Rabu, 13 Juni 2012


 Bag 05
PENGETAHUAN HUSHULI EKSTEMPORAL
Dua macam Pengetahuan hushuli ekstemporal
Pengetahuan hushuli ekstemporal (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah Al-Badihiyah), baik konseptual maupun assentual, dilihat dari aspek kualitas isinya terbagi dua;
  1. Pengetahuan ekstemporal prima (Al-Badihiyah Al-Awwaliyah).
  2. Pengetahuan ekstemporal sekunda (Al-badihiyah Al-tasnawiyah)

Pengetahuan hushuli ekstemporal prima
Pengetahuan ekstemporal primer adalah bahan baku “pembuktian langsung”, atau sebuah atau beberapa pernyataan pasti benar yang menjadi cikal bakal dan dasar bagi setiap pernyataan ekstemporal sekunder (kedua) dan setiap pernyataan premis non-ekstemporal.

Pernyataan (premis) ekstemporal primer meliputi dua hukum, hukum non kontadiksi dan hukum kausalitas.

Sedangkan pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda meliputi banyak pengetahuan yang telah dipastikan validitasnya berdasarkan pembuktian yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal prima.

Hukum Non-kotradiksi

Yaitu pengetahuan atau pernyataan bahwa “dua hal yang berkontradiksi   tidak bertemu”, yang lazim disebut “hukum kontradiksi” atau "hukum non kontradiksi" (At-Tanaqudh),

Hukum ini merupakan  postulat aksiomatis yang disepakati oleh setiap manusia, secara sadar dan tidak.

Untuk memahaminya, kita perlu menyoroti pengertian “kontradiksi” dan pengertian “bertemu” yang terkandung dalam hukum tersebut. Setelah kita mengkaji wacana dialektika secara kritis.

Definisi “Kontradiksi”

Ia adalah pertentangan mutual antara sesuatu yang afirmatif dan negatif.
Marx dan para pengikutnya menolak hukum non kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan entitas terjadi kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena ternyata yang dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya potensia dan aktus dalam setiap entitas.

Definisi “bertemu”

Ada sembilan kesatuan (al-wahdah, unitas) yang seluruhnya merupakan syarat dalam paradoks kontradiksi, yaitu sebagai berikut:
  1. Unitas subjek
  2. Unitas predikat
  3. Unitas tempat
  4. Unitas waktu
  5. Unitas relasi
  6. Unitas potensia dan aktus
  7. Unitas ‘seluruh’ dan ‘sebagian’
  8. Unitas kondisi (syarat)
  9. Unitas predikasi (penyandangan, Al-haml), yang  merupakan tambahan dari  Mulla Shadra. (Muhadharat fil-Aqidah, 120, dll).

Masalah kontradiksi atau inversi  dan sarat-syaratnya akan dibahas secara rinci dalam logika.

Hukum Sebab-akibat

Yaitu pernyataan “setiap yang mungkin pasti membutuhkan sebab”, yang lazim disebut hukum kausalitas (Qanun Al-Illiyah).

Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan ekstemporal kedua (Al-badihiyat Al-tsanawiyah) adalah pengetahuan-pengetahuan gamblang yang lahir dari pengetahuan-pengetahuan ekstemporal primer, seperti pengetahuan bahwa “angka 1 lebih kecil dari angka 2.

Lima Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunder terbagi menjadi lima;
  1. Pengetahuan ekstemporal sekunda sensual (Al-musyahadat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir atau batin, seperti penilaian (kesimpulan) bahwa matahari bersinar, api panas dan sebagainya, yang dipastikan oleh akal dengan bantuan indera lahir, pengetahuan kita tentang nyeri dan lapar yang ditangkap oleh akal dengan perantara indera batin.
  2. Pengetahuan ekstemporal sekunda eksperimental (At-Tajribiyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir yang dilakukan berulang kali.
  3. Pengetahuan ekstemporal sekunda popular (Al-Mutawatirat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang bersemayam dalam benak secara kuat sehingga tidak mungkin akan diusik oleh setitikpun keraguan terhadap isinya karena diyakini oleh banyak orang, sehingga sulit dipercaya bahwa mereka bersepakat untuk berdusta, seperti pengetahuan tentang adanya sebuah kota bernama Isfahan di Iran.
  4. Pengetahuan ekstemporal sekunda inspiratif (Al-Hadsiyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara insting, seperti pengetahuan kita bahwa cahaya bulan diperoleh dari matahari.
  5. Pengetahuan ekstemporal sekunda intuitif (Al-Fithriyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara premis itu sendiri, seperti pengetahuan bahwa dua adalah seperlima dari sepuluh. (Nadhariyatul-ma’rifah 40-42, Hasyiyah tahdzibul-Manthiq, hal. 111, Al-jauhar An-nadhith, hal. 200-202).

Disebutkan bahwa sebagian muhaqqiq tidak memasukkan pengetahuan-pengetahuan badihi tsanawi (ekstemporal sekunder) diatas sebagai ekstemporal. Kaum rasionalis menganggap seluruh premis empiris bergantung pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal primer. Karena itulah, pengetahuan ekstemporal sejati hanyalah yang primer atau yang biasa disebut dengan Al-badihiyat Al-awwaliyat, Usus Al-Falsafah, Thababa’i dan Muthahhari, 126).

