Sulfikar Amir
Tulisan ini memfokuskan diri pada isu sains dan Islam yang akhir-akhir ini
banyak mendapat perhatian dari kalangan akademik dan masyarakat Islam di
Indonesia. Isu ini menjadi hangat karena adanya keinginan, harapan, dan
semangat akan bangkitnya peradaban Islam yang dimotivasi oleh romantisisme
sejarah kejayaan peradaban Islam dalam bidang sains beberapa abad yang lampau.
Studi mengenai sains dalam Islam sebenarnya sudah dibahas secara serius oleh
beberapa sarjana, baik muslim maupun Barat. Secara garis besar, studi ini
mencakup dua aspek, yakni historis dan epistemologis. Dalam tulisan ini saya
akan mendiskusikan kedua aspek ini dan melajutkannya ke dalam konteks
Indonesia.
Revolusi Ilmiah Diskusi sains dan Islam ada baiknya dimulai dari satu
peristiwa monumental yang menandai lahirnya sains modern, yakni Revolusi Ilmiah
pada abad ke 17 di Eropa Barat yang menjadi “cikal bakal” munculnya sains
moderns sebagai sistem pengetahuan “universal.” Dalam historiografi sains,
salah satu pertanyaan besar yang selalu menjadi daya tarik adalah: Mengapa
Revolusi Ilmiah tersebut tidak terjadi di peradaban Islam yang mengalami masa
kejayaan berabad-abad sebelum bangsa Eropa membangun sistem pengetahuan mereka?
Bukankan peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat
(tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan) yang memungkinkan terjadinya Revolusi
Ilmiah itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang perlu dipahami.
Pertama adalah sejarah sosial sains di Eropa ketika terjadi Revolusi Ilmiah.
Yang kedua adalah karakteristik internal sistem pengetahuan peradaban Islam
yang tidak memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah. Walaupun membandingkan
kedua hal ini sedikit ambigius, komparasi singkat ini cukup bermanfaat untuk
melihat bagaimana sains modern dan Islam kontemporer bertemu.
Ada beberapa tesis yang kita bisa ambil untuk memahami peristiwa Revolusi
Ilmiah di Eropa. Pertama, Revolusi Ilmiah selalu dikaitkan dengan proses
sekularisasi atau tercabutnya kekuasaan agama dalam sistem sosial politik yang
memungkinakn sains lepas dari kungkungan institusi agama. Telah banyak
diketahui bahwa pada abad 16 dan 17 ketika era Renaissannce, agama sebagai institusi yang sangat dominan dan
hegemonik di Eropa kala itu mengalami perubahan radikal dalam posisinya sebagai
pemegang otoritas penuh segala bentuk kebenaran. Tetapi lepasnya sains dari
otoritas agama tidak menjadikannya independen. Dalam catatan Leonardo Olschki,
terjadinya Revolusi Ilmiah tidak lepas dari proses transformasi pengetahuan
ilmiah ke dalam bentuk utilitas teknis.
Menurut Hessen keberhasilan sains moderen di abad 16 dan 17 didorong oleh
runtuhnya sistem ekonomi feodal yang digantikan oleh sistem ekonomi
kapitalisme. Secara spesifik, Hessen merujuk perkembangan ilmu fisika pada saat
itu sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan-kebutuhan teknis dalam industri
dan peperangan. Dari catatan-catatan sejarah tentang Revolusi Ilmiah ini kita
bisa memahami bahwa perkembangan sains moderen di Eropa tidak lepas dari
berbagai bentuk kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, seperti yang dikatakan
oleh oleh Sandra Harding, sains moderen telah menjadi kendaraan bagi praktek
hegemoni dan pemenuhan ambisi-ambisi nasionalisme bangsa Eropa ketika melakukan
penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain.
Sekarang mari kita menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban
Islam dan sistem pengetahuan yang dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita
jadikan salah satu pegangan untuk melihat kontribusi peradaban Islam dalam
sains. Dalam pengamatannya, peradaban Islam memang mengimpor tradisi
intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi proses ini tidak dilakukan
begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan melalui proses appropriation atau penyesuaian dengan
nilai-nilai Islam. Dengan demikian peradaban Islam mampu mengambil, mengolah,
dan memproduksi suatu sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang
tidak tidak pernah ada sebelumnya. Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai
kontribusi signifikan peradaban Islam dalam sains. Pertama adalah dalam tingkat
pemikiran ilmiah yang diilhami oleh kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam.
Penentuan arah kiblat secara akurat adalah salah satu hasil dari konjungsi ini.
Kedua dalam tingkat institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada empat
institusi penting bagi perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam
peradaban Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan
observatorium astronomi. Semua kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh
dukungan dari penguasa pada waktu itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan
terhadap tradisi ilmiah.
