Alois A Nugroho (Direktur Pascasarjana Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta )
POSTMODERNISME
sering dikatakan "membunuh rasio". Namun, sebenarnya tidak, ia hanya
memecah belah dan membiarkannya tetap terpecah belah. Dampak pecah belah itu
pun tak perlu diartikan sebagai adu domba. Benturan peradaban sering kali
dianggap merupakan ekses dari postmodernisme. Sebenarnya tidak.
BENTURAN
peradaban barangkali lebih harus menjadi tanggung jawab modernisme daripada
postmodernisme. Dalam bentuknya yang lebih moderat, postmodernisme masih
menjanjikan keberlangsungan hidup dan bahkan keberlangsungan dari hidup yang
sejahtera. Bentuk moderat dari postmodernisme ini akan kita sebut sebagai
"multikulturalisme".
Multikulturalisme
memuat banyak kelebihan etis maupun praktis, namun dia mengandung kekurangan
dalam satu hal besar, yakni membatasi fungsi rasio hanya sebagai sebuah
strategi untuk mempertahankan hidup dan hidup lebih sejahtera. Rasio sebenarnya
dapat beroperasi dengan bertolak dari pangkalan yang sama sekali tak
berhubungan dengan pengalaman langsung, berkelana di wilayah-wilayah abstrak
dan berhenti pada oasis-oasis abstrak dari gurun abstrak tanpa tepi. Rasio
adalah operasi imajinasi, namun imajinasi itu adalah imajinasi rasional,
artinya imajinasi yang memiliki disiplin diri.
Retorika
"mockery"
Postmodernisme
pada akhirnya ialah pengakuan pada adanya multirasionalitas. Dengan begitu,
setiap klaim rasionalitas perlu menimbulkan syak wasangka sebagaimana diajarkan
oleh Alasdair MacIntyre. Kalau kita berbicara tentang rasionalitas harus jelas
lebih dahulu rasionalitas siapa atau rasionalitas yang mana (MacIntyre: 1988).
Apalagi,
rasionalitas-rasionalitas dari kultur-kultur besar dan kuat selama ini
cenderung mengklaim diri sebagai "universal" dan mengindoktrinasikan
diri kepada kaum pinggiran. Mungkin dapat dijadikan sebagai sekadar contoh,
bagaimana kultur-kultur non-Jawa di sebuah republik modern masih harus memiliki
satuan administrasi yang bernama "kelurahan" atau
"kabupaten". Contoh lain yang dapat diambil dari khazanah feminisme
radikal ialah bagaimana kaum perempuan terpaksa harus mempelajari sejarah
sebagai history dan bukannya her-story.
Dalam arti
ini, salah satu nilai lebih dari postmodernisme ialah bahwa ia mendorong
terjadinya konsientisasi. Kaum pinggiran diberanikan untuk membongkar atau
mendekonstruksi rasionalitas-rasionalitas opresif dan mengubah sejarah serta
masyarakat melalui "kata-kata" mereka sendiri. Postmodernisme dapat
dengan gegap-gempita menawarkan pembebasan ini.
Pembebasan
itu tentu saja tidak harus digambarkan dengan pembebasan yang mendasarkan diri
pada rasionalitas sebuah conviction yang mapan. Pembebasan itu dapat juga hanya
berupa penggembosan berbagai conviction melalui olok-olok (mockery).
Di bawah
pengaruh iklim postmodern semacam ini, tak ada hal yang memiliki privilese
untuk terlindung dari olok- olok. Upacara pengukuhan seorang guru besar
filsafat, misalnya, ternyata dapat bertaburan dengan olok-olok (Kompas, 11/3/
2003). Benar apa yang dikatakan Rorty, filsafat dan kerja rasional lainnya
tidak perlu diberi privilese (Rorty, 1980: 3-13).
Akan
tetapi, kita ingat bagaimana seorang tokoh pemikir pembebasan yang bernama Ivan
Illich bahkan pernah bertanya "after deschooling, what?". Pertanyaan
itu dilontarkannya sesudah dirinya sendiri dan banyak tokoh lain semisal Paulo
Freire menelanjangi sekolah sebagai sambungan tangan dari penindasan budaya.
Pada tempatnya pula bila kepada postmodernisme orang bertanya after
deconstruction, what?
Postmodernisme
Namun
postmodernisme dapat amat serius. Sebagian dari yang serius ini memasukkan
tesis yang bernama incommensurability. (Rorty, 1980: 313-394 dan Rorty, 1989:
xiii-xvi). Model dari pelbagai aktivitas kebudayaan, termasuk sains, adalah permainan,
atau bahasa, atau-dalam bahasa Wittgenstein- permainan-bahasa (language-game).
