Rabu, 13 Juni 2012


 Bag 03
 PENGETAHUAN HUSHULI
Pengetahuan hushuli, yang juga disebut pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Adalah konsep yang diperoleh oleh seseorang sembari menyadari dirinya sebagai subjek semata. (Metafisika, hal. 11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67, hal. 70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).


Betapapun pengetahuan hudhuri tidak meleset, namun ruangnya sangat sempit dan terbatas, sehingga ia tidak dapat dijadikan sebagai penyelesai semua problema dalam pengetahuan. Hanya dengan mengandalkan pengetahuan hudhuri, proses transformasi, komunikasi, dan persuasi tidak akan berjalan, yang pada akhirnya sebagian besar pengetahuan tidak dapat dilahirkan, selain penegetahuan tentang diri dan sejenisnya.. Karena itulah pengetahuan hushuli sangat diperlukan (Al-manhaj Al-jadid, 176).

Tiga pilar pengetahuan hushuli

Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah) terbentuk di atas tiga pilar;
  1. Pengetahu (Al-Mudrik)
  2. Yang diketahui (Al-Mudrak)
  3. Gambaran (Ash-Shurah) tentang sesuatu yang diketahui secara inheren.
 Objek-objek pengetahuan hushuli
Objek pengetahuan hushuli bermacam dua;
1.     Objek  substansial (al-ma’lum bil-zat). Yaitu konsep yang merefleksikan realitas objektif dalam diri subjek pengetahu.
2.     Objek aksidental (al-ma’lum bil-aradh). Yaitu realitas objektif yang diperantarai oleh konsep.
Jika konsep yang ditangkap oleh subjek pengetahu mengungkapkan realitasnya sebagaimana adanya, maka pengetahuan hushuli tersebut dianggap sebagai benar. Jika tidak, maka ia adalah pengetahuan hushuli yang meleset.

Sedangkan pengetahuan hudhuri, karena objeknya hanyalah satu, yaitu realitas itu sendiri, maka ia segera dapat dipastikan benar. Ia tidak akan pernah salah, karena yang hadir dalam diri subjek pengetahu hudhuri adalah realitasnya, bukan gambar realitas. Oleh sebab itu, pengetahuan hudhuri abadi, sakral dan terlindung dari distorsi, reduksi dan kesalahan lainnya.

Macam-macam Pengetahuan hushuli

Pengetahuan hushuli dapat dibagi dengan beberapa versi pembagian. Karena banyaknya versi pembagian, kita harus jeli memperhatikan asas pembagian dan alasan serta urutan pembagiannya.

Pengetahuan hushuli mengalami banyak pembagian dan penguraian, karena bidangnya sangat luas. Pengetahuan hushuli dapat dibagi menjadi tashawwuri (konseptual) dan tashdiqi, dengan bermacam pembagian yang merupakan turunannya. Pengetahuan hushuli dapat pula dibagi menjadi badihi (ekstemporal) dan nazhari (non ekstemporal, aposterior), dengan beragam pembagian yang bersumber darinya.

Pengetahuan hushuli reaktif dan aktif

Pengetahuan husuli dapat dibagi dua;
1.    Pengetahuan hushuli reaktif (Al-ma’rifah al-infi’aliyah). Yaitu entitas konseptual (pengetahuan) yang merupakan pantulan dari entitas objektif (realitas), seperti pengetahuan tentang segala sesuatu yang berada di luar diri manusia.
2.    Pengetahuan hushuli aktif (Al-ma’rifah al-fi’liyah). Yaitu entitas konseptual yang menjadi pemantul atau sebab bagi entitas objektif (realitas), seperti gambar sebuah bangunan (dalam benak manusia) yang merupakan akibat dari konsepsi abstrak. (Al-falsafah Al-ulya, 238, Al-hikmah Al-muta’aliyah, juz 3, hal. 382).

Pengetahuan hushuli potensial dan aktual

Pengetahuan hushuli juga dapat dibagi dua;
  1. Pengetahuan hushuli potensial. Yaitu ...
  2. Pengetahuan hushuli aktual.

Pengetahuan hushuli umum dan rinci

  1. Pengetahuan hushuli umum (Al-ma’rifah Al-ijmaliyah).
  2. Pengetahuan hushuli rinci (Al-ma’rifah Al-tafshiliyah).
 Pengetahuan hushuli konseptual dan assentual
Pengetahuan hushuli bermacam dua;
  1. Pengetahuan hushuli konseptual (Al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashawwuriyah). Yaitu pengetahuan yang bebas dari klaim/penilaian/penetapan (assertion), seperti konsep tentang Ali, keadilan,keadialan Ali, dll.
  2. Pengetahuan hushuli assentual (al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashdiqiyah). Yaitu pengetahuan yang disertai klaim/penetapan, baik afirmatif maupun  negatif, seperti Ali seorang yang adil.

 PENGETAHUAN HUSHULI KONSEPTUAL ATAU KONSEP
Pengetahuan hushuli konseptual (disingkat konsep) dapat dibagi dengan beragam versi pembagian, demikian pula pengetahuan hushuli assentual.

Dalam diri setiap manusia terdapat gambaran-gambaran tentang warna, suara, masam, keras, aroma, lezat, nueri dan sebagainya. Gambar-gambar semacam ini disebut dengan “arti-arti konseptual sederhana” (simple).

Manusia juga mempunyai gambaran-gambaran yang merupakan rangkaian dari dua atau lebih gambaran sederhana, seperti gambaran tentang “putihnya kertas” dan “lezatnya makanan.” Yang kedua ini disebut dengan “arti-arti konseptual tersusun” (kompleks).

Terdapat beberapa teori dan pendapat tentang sebab dan proses kemunculan “pengetahuan konseptual” yang sederhana maupun yang tersusun dalam benak manusia, teori pengingatan (idealisme Plato), teori pencerahan (teori iluminasi), teori sensasi (sensasionalisme), teori “penyerapan”, dan sebagainya.

Empat aspek konsepsi (konsep)
Konsepi atau konsep (tashawwur) dapat dilihat dari empat sudut pandang sebagai berikut:
1.    Konsepsi (konsep) mutlak. Yaitu konsepsi tanpa kondisi dan syarat apapun, yang lazim disebut la bisyarthi maqsamii. Dengan kata lain, konsepsi mutlak ini adalah konsep memorial yang diperoleh setiap subjek pengetahu. Konsep macam pertama inilah yang disebut ilmu atau pengetahuan dan didefinisikan oleh Al-hilli sebagai “munculnya gambaran sesuatu dalam mental.” Konsep macam pertama ini bukanlah padanan assent atau assensi (tashdiq).
2.    Konsepsi (konsep) bebas syarat. Yaitu konsep yang dilihat dari aspek keterbebasannya dari hukum dan penilaian, yang lazim disebut la bi syarthi qismi.
3.    Konsepsi (konsep) dengan relasi syarat. Yaitu konsep yang dilihat dari aspek  keterikatannya pada syarat  bebas dari penilaian atau hukum, yang lazim disebut Bi syarthi la. Konsep ketiga ini disebut juga dengan tashawwur mujarrad (konsepsi abstrak).
4.    Konsepsi bersyarat. Yaitu konsep yang dilihat dengan syarat mengandung nilai dan hukum, yang lazim disebut bisyarthi syai’. (Ulum e Payeh, nadhariyeh badahat, M. Taqi fa’ali, 96-98).

