Rabu, 13 Juni 2012


 Bag 04

Batas Pengetahuan hushuli assentual

Manusia secara naluriah didorong oleh rasa ingin tahu. Dengan bekal pengetahuan (hushuli, hushuli), sebagaimana telah dijelaskan  diatas, manusia berpeluang untuk menyingkap realitas di luar dirinya. Bahkan sebagian besar manusia ingin mengetahui segala sesuatu dan ingin memiliki pengetahuan yang mutlak. Mungkinkah itu? Apakah pengetahuan manusia terbatas ataukah tidak?


Jawabannya bisa kita temukan pada sebagian isi pembahasan  tentang skeptisisme lokal diatas, dengan berbagai versinya. Secara implikatif, mereka (kaum skeptis) mengakui keterbatasan pengetahuan manusia. Kesimpulan serupa seringkali diungkapkan oleh kaum urafa Islam, bahwa ada serangkaian hakikat yang tidak dapat disentuh oleh ketajaman akal, terlebih indera manusia. Para hukama islam menambahkan bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat  dan entitas wajibul wujud. (Jurnal Shadra no. 18, Tasawwur wa Tashdiq, M. T Fa’ali). Hingga kini, tidak ada seorangpun yang berani mengklaim sebaliknya.

Alat-alat pengetahuan hushuli assentual

Setelah memastikan bahwa manusia dapat mengenal realitas dan berpengetahuan, meski terbatas, dengan alat apakah manusia dapat mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual? Untuk mengetahui segala sesuatu, manusia memerlukan alat dan sarana tertentu untuk dapat melakukan dan menjalin hubungan dengan sesuatu yang ada diluar dirinya, yaitu indera, rasio dan emosi.

Berikut ini adalah tiga aliran besar dalam epistemologi yang memberikan tiga jawaban berbeda.

Empirisme

Ia berasal dari Yunani empiria, empeiros, dan dalam Latin experientia (pengalaman). Ia semula adalah sensasionalisme yang menganggap indera sebagai alat pengukur validitas, kemudian dikembangkan oleh sejumlah filsuf seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Stuart Mill, John Locke ((1632-1704), dan August Comte (1798-1857), menjadi positivisme.

Empirisme atau Sensasionalisme yang populer dikalangan filsuf Anglo Saxon,  beranggapan bahwa mental manusia bak lembaran putih (tabula rasa) yang bisa menerima berbagai gambar setelah indera berhubungan dengan objek-objek di luar. Benang merah Empirisme tergulung/terlilit di penggalan statemen latin Locke, “Nihil est in intellectu quad non prius fuerit in sensu” (Tidak ada sesuatupun di benak/mental yang sebelumnya tidak pernah ada pada indera) (az Bruno to Kant, Syarafuddin Khurasani hal.121).

Aliran-aliran dalam empirisme
Empirisme terbagi kepada tiga versi:
a.    Condillac (1715-1780), Positivisme dan Neo Pesitivisme yang menganggap indera eksoterik sebagai sumber sejati pengetahuan-pengetahuan konseptual.
b.    G. Barkeley (1685-1753) membatasi indera pada indera esoteric dan pengalaman-pengalaman batin.
c.     John Locke (1632-1703) dan David Hume memangdang indera dengan dua sisinya; esoteric dan eksoterik (Des Suorces de La Connaissance et de I’ignorance, R. K. Poper, terj. Parsi Abbas Bagiri, hal. 7)

Ada dua penafsiran tentang  proses kemunculan konsep-konsep universal;
  1. Bahwa konsep-konsep universal adalah konsep-konsep parsial yang sudah berubah akibat ulah akal.
  2. Bahwa Kemunculan konsep-konsep itu dimediasi  oleh konsep-konsep parsial. (1 & 2  Lihat  falsafatuna, Al-Manhaj Al-Jadid, nadzariyatul ma’rifah, dll.).

Implikasi perubahan konsep parsial menjadi konsep universal adalah hilangnya keadaaan sebelumnya, yaitu konsep parsial, sementara kita dapatkan ia (konsep parsial) tetap ada dengan kemuncualan konsep universal. Mediasi  konsep parsial bagi  kemunculan konsep universal hanya berlaku dan bias dinikmati oleh sebagian konsep universal preimer/esensial, sebagaimana dalam uraian berikut nanti.