Setiap
permainan dan setiap bahasa memiliki aturan main masing-masing. Tidak mungkin
kita menilai aturan permainan bulu tangkis dari sudut aturan permainan sepak
bola.
Tidak
mungkin juga kita menilai tata bahasa Inggris dari tata bahasa Belanda. Apa
yang salah bagi sepak bola merupakan tindakan yang wajib bagi bola basket. Apa
yang salah bagi bahasa Inggris dapat merupakan cara berbahasa yang benar bagi
bahasa Belanda.
Selebihnya,
apa yang dianggap penting dalam suatu bahasa dapat sama sekali tidak relevan
bagi bahasa-bahasa lain. Dalam menggunakan kata ganti kedua, apa yang dianggap
penting bagi orang Jerman dan Perancis dianggap tidak relevan bagi orang
berbahasa Inggris, kecuali bila pihak kedua itu Tuhan.
Apa yang
dianggap penting dalam suatu permainan dapat sama sekali tidak relevan bagi
permainan-permainan lain. Orang dapat saja bermain kartu di atas meja
ping-pong, namun tidak bermain ping-pong di atas meja kartu.
Begitu
pula dalam hal kebudayaan. Ada kebudayaan yang menilai tinggi otentisitas dan
menganggap hina peniruan. Ada kebudayaan yang menganggap meniru itu wajib,
asalkan tiruannya dimanfaatkan bagi masyarakat banyak dan memiliki mutu lebih
baik dari yang ditiru. Ada kebudayaan yang menghalalkan tiru-meniru, mengatakan
bahwa tiruan itu bukan tiruan, padahal memiliki mutu lebih buruk.
Kasus
sengketa dagang yang melibatkan IBM dan Fujitsu pada akhir tahun 1980-an,
seputar persoalan intellectual property right, menunjukkan hal itu (Stewart:
1996, 270-285). "Caux Roundtable Principle" yang di dalamnya termuat
kebajikan-kebajikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai human dignity dan
kyosei dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan budaya itu ( Nugroho: 2001,
38-53).
Tesis
incomensurability tidak mengatakan bahwa kita tidak dapat melakukan studi
perbandingan antar rasionalitas. Ia hanya mengatakan bahwa pada akhirnya tak
ada impartiality atau obyektivitas untuk mengatakan suatu bahasa, permainan
atau rasionalitas itu "lebih" dari rasionalitas lain. Setiap putusan
muncul dari suatu sistem rasionalitas. Setiap sistem membenarkan dirinya
sendiri dalam apa yang disebut "lingkaran hermeneutik" (hermeneutic
circle).
Tak perlu
berarti bahwa sintesis tidak mungkin diikhtiarkan. Bahasa Esperanto dibuat dan
diperkenalkan biarpun tak banyak yang menuturkan. Bahasa Jawengdonesia
("miksyurr besok jadi yoo, tengkyu berat lhoo") sengaja atau tak
sengaja semakin banyak dituturkan.
Namun
sintesis itu tidak akan menjadi sebuah "supra bahasa". Ia hanya
bahasa di antara bahasa-bahasa lain. Hasil dari sintesis antara
permainan-permainan adalah juga sebuah permainan di antara permainan-permainan.
Ketika orang mau membuat sintesis antara agama- agama, hasilnya juga berupa
sebuah agama di antara agama-agama.
Dengan
kacamata pemikiran seperti ini, masihkah kita akan berbicara tentang
"moralitas" sesungguhnya atau "realitas" sesungguhnya atau
"pengetahuan" sebenarnya? Kesungguh-sungguhan hanya bersifat lokal,
partikular, komuniter, primordial, parokial.
Tidak
penting apa referensi dari reagan dalam wacana bangsa Amerika, namun dalam
wacana yang telah melahirkan karya-karya almarhum Umar Kayam dia telah menjadi
rigen, tekun dan rajin (di Banyumas kata "rajin" malah juga berarti
"rapi"). Tak ada yang menganggap "mister Rigen" versi Umar
Kayam sebagai bentuk inferior dari Reagan "asli".
Dunia
bisnis semula juga mengolok-olok McDonald’s Paris sebagai sebuah restoran fast
food yang turun derajat menjadi sebuah gerai slow food, karena latar belakang
kultural dan karena itu juga perilaku konsumen yang berbeda. Ketika gerai-gerai
slow food MacDonald’s Paris justru secara pragmatis menyesuaikan diri dengan
lingkungan kultural dan bahkan merias diri menjadi gerai-gerai yang chic, dunia
bisnis sekarang sedang berdebar-debar menanti apakah gerai-gerai McDonald’s di
pelosok dunia lain akan mengikuti gerai "asli" atau malah akan merias
diri a la McDonald’s Perancis (Nugroho dan Cahayani, 2003).
