TUHAN BERI KEBEBASAN UNTUK MEMILIH
Dr. Djohan Effendi:
Kasus
penghentian tayangan secara sepihak iklan “Islam Warna-warni” di TV
meninggalkan sejumput cerita kelam tentang nasib kebebasan bereskpresi di era
reformasi. Ibarat Pedang Damocles yang siap memancung siapa saja yang mengambil
posisi berbeda, saat ini ada kelompok-kelompok agama yang memerankan dirinya
sebagai “Tuhan” atas kelompok lain yang dianggapnya sesat dan menyesatkan.
“Jangan tempatkan institusi atau otoritas keberagamaan kita di atas Tuhan itu
sendiri,” ujar Dr. Djohan Effendi, Ketua Indonesian Conference On Religions and
Peace (ICRP) dan mantan Ketua Litbang Departemen Agama. Lebih jauh tentang tema
Islam dan Kebebasan Berekspresi ini,
Kajian Utan Kayu (KUK) mengundang Djohan Effendi. Berikut petikan wawancara
Ulil Abshar-Abdalla dengan mantan Mensekneg di era Presiden Abdurrahman Wahid
ini yang disiarkan kantor berita Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia
pada 15 Agustus 2002:
Pak Djohan, problem kebebasan berekspresi menjadi isu
krusial ketika berbenturan dengan doktrin agama. Dalam konteks ini, bagaimana
Anda melihat kebebasan berekspresi dengan agama?
Saya kira, kebebasan
merupakan masalah yang esensial bagi usaha untuk menumbuhkan keberagamaan yang
tulus. Tanpa ada kebebasan, tidak mungkin lahir sikap keberagamaan yang tulus.
Yang ada, mungkin hipokrisi atau kemunafikan alias kepura-puraan. Saya kira,
prinsip kebebasan itu inheren dengan usaha penumbuhan keberagamaan yang mukhlishîn
lahu al-dîn (ikhlas dalam keberagamaan, Red).
Apakah keberagamaan yang dipaksa suatu
otoritas atau kekuasaan bertentangan dengan etos keberagamaan yang bebas dan
ikhlas?
Iya. Sebab, dengan
begitu (pemaksaan oleh otoritas non-Tuhan) kita menempatkan institusi atau
otoritas keberagamaan di atas Tuhan itu sendiri. Dan ini, lebih berat dari
sekadar syirik. Sebab, Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia dengan pilihan
falyu’min atau falyakfur (beriman atau kafir), sebagaimana yang
disebutkan Alquran. Pilihan itu suatu hal yang sangat esensial. Jadi, keberimanan
yang sungguh-sungguh itu memberikan kesempatan orang untuk tidak beriman. Kalau
orang beriman tapi dengan cara terpaksa, maka ia tidak mungkin mampu
menumbuhkan keimanan yang betul-betul berbasis keyakinan yang tulus.
Namun bacaan kita atas sejarah agama-agama,
termasuk Islam, menunjukkan adanya sekelompok orang yang memegang otoritas
tafsir kebenaran, entah dari penguasa, klerik dan lain-lain. Efeknya, terjadi
penafian tafsiran dan pandangan lain. Mengapa ini terjadi?
Ini juga satu hal yang
sangat mengherankan: orang menganggap dirinya sebagai agama itu sendiri. Karena
anggapan itu misalnya, bagi mereka, agama hanya satu. Naifnya, yang satu itu
pun hanya menurut tafsiran mereka sendiri. Selain mereka dianggap sesat,
menyesatkan dan harus dibabat, misalnya. Hal ini merupakan sikap keangkuhan
orang-orang yang tidak mementingkan apakah keberimanan itu sungguhan atau
tidak. Bagi mereka ini, yang penting secara lahiriah orang mengikuti paham
mereka. Dan hal seperti itu sudah dianggap sebagai suatu keberhasilan.
Dulunya kita punya kasus penghakiman Syekh Siti Jenar.
Dalam sejarah Gereja pernah terjadi kasus pemberangusan buku-buku ilmiah. Nah,
untuk kasus seperti ini, apakah kita bisa menyebutnya sebagai agama yang
membeku (jumûd) atau bagaimana?