Dasar-dasar Pemikiran Empirisme

Paham Empirisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf Inggris, John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685- 1753), dan David Hume (1711-1776). Mereka berusaha melacak setiap proposisi sampai pada hal-hal yang dapat dialami secara inderawi. Memang kelahiran empirisme dalam rangka menentang pendapat rasionalisme ayang didasarkan atas pengetahuan intuitif dan kepastian yang bersifat apriori, yaitu yang berkaitan dengan masalah bahwa barang sesuatu sungguh-sungguh ada dalam keadaan yang sesungguhnya yang meliputi kenyataan tertentu.

Paham empirisme tampaknya diilhami oleh filsafat Aristoteles (384-322 SM) yang mengemukakan pendapatnya bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya bentuk-bentuk yang berada di luar diri diserap oleh subjek yang meninggalkan bekas-bekas dalam kehidupan bathinnya. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indera. Pendapat yang demikian itu ditegaskan pula oleh Thomas Aquinas (1225-1274) salah seorang penganut di abad pertengahan yang mengemukakan bahwa "… tiada sesuatu yang dapat masuk ke dalam akal yang tidak dapat ditangkap oleh indera". Dari kedua pendapat itulah tampak bagaimana pengaruh peran indera dalam hubungannya dengan proses mengetahui. Pandangan yang demikian mempengaruhi pemikiran yang menolak kemampuan akal atau rasio seperti dikemukakan oleh Descartes. (Kamus Filsafat, 197-198)

Kritik atas Empirisme

Indera hanya menangkap realitas sebagai gambaran yang ditransfer ke dalam benak. Indera tidak dapat memastikan apakah gambaran itu nyata atau palsu, seperti jalan beraspal di bawah terik matahari yang ditangkap oleh indera sebagai genanagan air yang bergerak.

Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber tunggal bagi pengetahuan assentual berarti pengakuan terhadap hukum sebab akibat. Sedangkan hukum atau hubungan kausal tersebut tidak terinderakan. Artinya, tanpa meyakini adanya hubungan kausal antara indera dan gambaran yang ditangkapnya, kaum empiris tidak akan pernah memperoleh pengetahuan assentual.

Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber tunggal bagi pengetahuan assentual bersifat apriori dan tak berdasar atau berdasar pada indera itu sendiri.

Jika klaim mereka bahwa indera tidak berdasarkan rasio, maka sumbernya tentu indera itu sendiri atau bukan indera dan bukan rasio. Jika sumber indera adalah indera, maka ia akan meniumbulkan konseuensi irasional yang lazim disebut “tasalsul” atau suksesi. Jika indera tak bersumber dan tak berdasar, maka klaim kaum empiris pantas diabaikan, karena tak berdasar. Jika sumber indera adalah rasio, maka berarti mereka bukan lagi penganut empirisme dan bukan penganut materialisme.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kaum empiris juga menggunakan metode rasional, karena induksi, analogi dan silogisme merupakan elemen-elemen dalam metode inferensi rasional.

Emosionalisme

Ia adalah sebuah aliran dalam epistemologi yang mengutamakan hati dan perasaan sebagai alat penyingkap realitas. Para tokoh sufi muslim seperti Al-Ghazali atau tokoh mistik Eropa seperti Henri Bergson sangat mengandalkannya.

Emosionalisme atau moralisme atau mistikisme tidak hanya dianut oleh para filsuf muslim, namun ia telah berkembang di barat dan eropa khususnya. Henri Bergson (1805-1941) beranggapan bahwa pengetahuan assentual (yang sesuai dengan kenyataan objektif) adalah pengetahuan yang diperoleh dengan hati. Menurut filsuf perancis ini, akal bukanlah alat untuk menembus atau mengenal realitas, namun ia hanya menciptakan kontak praktis dengan realitas objektif. (Ususul-Falsafah, juz, 212).

Sebagian penganut emaosionalisme disebut dengan mistisisme. Istilah ini berasal dari kata musters dalam bahasa Latin (orang yang mencarei rahasia kenyataan). Ia berasal dari agama-agama misteri Yunani, yang pertama kali dipakai oleh Dionisius Areopagita, yaitu metode untuk mendekati Tuhan yang sama sekali tidak transenden. (Kamus Filsafat, 653). Sebagian juga menyebut emosionalisme dengan trasendentalisme meyakini keunggulan intuisi atau yang rohani atas yang empiris dan inderwi. (Kamus Filsafat, 1123).