Benturan
peradaban?
Karena
adanya tesis incommensurability orang kadang-kadang mengaitkan postmodernisme
dengan "benturan peradaban". Spesies manusia akan mati tercekik
karena dengan klaim "universal" peradaban-peradaban lokal akan saling
mengerkah.
Yang
terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes yang bukan lagi sekadar the war
of every man against every man seperti dikatakan oleh Hobbes, tetapi lebih
berupa the war of every civilization against every civilization. Karena tidak
ada "rasionalitas universal" untuk menghakimi siapa yang
"benar", maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan kekuatan
lain.
Muncullah
pemeo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas
disebut "universal", yang dalam perkembangan sejarah lazimnya
berhubungan dengan klaim kebenaran "final" (Huntington/Ruslani, 2000:
597).
Polarisasi
yang terjadi di panggung global sekarang ini menyangkut "krisis Irak"
tak jarang diartikan sebagai salah satu contoh benturan peradaban. Ketakmampuan
elite politik nasional untuk bersikap sebagai "negarawan", dengan
mengambil jarak dari "kepentingan kaum" atau dengan kata lain
bersifat impartial, mungkin juga punya hubungan dengan mustahilnya mengambil
sikap impartial dalam kerangka pikir postmodern ini.
Tetapi
sebenarnya tidak adil kalau tanggung jawab atas benturan peradaban begitu saja
dilemparkan kepada postmodernisme. Postmodernisme berhenti pada local wisdom
dan memustahilkan universal truth.
Artinya
usaha untuk membuktikan siapa lebih benar atau lebih baik atau lebih universal
kebenaran atau kebaikannya, dengan cara-cara rasional maupun tidak, adalah
usaha yang berlebihan, superfluous. Menganggap benturan peradaban sebagai
konsekuensi logis dan praktis dari postmodernisme mencederai postmodernisme
secara tidak adil, karena baginya rasionalitas setiap peradaban tidak perlu
dibentur-benturkan dan klaim "global" atau "universal"
hanyalah bunyi angin dari ban kempes modernitas.
Bagi
postmodernisme, kompetisi antarperadaban untuk menentukan kelebih-beradaban
merupakan kekeliruan bukan hanya pada caranya, tetapi sudah sejak titik tolak
berpikirnya.
Multikulturalisme
Oleh
karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah
multikulturalisme. Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi postmodernisme
adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the
right of cultural diversity).
Lebih
lagi, postmodernisme yang sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan
oleh incommensurability pun sama sekali tidak menganjurkan "benturan
peradaban". Sebaliknya yang dianjurkan ialah "toleransi" dalam
bentuk norma "non-cruelty" antarmanusia dan dengan demikian juga
antarperadaban (Rorty, 1989: 189-198).
Artinya,
biarkan setiap komunitas hidup dengan wacana lokal dan dengan rasionalitas
lokal masing-masing yang selama ini sudah "jalan" sebagai bentuk
kehidupan yang diakrabi, menjadi custom atau tradisi. Malahan kerja ilmiah
sebenarnya juga "tradisi" semacam itu dengan "rasionalitas
lokal" masing-masing yang oleh Kuhn disebut sebagai "paradigma".
Juga di antara paradigma ilmiah sebenarnya perlu ada toleransi yang oleh Feyerabend
dikalimatkan menjadi anything goes (Lakatos and Musgrave, 1970: 197-230).
Multikulturalisme
menganggap bahwa etnosentrisme, xenosentrisme maupun xenofobia bukan tutur kata
dan sikap yang relevan. Yang relevan ialah kewajiban untuk menghormati hak-hak
atas keanekaan budaya atau hak-hak untuk berbeda secara budaya.
Multikulturalisme dengan demikian memproklamasikan emansipasi budaya-budaya
kecil yang masing-masing juga memiliki "hak hidup" yang wajib
dihormati.
Keanekaan
budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini merupakan
konsientisasi berikut yang disodorkan oleh multikulturalisme. Pada tingkat
praktis, multikulturalisme juga menunjuk kemungkinan "penyesuaian
budaya" atau "dialog budaya" dalam pengalaman individual maupun
kelompok.
Perusahaan
retail Wal- Mart, yang baru saja memperoleh predikat "perusahaan paling
dikagumi" (most admired company) versi Fortune, merupakan perusahaan
dengan kultur kuat namun mampu memodifikasi diri dalam dialog-dialog dengan
beraneka budaya nasional yang menjadi tempat operasinya (host country)
(Fortune, 2003, No 4, hal 32).
