinan kesombongan dan
kebanggaan dari upaya-upayaku itu. Dan, karena aku sadar bahwa dorongan ke arah
nafsu-nafsu yang dapat mengganggu obyektivitasku seperti itu berpeluang besar
untuk mengganggu obyektivitasku, maka aku akan secara sadar dan terus-menerus
memperbaharui niatku, menaklukkan semangat sekadar ingin popular dan menang
sendiri, dan membuka akal dan dadaku seluas-luasnya untuk memeriksa opini apa
pun yang sampai kepadaku tanpa judgement a
priori apa pun, dan lebih siap untuk mengkritik opiniku sebelum opini-opini
yang lain. Aku percaya, jihad al-nafs
(perang melawan hawa nafsu) diperlukan di sini.
5. Seandainya aku seorang Muslim liberal, aku – meskipun amat kritis – akan
menyadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang sebagai akumulasi pemikiran umat
manusia sepanjang sejarah. Bahwa, seperti kata Isaac Newton, kita berdiri “ di
atas bahu para raksasa” sebelum kita. Bahwa, meski zaman beserta budaya,
psikologi, dan tantangan-tantangannya berubah terus, ada saja yang bersifat
perenial dan universal dalam pemikiran umat manusia sepanjang sejarahnya.
Bahkan aku percaya, perlintasan batas waktu itu terjadi hingga masa-masa awal
penciptaan manusia. Bukan hanya hingga Plato – yang, oleh Whitehead, pemikiran
manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah catatan kaki atasnya – melainkan
hingga Hermes Trimegistus (Nabi Idris dalam tradisi pemikiran Islam) yang
dianggap Bapak Ilmu Pengetahuan umat manusia. Meski kritis, aku tak akan
bersikap nihilistik terhadap khazanah pemikiran masa lampau, karena dengan
bersikap demikian aku hanya memiskinkan khazanah ilmu pengetahuan umat manusia,
dan khazanah ilmu-pengetahuanku. Dengan demikian, aku tak mau terperangkap
kedalam kebencian terhadap hasil-hasil pemikiran masa lampau karena aku menganggapnya
berpotensi menggagahi kebebasan berpikirku. Sebaliknya, aku akan
mengapresiasinya dan memperlakukannya secara terhormat sebagai khazanah yang
berpotensi untuk memperkaya pemikiran-pemikiranku. Aku pun akan berusaha untuk
tidak melupakan bahwa pada kenyataannya hasil pemikiran para pemikir
pendahuluku seringkali tidak kalah canggih dan rigorous dibanding pemikiran kiwari. Karena, aku pun menyadari
bahwa – seperti ditulis, antara lain, oleh Franz Rosenthal – para ilmuwan dan
ulama Muslim masa lampau juga memiliki persyaratan-persyaratan keilmuan yang
amat ketat. Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup telaten untuk
membaca hasil pemikiran mereka, amat banyak masalah-masalah dan opini-opini
yang terungkap dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah digarap juga
oleh para pendahuluku itu. Kenyataan bahwa perdebatan itu seringkali memakan
waktu beberapa generasi, dan melibatkan begitu banyak pemikir yang memiliki
berbagai latar belakang, tak urung akan membuatku berpikir :”Jangan-jangan apa
yang mereka pikirkan malah lebih canggih dari apa yang sedang aku pikirkan
sekarang.” Tidak dengan demikian kemudian aku berhenti berpikir dan merasa
cukup dengan hasil pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya makin
mendorongku untuk mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan baru di
atasnya, agar dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang
melanjutkan akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan itu. Alhasil, sikapku
terhadap otoritas keulamaan, termasuk otoritas keulamaan masa lampau,
sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari prinsip-prinsip keliberalan
sikapku dalam berislam, yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, dan
demokrasi.
6. Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku
akan selalu menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain,
betapa pun pendapat itu segera tampak tak aku sepakati, asing, atau bahkan
terdengar ofensif bagiku. Aku akan berusaha sebisanya untuk memberi mereka the benefits of the doubt, sambil berupaya
menerapkan kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini sebagai) benar tapi memiliki
peluang untuk salah, dan pendapat orang lain (aku yakini) sebagai salah, tapi
memiliki peluang untuk benar; juga bahwa, meski aku berbeda pendapat, hak
mereka untuk mengungkapkan pendapatnya akan aku junjung tinggi dan aku bela.
Karena aku percaya bahwa hikmah (kebijaksanaan) “tercecer” di mana-mana, di
berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban memungutnya di mana saja aku
menemukannya. Karena aku pun percaya bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah suatu rahmat, yang –
jika kita sikapi dengan benar – akan memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa
kita lebih dekat kepada kebenaran. Dengan kata lain, makin melengkapkan
pengetahuanku tentang kebenaran, mengingat kebenaran yang kita kuasai selalu
bersifat parsial. Aku akan sepenuhnya sepakat dengan Abdul Karim Soroush bahwa
kebenaran-kebenaran itu berasal dari sumber yang sama, dan bahwa satu kebenaran
tak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. Untuk keperluan itu, sedapat mungkin
aku akan bersikap seperti Imam Ghazali ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak
mengkritik, kita harus berupaya untuk bisa memahami pendapat yang akan kita
kritik itu seperti pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam
Ghazali yang berjudul Maqashid
al-Falasifah – yang sebenarnya merupakan ringkasan karya Ibn Sina – sempat
dikelirukan sebagai karya Ibn Sina karena sifat empatik yang dominan terhadap
pemikiran filosof yang sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras
itu). Seperti Luthfi Asysyaukanie aku percaya bahwa, bahkan dalam opini yang
sepintas tampak bertentangan dengan pendapat kita, selalu ada peluang kebenaran
yang bisa kita pungut. Pendapat Luthfi Asysyaukani bahwa Wahhabiyah – salah
satu faham yang biasa dianggap sebagai sumber aliran “fundamentalisme” –
sesungguhnya juga menyumbang kepada proses sekularisasi ketika ia mengritik
mitos dan takhayul adalah contoh yang baik tentang sikap ini. Demikian juga
dengan contoh, yang juga dikabarkan Luthfi, tentang sikap Imam Ja’far
Al-Shadiq, Imam Keenam Syi’ah – suatu mazhab yang lagi-lagi sempat melahirkan
apa yang oleh banyak orang dinamai “fundamentalisme” – yang oleh Karen Amstrong
dianggap sebagai menyimpan benih-benih sekularisasi (betapa pun aku masih perlu
berfikir beberapa kali sebelum bisa menerima anggapan Amstrong itu). Luthfi dan
Syamsu Rijal Panggabean sudah amat bijaksana ketika meyakini bahwa keliberalan
dalam pemikiran Islam memiliki gradasi, memiliki spektrum, dan sama sekali
tidak monolit. Dalam kerangka ini, sebagai seorang Muslim liberal, aku akan
menghindarkan sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita kritik,
apalagi sinikal. Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami pandangan
kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural, menyesatkan (misleading) dan, dengan demikian,
merusak obyektivitas kita. Sebaliknya, saya akan berhati-hati, dan bukannya
malah kenes, dalam menanggapi opini yang tidak saya setujui itu agar suatu
dialog yang produktif, konstruktif, dan saling memperkaya akan tercipta. Meski,
misalnya, para penganut pendapat yang tidak aku setujui bersikap negatif
terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu sadar bahwa mereka bukan guruku.
Bukankah aku mengambil pilihan sikap liberal karena aku merasa bahwa kancah pemikiran
harus selalu dibiarkan terbuka, pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku
mengkritik mereka justru karena sifat tertutup, totalitarian, dan
otoritariannya? Juga, karena aku yakin, bahwa pada dasarnya makhluk yang
bernama manusia ini bisa diajak berinteraksi secara persuasif, asalkan kita
telaten dalam mengajukan hujjah-hujjah kita yang meyakinkan kepada mereka. Dan
juga karena aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu besar
antara aku dan mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog yang
produktif dan silaturrahmi yang tulus di antara kami. Aku yakin bahwa
ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang lain merupakan produk sikap
sombong, merasa benar sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru
menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.