Salah satu teori penganut emosionalisme mengatakan mengatakan bahwa pengetahuan mistik (Al-kasyf) hanya dapat diperoleh setelah jiwa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Substansinya utuh.
  2. Bersih dari kotoran (sumber-sumber keburukan)
  3. Berkonsentrasi ke alam abstrak
  4. Bebas dari fanatisme dan sikap ikut-ikutan
  5. Menyusun premis-premis yang tepat guna mencapai konklusi dengan urutan yang telah ditentukan dan berdasarkan syarat-syarat yang tela-h ditetapkan. (Nadhariyatul-ma’rifah, 180).

Para ahli irfan praktis menjelaskannya dengan cara yang lebih mudah. Disebutkan, ada tiga sumber keburukan yang menjadi kendala jiwa untuk memperoleh pengetahuan mistiik yang sering disebut dengan kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian).

Tiga sumber keburukan itu ialah Kezaliman. Secara kebahasaan, Adh-Dhulm (kezaliman) mempunyai yang arti sama dengan Adh-Dhalm (kegelapan). Secara etimologis, ia diartikan atau didefinisikan sebagai “tidak meletakkan sesuatu (material atau immaterial) pada tempatnya yang lazim”.

Kezaliman berdimensi dua; intelektual (konseptual, teoritis), dan aktual (praktis). Kezaliman konseptual (intelektual) adalah membenarkan sesuatu yang tidak benar, mengiayakan pernyataan yang keliru, dan sebagainya. Sedangkan kezaliman praktis adalah tidak melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan. Kezaliman praktis mempunyai dua dimensi; yaitu kezaliman terhadap diri sendiri (kezaliman praktis individual), dan kezaliman terhadap orang lain (kezaliman praktis sosial).

Sumber kedua adalah kekafiran. Secara kebahasaan, Al-Kufr berarti “menutupi”, namun dalam khazanah Islam, ia diartikan sebagai “menolak, menentang”.
Kekufuran, dilihat dari objek dan sasarannya, bisa dibagi menjadi dua; kekafiran positif (terpuji) dan kekafiran negatif (tercela).

Sumber keburukan ketiga adalah kefasikan. Kefasikan (Al-Fisq) didefinisikan sebagai “penyimpangan dari kebenaran dan kebaikan”. Karena itulah, para ahli irfan dan akhlaq memasukkan maksiat dalam kategori penyimpangan psikologis atau abnormalitas. (Mabail-Ma’rifah, Nadhariyatul-Ma’rifah 179-182).

Sebagian dari tokoh mistikisme Islam mencantumkan tiga syarat untuk memperoleh pengetahuan assentual yang disebut dengan Al-Haqiqah itu.

Sampai sekarang belum ditemukan kriteria-kriteria baku tentang “hati yang jernih”, sehingga tak mengherankan bila jumlah aliran dalam mistikisme lebih banyak dan saling bertentangan. (Al-Irfan Al-Islami, Al-Irfan, Mabanil-Ma’rifah dll).

Kritik atas Emosionalisme

Klaim kaum mistis bahwa hati adalah alat yang paling tapat untuk mengenal fakta dan realitas belum tentu salah. Namun, hati di luar wilayah bahasa, sehingga ia hanya dapat dialami dan dirasakan. Ia tidak dapat dirumuskan dan dideteksi ketepatan dan kekeliruannya.

Spritualitas atau gnostika sejati tidak akan pernah dapat diraih tanpa menyembah dan mentaati Allah. Untuk menyembah dan mentaaati Allah, ma’rifah atau pengetahuan akan Allah merupakan syarat mutlak. Pengengetahuan inilah yang memerlukan rasio. (Al-Manhaj Al-Jadid, 125).

Untuk mengidentifikasi bahwa kasyf seseorang sebagai benar, tak pelak akal dan norma agama diperlukan (Al-Manhaj Al-Jadid, ibid).

Rasionalisme

Yaitu aliran yang dianut para filsuf kontinental. Mereka menganggap bahwa asal usul pengetahuan konseptual, khususnya universalia, adalah akal. Akal dalam terminologi mereka adalah suatu daya perceptual/kognitif selain indera.

Konsep-konsep yang diperoleh sebelum kontak  inderawi dan empirik (a priori) berasal dari daya tersebut. Rene Descartes (1596-1650) menempatkan konsep-konsep seperti; Tuhan, satu, gerak dan konsep-konsep matematik ke dalam konsep-konsaep a priori yang bersifat kodrati (innate), yaitu produk kodrat akal (ratio)manusia. Sementara Immanuel Kant (1724-1804) meyakini adanya serangkaian konsep-konsep sejak awal penciptaan akal manusia, seperti dalam diagram 12 kategorinya.