Empat Pengetahuan hushuli konseptual

Pengetahuan hushuli konseptual atau konsep, dilihat dari muatannya,  terbagi dua;
1.    Konsep tunggal, seperti konsep ‘manusia’, ‘pohon’, ‘mobil’ dan sebagainya yang masing-masing adalah gambaran yang tak terangkai.
2.    Konsep plural, seperti ‘Rumah Ali’, ‘Mobil yang

Dua macam konsep plural atau terangkai
1.   Konsep terangkai tidak sempurna, seperti gambaran ‘Bila ia datang, maka‘ dan sebagainya.
2.   Konsep terangkai sempurna

Dua macam konsep plural sempurna
1.   Konsep terangkai yang konstruktif, seperti jumlah kata yang berkonotasi perintah, pertanyaan dan pengharapan. Bila seseorang berkata kepada temannya, “makanlah” maka ucapannya tidak akan pernah diverifikasi secara faktual, karena kalimat tersebut bebas nilai atau bersifat konseptual murni.
2.   Konsep terangkai yang informatif, namun pengucap dan konseptornya tidak menyertakan hukum di dalamnya. (Ulum e Payeh,  M. T. fa’ali, 100, 101).

Konsep universal dan parsial
Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari cakupannya, terbagi dua;
1.    Pengetahuan hushuli konseptual universal atau Universalia. Yaitu pengetahuan hushuli yang tidak akan berubah menski objeknya mengalami perubahan. Gambar atau konsep ‘rumah’, misalnya,  dalam diri dan benak aristek atau tukang bangunan saat membangunnya, tidak akan pernah berubah meski realitas dan objek rumahnya berubah atau bahkan hancur.
2.    Pengetahuan hushuli konseptual parsial atau Partikularia. Yaitu pengetahuan hushuli yang berubah karena ‘objek yang diketahui,-nya mengalami perubahan. Pengetahuan saya melalui indera pandang tentang ‘gerak Agus’ ketika ia sedang bergerak. Bila Agus tak lagi bergerak, maka pengetahuan saya (tentang gerak Agus saat bergerak) akan berubah. Konsep tentang “Socrates”, misalnya,  yang hanya berlaku atas realitas objektif tertentu yang pernah hidup di Yunai dan menjadi guru Plato. (Al-Manhaj Al-Jadid, 186, Ususul-Falsafah, M.H. Thabathba’i dan Muthahhari, juz, 218-220, Nihayatul-hikmah, 301,  (Nihayatul-Hikmah, 304-305).

Tiga Partikularia
Pengetahuan hushuli konseptual parsial, berdasarkan aspek sumber kemunculannya,  terbagi tiga;
1.      Perngetahuan hushuli konseptual parsial sensual. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat penginderaan langsung dengan objeknya yang ada di sekelilingnya, seperti konsep atau gambar telapak tangan kiri yang tengah anda lihat dengan kasat mata atau anda raba dengan tangan kanan.
2.      Pengetahuan hushuli konseptual parsial imajinatif. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat mengingat dan membayangkan (fantasi) suatu objek yang etalh kita indera, seperti gambar atau konsep telapak tangan kiri tadi saat kita merogoh kocek.Parsial  imajinatif dalam terminologi D. Hume disebut dengan idea, sedangkan parsial sensual disebut impresi.
3.      Pengetahuan hushuli konseptual parsial intuitif. Yaitu konsep parsial yang muncul dari kondisi-kondisi emosional dan perasaaan psikologis, seperti konsep tentang cinta, benci, jengkel, malu, dll.

Sebagian ahli  mengartikan parsial intuitif sebagai perasaan psikologis itu sendiri. Namun, akan lebih tepat jika makna-makna itu digolongkan dalam pengetahuan hudhuri. (Al-Manhaj Al-Jadid 1/188, Kasyful murad, al hilli 150, Ma’refat  Shenasi, ibrahimiyan 98, Idrak hissi, M. T. Faali, dll)

Dua Universalia
Pengetahuan hushuli konseptual universal bermacam dua;
  1. Pengetahuan hushuli universal prima. Yaitu konsep universal yang jatuh setelah pertanyaan “apakah itu?”, dengan kata lain, ia menjelasakan keapaan atau esensi sesuatu. oleh karena itu, universal ini disebut juga dengan universal esensial. Ia biasa disebut dengan Al-ma’qul Al-awwali atau Al-ma’qul Al-mahawi.
  2. Pengetahuan hushuli universal sekunda. Yaitu universalia yang tidak berkaitan dengan pertanyaan ‘apakah’.

Tiga universalia prima (esensial)
Universalia prima atau universalia esensial adalah konsep-konsep yang menentukan batas wujud esensi dan realitas segala sesuatu, seperti genus dan defrensia bagi esensi spesies manusia. (Al-Manhaj Al-Jadid, 202-203). 

Sebagian filsuf memasukkannya dalam himpunan universalia-universalia sekunda. Konsep-konsep universal yang dibangun untuk ke-apa-an atau quiditas atau esensi dapat dibagi tiga;
1.    Universalia esensial yang didahului  oleh partikularia-partikularia  atau konsep-konsep parsial, seperti konsep manusia, air, putih, kotak, cemas, dll.
2.    Universalia esensial yang tidak didahului oleh partikularia, seperti akal, forma, potensi,dll.
3.    Universalia esensial yang tersebar di pelbagai bidang sain.

Dua universalia  sekunda (non esensial)
‘Pengetahuan hushuli konesptual universal sekunda’ ini ini terbagi dua;
  1. Universalia sekunda  logis atau Universalia sekunda artifisial. Yaitu konsep-konsep universal yang menjelaskan sifat-sidat segala konsep di mental, seperti spesis, genus, definisi, proposisi atau universalia dan partikularia, atesenden dan konsekuen, dan sebagainya. Objek-objek ini hanya ada di mental. Istilah-istilah dalam logika dilahirkan dari sini. Ia juga disebut dengan Al-ma’qul al-tsanawi al-manthiqi atau Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-manthiqiyah.
  2.  Universalia sekunda eksistensial atau universalia filosofis ontologis. Yaitu konsep-konsep universal yang menjelaskan kenyataan atau hakikat sesuatu, baik yang ada atau tiada, serta sifat-sisat eksistensial ataupun non eksistensial, seperti konsep ada, tiada, mustahil, mungkin, niscaya, sebab, akibat, dll. Konsep universal ini biasanya muncul lewat pengamatan dan perbandingan yang dilakukan mental di  antara konesep-konsep yang ada di dalammya. Istilah-istilah dalam metafisika dan ontologi adalah produk dari konsep-konsep ini. Oleh filsuf-filsuf abad pertengahan, universal ini populer dengan istilah Transendentalia. Ia juga disebut dengan Al-ma’qul al-tsanawi al-falsafi atau Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-Falsafiyah. (Ma’qul  e tsani, F. Esykevari, Ilm e Hudhuri, F. Esykevari pasal 6, Al-Manhaj Al-Jadid, Mausuah Al-Falsafah, A. Badawi, (Falsafatuna, hal. 66–67, Muhadharat, 64). (Falsafatuna, hal. 66–67, dll)

Universalia dalam filsafat Barat
Dunia filsafat Barat pernah mengalami kekacauan luar biasa karena masing-masing filsuf menggunakan istilah-istilah khas yang boleh jadi tidak digunakan oleh lainnya atau digunakan namun dengan pengertian yang berbeda. Karena itulah, tidak sedikit orang yang kebingungan setiap kali membaca karya filsuf tertentu. Puncak dari kekacauan ini adalah munculnya  sejumlah filsuf modern, seperti Bertrand Russel dalam bukunya Our Knowledge of the External (1914), Ludwig Wittgeinstein dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus (1921), Alfred Ayer dan lainnya yang berusaha “menertibkan” bahas filasafat dengan menciptakan aliran yang dikenal dengan Atomisme Logis atau Filsafat Analitik atau Analitisme. (Kamus Filsafat, 100-101, Filsafat Analitik, Kamus Logika, The Liang Gie, Falsafeh ye Tahlili, Shadeq Larijani, 87).

Kekacauan ini nyaris tidak pernah terjadi dalam dunia filsafat Timur, terutama Islam, karena mereka telah mempersiapkan pendahuluan-pendahuluan sebelum memasuki tema-tema inti filsafat.