7. Andai aku seorang Muslim Liberal, aku akan melakukan sekularisasi
terhadap pemikiran keislaman. Aku akan berusaha memisahkan sebisanya
unsur-unsur yang sakral dari yang profan, dan mengembalikan unsur-unsur profan
ke pangkuan pemikiran yang netral agama. Karena aku yakin bahwa menyerahkan
masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena
justru akan mempersulit diri dan mendorong munculnya sikap-sikjap reaksioner
dan obskurantis, setidaknya bisa menimbulkan suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya
menyelusup – melainkan “mengangkangi” -- kesemua detil aktivitas kita secara
tidak perlu. Dan karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan
akal yang dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya
membimbing kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa sekularisasi
ada batas-batasnya. Bahwa, betapa pun, agama sebagai agama meniscayakan
penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral. Bahwa batas antara
sekularisasi dan sekularisme – yang tidak aku sepakati – tidak selalu jelas.
Setidaknya, kalau pun aku yakin bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan
moral dan etika, aku sadar bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek kehidupan
manusia yang mana pun. Apalagi, aku juga tidak begitu yakin bahwa peran agama
“hanya” sebatas memberikan aturan-aturan moral dan etika. Meski aku percayai
dalam banyak hal bersifat kontekstual dan historis, aku juga yakin bahwa banyak
juga teks-teks (nash) keagamaan yang
berbicara mengenai soal-soal teknis yang menyangkut hukum, politik, ekonomi.
Menyisikannya sebagai ayat-ayat Madaniyah yang tak lagi relevan untuk masa-masa
seperti itu, sebagai dilakukan oleh Ahmad Mahmud Thaha, tak selalu mudah. Kalau
pun teks-teks yang bersifat seperti ini kita anggap tak lagi sakral
penerapannya, aku tak bisa menutup sama sekali pintu untuknya. Karena siapa
tahu ia masih juga bisa menjadi suatu sumber pemikiran di tengah berbagai
sumber pemikiran nonkeagamaan. Setidaknya kesemuanya itu masih bisa kita anggap
sebagai – aku tergoda untuk meminjam ungkapan Nirwan Arsuka, meski kutahu amat
kontroversial -- “suatu fiksi besar, kanon raksasa, yang terbuka untuk
terus-menerus ditafsirkan, sebagaimana orang kini menafsirkan Shakespeare atau
Homerus.” (Hanya saja, jika Shakespeare dan Homerus bersifat zhanniy/probable baik dari segi wurud/transmisi maupun dilalah/kandungannya, nash keislaman jenis ini tetap saja
bersifat qath’iy/pasti, setidaknya
dari segi transmisinya yang bersumber dari Tuhan). Atau, kalau kita pinjam
istilah ushul fiqh, kalau tak bisa
menjadi sumber peraturan primer (awwaliyyah),
nash-nash yang bersifat kontekstual
dan historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber peraturan sekunder (tsanawiyyah). Wa Allah a’lam.