Dalam pada itu, Laibniz (1646-1716) secara frontal menolak analogi mental manusia dengan tabula rasa. Ia mengedit dan mengurut alfabet benang merah Empirisme yang tergulung di penggalan latin locke itu, lalu menyambungnya dengan tulisan imbuhan  “nisi intellectus ipse” (kecuali akal itu sendiri) (az Bruno to Kant, S. Khurasani, hal.151, Al-Manhaj Al-Jadid, Falsafatuna, dll.)

Aliran-aliran dalam rasionalisme

Aliran ini telah berkembang dan terpecah ke dalam sub-sub aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme Descartes (1596-1650), rasionalisme Liebniz (1646-1716), rasionalisme Spinoza (1623-1677), rasionalisme-kritisisme Kant (724-1804), rasionalisme kritis Karl R. Popper, (bahwa pengetahuan ilmialah manapun bersifat hipotetis dan diterima sejauh belum dipersalahkan, rasionalisme Al-Farabi, rasionalisme Ibnu Sina yang dikenal dengan paripatetisme, rasionalisme Ibnu Rusyd, dan rasionalisme Mulla shadra.

Aliran yang mirip atau bahkan boleh sama dengan rasionalisme adalah intelektualisme. Namun, menurut sebagian penulis buku filsafat, intelektualisme menendakan keunggulan roh dan akal budi, tanpa sekaligus membatasinya hanya pada konsep-konsep dan pemikiran diskursif yang pantas bagi akal budi manusia.

Dalam filsafat kuno, intelektualisme diwakili oleh Elea dan kaum Platonis. Dalam filsafat modern, intelektualisme dilawankan dengan sensasionalisme yang timpang. Descartes dan Spinoza juga dianggap sebagai penganutnya.

Dasar Pemikiran Rasionalisme

Aksioma dasar yang dipakai untuk membangun rasionalisme diturunkan dari gagasan (ide) yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak mempelajarinya lewat pengalaman. (Yuyun Sumantri, 1978, Dasar-dasar filsafat, 8.2, Kamus Filsafat, 931, ibid 358)

Berpangkal tolak pada aksioma dasar itu, sistem berpikir yang dipakai adalah deduksi, yaitu berpikir dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. (ibid).

Rasio atau akal secara kebahasaan (Arab) berasal dari kata aqala yang berarti “mengikat” agar tidak lepas kendali. Lawannya adalah “kebodohan” (Al-jahl), yaitu tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan, karena tidak tahu atau karena didominasi oleh kepentingan. Ia juga lawan dari “kegilaan” (Al-Junun). (Al-Manthiq Al-Islami, 144).

Kritik atas Rasionalisme

Sekedar merujuk de dalam mental, kita tidak menemukan konsep-konsep semacam itu sejak awal.

Akan terbuktikan bahwa konsep-konsaep yang mereka sebut sebagai produk kodrat akal berpangkal pada sumber tertentu. Mereka akan menghadapi kebuntuan ketika beranjak ke dalam konteks penerapan konsep-konsaep itu pada faktanya. Sebuah konsep inasial (produk akal) bagaimana berkonotasi dan sesuai dengan fakta objektif?

Descartes dan Spinoza (1632-1766) berusaha lari dari kritik di atas, dengan berteduh dibawah dinding rapuh teologi. Descartes mengatakan bahwa Tuhan maha bijaksana. Dia bukan penipu, maka Dia tidak akan membekali akal dan mental kita dengan konsep-konsep dusta yang tak berfakta. Oleh karena itu, lanjut Spinoza, konsep-konsep itu pasti dan selalu benar. Kesalahan hanya akan terjadi akibat kebebasan manusia. (Principia philosophiae, rene Descartes hal. 60 terj. Parsi Az Bruno ta Kant, dll)

Dinding teologi ini rapuh, karena dibangun di atas fondasi epistemologis  yang tidak teraduk matang. Sekali lagi, bagaimana konsep Tuhan, bijaksana, tipu, maha dan selainnya berfakta atau sesuai dengan fakta? Apalagi seperti bijaksana dan tipu bukan berupa konsep-konsep inasual.