Kontroversi seputar universalia
Isu universailia merupakan polemik yang apling sengit di sepanjang abad pertengahan. Ada sejumlah teori yang berkaitan dengannya;

Filsuf Muslim kontemporer, Prof. M. T. Misbah Yazdi, menolak imbuhan “sekunder” pada universal filosofis, karena terkesan adanya distorsi dan penyimpangan pada maknanya.

Pembagian di atas kali pertama dilakukan oleh Ibnu Sina (373-427 H) lalu dikembangkan oleh generasi filsuf berikutnya. Berkat penggunaan yang tepat terhadap setiap konsep universal di atas pada bidangnya masing-masing, seperti universal logis dalam  ilmu logika, nyaris tidak terjadi kekacauan dan Fallacy Thnking dalam koridor pemikiran filsafat islam, sebagaimana yang mewabah di filasat barat; Anglo Saxon dan Kontinentalnya. Setiap filsuf menggunakan konsep-konsep tidak dalam konteks, fungsi dan proporsi yang mestinya, sehingga kesalah fahaman, menurut N. A. Whitehead (1861-1942) dan George Edward Moore, terus merebak dan menjalar. Whitehead memvonis fenomena ini dengan “dogmatic Fallacy” (Adventures of Ideas, N.A. Whitehead, terj. Parsi  A Guwahi 2/338, Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/487).

Sejatinya, ia gencar menyerang teori Asosiasi Hume dalam menerjemahkan kausalitas. (Asle illiyyat, Qaramalaki 50,179). Maka, ia bersama muridnya, Bartrand Russell (1872-1970) menyusun  Principia  Mathematica. Sedangkan murid muridnya, Ludwig Wittgeinstein berusaha menawarkan bahasa logika dan filsafat. Ia, Gilert Ryle (1900-1970) dan filsuf-flsuf analitik lainnya membarasi filsafat sepojok upaya menjelaskan (klarifikasi) konsep-konsep (Ma’qul tsanie, F. Esykevari 18-19, Kamus Filsafat 100-101, Encyclopedia of Phylosophy, What is phylosophy, Parkinson Terj.)

Realisme
mereka meyakini adanya serangkaian universalia. Aliran ini terpecah kepada beberapa versi;

1. Platonisme atau Realisme logis
Berkat gagasan Socrates, plato meyakini bahwa universalia-universalia tidak hanya ada dalam mental, bahkan ia adalah entitas-entitas objektif di alam transendental, namun bersifat abstrak. Plato menyebutnya Idea (archtypes). Oleh karena itu, universalia versi ini dekenal dengan ide Platonik. Teori ini terus bergulir di tangan Plotinus (203-269 M) dan dipertahankan gigih oleh St. Augustine (354-430 M) dengan interpretasi sedikit berbeda (A History of Philosophy, F. Copleston, terj. Mujtabavi 1/181). Teori ini seringkali dibenturkan dengan sejumlah konsep  universal seperti; ketiadaan, kemustahilan dan sekutu Tuhan yang tidak ada entitasnya di luar.

2. Filsafat Skolastik
Di balik penentangan Aristoteles (383-322 SM) terhadap ide platonik, ia sependapat dengan Plato bahwa universalia bukan sekedar konsep di mental. Ia menambahkan bahwa di dalam entitas-entitas objektif di luar, terselubung suatu esensi universalia natural (Kulli Thabi’i). Dengan ke-apa-an universal ini, Arestoteles menafsirkan eksistensi universalia diluar. Seperti ke-apa-an kemanusiaan sebagai sebuah konsep universal yang ada di mental, juga ada di luar secara objektif, hanya saja tidak mandiri sebagaimana keyakinan platonisme, tetapi ada di luar bersama sejumlah objek-objek estensialnya. Di abad prtengahan, Tomas Aguinus (1225-1274) dikenal sebagai pengikut teori ini (A Histori of Phylosophy F. Copleston 1/247,346). Juga B. Russell, G. E. Moore, dan G. F. Staut di akhir abad dua puluh (Mausuah Al-Falsafah, Abdurahman Badawi, 2/268).

3. Para filsuf Muslim
Mereka mengembangakan teori aristotelian dan menambahkan bahwa universalia ada secara objektif dan bersifat banyak sebanyak afradnya (ekstensi), juga ada secara subjektif dan bersifat satu (Nihayatul Hikmah 73, Syenakht e Shenasi dar Qur’an, Javadi amoli 109, dll). Hanya saja, tambah mereka, teori itu perlu penyempurnaan, karena ia hanya menyinggung konsep-konsep universal primer/esensial, sementara dua macam universal klainnya; logis dan filosofis, tidak tersentuh dan sejalan dengan teiro itu, segabagaimana yang nampakdalam bahasan-bahsan berikut nanti.

4. Konseptualisme
Menurut mereka, konsep-konsep universalia, dengan interpretasi plato maupun muridnya dan hukama islam,tidak pernah ada. Tetapi, ia juga bukan sekedar sebutan dan kata-kata tanpa makna. Universal adalah produk netto mental. Teori ini pertama kali digagasoleh Peter Abelard (1079-1142) dan dikuak kembali oleh john locke (1632-1704)

5. Nominalisme
Mazhab yang didirikan oleh guru Abelard, Rosaline ( -1125) ini  menyatakan bahwa  universalia tak ubahnya hembusan nafas (Flatus Vocis). Aliran ini kian deras megalir pada abad berikitnya dengan kehadiran William Ockham (1300-1349). Menurutnya, konsep univesal tidak lebih dari nama dan simbol untuk menghemat proses berfikir dan dialog. Teori ini dilestarikan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), George Barkeley (1685-1753), B. Spinoza (1632-1676) David Hume (1711-1776) dan John Stuart Mill (1806-1873). Secara substansial, nominalisme tidak berbeda dengan Konseptualisme.

Nominalisme terbagi dua; Nominalisme Radikal, yang juga disebut  dengan Vokalisme, dan Nominalisme Moderat,  yaitu  teori Resemblence yang menafsirkan universalia sebagai konsep yang menunjukan kemiripan di antara sekelompok objek.

6. Teori Imitasi
Teori ini menafsirkan universalia segbagai konsep parsial yang samar dan pudar. Karena kesamarannya, ia bisa berlaku pada lebih dari satu objek. Para filsuf ontologi dan teologi Islam menyebut teori ini dengan ‘Syabah” (bayangan). Dan sejauh ini, hanya Henry Harclay, filsuf sezaman dengan William Ockham, yang tercatat sebagai penganutnya (Al-Manhaj Al-Jadid 1/189, Nihayatul Hikmah 34, 75, Mausuah Al-Falsafah, abdurahman Badawi 2/469, Makrtifat Shenasi dini wa muashir, M. T. Faali 53-55, dll).

Dua pengetahuan hushuli konseptual

Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari aspek kualitasnya, terbagi dua;
1.    Pengetahuan hushuli konseptual ekstemporal (apriori) (Al-Ma’rifah Al-Badihiyah). Yaitu pernyataan-pernyataan (premis-premis) yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti pernyataan “semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti tidak bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat, setiap manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas. Sebagian mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.    Pengetahuan hushuli konseptual non-ekstemporal (aposteriori) (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah). Yaitu pernyataan (premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan pernyataan (premis) ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya, seperti “alam bermula dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan karena didasarkan pada dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia tersusun” dan “semua yang tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan sebagai konsep yang perlu didefinisikan.

Pengetahuan hushuli ada kalanya bersifat konseptual sekaligus ekstemporal, seperti konsep kita tentang arti ‘sesuatu’ dan konsepsi kita tentang ‘wujud’. Ada kalanya pengetahuan hushuli bersifat konseptual sekaligus non ekstemporal, seperti pengetahuan tentang konsep "mendidihnya air bila suhunya dipanaskan hingga mencapai 100 derajat celcius."
 
