Dimensi Filsafat dalam Wahyu
Oleh: Pradana Boy ZTF
POSISI wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi historis
maupun normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan,
membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas
transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis
bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya.
Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber
pengetahuan (Bakar, 1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu
memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui
wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering
diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu
sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu
sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Atas dasar asumsi
inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu.
Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara
yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan
empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi
akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui
pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan (Bahm, 1990). Kedua aliran ini,
dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan
pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu,
dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan.
Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau
menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan satu
konsep epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai
epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal,
pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah putus.
Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu
kondisi historitas tertentu (Zaid, 2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis
dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first massage di satu sisi, dan the second massage, di sisi lain.
Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam
mengatasi persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa
dihindari dalam menerjemahkan "kemauan" wahyu yang seringkali -atau
bahkan selalu- turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal
kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis
yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan
Mu'awiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan
kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat
terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu
menyesatkan. Itulah al-Qur'an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia
menafsirkannya.
Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang
Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan:
Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas kosmik yang bertindak sebagai
perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan
(al-'aql al-mustafad) yang diperoleh
Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini,
tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transenden dari
intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang merupakan
kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum.
Wahyu yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah
sesuatu yang baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabi
pendahulunya. Muhammad, tulis Azad, tidak datang dengan pesan-pesan baru,
melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang pernah diterima oleh Nabi
Adam, Nuh, Ya'kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud, Musa, Isa dan Nabi-nabi
lain yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu
yang disebutkan dalam al-Qur'an dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah
sama, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma'ruf) serta
menghindari kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju
semuanya.
Tesis Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat.
Bahwa konsep-konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles misalnya,
memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para
filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal) menunjukkan
pengaruhnya yang besar kepada jalan pikiran para filosof Muslim (Nurcholish,
2000: 226). Kuatnya pengaruh Aristoteles dalam tradisi pemikiran filosof muslim
itu makin tegas ketika, Al-Farabi dikukuhkan sebagai "guru kedua" (al-mu'allim al-tsani) setelah
Aristoteles.
Dengan demikian, wahyu sebagai guidance
bagi umat beragama dalam kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi
kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnya lahir untuk
menjembatani manusia membongkar dimensi-dimensi filosofis yang terkandung dalam
wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang memihak manusia,
justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu memenangkan
kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.
Walaupun wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan
dengan filsafat, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya.
Dalam hal ini, al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari
filsafat. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik
pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu
dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan dengan
bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari
pengetahuan-pengetahuan ini disebut dengan filsafat. Tetapi jika
gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan
yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran atas apa yang dibayangkan
atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka pengetahuan yang
dihasilkannya disebut dengan agama.
Tantangan menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin
mekanistis ini, jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi-dimensi
filosofis dalam wahyu. Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam
memandang adil terhadap wahyu: menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan
beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan keilmuan dan peradaban
Islam yang saat ini tengah dirindukan kembali kejayaannya. Wallahu a'lam bi al-Shawwab.[]
Pradana Boy ZTF. Dosen FAI UMM,
Direktur Eksekutif Religion and Social Studies (RĂ«SIST) Malang.
0 komentar:
Posting Komentar