Kasus-kasus di atas
mungkin tidak berbeda jauh dengan pengalaman kontemporer kita. Ada suatu
periode dalam pengalaman kita, --masa kerajaan-kerajaan Islam di Aceh atau
lainnya— di mana muncul perbedaan antara pandangan-pandangan keagamaan Hamzah
al-Fansuri yang kata orang phanteistik, dengan Nuruddin al-Raniri misalnya.
Ketika itu, al-Raniri berkuasa sebagai mufti, lalu membakar semua buku karangan
Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani dan lain-lain. Itu ‘kan sebentuk
pengalaman juga.
Cara-cara seperti itu sebelumnya juga terjadi
pada zaman klasik Islam dimana buku-buku Ibn Rusyd dibakar. Ini satu periode
kegelapan. Tapi saya pikir, dalam pengalaman negeri kita, ada periode yang
menarik. Ketika itu, --masa kebangkitan pembaruan— ada isu kaum muda-kaum tua di
Sumatera Barat. Mereka saling berdebat dan berpolemik, tapi buah perdebatan itu
--misalnya antara Ahmad Khatib dengan Saad Munka— menghasilkan buku
berjilid-jilid. Murid mereka juga melakukan demikian: mereka berpolemik dan
berdebat, tapi persahabatan satu sama lain tetap sangat akrab.
Di Jawa pun, saya kira
begitu. Ketika Muhamadiyah muncul, ada reaksi dari kalangan ulama. Tapi, mereka
tidak meminta pemerintah Belanda untuk melarang Muhamadiyah atau membakar
buku-buku karya mereka. Tidak! Justeru, mereka berpolemik dan berdebat saja.
Ada perdebatan antara Hasan dari Bandung dan Hasan Bangil misalnya, dengan Kiai
Abdul Wahab. Dan itu menarik. Bahkan, terhadap paham yang dianggap sangat sesat
semacam Ahmadiyah, mereka tidak minta melarangnya. Mereka justeru tetap
berdebat dan berpolemik. Itu sangat mencerahkan karena membiarkan masyarakat
sebagai jurinya. Dengan sikap demikian, umat tahu alasan masing-masing, bukan
taklid buta atau membeo. Yang seperti itu, ‘kan membuat orang terbuka
matanya. Orang menjadi tahu alasan masing-masing, dan dengan demikian akan
menimbulkan rasa saling menghormati.
Anda menyebutkan periode yang cukup indah
dengan adanya perdebatan yang konstruktif. Nah, apakah mereka saat ini bisa
bermain secantik itu?
Mungkin karena dahulu
mereka yang berdebat itu menghayati betul semangat Islam yang terbuka. Mereka
mengambil pelajaran dari iman-imam mazhab yang saling menghargai satu sama
lainnya. Dan mereka menghayati kata akhir yang tertulis dalam kitab-kitab
kuning/kitab-kitab keagamaan: wallâhu a’lam bi al-shawâb (Allah lebih
tahu pada hal yang benar, Red). Dengan demikian, mereka tidak memutlakkan
pendapat mereka sendiri, sebab hanya Allah yang lebih tahu. Kita ‘kan
pernah juga menyimak ungkapan Iman Syafi’i: “Pendapat saya betul, tapi mungkin
salah; pendapat orang lain salah, tapi bisa jadi betul.” (ra’yî shawâb wa yahtamil
al-khata’; wa ra’yu ghairî khata’ wa yahtamil al-shawâb, Red).
Sikap relativistik ini yang mungkin perlu. Tapi, kenapa
sekarang seakan raib?
Mungkin itu disebabkan
gejala baru, di mana orang tidak lagi mengenal agama dari ahli agama. Kalau
ulama dulu tahu banyak tafsiran tentang ayat-ayat dan mengerti akan hal itu.
Sekarang, orang tahu pendapat mereka sendiri dan kurang mengenal pluralitas
dalam pandangan. Mereka menganggap yang benar hanya pendapat mereka, yang lain
salah. Jadi absolutisasi pendapat seperti ini yang menjadikan kita seakan-akan
telah mempertuhankan agama dan diri sendiri.
Pak Djohan, kebebasan secara umum itu memang
perlu. Tapi adakah batas-batas kebebasan itu?