3.Teori Rekoleksi
Plato menyatakan bahwa konsep-konsep parsial (pistis-eikasia) diperoleh lewaat indera. Pengetaaahuan ini tidaak lebih daari dugaan (doxa). Pengetahuann sejati (episteme) adaalah universalia yang disadari dengan pengingatan kembali, yaitu dengan mempersepsi objek-objek di luar, karena jiwa pada dasaarnya sudaah mengetahuinya di alam transcendental (idea) (A History of Philosophy, F. Copleston J.1 pasal 19 terj. parsi, Mujtabawi, Falsafatuna 52-61, dll).

4.Para filsuf muslim
Berdasarkan uraian-uraian konsep parsial daan universal, mereka menganalisa bahwa konsep universal logis diperoleh berkat pengamatan akal atas konsep-konsep selainnya. Sedaangkan universal esensial muncul berkat aksi akal menyoroti perbedaaan-perbedaaan di antara konsep-konsep parsial imajinatif, lalu mengabstaksikan dan menyisihkan perbedaaan-perbedaan itu, hingga menemukan kesatuan yang berlaku pada setiap konsep-konsep imajinatif tersebut.

Sementara konsep universal filosofis diperoleh lewat perbandingan dan pengamatan relasi-relasi di antara konsep-konsep parsial imajinatif. Adapun konsep imajinatif itu sendiri nmuncul dari pengingatan mental akan konsep-konsep sensual. Dan yang terakhir ini, pada gilirannya, muncul lewat indera eksoterik atau esoterik (pengetahuan hudhuri).

Dengan demikian, mereka mempertegas aphorisma abadi Arestoteles, “Man faqada hissan faqad faqada ilman”.(Rasail Falsafi, Allamah Thaba’thabai, hal.  , Hikmatul Isyraq, Syuhrawardi, hal 278, dll)

Persepsi mental melewati beberapa tahap sebagai berikut:
Pertama adalah tahap persepsi inderawi. Yaitu hubungan langsung indera dengan suatu objek (eksternal atau internal). Kedua adalah tahap persepsi  imajinatif. Apabila   hubungan indera itu terputus, saat kita memejamkan mata, misalnya,  maka seketika konsep itu berada dalam  daya persepsi lain, yaitu imajinasi atau intuisi jika dari indera esoterik.

Dibandingkan dengan tahapan pertama, konsep imajinatif daan intuitif tidak lagi perlu hadir objeknya langsung daalam skala jangkauan indera, kendati ketiganya sama-sama berupa parsial dan tidak bebas dari sifat-sifat khusus fisikal objeknya.

Ketiga adalah tahap  persepsi rasional. Di sini mental mengabstraksi dan menyapu bersih cirri-ciri khusus dari konsep imajinatif dan intuitif, hingga menemukan kesatuan di antaranya. Dengan demkian, mental mendapatkan konsep universal. Pada tahapan ini, tidak adaa lagi batang hidung konsep parsial.

Berdasarkan tahapan ini pula, terbukti adanya daya persepsi selain indera, imajinasi dan intuisi; daya yang berurusan dengan universalia. Mereka menyebutnya dengan akal.  (Idrak e Hessi, M.T. Fa’ali, Ma’refat  Shenasi, M. Hosein Zadeh, Amuzesh e Aqa’id, Mohsen Gharawiyan, bagian epistemology, falsafatuna, dll).

Mazhab Qom tidak membedakan antara persepsi sensual dan persepsi imajinatif, karena menurutnya, ada dan tiadanya objek di sekitar indera tidak berdampak terhadap perbedaan apapun pada dua konsep tersebut. Oleh karena itu, beliau meringkas persepsi mental pada dua tahap; tahap inderawi plus imajinatif dan tahapan rasional (Al-asfar juz3, hal. 362 komentar Allamah).
`
Uraian di atas dikenal dengan Teori Tajrid wa Taqsyir (abstraksi) yang umum diterima oleh kalangan filsuf muslim sejak Arestoteles melontarkannya. Teori ini juga nampak jelas dalam analisa John Locke (Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/376) hingga lahirlah Hikmah Muta’aliyah, inovasi Sadrul Mutaallihin dalam Enseklopedia falsafi; Al asfar Al arba’ah.  Di dalamnya beliau merumuskan Teori Ta’ali (transendentalia, transendensi); teori yang menyelaraskan dan  mengakselerasikan tahapan-tahapan persepsi dengan strata-strata eksistensi jiwa (nafs), yaitu strata pengindera, strata pengingat dan strata penalar. Setiap derajat jiwa menciptakan konsep masing-masing. Oleh karena itu, relasi  antara konsep dan jiwa  berupa penciptaan/emanasi (shuduri atau faydh), berbeda dengan teori tajrid wa taqsyir yang menekankan pengendapan (hululi/panteistik) dan jiwa bersifat pasif.

