Jumat, 15 Juni 2012


TUHAN BERI KEBEBASAN UNTUK MEMILIH

Dr. Djohan Effendi:
Kasus penghentian tayangan secara sepihak  iklan “Islam Warna-warni” di TV meninggalkan sejumput cerita kelam tentang nasib kebebasan bereskpresi di era reformasi. Ibarat Pedang Damocles yang siap memancung siapa saja yang mengambil posisi berbeda, saat ini ada kelompok-kelompok agama yang memerankan dirinya sebagai “Tuhan” atas kelompok lain yang dianggapnya sesat dan menyesatkan. “Jangan tempatkan institusi atau otoritas keberagamaan kita di atas Tuhan itu sendiri,” ujar Dr. Djohan Effendi, Ketua Indonesian Conference On Religions and Peace (ICRP) dan mantan Ketua Litbang Departemen Agama. Lebih jauh tentang tema Islam dan Kebebasan Berekspresi ini, Kajian Utan Kayu (KUK) mengundang Djohan Effendi. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan mantan Mensekneg di era Presiden Abdurrahman Wahid ini yang disiarkan kantor berita Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 15 Agustus 2002: 

Pak Djohan, problem kebebasan berekspresi menjadi isu krusial ketika berbenturan dengan doktrin agama. Dalam konteks ini, bagaimana Anda melihat kebebasan berekspresi dengan agama?
Saya kira, kebebasan merupakan masalah yang esensial bagi usaha untuk menumbuhkan keberagamaan yang tulus. Tanpa ada kebebasan, tidak mungkin lahir sikap keberagamaan yang tulus. Yang ada, mungkin hipokrisi atau kemunafikan alias kepura-puraan. Saya kira, prinsip kebebasan itu inheren dengan usaha penumbuhan keberagamaan yang mukhlishîn lahu al-dîn (ikhlas dalam keberagamaan, Red).
Apakah keberagamaan yang dipaksa suatu otoritas atau kekuasaan bertentangan dengan etos keberagamaan yang bebas dan ikhlas?
Iya. Sebab, dengan begitu (pemaksaan oleh otoritas non-Tuhan) kita menempatkan institusi atau otoritas keberagamaan di atas Tuhan itu sendiri. Dan ini, lebih berat dari sekadar syirik. Sebab, Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia dengan pilihan falyu’min atau falyakfur (beriman atau kafir), sebagaimana yang disebutkan Alquran. Pilihan itu suatu hal yang sangat esensial. Jadi, keberimanan yang sungguh-sungguh itu memberikan kesempatan orang untuk tidak beriman. Kalau orang beriman tapi dengan cara terpaksa, maka ia tidak mungkin mampu menumbuhkan keimanan yang betul-betul berbasis keyakinan yang tulus.
Namun bacaan kita atas sejarah agama-agama, termasuk Islam, menunjukkan adanya sekelompok orang yang memegang otoritas tafsir kebenaran, entah dari penguasa, klerik dan lain-lain. Efeknya, terjadi penafian tafsiran dan pandangan lain. Mengapa ini terjadi?
Ini juga satu hal yang sangat mengherankan: orang menganggap dirinya sebagai agama itu sendiri. Karena anggapan itu misalnya, bagi mereka, agama hanya satu. Naifnya, yang satu itu pun hanya menurut tafsiran mereka sendiri. Selain mereka dianggap sesat, menyesatkan dan harus dibabat, misalnya. Hal ini merupakan sikap keangkuhan orang-orang yang tidak mementingkan apakah keberimanan itu sungguhan atau tidak. Bagi mereka ini, yang penting secara lahiriah orang mengikuti paham mereka. Dan hal seperti itu sudah dianggap sebagai suatu keberhasilan.
Dulunya kita punya kasus penghakiman Syekh Siti Jenar. Dalam sejarah Gereja pernah terjadi kasus pemberangusan buku-buku ilmiah. Nah, untuk kasus seperti ini, apakah kita bisa menyebutnya sebagai agama yang membeku (jumûd) atau bagaimana?