Tentu kebebasan yang
kita maksud adalah kebebasan yang tidak asal-asalan. Ada disiplinnya dan
ukuran-ukuran objektifnya. Kebebasan itu juga perlu berasal dari hati yang
tulus, bukan asal beda (khalif tu’raf). Tentang kebenarannya berdasar
keyakinan masing-masing orang. Dan satu hal yang harus diingat, kita tidak
mungkin mengorek isi hati orang lain (kaidahnya: nahnu nahkum
bi al-dzawâhir, wayatawalla Allâh al-sarâir [kita menghakimi yang tampak,
sementara Allah mengurusi yang tersimpan], Red). Sepanjang itu dia yakini
benar, kita harus hormati. Jadi, kalau kita mau pendapat kita dihormati, kita
juga harus menghormati pendapat orang lain. Jadi kebebasan itu kebebasan yang
tidak meremehkan atau melecehkan kebebasan orang lain juga. Jadi batas
kebebasan itu adalah kebebasan orang lain (hurriyyat al-mar’-i
mahdûdat bi hurriyyat ghairih, Red). Saya dapat berbeda pendapat
dengan Anda, tapi saya akan tetap membela kebebasan Anda untuk berpandangan
seperti itu.
Nah, etos semacam itu ‘kan tergolong langka.
Dulu ada kasus pembakaran buku-buku kiri, pelarangan beberapa sekte dan
lain-lain. Nah, menurut Anda, tindakan itu Islami atau tidak?
Itu sebuah kemerosotan
yang luar biasa. Dalam artian, orang bukan beradu pendapat, tapi sudah beradu
fisik dan kekuatan. Sebagaimana disebutkan tadi, ulama-ulama dulu terkadang
lebih civilized atau beradab. Mereka tidak minta penguasa untuk melarang
kebebasan berpendapat orang lain. Kalau mereka minta, mungkin pemerintah
jajahan mau mengabulkannya. Kalau itu dilakukan, Muhamadiyah tak mungkin
timbul. Sekarang ini, di Malaysia atau di Brunei, --karena ada otoritas
pengekang seperti itu-- buku-buku Muhamadiyah tidak bisa masuk. Saya dulu
ingat, tatkala ada undangan menjadi dosen di Brunei, ada pesan “asal jangan
Muhamadiyah”. Pokoknya, Ahli Sunnah dan Syafii saja. Itu ada. Bayangkan kalau
itu muncul di sini, tak akan mungkin timbul gerakan-gerakan keagamaan itu.
Ini mirip semacam di Arab Saudi di mana
buku-buku tasawuf dan filsafat tidak dibolehkan. Nah, pemberangusan buku atau
pendapat orang lain seperti itu, sebetulnya bisa dibenarkan Islam atau tidak?
Saya kira, itu sama
sekali tidak dibolehkan. Kalau ayat pertama Alquran menyuruh membaca, dan bahan
bacaan itu sudah tidak ada, bagaimana itu? Semangat membaca itu tidak akan
dapat ditunjang kecuali oleh literatur yang lengkap dan kaya.
Sekalipun pembakaran itu diatasnamakan pembelaan agama
Tuhan?
Ya, nggak betul saya
pikir. Bantahlah buku itu. Atau dibeli, bukan dibakar. Jadi bantahlah secara
jantan dengan membuat buku atau lainnya. Bagi orang yang awam memang takkan
membuat tafsiran mereka sendiri. Mereka akan mengikuti pendapat para imam,
ulama panutan atau organisasinya. Saya kita itu natural terjadi.
Bagaimana menyikapi kelompok yang mencela
kelompok lain?
Selama itu tidak
mengganggu keamanan, atau orang lain, --dan itu sebatas keyakinan mereka saja—
silahkan saja berkeyakinan seperti itu. Anggapan mereka kalau orang lain tidak
benar atau rijsun (najis) dan lain-lain pada tataran keyakinan saja
tidak mengapa. Hak mereka untuk berkeyakinan, harus tetap dihormati, asal saja
tidak berlaku buruk pada orang lain, terutama pada tingkat prakteknya.
Jadi, kita tidak bisa menuntut Bupati, misalnya: “Larang,
dong mereka!”