Lalu mengapa sains dalam peradaban Islam tidak berhasil mempertahankan
kontinyuitasnya, gagal mencapai titik Revolusi Ilmiah, dan justru mengalami
penurunan? Salah satu tesis yang menarik datang dari Aydin Sadili. Seperti
dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam adalah masuknya unsur agama
dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah penyebab
kegagalan peradaban Islam mencapai Revolusi Ilmiah. Dalam asumsi Sadili,
tradisi intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat
menghasilkan kemajuan ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan
agama. Rekonsiliasi antara sains dan agama tersebut terjadi di peradaban Eropa,
tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi antara dua jenis pengetahuan,
yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil) adalah indikasi kuat. Permasalahan yang terjadi adalah
adanya ketimpangan posisi antara pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di
mana pengetahuan agama menempati posisi sosial politik yang lebih baik
sementara status pengetahuan duniawi berada pada status pelengkap.
Selanjutnya, Sadili melihat bahwa salah satu permasalah krusial gagalnya
sains Islam dalam mencapai tahap Revolusi Ilmiah adalah terpisahnya tradisi
filsafat dengan tradisi pemikiran keagamaan. Karena sains dan filsafat berada
dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan duniawi. Pemisahan ini
pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam mempertanyakan hal-hal di luar
otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada berhentinya tradisi
ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut diimpor
oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.
Sains Moderen dan
Islam
Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur
lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu,
keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap
muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang berlandaskan nilai-nilai
Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam
melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah
peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem
pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada
keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan
epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang
memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem
pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi
agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang
pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah
sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan
ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen
membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang
masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen
adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang
cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir
sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik
sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup
manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisisi
seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam
mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk
tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai
akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang
mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal.
Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya
bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen
dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara
universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap
sistem pengetahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen
yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan
yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan
tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan
terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang
islami.
Islam dan Sains
di Indonesia
Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam
terbesar di dunia selalu dikaitkan dengan harapan akan bangkitnya Islam di
negara ini. Fakta kuantitatif ini sayangnya belum cukup bagi kita untuk
bersikap optimis. Kendala besar bagi cita-cita tersebut ada pada dua sisi. Sisi
pertama adalah masih lemahnya tradisi ilmiah di Indonesia. Walaupun Indonesia
memiliki perguruan tinggi yang cukup berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat,
khususnya dalam bidang sains, dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil
masih jauh dari harapan. Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena
terpisahnya sains dan filsafat dalam wacana akademik. Masuknya sains dalam
kategori ilmu eksakta sementara filsafat sebagai ilmu non-eksakta adalah
indikasinya. Padahal kategori eksakta dan non-eksakta tersebut bersifat ilusif.
Ini menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang
mapan, dan sebaliknya, sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat otonom.
Pada sisi kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan bahwa
masyarakat Islam di Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual peradaban
Islam ketika masa keemasan. Islam muncul di Indonesia justru ketika tradisi
intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat asalnya sehingga tradisi
intelektual tersebut tidak sempat terserap dalam sistem sosial dan kebudayaan.
Disamping itu, salah satu syarat tumbuhnya tradisi intelektual adalah adanya
sikap keterbukaan atau inklusivitas karena suatu sistem pengetahuan baru dapat
terbentuk dengan baik jika berada dalam sistem sosial yang menghargai perbedaan
dan keberagaman pemikiran. Hal ini menjadi isu penting mengingat masih kuatnya
eksklusivitas di berbagai lapisan masyarakat Islam di Indonesia.
Sebagai penutup, apa yang diuraikan di atas adalah suatu bentuk kepedulian
terhadap Islam dan sains di Indonesia yang patut mendapat perhatian publik
secara terus menerus untuk membangkitan semangat dan tradisi kritik sains
sekaligus kritik bagi masyarakat Islam di Indonesia. Dan karenanya studi relasi
antar sains dan Islam seharusnya menjadi agenda penting, baik dalam tradisi
filsafat Islam maupun dalam wacana sains di level teoritis maupun praksis.
Sulfikar Amir. Mahasiswa Program
PhD, Department of Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic
Institute, Amerika. amirs3@rpi.edu
Referensi
Al-Faruqi, Ismail
R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem, Principles, and the
Workplan, Islamabad : National Hijra Centenary Committee of Pakistan.
Cohen, H. Floris
(1994). The Scientific Revolution: A Historiographical Inquiry, Chicago:
The University of Chicago Press.
Harding, Sandar (1998) Is Science Multicultural?:
Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies, Bloomington: Indiana
University Press.
Lenoir, Timothy
(1997) Instituting Science: the
Cultural Production of Scientific Disciplines Stanford: Stanford
University Press.
Madjid,
Nurcholish (1992) Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit
Yayasan Paramadina
Restivo, Sal
(1988) "Modern Science as a Social Problem," Social Problems,
35 (3): 206-225.
0 komentar:
Posting Komentar