PENGETAHUAN HUSHULI ASSENTUAL ATAU PREMIS
Pengetahuan ini merupakan tema epistemologis terpenting, khususnya dalam filsafat Barat. Bahkan, Epistemologi Kontemporer di sana hanya menyoroti pengetahuan ini dan masalah-masalah yang betkaitan dengannya, sebagaimana yang namoak dari karya-karya seperti Paul Edward dalam The Encyclopedia of Philosophy, Jonathan Dansi dan E. Sosa dalam A Companion of Epistemology atau bapak epistemologi kontemporer; Roderick M. Chisholm dalam Theory of Knowledge.

Sedangkan para filsuf muslim beranggapan bahwa  pengetahuan assentual tidak lebih besar signifikansinya dengan pengetahuan konseptual, karena walau bagaimanapun, pengetahuan assentual terbentuk dari pengetahuan konseptual.

George Edward Moore (1873-1958) pernah berpendapat bahwa keruwetan terbesar dalam kajian-kajian falsafi berkaitan dengan ketakjelasan dan ketakcermatan dalam menyusun kalim-klaim serta pencampuradukan beberapa klaim menjadi satu (Contemporary philosophy, F. Copleston, hal. 18, terj. Parsi A.A. Halabi)

Fenomena di atas, menurut M. Muthahhari, menyembul dari chaos di antara konsep-konsep yang membentuk klaim-klaim tersebut. Beliau menyimpulkan bahwa titik sentral kerumitan dalam perbincangan falsafi adalah pengetahuan konseptualnya, bukan pada konteks pembuktian dan pengetahuan assentual.

Ibnu Sina dalam Manthiq Al-Isyarat (hal. 215) membuktikan pengulangan analisa-analisa di atas lewat aphorisma “Idha Iltabasat Tasawwur Iltabasat Tashdiiq” (Konsep yang kabur meniscayakan kekaburan pengetahuan assentual)

Kontroversi seputar Pengetahuan Hushuli Assentual

Bisakah manusia memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan realitas? Ada tiga pilihan jawaban atas pertanyaan di atas. Masing-masing jawaban memberikan konsekuensi fundamental dalam proses permikiran manusia.

Sofisme (Agnosisme)
Jawaban pertama, diberikan oleh para penganut Sophisme, seperti Protagoras of Abdera, Gorgias of Leontini, Prodicus od Ceos, Hippias of Elis, Antiphon of Athens, Thrasymacus of Chalcedon, yang kelak disebut sebagai penganut Agnosisme. Kelompok ini beranggapan bahwa manusia, karena keterbatasannya, tidak mampu mengenal realitas, tidak bisa memperoleh pengetahuan yang assentual, dan hanya menduga-duganya. (Filsafat Yunani, 102, Alam Pikiran Yunani, Muhadharat, Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah,Dasar-dasar Filsafat, 4.4, Usus Al-Falsafah wal-Madzhab Al-Waqi’iy, 161, dll).

Kendati pada awalnya aliran ini lebih merupakan gerakan kritis social yang lambat laun mengkristal sebagai siakap ilmiah yang menghimpun sejumlah pandangan, mulai dari moderat seperti relativisme  Protagoras hingga radikal seperti Georgias (483-375 SM) yang menyatakan bahwa sesuatu (apapun) tidak ada. Jika ada sesuatu, ia tidak bisa diketahui. Dan jika bisa diketahui, pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. History of Philosophy, Federick Copleston 1/112 terj. J. Mujtabavi)

Kritik atas Sophisme
Klaim sophis radikal seperti georgias, menggugurkan klaim itu sendiri (self contradicte), berikit bembuktiannya. Segala bentuk penolakan mutlak terhadap mungkinya pengetahuam meryupakan bukti-bukti yang mempertegas, bukan sekedar kemungkinannya, bahkan keniscayaan realitas pengetahuan itu, paling tidak pengetahuan sophis akan klaimnya sendiri. Jika ia mengaku tidak pernah tahu akan klaimnya, maka tidak ada klaim dan sikap penolakan. Disiani, jika ia memilih siakap ragu,maka ia memungkiri dirinya sebagai sophis, sembari mengakui skeptitisisme.

H. Gomperz menuturkan bahwa sebagian menganggap klaim georgias sebagai representasi nihilisme falsafi serius, dan pada saat yang sama, sebagian menduga klaim itu sekedar jokinya.(tarekh falsafafah F. Copleston 1/113)

Skeptisisme
Jawaban kedua diberikan oleh sejumlah filsuf Yunani kuno, seperti Pyrrhon, Arsezilash, Cratylus, Carneades yang kelak dikenal sebagai para pengikut Skpetisisme. Mereka beranggapan bahwa meragukan kemampuan manusia untuk mengenal realitas adalah satu-satu sikap yang tepat. Mereka beranggapan bahwa meragukan kemampuan manusia untuk mengenal realitas adalah siakap yang tepat. (Filsafat Yunani 228, alam pikiran Yunani Muhadarat fil aqidah, Falsafatuna, Usus-Al falsafah 1/161, dll).

Secara etimologis, ia berasal dari bahasa Yunani skepsis,   pertimbangan atau keraguan.(Kamus Filsafat 1017). Skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan tokoh-tokoh,  ke dalam beberapa aliran, seperti skeptisisme Karneades, skeptisisme Cratilus, skeptisisme Georgias, skeptisisme Descartes, skeptisisme Hume, skeptisisme Kant, skeptisisme Lock.

Secara historis,  skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan konsep-konsepnya, ke dalam beberapa aliran sebagai berikut:
  1. Skeptisisme klasik. Ia terpecah kepada dua periade. Skeptisisme Akademika yang dipelopori oleh fisuf jebolan akademi Plato bernama Arselious (315-240 SM). Ia menafikan segala macam kriteria dan standar untuk memilah pengetahuan valid dari invalid. Porsi maksimal yang bisa diraih setiap orang hanya keyakianan-keyakianan yang tidak jelas kebenarannya.
  2. Skeptisisme Phyrronian. Adalah skeptisisme yang berpijak diatas pandangan-pandangan Pyrrhon (360-270SM). Menurut mereka , setiap orang memilliki pandangan masing-masing, dan kita tidak akan bisa tahu mana yang benar, karena masing-masing memiliki argumen yang sama validnya.
  3. Skeptisisme modern. Ia  dirintis sejak munculnya karya-karya Sectus Empiricus   dan cicero pada abad 16 dan permulaan  abad 17 , hingga descartes (15 95-1650) mendeklarasikan evil spirit hypothesis atau Mauvais Genie (setan jahat) dan menyatakan bahwa keberadaan adalah diriku, keyakinanku dan setan yang mengajarkan keyakinan itu kepadaku. Skeptisisme modern semakin kokoh dengan The argument from experience yang dirumuskan Hume(1711-1776) dalam karyanya An Inqquiry Concerning Human Undertanding. Sebagian gagasan skeptis Hume, menurut pengakuan filsuf jerman Immanuel Kant, telah mengusik tidur lelapnya bersama Dogmatisme. Segera setelah itu iapun dikenal dengan Skeptisisme Kant.
  4. Skeptisisme kontemporer. Yaitu skeptisisme yang nampak jelas dari ide Googol dalam premis-premis skeptis Lehler, sebagai reinkarnasi evil spirit hypothesis Descartes.