Ya. Sebab bagaimanapun
paham seperti ini tidak akan bisa berkembang baik. Jadi, biar saja masyarakat
yang menilai dan “membubarkan” mereka, dalam artian: kalau pahamnya tidak laku,
maka akan “tutup toko”. Orang-orang yang mengikuti paham seperti ini, biasanya
hanya sebentar saja. Bagi mereka yang gelisah, kelompok-kelompok seperti ini
jadi laku. Ibarat orang yang tenggelam di sungai atau laut, apa saja akan
mereka pegang. Tapi, lama-lama orang akan tahu kalau ini tidak benar.
Kesimpulannya, seburuk apapun suatu kelompok, kita tetap
harus hormati. Lantas bagaimana mengutarakan ketidaksepakatan kita?
Kalau tidak
sepakat, kita jelaskan saja ketidaksepkatakan itu: dalam hal apa. Setelah itu
silakan beradu pendapat dengan mematahkan argumentasi mereka.
Bagaimana pandangan Anda terhadap
golongan-golongan agama yang muncul sekarang ini, dalam menyikapi kebebasan?
Saya melihat, setelah
reformasi ini sikap pemerintah (untuk hal kebebasan) jauh lebih beradab.
Artinya, mereka tidak lagi main larang dan main cekal. Dulu mudah sekali
munculnya pelarangan buku atau sekte dan lain-lain. Sekarang agak kurang. Hanya
saja, gejala yang agak mencemaskan, ancaman kebebasan itu tidak datang dari
pemerintah tapi dari masyarakat sendiri. Sekarang ini, mulai muncul misalnya
kelompok-kelompok yang mudah menegasikan orang lain, tidak lagi dalam tataran pendapat,
tapi mulai “membabat” atau “membunuh” kelompok lain. Saya kira, ini sangat
berbahaya. Dan ini harus kita waspadai sedari awal.
Mengapa kondisi kebebasan di negara yang
mayoritas muslim, kondisi kebebasannya terlihat payah. Apakah ada doktrin yang
inheren dalam Islam yang bertentangan dengan kebebasan?
Mestinya tidak. Sebab,
secara tekstual kita memiliki doktrin lâ ikrâha fi al-dîn (tak ada
paksaan dalam hal agama, Red) dan faman syâ’a falyukmin waman syâ’a
falyakfur (barangsiapa yang mau beriman, berimanlah; barangsiapa yang siapa
yang ingin kufur, kufurlah, Red). Nah, kalau Tuhan sendiri memberikan
kebebasan, mengapa manusianya tidak? Kalau Tuhan tidak menginginkan kebebasan,
apa susahnya bagi-Nya untuk tidak membiarkan pendukung zionisme beranak-pinak?
Mengapa mereka tidak dimandulkan semua? Lama-lama ‘kan mereka habis.
Tapi mereka diberi kesempatan. Tuhan sendiri memberikan matahari untuk
dinikmati semua orang. Mengapa mesti dijatahkan juga untuk orang-orang yang
atheis atau anti Tuhan? Logika begini mungkin terasa sangat bodoh. Hanya saja,
poin penting dari itu adalah: mengapa kita ingin menjadi Tuhan sendiri lalu
“membunuhi” orang yang tidak berkesesuaian dengan kita? Tuhan sendiri memberi
kebebasan memilih. Kok kita lebih galak dari Tuhan?
Dulu NU dan Muhamadiyah saling bertengkar dan
sekarang beranjak lebih dewasa. Lantas sekarang, muncul kelompok kecil yang
saling tengkar. Gejala apa ini?
Ini mungkin masih dalam
proses pendewasaan. Munculnya biasa saja dalam iklim yang baru. Hal semacam itu
memang terjadi dalam kelompok-kelompok agama manapun. Mereka biasanya kecil
saja dan tidak banyak, tapi vokal karena didorong semangat misionari atau
dakwah yang sangat tinggi. Itu terkadang muncul dari penilaian mereka, bahwa
masyarakat sekeliling bobrok dan telah terjadi demoralisasi. Lalu mereka ingin
mencari tempat, di mana mereka satu sama lainnya lebih dekat dan puritan. Tapi
saya kira, ini sebetulnya gejala sosial biasa saja dan di mana-mana terjadi.
Semua agama mengalami seperti itu. Saya optimis itu nantinya akan berlalu. Saya
memprediksi nantinya tidak akan terjadi kepuasan dengan cara-cara seperti itu.
Jadi jangan terlalu kuatir []
0 komentar:
Posting Komentar