Luthfi Assyaukanie
Iklan layanan masyarakat "Islam Warna-warni" yang dalam beberapa minggu belakangan selalu menghiasi wajah layar kaca dua televisi nasional terbesar RCTI dan SCTV tiba-tiba menghilang. Seperti diberitakan sebuah media, kedua penanggung jawab televisi itu mengaku telah memutuskan secara sepihak pembatalan penayangan iklan itu karena adanya somasi oleh Majelis Mujahidin (MM), organisasi Islam yang dikenal lantang mengampanyekan antipembaruan Islam.
Banyak orang yang menyayangkan dan mengkritik
tindakan sepihak kedua stasiun televisi tertua di Tanah Air itu. Sambil
menyayangkan sikap MM yang arogan karena merasa dirinya paling berhak
menafsirkan Islam, banyak pihak menyayangkan RCTI dan SCTV karena "mau
enaknya sendiri" dan "tak bertanggung jawab" yang tanpa
membicarakannya dengan Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK), pembuat dan pemilik
iklan tersebut.
Saya kira,
keberatan banyak orang yang secara luas bisa disimak dari mailing list Islam
liberal cukup beralasan dan bisa dipahami. RCTI dan SCTV dinilai telah
"mengembuskan iklim penindasan berekspresi" dengan menghentikan
penayangan iklan tersebut.
Saya tak ingin memperpanjang perdebatan seputar kekhawatiran dan tindakan
reaksioner dua stasiun televisi itu. Dalam ruang yang terbatas ini,saya hanya
ingin menjelaskan asal-usul dan sejauh mana frase "Islam Warna-warni"
itu bisa dipertanggungjawabkan.
Kebetulan saya
terlibat dalam pembuatan rancangan iklan itu. Bersama teman-teman KIUK, kami
menggodok dan mendiskusikan setiap kata yang akan ditayangkan dalam iklan
tersebut. Frase "Islam Warna-warni" adalah pilihan akhir yang keluar
dari kesadaran penuh dan bukan dari kehendak main-main yang tak punya dasar
sama sekali.
Pesan yang ingin disampaikan dari iklan tersebut adalah bahwa Islam adalah
agama yang beragam ketika dia dipraktekkan oleh kaum muslim. Secara gamblang,
pesan itu mengajak umat Islam menolak pemahaman satu Islam, karena pemahaman
seperti ini dapat menjurus pada pembenaran kelompok tertentu dan menafikan
kelompok lainnya. Keyakinan terhadap banyak Islam akan membuka peluang terhadap
pluralisme dan keragaman sosial.
Dalam media modern, slogan adalah sesuatu yang penting. Dia bukan hanya
frase yang harus enak didengar, tapi juga harus menjadi jargon psikologis bagi
para pendengar atau pemirsanya. Teman-teman di KUIK yang sebagian besar bekerja
di media, tentu saja sangat menyadari psikologi media ini. Slogan adalah alat
penyampai yang sangat penting dan menentukan.
"Islam Warna-warni" adalah sebuah ungkapan yang ditemukan tak
hanya berdasarkan pilihan eksotisme kata-kata semata, tapi juga berdasarkan
dalil teologis (kalamiyyah), fikih (fiqhiyyah), maupun sosiologis (ijtimaiyyah) yang dirujuk ketika
rancangan iklan itu dibuat. Dengan kata lain, slogan ini merupakan hasil
renungan atas doktrin esensial Islam dan kenyataan sejarah Islam itu sendiri.
Secara teologis, Islam selalu hadir dalam bentuk yang tidak pernah seragam.
Sejak wafatnya Nabi Muhammad, umat Islam selalu dihadapkan pada beragamnya
keyakinan (akidah) umat Islam, baik mengenai ketuhanan, kenabian, wahyu, maupun
persoalan-persoalan ghaybiyyat lainnya. Secara teologis, Islam selalu hadir
dalam wajahnya yang beragam, dalam bentuk Murjiah, Syiah, Khawarij, Muktazilah,
maupun Ahlussunnah.
Tradisi keilmuan fikih juga memiliki keragaman wajah Islam yang tak ada
tara bandingnya. Fikih selalu memegang tradisi aktsaru min qaulayn (lebih dari dua pendapat), yang berarti selalu
ada kemungkinan kebenaran lain di luar kebenaran yang kita yakini.
Sebuah hadis Nabi mengatakan: la
yafqahu al-rajulu hatta yara fi al-qur'ani wujuhan katsiratan (tidak dianggap
faqih seseorang sehingga ia melihat banyak dimensi dalam Al-Quran). Perbedaan
pendapat adalah inti dari ajaran fikih. Karenanya, kita tak bisa berbicara
tentang satu Islam secara fikih.
Secara sosiologis, Islam juga hadir dalam wajahnya yang beragam. Karena
itu, tepat sekali yang dikatakan Aziz Azmah, intelektual asal Suriah,
"Secara sosiologis kita tak bisa bicara tentang satu Islam, tapi Islam-Islam"
(Islams and Modernities, 1996). Ada banyak Islam di dunia modern: ada Islam NU,
Islam Muhammadiyah, Islam FPI, IslamWahabi, Islam Laskar Jihad, Islam Liberal,
dan lain-lain.
Sejak masa Nabi hingga sekarang ini, Islam selalu hadir dalam warnanya yang
beragam. Adanya warna-warni dalam Islam bukanlah sesuatu laknat atau bencana
yang harus disesali dan bahkan dikecam. Tapi, sebaliknya, seperti yang
dikatakan Nabi, harus disyukuri, karena merupakan bagian dari rahmat Allah
(ikhtilafu ummati rahmah).
Al-Quran sendiri dengan gamblang mengingatkan kita semua bahwa banyaknya
wajah Islam adalah merupakan "kesengajaan" yang dibuat oleh Allah.
Dalam surat Hud (11) ayat 118-119 dan surat al-Ma'idah (5) ayat 51, dengan
sangat jelas Allah menolak ketunggalan (wahidah) dan sebaliknya menciptakan
keanekaragaman (mukhtalifin).
Banyaknya keragaman ini pastilah ada hikmah besar yang harus dipelajari
oleh kaum muslim, dan bukannya malah ngotot menolak keragaman Islam dengan
memaksakan satu versi Islam. Penolakan terhadap Islam-Islam adalah penolakan
terhadap sunah yang telah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran. []
Luthfi Assyaukanie. Mahasiswa Program
Doktor Di Universitas Melbourne
0 komentar:
Posting Komentar