8. Aku juga akan memelihara concern bahwa
Islam harus selalu ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab
tantangan zaman. Aku percaya bahwa Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini
dengan sifatnya yang progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal, Allah
selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru setiap saat (kulla yaumin huwa fi sya’n). Bahwa dunia ini bukan suatu block universe. Maka ijtihad pun menjadi
niscaya – Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau soko guru gerakan dalam Islam –
demi menyahuti undangan Allah untuk menjawab tantangan-tantangan
(ciptaan-ciptaan) baru itu. Tapi aku juga tahu bahwa ada bahaya untuk
menjadikan agama sebagai “pelengkap penderita” dalam kita mencari jawab
terhadap tantangan-tantangan zaman itu. Maksudku, bukannya ajaran-ajaran Islam
aku jadikan sumber, aku memanipulasinya agar sesuai dengan keyakinanku yang
bersifat a priori. Dengan kata lain,
ajaran Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku merupakan suatu sikap yang
mengkhianati integritas intelektualku. Kalau aku percaya pada kebenaran Islam,
maka sikap yang ilmiah adalah menempatkannya sebagai sejajar dengan
sumber-sumber kebenaran intelektual yang lainnya. Bahkan, dalam hal terjadi konflik
yang tidak bisa aku selesaikan di antara keduanya, aku harus siap untuk
memenangkan sumber-sumber keagamaan, meski hanya untuk sementara. Karena, pada
dasarnya, seperti aku ungkapkan sebelumnya, aku percaya bahwa hasil pemikiran
intelektual yang sahih (atau qath’iy,
menurut istilah keagamaannya) ultimately
tak akan bertentangan dengan dengan teks-teks atau nash-nash yang dipahami secara sahih (qath’iy) pula. Yang pasti, aku tak akan menjadikan keislamanku
hanya sebagai sarana sosialisasi dan menghindarkan dari social punishment yang mungkin diberikan oleh lingkunganku yang
kebetulan mayoritas menjadikan Islam sebagai bagian identitasnya. Karena,
sekali lagi, kuanggap ini adalah suatu sikap yang mengkhianati
integritas-intelektualku.
9. Dengan semua keyakinanku sebagai seorang Muslim liberal, pendekatanku
terhadap teks-teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi Islam selebihnya akan
bersifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan melakukan distansiasi
terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan segala latar-belakang sosiologis,
psikologis, dan kulturalku agar aku bisa meminimumkan subyektivitasku, kemudian
melihatnya secara historis dan kontekstual, selanjutnya menyeruput
esensi-esensi (maqashid)-nya, untuk
akhirnya mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan zamanku. Ini sama
sekali bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku tak punya pilihan lain jika
hendak obyektif. Meskipun demikian, aku sadar bahwa hermeneutika memiliki
jebakan-jebakannya sendiri, di setiap tahap dalam prosedurnya. Mengenali diri
adalah suatu pekerjaan yang, sejak zaman Yunani, diakui sama dengan mengenali
Tuhan – the ultimate being. Karena
itu, tak kurang dari suatu pertempuran besar (jihad akbar) – lagi-lagi, jihad melawan hawa nafsu – sajalah yang
dapat membantu kita melakukannya. Kemudian, melihat secara historis dan
kontekstual mengharuskanku untuk dapat memilih dari berbagai versi historis,
latar belakang sosio-kultural dan psikologis yang berjalin berkelindan secara
amat kompleks, kalau tak malah sering saling bertentangan. Dan seterusnya.
Karena itu, aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir Muslim masa lampau,
seperti kaum rasionalis Mu’tazilah, atau kaum Sufi, yang telah berupaya keras
untuk memraktekan pendekatan ini lewat apa yang mereka sebut sebagai ta’wil. Tapi, pada saat yang sama, aku
juga akan mengambil manfaat dari orang-orang yang memujikan pendekatan literal,
karena pendekatan seperti ini sedikit-banyak akan membantuku untuk
mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku hendak mencari makna
hermeneutik teks-teks tersebut. Ini, pikirku, barangkali sebab yang membuat
bahkan Sufi se-“liar” Ibn ‘Arabi pun ngotot dengan makna asal kata-kata karena
bagi orang-orang seperti ini ta’wil –
sebagaimana hermeneutika – bukanlah mencari makna yang bukan orisinal,
melainkan justru mengembalikannya kepada yang asal itu.
10. Akhirnya, sebagai muslim, meski liberal, aku akan selalu meminta
pertolongan (‘inayah) dan petunjuk (hidayah) dari Allah SWT. Sang Kebenaran
(al-Haqq) dan Sang Pemberi Petunjuk (Al-Hadi), karena aku amat sadar kepada
keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan bahwa Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran.
Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Haidar Bagir. Direktur Utama Penerbit Mizan, Bandung. Artikel ini adalah juga makalah KKA
Paramadina dan Peluncuran Buku Wajah Liberal Islam di Indonesia, di Aula
Universitas Paramadina, 18 Juli 2002
0 komentar:
Posting Komentar