Dalam ungkapan lain, saat organ indera berhubungan dengan suatu objek, jiwa pengindera menciptakan konsep yang sesuai denga objek itu. Lalu jiwa pada derajat yang lebih tinggi, yaitu pengingat, menciptakan konsep yang sesuai dengan konsep ciptaan/emanasi jiwa pengindera. Pada derajat yang paling tinggi (jiwa penalar) menciptakan konsep yang sesuai konsep ciptaan/emanasi derajat pengingat.

Teori ini dilandasi oleh beberapa premis (presupposition) filosofis seperti; Ashalatul Wujud, Jasmaniyatul Huduht Ruhaniyatul Baqa’, Nafs fi Wahdatiha Kulul Quwa, harakah Jauhari daan tiga alam objektif. (Idrak Hissi, Fa’ali, pasal 3, Al-asfar 3, hal. 360,435, Syash hal wa Arae Mulla Sadra, J. Asytiyani hal. 123-164, dll)

Teori At-tajrid wa At-taqsyir (abstraksi) dan teori At-ta’ali (transensensi), kendati ada perbedaan, keduanya sepakat bahwa tahapan-tahapan persepsi bersifat vertical, berbeda dengan Fakhrurrazi yang menjabarkannya secara horizontal. (Idrak e  Hisssi, T.Faali, pasal 3)

Proses vertikal dalam tahapan-tahapan persepsi dimulai dari partikularia  (yang parsial) ke universalia (yang general). Sebaliknya, dalam induksi/sillogisme tahapan berfikir bergerak dari universal ke parsial.

Adanya sekumpulan konsep yang diperoleh tanpa andil indera, sebagaimana klaim Empirisme. Namun, konsep itu juga bukan keniscayaan kodrat akal manusia, sebagaimana klaim Rasionalisme, atau pengingatan kembali sebagaimana teori Rekolaksi Platonian.

Tiga tahapan versi teori Tajrid wa Taqsyir hanya  berlaku pada universalia esensial. Sedangkan universal filosofis, kendati melalui dua tahapan pertama, namun pada tahapan ketiga; persepsi  rasiaonal, akal melakukan perbandingan terhadap  konsep imajinatif atau sensual, lalu mencermati nisbah/relasi di antara keduanya dari aspek atau perspektif terentu, kemudian mengabstarksikan ciri-ciri khusus keduanya. Misalnya, asumsikan  “berfikir” dan “jiwa pemikir” sebagai dua konsep intuitif yang diperoleh dari pengetahuan hudhuri, seraya membandingkan dan mencermati nisbah atau relasi antara keduanya dari aspek kejadiannya, maka kita akan kita mendemukan  ketergantungan realitas berfikir pada wujud sang pemikir.

Ini berarti   kita temukan tiga konsep baru; yang bergantung (berfikir), yang digantungi/tempat bergantung (sang pemikir) dan relasi unik antar keduanya, yaitu ketergantungan eksistensial/real.

Lalu, kita mengabstraksikan dan menyisihkan fariabel-fariabel pembeda/ciri-ciri khusus yang ada pada tiga konsep tersebut, seperti berfikir dan sang pemikir. Maka, yang tesisa adalah yang bergantung yang biasa kita sebut dengan akibat, yang digantungi; yang biasa kita sebut dengan sebab, dan ketergantungan yang dikenal dengan kasalitas. Dengan demikian, kita telah mendapatkan tiga konsep baru, sebab, akibat dan kausalitas yang biasa berlaku  pada selain “berfikir” dan “pemikir” yang memiliki relasi  demikian.

Dari aspek dan perspektif lain, kita biasa menemukan konsep universal filosofis lain dari berfikir dan pemikir, seperti konsep awal,  akhir, niscaya, mungkin, dan sebagainya (Nihayatul Hikmah, Thabathabai hal. 257, Ma’qul e Tsani, F.Esykevari hal. 226-230).