Kasus-kasus di atas mungkin tidak berbeda jauh dengan pengalaman kontemporer kita. Ada suatu periode dalam pengalaman kita, --masa kerajaan-kerajaan Islam di Aceh atau lainnya— di mana muncul perbedaan antara pandangan-pandangan keagamaan Hamzah al-Fansuri yang kata orang phanteistik, dengan Nuruddin al-Raniri misalnya. Ketika itu, al-Raniri berkuasa sebagai mufti, lalu membakar semua buku karangan Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani dan lain-lain. Itu ‘kan sebentuk pengalaman juga.
Cara-cara seperti itu sebelumnya juga terjadi pada zaman klasik Islam dimana buku-buku Ibn Rusyd dibakar. Ini satu periode kegelapan. Tapi saya pikir, dalam pengalaman negeri kita, ada periode yang menarik. Ketika itu, --masa kebangkitan pembaruan— ada isu kaum muda-kaum tua di Sumatera Barat. Mereka saling berdebat dan berpolemik, tapi buah perdebatan itu --misalnya antara Ahmad Khatib dengan Saad Munka— menghasilkan buku berjilid-jilid. Murid mereka juga melakukan demikian: mereka berpolemik dan berdebat, tapi persahabatan satu sama lain tetap sangat akrab.
Di Jawa pun, saya kira begitu. Ketika Muhamadiyah muncul, ada reaksi dari kalangan ulama. Tapi, mereka tidak meminta pemerintah Belanda untuk melarang Muhamadiyah atau membakar buku-buku karya mereka. Tidak! Justeru, mereka berpolemik dan berdebat saja. Ada perdebatan antara Hasan dari Bandung dan Hasan Bangil misalnya, dengan Kiai Abdul Wahab. Dan itu menarik. Bahkan, terhadap paham yang dianggap sangat sesat semacam Ahmadiyah, mereka tidak minta melarangnya. Mereka justeru tetap berdebat dan berpolemik. Itu sangat mencerahkan karena membiarkan masyarakat sebagai jurinya. Dengan sikap demikian, umat tahu alasan masing-masing, bukan taklid buta atau membeo. Yang seperti itu, ‘kan membuat orang terbuka matanya. Orang menjadi tahu alasan masing-masing, dan dengan demikian akan menimbulkan rasa saling menghormati.
Anda menyebutkan periode yang cukup indah dengan adanya perdebatan yang konstruktif. Nah, apakah mereka saat ini bisa bermain secantik itu?
Mungkin karena dahulu mereka yang berdebat itu menghayati betul semangat Islam yang terbuka. Mereka mengambil pelajaran dari iman-imam mazhab yang saling menghargai satu sama lainnya. Dan mereka menghayati kata akhir yang tertulis dalam kitab-kitab kuning/kitab-kitab keagamaan: wallâhu a’lam bi al-shawâb (Allah lebih tahu pada hal yang benar, Red). Dengan demikian, mereka tidak memutlakkan pendapat mereka sendiri, sebab hanya Allah yang lebih tahu. Kita ‘kan pernah juga menyimak ungkapan Iman Syafi’i: “Pendapat saya betul, tapi mungkin salah; pendapat orang lain salah, tapi bisa jadi betul.” (ra’yî shawâb wa yahtamil al-khata’; wa ra’yu ghairî khata’ wa yahtamil al-shawâb, Red).
Sikap relativistik ini yang mungkin perlu. Tapi, kenapa sekarang seakan raib?
Mungkin itu disebabkan gejala baru, di mana orang tidak lagi mengenal agama dari ahli agama. Kalau ulama dulu tahu banyak tafsiran tentang ayat-ayat dan mengerti akan hal itu. Sekarang, orang tahu pendapat mereka sendiri dan kurang mengenal pluralitas dalam pandangan. Mereka menganggap yang benar hanya pendapat mereka, yang lain salah. Jadi absolutisasi pendapat seperti ini yang menjadikan kita seakan-akan telah mempertuhankan agama dan diri sendiri.
Pak Djohan, kebebasan secara umum itu memang perlu. Tapi adakah batas-batas kebebasan itu?