Fungsi
rasio
Namun
permasalahan yang tetap membayang-bayangi multikulturalisme ialah sifatnya yang
pragmatis. Sikap pragmatis itu membuatnya berhenti pada konvensi, pada kultur
lokal, pada rasionalitas komuniter dan menolak untuk berkelana lebih jauh
(Singer, 1981: 87-124).
Rasio
memang punya fungsi instrumental untuk mempertahankan hidup dan untuk membuat
hidup menjadi lebih sejahtera. Untuk itu, rasio mengambil jarak dari pengindraan-pengindraan
dan pengalaman-pengalaman faktual dan menyusun "strategi" budaya
untuk menyiasati lingkungan lokal.
Karakteristik
dari rasio ialah kemampuan mengambil jarak dari pengalaman langsung (Singer,
1981: 88). Rasio pragmatis merupakan aktualisasi diri dari rasio yang
diterapkan untuk menyelesaikan tekanan lingkungan lokal dan langsung. Dalam
pergaulan komuniter, rasio ini melibatkan proses belajar masyarakat,
mempelajari warisan local wisdom, menemukan cara baru untuk menghadapi
tantangan baru dan mewariskannya pada generasi berikut (Whitehead/Nugroho,
2001: 60).
Namun
rasio tidak menuntaskan dirinya dengan aktivitas-aktivitas memecahkan
masalah-masalah mendesak saja. Rasio juga menjelajahi wilayah-wilayah abstrak,
pangkalan jelajahnya pun bukan lagi persoalan konkret, dan
perhentian-perhentian yang ditemukannya juga berupa oasis-oasis dalam gurun
abstraksi tanpa tepi.
Inilah
rasio dalam kepenuhan aktualisasi hakikatnya. Rasio teoretis semacam ini dapat
bersifat konsisten dan impartial, tanpa harus dikompromikan dengan kebutuhan
mempertahankan hidup dan kebutuhan hidup sejahtera secara sosial
(Whitehead/Nugroho, 2001: 95-104).
Ia
bertolak dari pangkalan abstrak, menjelajahi wilayah bentuk-bentuk abstrak atau
kemungkinan-kemungkinan abstrak dan menyimpulkan penemuan- penemuan abstrak.
Rasio teoretis tidak beroperasi dalam hitung dagang, pada akuntansi, pada
kalkulasi proyek, pada ekonomi kuantitatif. Rasio teoretis bermain-main,
misalnya, dengan bilangan irasional.
Memang
pada masa depan yang jauh penemuan-penemuan rasio teoretis dapat saja
bersentuhan dengan operasi rasio pragmatis, namun tujuan operasi rasio teoretis
bukan pertama-tama mencari kegunaan praktis (Whitehead/Nugroho, 2001: 105).
Tujuan operasi rasio teoretis bukanlah sekadar untuk mempertahankan hidup atau
hidup sejahtera, melainkan hidup lebih baik dalam arti memiliki pengertian
komprehensif tentang realitas yang koheren, konsisten, dapat menjelaskan semua
yang lokal dan partikular berdasarkan pengertian komprehensif itu.
Hidup
berdasarkan adat istiadat dan tradisi yang selama ini menjamin kesejahteraan
memang penting namun tidak cukup. "Hidup yang tidak dikaji," demikian
kata Socrates, "adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi"
(Singer, 1981: 96-100).
Multikulturalisme,
dengan segala kelebihan berupa pembebasan dari hegemonisme modernitas dan
hormatnya kepada sikap toleran dan hak atas keanekaan budaya, pada kenyataannya
telah mengekang gerak hakiki dari rasio. Multikulturalisme adalah belenggu
kehidupan sejahtera dan tembok-tembok istana bagi gelisah Sang Buddha.
Multikulturalisme
memuat ketidakmampuan untuk melihat bahwa ada sesuatu yang lebih bernilai yang
membuat seseorang dari kultur Samaria menjadi lebih baik daripada
"tetangga" satu kultur. Multikulturalisme mengandung bahaya kompromi
dengan Zaman Jahiliah (Whitehead, 1926: 43).
Kerinduan
pada universalitas paling abstrak, pada realitas yang ultim, yang ada di balik
semua lokalitas dan partikularitas, adalah kerinduan rasio teoretis-baik itu
pada agama, pada sains, pada seni maupun pada kebudayaan secara umum. Rasio
teoretis lebih enak bila disebut sebagai rasio imajinatif. Rasio pragmatik
maupun teoretik pada hakikatnya adalah imajinasi, namun imajinasi yang memiliki
disiplin yang oleh budaya Yunani disebut logic of discovery.