Dua Skeptisisme
Skeptisisme, berdasarkan aspek motivasinya, terbagi dua:
  1. Skeptisisme normatif/Metodis. Seperti skeptisisme descartes,  Ahli-ahli fisika di jamannya identik dengan peramal, sedangkan dokter-dokter dipandang sebagai penyihir. Dari sini descartes berusaha memilah pengetahuan yang benar dari yang salah. Ia memuai dari sikap skeptis,  yaitu Nihil esse certi (tidak ada keyakinan/kepastian), untukmenemukan suatu norma solid, sebagaimana yang terbingkai dalam Cogito Ergo Sum. Paul Foulquie menggolongkan Claude Bernard (1816-1878) ke dalam macam skeptis ini.
  2. Skeptisisme problematik atau skeptisisme deskriptif. Ia bermacam dua;
  3. Skeptisisme Global. Skeptisisime inil menyerang setiap kantong-kantong keyakinan dan segala bidang pengetahuan, tanpa ampun. Ia berhadapan dengan setiap manusia yang mengklaim tahu dan yakin.
  4. Skeptisisme Lokal, yaitu skeptisisme  yang memperkarakan bidang-bidang pengetahuan tertentu, Antara lain
§  pengetahuan tentang nilai dan etika. Nietzsche (1844-) dalam  “The Death of God”, misalnya,  menolak nilai mutlak dan norma objektif moral dan berbuntu pada nihilisme Pengetahuan tentang hal-hal yang akan terjadi (future), seprti D. Hume.
§  Pengetahuan tentang jiea dan mental orang alain (other mind),seperti Solipsisme.
§  Pengetahuan inderawi (Skeptisisme perseptual), seperti descartes dan kant.
§  Pengetahuan tentang doktrin dan ajaran agama, teologis dan metafifisis.(religius skeptis), seperti positivisme, neo positivisme atau logical positivism, sebagaimana yang dianut oleh anggota circle Viena (Wiener Kreis)

Skeptisisme merupakan arus besar yang terpecah ke beberapa aliran seperti Agnotisisme, Fallibilisme, Probabilisme Carneides (219-125), Pluralisme Falsafi, Perspektivisme (Nietzsche, Ortega Y. Gasset (1883-1955), K. Ajdukiewicz) Fideisme (Montaigne (1533-1592), B. Pascal (1623-1662) dll. (Metaphysique, P. Foulquie, terj. Parsi, Y. Mahdawi, hal. 67-69, The Fontana Dictionary of Modern Thought, Oliver Stally Brass-Allaen Ballock 208,terj parsi ..., Ma’rifat Shenasi dini, Mausuah Al-falsafah, Abdurahman badawi, M.T. Fa’ali 330-332, A History of Philosophy, F. Copleston 7/400, terj. Parsi Daryush Ashuri, Filsafat Yunani, hal. 228, Alam Pikiran Yunani, Muhadaharat fil-Aqidah, Falsafatuna, Ususul-Falsafah, juz, 161, Jurnal Qabasat Malcolm Norman, Ma’rifat Shenasi dini wa muashir, M. T. Fa’ali, 117-118, Kamus Filasafat, 1017-1027, The History of Philosophy, F. Copleston 7/395, Metaphysique, P. Fuolquie, terj. Parsi Yahya Mahdawi, hal. 71).

Skeptisisme lokal selalu membawakan argumen atas klaimnya yang acapkali berdampak luas, hingga berhulu pada justifikasi skeptisisme global.

Kritik atas Skeptisisme
Para penganut filsafat skolastik dan Epicurian telah membungkam para penganut Agnosisme dan skeptisisme dengan argumen-argumen sangat kuat, karena secara real, manusia berpeluang untuk mengenal realitas, memperoleh pengetahuan assentual, dan meraih kebenaran. (Muhadharat fil-Aqidah, hal. 43) Berikut ini sejumlah kritik atas skpetisisme.

  1. Skeptsisime berargumentasi atas klaimnya. Argumentasi terdiri dari sejumlalah premis yang sudah mereka terima,seperti realitas kesalahan persepsi pada indera dan akal, realitas korelasi antara setiap entitas dan pengetahuan, realitas ikhtilaf di antara ilmu atau pemikir, tealitas fallacy dalam sillogisme (burhan), realitas prinsip Universalizability rumusan H. M. Hare, realitas evolusi dan dinamika, realitas ketergantungan setiap pengeatahuan kepada hukum universal (nomos), realitas mustahilnya menemukan hukum universal. Pendek kata, setiap skeptis hanya menghadapi sebuaah close question; ia menerima dan mengakui premis-premis argumentasi dan konklusinya, dengan demikian iamengetahui sejiumlah pengetahuan, ataukah menolak semua itu, maka tidak ada klaim skeptis disini.
  2. Sebagian skeptis berusaha untuk terikat dengan konsekuensi pertama, yaitu  adanya pengetahuan tentang ptemis-premis dan konklusinya yang merupakan klaimya. Meski demikian, menurut mereka, a. adanya dua tiga pengetahuan tidak akan memberanguskan skeptisisme, bahkan sebaliknya, jumlah pengetahuan itu jusrtu menegaskan siakap skeptis terhadap hal-hal lainnya. Oleh karena itu, pengecualian pengetahuan-pengenguatahuan diatas merupakan penegakan skeptisisme. b. Jumlah kecil pengetahuan diatastidak akan bisa menuntaskan permasalahan epistimologis. C. Dengan kritik/jawaban itu, genderang skeptisisme masih bisa ditabuh, kendati setelah membetot konklusi. Dengan kata lain, jika saya tahu dan terima premis pertama dan kedua, niscaya saya  skeptis dan tidak akan tahu apa-apa.inilah yang disebut dengan Doxastic paradox (paradox pengetahuan).

Jawab:
  1. Dengan mengakui paling tidak dua tiga pengeatahuan tersebut, pertanyaan tidak berhenti disini. Akar-akar pengetahuan itu akan merambat ke beberapa prinsip, seperti prinsip realitas,prinsip non kontradiksi prinsip kausalitas, prinsip identitas, dll. Maka jika diamati argumentasi beserta premis-premis mereka, akan kita temukan sejumlah prinsip tersebut.
  2. Masalahnya terfokus pada prinsip pengetahuan atau kemunkingkinan mengetahuai, bukan pada jumlahnya. Dengan demikian, format permaslahannya adalah berikut ini, “Kita mendapatkan pengetahuan dalam beberapa hal-sedikit taukah banyak-, dan dalam hal-hal lain kita ragu datau tidak tahu.”

Ada sejumlah aliran yang hampir sama secara substansial dengan skeptisisme yaitu relativisme dan nihilisme. Menurut aliran ini tidak hal-hal yang absolut. Sebagian orang menganggap relativisme adalah nama lain dari skeptisisme atau subjektivisme. (Kamus Filsafat, 949). Aliran ini dilawankan dengan Absolutisme dalam epistemologi, yang memastikan adanya pengetahuan objektif dan absolut. (Kamus Teori, 1). Aliran ini secara substansial tidak berbeda dengan dogmatisme atau truisme. Nihilisme adalah istilah yang pertama kali diciptakan oleh Turgeneiv dalam politik dan teologi. Salah satu prinsipnya dalam epistemologi adalah menolak setiap dasar kebenaran yang objektif dan real. Albert Camus dan Nitzche disebut-sebut sebagai penganut aliran ini (Kamus Filsafat, 712).

Dogmatisme, Truisme, Obyektivisme, Absolutisme

  1. Jawaban ketiga diberikan oleh para filsuf skolastik, yang dikenal sebagai penganut Dogmatisme. Dogmatisme sebagai aliran dalam filsafat bertentangan skeptisisme. Mereka memastikan bahwa manusia berpeluang untuk mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual dengan bukti-bukti tertentu. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 3, hal. 498-499, Filsafat Yunani, hal. 231, Muhadharat fil-Aqidah, Durus fil-Aqidah, Falasafatuna, (Nihayatul Hikmah, Thabathabai’ 254, Ma’refat  Shenasi dini, M.T. Fa’ali, Ma’refat  Shenasi, Hosein Zadeh,  Kamus Filsafat, 173 dll).

Menurut Dogmatisme, pengetahuan yang benar mengandung tiga unsur yang tak dapat dikurangi.

Tripartite pengetahuan hushuli assentual

Pengetahuan telah didefinisikan oleh para  epistemolog dan kaum truis sebagai kepercayaan yang benar dan terjustifikasi. Karenanya, kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan terdiri atas tiga unsur; kepercayaan, kebenaran, dan justifikasi, dan menganggapnya cukup sehingga tidak perlu ditambah. Namun sebagian epistemolog memasukkan ‘hubungan antara subjek dan objek’ sebagai salah satu elemen dan menggeser elemen ‘kepercayaan’. Kepercayaan adalah keniscayaan sikap dari terjalinnya  hubungan antara subjek pengetahuan dengan konsep yang ada dalam benaknya.