Tentu kebebasan yang kita maksud adalah kebebasan yang tidak asal-asalan. Ada disiplinnya dan ukuran-ukuran objektifnya. Kebebasan itu juga perlu berasal dari hati yang tulus, bukan asal beda (khalif tu’raf). Tentang kebenarannya berdasar keyakinan masing-masing orang. Dan satu hal yang harus diingat, kita tidak mungkin mengorek isi hati orang lain (kaidahnya: nahnu nahkum bi al-dzawâhir, wayatawalla Allâh al-sarâir [kita menghakimi yang tampak, sementara Allah mengurusi yang tersimpan], Red). Sepanjang itu dia yakini benar, kita harus hormati. Jadi, kalau kita mau pendapat kita dihormati, kita juga harus menghormati pendapat orang lain. Jadi kebebasan itu kebebasan yang tidak meremehkan atau melecehkan kebebasan orang lain juga. Jadi batas kebebasan itu adalah kebebasan orang lain (hurriyyat al-mar’-i mahdûdat bi hurriyyat ghairih, Red). Saya dapat berbeda pendapat dengan Anda, tapi saya akan tetap membela kebebasan Anda untuk berpandangan seperti itu.
Nah, etos semacam itu ‘kan tergolong langka. Dulu ada kasus pembakaran buku-buku kiri, pelarangan beberapa sekte dan lain-lain. Nah, menurut Anda, tindakan itu Islami atau tidak?
Itu sebuah kemerosotan yang luar biasa. Dalam artian, orang bukan beradu pendapat, tapi sudah beradu fisik dan kekuatan. Sebagaimana disebutkan tadi, ulama-ulama dulu terkadang lebih civilized atau beradab. Mereka tidak minta penguasa untuk melarang kebebasan berpendapat orang lain. Kalau mereka minta, mungkin pemerintah jajahan mau mengabulkannya. Kalau itu dilakukan, Muhamadiyah tak mungkin timbul. Sekarang ini, di Malaysia atau di Brunei, --karena ada otoritas pengekang seperti itu-- buku-buku Muhamadiyah tidak bisa masuk. Saya dulu ingat, tatkala ada undangan menjadi dosen di Brunei, ada pesan “asal jangan Muhamadiyah”. Pokoknya, Ahli Sunnah dan Syafii saja. Itu ada. Bayangkan kalau itu muncul di sini, tak akan mungkin timbul gerakan-gerakan keagamaan itu.
Ini mirip semacam di Arab Saudi di mana buku-buku tasawuf dan filsafat tidak dibolehkan. Nah, pemberangusan buku atau pendapat orang lain seperti itu, sebetulnya bisa dibenarkan Islam atau tidak?
Saya kira, itu sama sekali tidak dibolehkan. Kalau ayat pertama Alquran menyuruh membaca, dan bahan bacaan itu sudah tidak ada, bagaimana itu? Semangat membaca itu tidak akan dapat ditunjang kecuali oleh literatur yang lengkap dan kaya.
Sekalipun pembakaran itu diatasnamakan pembelaan agama Tuhan?
Ya, nggak betul saya pikir. Bantahlah buku itu. Atau dibeli, bukan dibakar. Jadi bantahlah secara jantan dengan membuat buku atau lainnya. Bagi orang yang awam memang takkan membuat tafsiran mereka sendiri. Mereka akan mengikuti pendapat para imam, ulama panutan atau organisasinya. Saya kita itu natural terjadi.
Bagaimana menyikapi kelompok yang mencela kelompok lain?
Selama itu tidak mengganggu keamanan, atau orang lain, --dan itu sebatas keyakinan mereka saja— silahkan saja berkeyakinan seperti itu. Anggapan mereka kalau orang lain tidak benar atau rijsun (najis) dan lain-lain pada tataran keyakinan saja tidak mengapa. Hak mereka untuk berkeyakinan, harus tetap dihormati, asal saja tidak berlaku buruk pada orang lain, terutama pada tingkat prakteknya.
Jadi, kita tidak bisa menuntut Bupati, misalnya: “Larang, dong mereka!”