Memang
benar, rasio teoretis sebagai manifestasi kerinduan pada yang universal dan
ultim itu harus bekerja dengan peralatan-peralatan linguistik yang bersifat
lokal dan partikular beserta keterbatasan-keterbatasan lain yang mengikutinya.
Memang benar, bahwa juga matematika yang paling abstrak pun adalah sebuah
bahasa di antara bahasa-bahasa lain.
Bahkan
logika masih harus dibebaskan dari korespondensi-korespondensinya dengan fakta
dan kultur lokal. Namun imajinasi yang rindu akan universalitas abstrak dan realitas
ultim adalah sesuatu yang dapat diamati dalam banyak kasus dalam pelbagai
kebudayaan.
Berdasarkan
hukum termodinamika, gabungan antara hukum termodinamika yang pertama dan
kedua, alam fisik ditandai oleh "anak panah waktu" yang mengarah pada
sistem-sistem yang semakin tidak kompleks dan akan berpuncak pada "heat
death". Namun evolusi biologis juga menunjukkan geliat yang memunculkan
sistem-sistem atau orders yang kian kompleks yang merupakan hasil kerja dari
rasio yang berusaha mempertahankan hidup dan hidup sejahtera.
Dalam arti
ini, rasio pragmatis dapat juga kita artikan sebagai "rasio
biologis". Dan karena dalam sistem kosmologis Whiteheadian, entitas
subatomik juga merupakan "setetes pengalaman" yang bersifat organis,
maka rasio pragmatis bahkan dapat disebut pula "rasio kosmis".
Namun
dengan cepat rasio biologis ini menjadi rasio rutin yang tidak menimbulkan
kompleksitas dan kemungkinan baru. Dengan demikian, membatasi diri pada rasio
pragmatis adalah menolak gerak naik semesta. Membatasi diri pada rasio
pragmatis yang bekerja dalam custom yang rutin mematikan gerak evalusi untuk
"naik".
Artinya,
multikulturalisme dalam jangka panjang membuai kita, menggantikan daya-daya
manusiawi kita dengan hidup yang sejahtera. Memang, multikulturalisme dapat merupakan
opium bagi masyarakat,
Tetapi
multikulturalisme yang moderat juga mengajarkan pada kita kenaifan modernisme.
Kerinduan universal itu ternyata dieja dengan bahasa yang selalu lokal dan
modernisme selama ini telah memberhalakan yang partikular sebagai universal,
yang lokal sebagai ultim.
Apa yang
sepantasnya menjadi "stasiun", kita klaim sebagai "stasiun
terakhir". Kerinduan dan kesadaran akan keterbatasan itu tidak seharusnya
memasung geliat rasio imajinatif.
Kemungkinan
lain ialah menyadari keterbatasan dan kerinduan itu dan dengan rendah hati
mendengarkan dan mencoba memahami yang ultim dan universal yang dicoba gapai
oleh parti- kularitas yang lain. Mungkin suatu kali pada masa depan yang jauh,
kita dapat merumuskannya secara bersama-sama dalam formulasi yang dapat kita
pahami bersama.
Alois A
Nugroho Direktur
Pascasarjana Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
1. Fortune, 2003, edisi No 4.
2. Huntington, Samuel P alih bahasa Ruslani,
Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2000.
3. Lakatos, Imre and Musgrave, Alan,
Criticism and The Growth of Knowledge, Cambridge: Cambridge University Press,
1970.
4. MacIntyre, Alasdair, Whose Justice. Which
Rationality, London: Ducksworth, 1988.
5. Nugroho, Alois A, Dari Etika Bisnis Ke
Etika Ekobisnis, Jakarta: Grasindo, 2001.
6. Nugroho, Alois A, dan Cahayani, Ati,
Multikuturalisme dalam Bisnis, Jakarta: Grasindo, 2003.
7. Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror
of Nature, Oxford: Basil Blackwell. 1980.
8. Rorty, Richard, Contingency, Irony and
Solidarity, Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
9. Singer, Peter, The Expanding Circle, New
York and Scarborough: New American Library, 1981.
10. Stewart, David, Business Ethics, New York
etc: McGraw-Hill, 1996.
11. Whitehead, Alfred North alih bahasa,
komentar dan kata pengantar oleh Alois A Nugroho, Fungsi Rasio, Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
12. Whitehead, Alfred North, Religion in the
Making, New York and Scarborough: New American Library, 1926.
0 komentar:
Posting Komentar