Sedangkan ‘universal logis’ tidak bisa diperoleh hanya dengan tiga tahapan persepsi itu. Mental mesti beranjak dari tahapan ketiga dengan mengamati konsep-konsep yang ada pada semua tahapan sebelumnya; parsial maupun universal, lalu muncullah konsep-konsep universal yang menjelaskan sifat-sifat konsep-konsep di tahapan-tahapan tersebut, seperti pengamatan mental terhadap  konsep manusia (universal esensial) lalu mendapatkannya bisa berlaku atas  Budi, Agus dan Luluk dan lainnya.  Keberlakuan ini adalah suatu sifat untuk konsep manusia yang disebut dengan istilah universal.(Ma’qul Tsani, F. esykevari, hal. 204).

Kini sampailah kita pada tahap   keempat; yaitu tahap  produksi  konsep-konsep universal logis.

Syarat-syarat Pengetahuan hushuli Assentual

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak meraih pengetahuan assentual adalah sebagai berikut;
1.    Talenta (Bakat). Yaitu sebuah potensi inheren dalam diri setiap orang agar cara yang ditempuhnya jitu secara intelektual dan aktual. Evaluasi biasanya dapat menyingkap dan mengukur kebaradaan potensi pada seseorang untuk melakukan sebuah pencarian atau penelitian.
2.    Intelektualitas. Yaitu kemampuan untuk berfikir secara ilmiah. Syarat ini dapat dipenuhi dengan berlatih melakukan kritik ilmiah. Evaluasi juga dapat mengukur apakah seseorang memiliki karakter dan mentalitas ilmiah.
3.    Wawasan ilmiah. Yaitu penguasaan ilmiah terhadap subjek yang hendak dipelajari, atau, minimal, minat dan perhatian secara memadai terhadap tema yang akan dibahas.
4.    Kejujuran dalam Mengutip. Yaitu sikap moral yang dapat mengontrol diri agar tidak menambah atau mengurangi, mendistorsi, dan mereduksi keterangan atau pendapat yang akan dikemukakan berkenaan dengan tema yang akan dibahas.
5.    Transparansi dan Keterusterangan. Yaitu bersikap terbuka dalam mengutara-kan pendapat, karena peneliti adalah pencari kebenaran.
6.    Objektivitas. Yaitu tidak menyisipkan kepentingan atau pertimbangan individual dan subjektif dalam mengutarakan pendapat, namun semata-mata karena substansi realnya.
7.    Kejelasan. Yaitu bahwa peneliti dan pencari kebenaran harus mempunyai tujuan yang jelas, langkah-langkah yang jelas, dan kesimpulan-kesimpulan yang signifikan.
8.    Metodologi (Sistematika). Yaitu, bahwa pencari kebenaran atau peneliti hendaknya berpegang pada sebuah metode ilmiah dalam melakukan penelitian atau pencarian.
9.    Moralitas. Yaitu, bahwa setiap peneliti dan pencari kebenaran hendaknya menyandang kesabaran, ketekunan atau ketelatenan, penghormatan terhadap pendapat orang lain, baik benar maupun salah, sederhana maupun berbobot, rendah hati dan tidak pongah atau sok pintar. (Ushulul-Bahts, 341-343, Kasyfudh-Dhunun, 1/35-36).

Peringkat-peringkat pengetahuan hushuli assentual

Pengetahuan husuli dapat dibagi, berdasarkan entensitas kulaitasnya, menjadi tiga:
  1. Pengetahuan hushuli assentual yang diragukan.
  2. Pengetahuan hushuli assentual yang diduga.
  3. Pengetahuan hushuli assentual yang dipastikan atau diyakini.

Sifat-sifat pengetahuan hushuli assentual

Ada beberapa pertanyaan penting berkenaan dengan pengetahuan asentual atau realitas secara umum, yaitu sebagai berikut:

  1. Pengetahaun assentual permanen atau temporal?
Pertanyaan yang sangat penting ini telah mengundang bermacam jawaban. Para filsuf modern melancarkan kritik tajam terhadap penganut logika klasik karena alasan ini. Para filsuf modern yang telah bersepakat untuk meyakini adanya perubahan dalam realitas objektif dan material, menganggap realitas sebagai sesuatu yang dinamis dan temporal, seperti realitas historis yang telah berlalu, realitas matematik yang sejak semula tidak memiliki realitas objektif, rallitas psikis yang senantiasa berubah-ubah.

Sebenarnya realitas itu bersifat permanen sekaligus temporal. Bahwa Socrates adalah murid Plato pada abad keempat SM adalah realitas historis yang telah berlalu, namun ke-muridan- Aristo bagi Plato adalah fakta yang permanen.

  1. Pengetahuan assentual absolut atau relatif?
Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak realitas absolut dan meyakini adanya realitas yang relatif. Mereka adalah penganut relativisme.

Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa esensi segala sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan waktu yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang sehingga boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara yang berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut mereka, bersifat relatif.

Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai dengan realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan masalah relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191).

  1. Pengetahuan assentual dinamis atau statis?
Bila sebuah proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau sesuai dengan realitas objektif, maka ia  (realitas yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan berevolusi sehingga menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?

Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin benar”.

Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.

Cara Memperoleh Pengetahuan hushuli assentual
Bagaimana cara membedakan antara pengetahuan assentual (faktual, Al-Ma’rifah Al-Yaqiniyah, At-Tashdiqiyah) dan pengetahuan non assentual (tidak faktual, Al-Ma’rifah Al-Kadzibah)?

Rasionalisme telah menawarkan kiat menghindari kesalahan berfikir dan pengetahuan invalid,  yaitu logika. Aristoteles telah berjasa bagi umat manusia dengan membuat sistematika berfikir, yang lazim disebut dengan logika klasik atau logika aristotelian. Pada masa-masa selanjutnya, sejumlah filsuf mengkritik logika klasik dan memperkenalkan logika modern, seperti logika modern Descates (Cartesian), logika Hegelian (Dilalektika), dan logika Kantian (Kritisisme). Namun, bila dikaji lebih dalam, mereka sebenarnya tidak membuat sistematika yang baru. (Ususul-Falsafah, juz, 171).

Manfaat Pengetahuan hushuli assentual

Dengan bekal pengetahuan rehudhuri assentual, akal dapat memainkan lima peran sebagai berikut:
    • Menghadapi problema (yang belum diketahui).
    • Mengenali jenis (macam) problema tersebut
    • Berpindah dari problema tersebut ke sebagian data pengetahuan yang telah tersimpan dalam memorinya.
    • Bergerak di antara data pengetahuan tersebut untuk diperiksa, dan memadukan antara data tersebut dengan problema yang sesuai dengannya guna menyelesaikannya.
    • Berpindah dari data yang telah dipadukannya dengan kesimpulan yang diharapkan. (Ushulul-Bahts)

Elemen-elemen Pengetahuan hushuli Assentual

Pengetahuan assentual terdiri dari empat pilar:
  1. Subjek
  2. Predikat
  3. Nisbah (kopula) antara subjek dan predikat, seperti adalah, yaitu, ialah, dll.
  4. Ketetapan (Penetapan).

Pada dasarnya, substansi assentual terletak pada pilar ke empat. Tanpa itu, ia kembali berupa konseptual, seperti pada contoh keadilan Ali (Ma’rifat Shenasi, H. Ibrahimiyyan, hal. 95, Ma’rifat Syenassyi, M. Hosein Zadeh, hal. , Al-Manhaj Al-Jadid, hal 1/186).

Dua pengetahuan hushuli assentual

Sebagaimana pengetahuan (hushuli) konseptual, pengetahuan (hushuli) assentual, berdasarkan muatan proposisinya, terbagi dua:
  1. Pengetahuan assentual ekstemporal (badihi, aksiomatis), yaitu pengetahuan assentual yang diperoleh tanpa pembuktian
  2. Pengetahuan assentual non ekstemporal (nazhari), yaitu pengetahuan assentual yang diperoleh dengan pembuktian/pengetahuan asentual lainnya.

Selain dapat dibagi menjadi konseptual (tashawwuri) dan assentual (tashdiqi),  pengetahuan hushuli juga dapat dibagi menjadi badihi dan nadhari. Masing-masing bagian juga terbagi ke dalam beberapa bagian, berdasarkan asas pembagian yang berbeda-beda.
Pengetahuan hushuli dapat dibagi berdasarkan butuh dan tidaknya pada bukti, terbagi dua; 
1.   Pengetahuan hushuli ekstemporal konseptual atau apriori konseptual  (Al-Ma’rifah Al-Badihiyah Al-tashawwuriyah). Yaitu pernyataan-pernyataan (premis-premis) yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti pernyataan “semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti tidak bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat, setiap manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas. Sebagian mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.   Pengetahuan hushuli non-ekstemporal atau aposteriori konseptual (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah At-tashawwuriyah). Yaitu pernyataan (premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan pernyataan (premis) ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya, seperti “alam bermula dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan karena didasarkan pada dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia tersusun” dan “semua yang tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan sebagai konsep yang perlu didefinisikan.


0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!