Elemen kesatu
Elemen pertama dan faktor penentu dalam pengetahuan adalah kepercayaan. (The Theory of Knowledge, ed: L.P. Pojman PP, 499-555 and Hospers). Pengetahuan,  realitas dan justifikasi berada dalam poros kepercayaan. Pengetahuan tanpa kepercayaan (keyakinan) tidaklah mungkin. Kepercayaan, yang merupakan faktor penentu dan tolok ukur justifikasi, adalah faktor penentu dan poros pengetahuan partikular. Kepercayaan, yang disebut pula dengan subjective component of knowlegde, ini  meniscayakan penangkalan terhadap ketidaktahuan kompleks (al-jahl al-murakkab). (Ma’refat Shenasi dini va Mu’aser, 81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130, Commitment to Truth, 21).

Esensi ‘kepercayaan’
Manusia, di hadapan setiap premis atau pernyataan, adalah manusia sebagai berikut:
1.    Menerima dan menjadi ‘manusia berkeyakinan’. Sikap ini disebut dengan acceptance atau belief.
2.    Menolak atau menentang dan menjadi ‘manusia penolak’ atau ‘manusia penentang’. Sikap ini disebut dengan disacceptance.
3.    Tidak menerima sekaligus tidak menolak atau abstein. Sikap ini disebut dengan withold.
4.    Setiap premis mempunyai dua macam hubungan dan relasi; relasi dengan subjek dan relasi dengan objek. Premis “bunga ini berwarna merah’, misalnya, mempunyai hubungan dengan realitas objektif karena ia benar atau salah. Ia juga berhubungan subjek atau pengetahu sedemikian rupa sehingga bila hubungan subjektif ini tidak diperhatikan dan dilibatkan, maka pengetahuan tidak akan pernah muncul. (Ma’refat Shenasi Dini va Moasher, M.T. Fa’ali, 160, An Introduction to Philosophical Analysis, PP, 10 – 18 and Chisholm, R.M. Theory of Knowledge, P. 6  A Companion to Epistemology, PP. 35, 48, 70).

‘Pecaya bahwa’ dan ‘percaya kepada’

Samakah arti “saya percaya padamu” dengan “saya percaya bahwa perkataanmu benar dan sesuai dengan kenyataan” sehingga bisa diubah dan dipindah sesuka hati?

Reduksionisme, sebagaimana Thomas Aquinas, memperbolehkan reduksi dan pemindahan. John Hick menolak reduksi. Sedangkan Pires menganmbil jalan ketiga dengan berpendapat bahwa sebagaian dari macam-macam kepercayaan proposisional dapat direduksi dan diganti menjadi ‘kepercayaan psikologis’.

‘Percaya bahwa’ adalah sikap percaya yang secara orisinal (semula, bil-ashalah) mengacu pada premis dan secara tidak orisinal (bil-taba’) mengacu pada sesuatu yang diungkapkan oleh premis, bukan premis itu sendiri. Premis “saya percaya bahwa Tuhan ada” mengacu secara orisinal dan primer pada premis “Tuhan ada” dan secara sekunder mengacu pada “ke-ada-an Tuhan”. Namun kepercayaan tidak selalu berkonotasi arti demikian. Bila suatu saat kita ucapkan “saya percaya pada anda’, maka ‘kepercayaan’ dalam premis terakhir ini bebrarti “saya mempercayai anda’ atau ‘saya mengandalkan anda’ atau ‘saya mantap dengan anda’ yang bukanlah bagian dari pengetahuan. Yang menjadi bagian dari pengetahuan adalah ‘kepercayaan proposisional’ bukan ‘kepercayaan psikologis’. (Ma’rifat Shenashi Dini va Muashe, 160).

Premis dan kata rangkai

Telah kita ketahui bahwa ‘kepercayaan’ epistemologis hanya berkaitan dan mengacu pada proposisi. Kepercayaan dapat diungkapkan dengan tiga terminologi pernyataan (statement), proposisi (keputusan) dan kata rangkai (sentence).

Proposisi atau pernyataan, berdasarkan muatannya, terbagi dua;
1.   Proposisi minor (Al-Qadhiyyah Ash-Shugra). Yaitu attesendens yang memuat partikularia yang hendak diketahui nilainya (nilai validitasnya) melalui inferensi (penalaran, Al-Istidlal)., seperti “besi adalah tambang’.
2.   Proposisi mayor (Al-Qadhiyyah Al-Kubra). Yaitu attesendens yang menjadi dasar universal yang diterapkan atas partikularia untuk diketahui nilai (validitas)-nya melalui inferensi silogisme (deduksi), seperti “semua besi adalah tambang unsur homogen”.

Proposisi, ditinjau dari sisi bentuk, terbagi menjadi dua;
  1. Proposisi Predikatif (Al-Qadhiyah Al-Hamliyah). Yaitu proposisi yang terdiri atas subjek dan predikat. Dalam proposisi predikatif, predikat mengafirmasi atau menegasi subjek.
Proposisi predikatif juga didefinisikan sebagai premis yang mengafirmasikan atau mengasikan berlakunya sesuatu (predikat) atas sesuatu yang lain.
Contoh: “Budiman adalah sopir” dan “Agus bukanlah jenderal”.
“Plato adalah seorang filsuf”, “Bambang bukanlah filsuf”.

  1. Proposisi hipotetik (Al-Qadhiyah Asy-Syarthiyyah). Yaitu proposisi yang muatannya menjadi syarat bagi muatan proposisi lainnya.
Contoh: “Bila matahari terbit, siang akan tiba”.
Proposisi dan seluk beluknya akan dibahas secara lebih terinci dalam bagian lain dari buku ini.

Elemen kedua
Elemen kedua adalah kebenaran. Pengetahuan yang benar juga memiliki dimensi hubungan antara subjek dengan objek yang di’wakili’ oleh konsep yang tertayang dalam benak subjek. Adanya kebenaran atau realitas faktual meniscayakan penangkalan terhadap ‘ketidatahuan sederhana’. Inilah yang dimaksud dengan ‘hubungan objektif’  atau objective component of knowledge,

Sebelum bertanya manakah yang real atau keyakinan manakah yang benar, kita harus lebih dahulu bertanya, apakah kebenaran itu? Apakah kebenaran itu? Bagaimana memilah pengetahuan yang benar dari yang salah?

Dua pertanyaan ini secara substansial berbeda. Pertanyaan pertama bertalian dengan kebenaran, sementara kedua berkaitan dengan norma (criterion) kebenaran.

Secara umum, para filsuf terbagi dalam dua aliran besar;
1.     Subjektivisme. Yaitu aliran sekelompok filsuf yang menjadikan subjek sebagai penentu kebenaran. Aliran ini membatasi pengetahuan pada kesadaran pikiran akan keadaannya sendiri. (Kamus Filsafat, 1046).
2.     Objektivisme. Yaitu aliran sekelompok filsuf lain yang menjadikan objek sebagai penentu kebenaran suatu pengetahuan. Ia meyakini bahwa nilai pengetahuan diukur oleh objek yang tidak tergantung pada subjek. (kamus Filsafat, 734)

Aliran-aliran dalam objektivisme
Para penganut objektivisme terbagi dalam berbagai aliran dan teori;

  1. Pragmatisme dan utilitarianisme
Para filsuf Eropa seperti Charles sanders Pierce, William James, dan John Dewey menjadikan keuntungan dan manfaat sebagai standar kebenaran atau pengetahuan assentual.

Pragmatisme (Pragmatic Thoery of truth) adalah gagasan yang diprakarsai oleh filosof-filosof beken pragmatisme: Charles S. Pierce (1839-1914), William James (1872-1970), John Dewey (1859-1952) dan Scott Schiller (1864-1937). Menurut mereka, pengetahuan yang sesuai dengan fakta belum bisa dianggap benar, sebagaimana klaim teori korespondensi, karena masih tersisa satu pertanyaan; apakah kesesuaian dengan fakta berdampak pada kehidupan praktis seseorang? Mereka menegaskan bahwa pengetahuan dinyatakan benar ketika menguntungkan dalam konteks pengamalan.