Ya. Sebab bagaimanapun paham seperti ini tidak akan bisa berkembang baik. Jadi, biar saja masyarakat yang menilai dan “membubarkan” mereka, dalam artian: kalau pahamnya tidak laku, maka akan “tutup toko”. Orang-orang yang mengikuti paham seperti ini, biasanya hanya sebentar saja. Bagi mereka yang gelisah, kelompok-kelompok seperti ini jadi laku. Ibarat orang yang tenggelam di sungai atau laut, apa saja akan mereka pegang. Tapi, lama-lama orang akan tahu kalau ini tidak benar.
Kesimpulannya, seburuk apapun suatu kelompok, kita tetap harus hormati. Lantas bagaimana mengutarakan ketidaksepakatan kita?
Kalau tidak sepakat, kita jelaskan saja ketidaksepkatakan itu: dalam hal apa. Setelah itu silakan beradu pendapat dengan mematahkan argumentasi mereka.
Bagaimana pandangan Anda terhadap golongan-golongan agama yang muncul sekarang ini, dalam menyikapi kebebasan?
Saya melihat, setelah reformasi ini sikap pemerintah (untuk hal kebebasan) jauh lebih beradab. Artinya, mereka tidak lagi main larang dan main cekal. Dulu mudah sekali munculnya pelarangan buku atau sekte dan lain-lain. Sekarang agak kurang. Hanya saja, gejala yang agak mencemaskan, ancaman kebebasan itu tidak datang dari pemerintah tapi dari masyarakat sendiri. Sekarang ini, mulai muncul misalnya kelompok-kelompok yang mudah menegasikan orang lain, tidak lagi dalam tataran pendapat, tapi mulai “membabat” atau “membunuh” kelompok lain. Saya kira, ini sangat berbahaya. Dan ini harus kita waspadai sedari awal.
Mengapa kondisi kebebasan di negara yang mayoritas muslim, kondisi kebebasannya terlihat payah. Apakah ada doktrin yang inheren dalam Islam yang bertentangan dengan kebebasan?
Mestinya tidak. Sebab, secara tekstual kita memiliki doktrin lâ ikrâha fi al-dîn (tak ada paksaan dalam hal agama, Red) dan faman syâ’a falyukmin waman syâ’a falyakfur (barangsiapa yang mau beriman, berimanlah; barangsiapa yang siapa yang ingin kufur, kufurlah, Red). Nah, kalau Tuhan sendiri memberikan kebebasan, mengapa manusianya tidak? Kalau Tuhan tidak menginginkan kebebasan, apa susahnya bagi-Nya untuk tidak membiarkan pendukung zionisme beranak-pinak? Mengapa mereka tidak dimandulkan semua? Lama-lama ‘kan mereka habis. Tapi mereka diberi kesempatan. Tuhan sendiri memberikan matahari untuk dinikmati semua orang. Mengapa mesti dijatahkan juga untuk orang-orang yang atheis atau anti Tuhan? Logika begini mungkin terasa sangat bodoh. Hanya saja, poin penting dari itu adalah: mengapa kita ingin menjadi Tuhan sendiri lalu “membunuhi” orang yang tidak berkesesuaian dengan kita? Tuhan sendiri memberi kebebasan memilih. Kok kita lebih galak dari Tuhan?
Dulu NU dan Muhamadiyah saling bertengkar dan sekarang beranjak lebih dewasa. Lantas sekarang, muncul kelompok kecil yang saling tengkar. Gejala apa ini?
Ini mungkin masih dalam proses pendewasaan. Munculnya biasa saja dalam iklim yang baru. Hal semacam itu memang terjadi dalam kelompok-kelompok agama manapun. Mereka biasanya kecil saja dan tidak banyak, tapi vokal karena didorong semangat misionari atau dakwah yang sangat tinggi. Itu terkadang muncul dari penilaian mereka, bahwa masyarakat sekeliling bobrok dan telah terjadi demoralisasi. Lalu mereka ingin mencari tempat, di mana mereka satu sama lainnya lebih dekat dan puritan. Tapi saya kira, ini sebetulnya gejala sosial biasa saja dan di mana-mana terjadi. Semua agama mengalami seperti itu. Saya optimis itu nantinya akan berlalu. Saya memprediksi nantinya tidak akan terjadi kepuasan dengan cara-cara seperti itu. Jadi jangan terlalu kuatir []  

Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!