Oleh karena itu, kebenaran identik dengan aktualisasi praktis yang menguntungkan. Bahkan nada ekstrim sebagian pragmatis menyatakan bahwa apabila suatu pengetahuan dapat memenuhi/ memuaskan hasrat dan kebutuhan hidup seseorang, maka ia adalah benar.

Kendati demikian, W. James dalam beberapa statemennya cenderung mendukung teori koherensi  yang digandrungi oleh generasi mutakhir. (Ma’rifat Shenasi – Ibrahimian, Ma’rifat Shenasi – M. Hosein Zadeh, Jurnal hauzah va danesygahno: 4 – Muhsin Javadi, Mairifat Shenasi Dini va Mu’ashir – M.T. Fa’alli, La Philosophis Contempripaine en Europe- I.M. Bochenshi hal: 198 terjemah Arab Izzat Qarni)

  1. Korespondensionisme atau Teori Korespondensi
Aliran  ini menyatakan bahwa kebenaran adalah pengetahuan (assentual) yang sesuai dengan fakta. Dan sebaliknya, pengetahuan assentual dianggap salah ketika tidak sesuai dengan fakta. Menurut teori korenspondensi, esensi kebenaran berpijak di atas tiga pilar:
    • Gambar subjektif berupa pengetahuan asentual
    • Fakta, yaitu objek (mahki) dari gambar subjektif
    • Relasi (Nisbah)  antara gambar  subjektif dan fakta, yaitu kesesuaian.
Sebagaian besar filsuf, sejak Plato dan Farabi hingga J. Haspers dan G. R. Fayyadhi, menganut teori di atas. Kendati demikian, mereka berselisih dalam spesifikasi penjabarannya, seiring dengan pendangan dan bangunan filsafat (Noutic Structure) masing-masing. Dari sini, muncullah Korespondensi ala  Locke,  Russell, Wittgeinstein, R. K. Popper, A. Tarski hingga S. Kripke (Ma’refat Shenasi Dini wa Mu’ashir, Fa’ali, Jurnal Hauzah wa Doneyghah, NO. 6, Nadharieh Shidq, Asfar 1/20, Tahshil, Bahmaniyar, hal.262, dll). August Comte, pendiri Positivisme beranggapan bahwa pengetahuan dianggap sebagai sesuai dengan kenyataan apabila terjadi keserasian pikiran dalam mental. Pandangan ini dikenal dengan ‘teori korespodensi’ atau Al-intiza’. (Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah, Muhadharat Fil-Aqidah, hal. 39-42, Ususul-Falsafah, juz, 164-165, Commitment to Truth, M. Fanaei Eshkevari, 15, dll.)

3. Koherensionisme atau Teori Koherensi
Coheren dalam bahasa Inggris dan cohaerre dalam latin berarti melekat, tetap menyatu, bersatu. (Kamus Filsafat, 470).

Teori koherensi merupakan sebuah teori tentang kebenaran yang bersifat neo-positivis, bahwa kebenaran didasarkan pada harmoni internal proposisi-proposisi dalam suatu sistem tertentu. Pada dasarnya, teori ini dan selainnya merupakan reaksi-reaksi dari sejumlah filsuf yang tidak mampu menjawab kritik-kritik atas teori Korespondensi. Teori koherensi banyak direkrut oleh kaum Idealis serta sebagian Rasionalis seperti; G. Leibniz dan B. Spinoza (Az Bruno to Kant, S. Khurasani, hal.104, Commitment to Truth, M. F. Eshkevari, 16).

Di dunia filsafat kontemporer, para penganut kaum Positivisme logis seperti; Otto Neurath, Carnap  dan C. Hampel gigih mengembangkannya, kendati pelopor mereka Moritz Schlick (1882-1936) mempertahankan teoti Korespondensi. (Paul Edwaard, D.W. Hamlin hal. 120, Kamus Filsafat, 470). Ketimbang mengamati suatu pengetahuan dengan faktanya, mereka membandingkan pengetahuan tersebut dengan seluruh pengetahuan lainnya.

Di sini, pengetahuan dinyatakan benar selama tidak berbenturan dengan keuTuhan sistem pemikiran (notic structure) yang terbentuk dari serangkaian pengetahuan-pengetahuan yang sudah diterimanya sebagai kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran suatu pengetahuan adalah keserasiannya dsengan serangkaian pengetahuan yang telah dinyatakan benar. Misalkan jika kita perhatikan sepotong kayu dalam air begelombang dengan kasat mata, kita melihatnya zigzag. Namun jika kita pegang kayu itu pada saat yang sama kita mendapatkannya lurus.

Disini kita mengklaim kebenaran indera raba dan menilai indera pandang sebagai  salah. Mengapa? Karena pengetahuan( sence data)  yang bersumber  dari indera raba serasi dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya,  yang berbeda dengan pengetahuan dari indera pandang yang bertabrakan dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki.

Teori koherensi secara logis berujung pada gradasi kebenaran (degrees theory of truth) yaitu teori yang menyatakan bahwa kebenaran suatu pengetahuan berderajat, seiring dengan tingkat relevansinya dengan pengetahuan-pengetahuan lain. Dampaknya, logika matematik kehilangan determinasi dan keniscayaannya.

Pada dasarnya teori koherensi menempatkan kebenaran atau kesalahan sebagai predikat untuk sejumlah pengetahuan yang membentuk suatu sistem pemikiran, tidak untuk setiap unitnya. Dengan demikian, teori berpijak pada premis holisme yang dirumuskan oleh Willard Van Orman Quine (1908- ).

Singkatnya, kebenaran menurut teori koherensi adalah harmoni pengetahuan assentual dengan sistem pemikiran seseorang. (Sejarah Epistemologi, 93, edisi Parsi, D. W. Hamlyn, editor Paul Edward, The Enclopedia of Philosophi, Epistemologi Agama dan Modern, 194, M. Taqi Fa’ali).

4. Relativisme
Ia adalah teori atau aliran yang muncul seiring dengn kemunculan kaum shophis. Tokoh populer mereka, Protoguras (481-411 SM), mengatakan bahwa manusia adalah totalitas kebenaran. Ia menguraikan bahwa kebenaran adalah apa saja yang menurut anda atau saya benar(A Histori of philosophy – F. Copleston 1 hal: 106 terjemah Farsi Mujtabav, Commitment to Truth, 24)

“Man – the Measure” protogorian ini dapat kita saksikan pada sebagian pengikut pragmatisme seperti F.C. Scott Schiller dalam alirannya yang dapat disebut Humanistic Voluntarism (Mausu’ah Falsafah – Abdurrahman Badawi 2 hal: 24, La. Philosophie Contemropaine en Europe – I.M. Bochenshi hal: 198 terj Arab Izzat Qarni)

Hal serupa disampaikan oleh sebagian dan mengatakan bahwa pengetahuan adalah akibat dari interaksi organ perseptor dengan alam luar (obje di luar). (Lihat Falsafatuna, Muhammad Baqir Shadr hal. 142-143,  Nihayatul Hikmah, hal. 255, Nadhariyatul Ma’rifah, hal.227-228).

Teori ini sendiri mesti dianggap salah karena mengkritik teori sebelumnya, Korespondensi. Sebagaimana dilontarkan Bertrand Russell, bahwa semua kisah-kisah fiktif dari mulai Spielberg dan novel-novel Shakespeare sampai telenovela dan srimulat dikatakan benar oleh teori ini. (Jurnal Kalam Islami no: 34 Arzesy-e Syenakht, Khusru Panah, Ma’rifat Shenasi-e Dini wa Mu’ashir, Muhammad Taqi Fa’alli, Ma’rifat Shenasi Muhammad Taqi Zadeh).
Empat aliran di atas akan kita bahas secara kritis lalu kita tentukan salah satu sebagai pendapat terpilih.

Kritik atas Pragmatisme

teori ini problematis (Self Contradiction) karena klaimnya “kebenaran adalah keuntungan praktis” merupakan pengetahuan teoritikal murni. Teori ini meniscayakan relativisme subyektif atau waktu, karena bisa saja suatu pengetahuan bermanfaat untuk seseorang pada waktu tertentu, pada saat yang sama ia membahayakan orang lain.

Implikasi yang paling dahsyat dari teori pragmatis adalah bahwa keputusan final dalam setiap pertikaian ada di tangan penguasa (Power), kendati tanpa keadilan. Teori ini berpengaruh besar dalam kebangkitan filsafat evolusi dan struggle of survival Nietzche

Teori ini kabur, karena tidak menjelaskan secara devinitif dan tuntas makna untung dan manfaat, apakah sebatas jasmani atau juga rohani, duniawi atau juga ukhrawi.

Kritik atas Korespondensionisme

Teori ini mendapat banyak kritik. Antara lain dua keritik sebagai berikut:

Kritik pertama:
Kekaburan makna kesesuaian (muthabaqah). Jika kesesuaian identik dengan kesamaan ketat dan sempurna (corresponden to) sebagaimana tafsiran Wiitgeinstein, maka pengetahuan assentual kita tentang “Kotak di sebelah kanan lingkaran” tidak benar, karena ia tidak sesuai dengan fakta yang tidak lebih dari dua fariabel, yaitu o     . Pada fakta ini tidak ada fariabel “di sebelah kanan”.

Jika kesesuian atau keharmonisan (al-muthabaqah) berarti kemiripan (corresponden with), sebagaimana klaim Alston, maka pada dasarnya tidak ada kesamaan di sini (serupa tapi tak sama). Lagi pula, sulit mengukur kemiripan antara pengetahuan dan faktanya (Problems & theories of Philosophy, K. Ajdukiewicz, hal. 36, terj parsi. M. Buzurgmehr).

Bantahan

Kritik pertama ini dibantah oleh para pendukunganya. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan adalah wujud abstrak/inmaterial. Karenanya, ia dan kesesuiannya dengan faktanya tidak bisa dipandang dengan perspektif empiris yang konotasinya one to one, atau dengan ukuran seperti; agak, hampir dll. Karenanya, adalah salah  jika kita memandang “sebelah kanan” sebagai fariabel faktual dan objektif  yang mandiri, atau mengukur tingkat kemiripan suatu pengetauahn dengan faktanya. Kesesuaian adalah penampakan dan penyingkapan sempurna pengetahuan akan fakta. Dengan kata, lain setiap entitas memiliki dua dimensi atau hakikat; wujud yang objektif dengan semua pengaruh-pengaruh objektifnya, seperti panas bagi api dan dingin bagi es, dan wujud subjektif yang tidak memiliki pengaruh-pengaruh real, selain pemahaman. Nah wujud kedua atau dimensi kedua dari wujud entitas api itulah, misalnya, yang hadir dalam layar beak kita, tanpa pengaruh objetifnya, yaitu panas, sehingga dirinya tidak ikut menjadi panas saat mengkonsepsikannya.

Kritik kedua
Teori Korespondensi mentah dalam mengklarifikasi kebenaran pengetahuan assentual matematik (methematic proposition), subjektif dan pengetahuan assentual tentang ketiadaan, sepeti ‘hantu  itu tiada’, yang semuanya tidak memiliki fakta real.

Dengan kata lain, pilar kedua dari teori ini tidak ada dalam proposisi-proposisi semacam itu (Philosophy Scientifique, Filician Challaye, hal. 161, terj. Parsi. Y. Mahdawi)

Bantahan
Fakta di sini mencakup segala yang ada di luar, seperti proposisi empirik, maupun di mental seperti; proposisi matematik dan subjektif. Fakta haruslah sesuai dengan konteks suatu pengetahuan. Meski Socrates tidak ada di luar, namun ia dalam kontekspengetahuan “Socrates meneguk cawan racun” ada dan berfakta. Makna fakta di atas dikenal oleh para filsuf muslim dengan istilah Nafsul Amr (Nihayatul Hikmah, hal. 15, Syarah Mandhumah, Mulla Hadi Sabzawari)

Kritik atas Koherensionisme
Teori ini, “nampaknya”, berhasil mendefinisikan kebenaran pengetahuan untuk sebuah sistem pemikiran, namun jika ada beberapa sistem pemikiran yang masing-masing memiliki keserasian di antara unit-unit pengetahuannya, seperti teori-teori geometrik Oglides, teori Lobatschewesky ( 1793-1856) dan teori Riemann (1826-1866) maka teoti ini gagal dalam menjelaskan apalagi menentukannya.

berdasarkan teori Koherensi, setiap pengetahuan kritis yang menjungkirbalikkan sebuah sistem seperti yang dialami oleh Immanuel Kant yang terjaga dari tidur lelapnya bersama mimpi dogmatisme akibat kritik skeptis Humem, mesti dianggap salah. Dampaknya, tidak ada alasan untuk berdiskusi

Kritik atas Relativisme
Apakah pengetahuan assentual (faktual) bersifat relatif ataukah absolut?

Pertanyan yang juga sangat penting ini sering dilontarkan dalam epistemologi. Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak realitas absolut dan meyakini adanya realitas yang relatif. Mereka adalah penganut relativisme. Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa esensi segala sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan waktu yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang sehingga boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara yang berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut mereka, bersifat relatif.

Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai dengan realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan masalah relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191, Commmitment to Truth, 25).

Apakah realitas mengalami proses evolusi dan dinamika? Bila sebuah proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau sesuai dengan realitas objektif, maka ia  (realitas yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan berevolusi sehingga menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?

Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin benar”.

Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.

Selain empat teori di atas, ada sejumlah upaya dari kalangan filosof kontemporer dalam menawarkan alternatif lain seperti teori Quine, teori Assertifve Redondancy; karya F.P. Ramsey (1852-1916) teori reformasi garapan P.F. Stawson, teori Semantik rumusan Alfred Tarski (1902-1983) dll.

Ada pula upaya mutakhir untuk mengkompromikan tiga teori pertama seperti yang dicoba oleh Brian Carr dalam An Encyclopedia of philosophy edisi G.H.R. Parkinson 1989. Ia beranggapan bahwa toeri Koherensi dapat diterapkan dalam bidang-bidang logika dan metematika sementara teori korespondensi berlaku dalam kajian-kajian empiris dan sains.

Sebagian orang menolak Relativisme karena, menurut mereka, merelatifkan semua pengetahuan meniscayakan penolakan terhahap setiap realitas, termasuk pengetahuan tentang kerelatifan semua pengetahuan, yang dilontarkan dan diyakini para pendukung relativisme.

Ada juga yang menolak Relativisme epistemologis ini karena, melatifkan pengetahuan berarti meyakini, paling tidak, sebuah pengetahuan,  yaitu bahwa hukum tentang relativitas itu mutlak.

Elemen ketiga
Elemen ketiga dalam pengetahuan assentual adalah ‘justifikasi’ (At-Tawjih). Justifikasi, menangkal tebakan atau ramalan yang mujur (lucky guess). Jadi, andaikan saya meramal atau menebak bahwa “Ali ada di balik dinding”, dan memang ternyata demikian, maka berarti ucapan ini memenuhi dua syarat; kepercayaan dan kebenaran, namun ia tidak memenuhi syarat ketiga. Karenanya, ia tidak bisa dianggap sebagai pengetahuan. Tiga elemen, kepercayaan, kebenaran dan justifikasi  inilah yang dijadikan sebagai definsi tradisional pengetahuan  assentual atau pengetahuan yang benar, bahkan   pengetahuan secara umum,  oleh Plato. tradisional. (Ma’refat Shenasi dini va Mu’aser, 81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130).

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!