Dua Penafsiran tentang “Badihi”

Para filsuf dan ahli logika memaknakan “tanpa pembuktian” yang terdapat diakhir definisi pengetahuan badihi dengan dua pengertian:
  1. ‘Tanpa pembuktian’ ialah tanpa “perlu” pembuktian (Al mantiq, M. R. Muzhaffar, hal. 16, Nihayatul Hikmah, harhalatul aqil wal Ma’qul, dll)
  2. ‘Tanpa pembuktian’ ialah “tidak mungkin” dibuktikan.  Dengan demikian, jika  pengetahuan assentual badihi hendak dibuktikan (dengan pengetahuan assentual lainnya) niscaya berakhir pada dua implikasi absurd; sirklus dan tasalsul (suksesi). Oleh karena itu, pengetahuan badihi mustahil dibuktikan.

Dasar-dasar klaim ekstemporalitas

Teori ‘ekstemporalitas’ (Nazhariyah al-badahah) berdiri di atas beberapa fondasi sebagai berikut:
  1. Teori ini membagi rangakaian pengetahuan-pengetahuan manusia menjadi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan badihi (ekstemporal, aprior), sedangkan bagian kedua adalah pengetahuan nazhari (non ekstemporal, aposterior).
  2. Pengetahuan-pengetahuan badihi terbagi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan ekstemporal primer (Al-badihiyat al-awwaliyah). Bagian kedua adalah pengetahuan ekstemporal sekunder yang terbagi lima atau enam. Pengetahuan badihi mencakup pengetahuan subjektif dan objektif.
  3. Pengetahuan badihi tidak mengalami kekeliruan. Seandainya pengetahuan badihi bisa salah, padahal ia sumber semua pengetahuan manusia, maka kebenaran semua pengetahuan manusia tidak bisa dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan manusia bermacam dua; pengetahuan yang bisa keliru, yaitu pengetahuan aposterior (Al-kasbiyat) dan pengetahuan yang tidak bisa keliru, yaitu pengetahuan aprior (Al-badihiyat)(Ulum e Payeh, 205).

Ciri-ciri Pengetahuan ekstemporal

Pengetahuan badihi dapat dikenali beradasarkan ciri-ciri khasnya.
  1. Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak meleset atau keliru.
  2. Pengetahuan-pengetahuan badihi secara kuantitatif sedikit, namun memiliki urgensi sangat besar.
  3. Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak memelukan justifikasi dan pembenaran, bahkan ia merupakan bahan dan alat justifikasi bagi pengetahuan-pengetahuan manusia yang aposterior.(Ulum e Payeh, 209).

PENGETAHUAN HUSHULI NON EKSTEMPORAL
Pengetahuan hushuli non ekstemporal adalah pengetahuan yang validitasnya membutuhkan justifikasi dan pembuktian, seperti ‘kurang minum dapat mengggangu ginjal’.

Dua pengetahuan hushuli non ekstemporal
Pengetahuan hushuli non ekstemporal, dapat pula dibagi berdasarkan aspek bebas dan tidak besanya dari nilai kebenaran, dapat diabagi dua;
1.       Pengetahuan hushuli non esktemporal assentual, seperti pengetahuan seorang ahli metalurgi bahwa "logam akan memuai jika dipanaskan".
2.       Pengetahuan hushuli non ekstemporal konseptual, seperti premis ‘ada seseorang berkepala lima di Nikaragua’

Dua pengetahuan hushuli non ekstemporal konseptual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal konseptual (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashawwuriyah) terbagi dua;
  1. Terma (Al-Had) sempurna dan tidak sempurna
  2. Forma (Ar-Rasm) sempurna dan tidak sempurna.

Dua pengetahuan hushuli non ekstemporal assentual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal assentual (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashdiqiyah) terbagi tiga;
1.     Pengetahuan hushuli non ekstemporal-assentual deduktif (At-Tashdiqiyah Al-Qiyasiyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis universal (general) ke premis parsial (personal), sebagaimana akan diterangkan.
2.     Pengetahuan non ekstemporal-assentual induktif (At-Tashdiqiyah Al-Istiqra’iyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis parsial (personal) ke premis universal (general).

Logika modern, sebagaimana dicetuskan oleh Stuart Mill, juga dilengkapi dengan “lima cara” yang merupakan tata cara melakukan induksi.

Induksi bisa menjadi dasar yang valid, terlepas dari deduksi, sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad Baqir Shadr. (Mudzakkiratul-Manthiq, Al-Usus Al-Manthiqiyyah lil-Istiqra, 17-23).

  1. Pengetahuan non ekstemporal-assentual analogis (At-Tashdiqiyah At-Tamtsiliyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis parsial ke premis parsial.

2. Kontroversi seputar ekstemporal dan non ekstemporal  Yaitu Para filsuf dan ahli logika berselisih pendapat dalam melacak kriteria atau norma aksiomatika suatu konsep dan membedakannya dari konsep spekulatif.


Pendapat Descartes

Perceptio clara et distincta (jelas dan berbeda) adalah upaya Descartes dalam mengakhiri pelacakan di atas. Ia memandang pengetahuan konseptual pada tiga macam:
  1. Konsep rasional (innate) yang lahir dari kodrat akal, seperti konsep Tuhan, satu, gerak, dll.
  2. Konsep sensual (adventitae) yang muncul dari hubungan indera dengan entitas di luar.
  3. Konsep fiksial imajinatif (factitae) yang muncul berkat daya khayal mental, seperti Centaur (makhluk fiktif dalam legenda Yunani kuno, sama dengan buraq  dalam sastra muslimin).

Descartes menilai bahwa norma di atas ditemukan pada konsep-konsep macam pertama, sedangkan  dua macam konsep lainnya; sensual dan fiksial, tidak jelas dan tidak berbeda/istimewa, karena konsep fiksial tidak memiliki fakta objektif, sementara  konsep sensual tidak pasti sesuai dengan faktanya. (Ma’rifat e Shenasyi, M. Hosein Zadeh, hal. 33, Ma’qul e Stani, Fanai’ Esykevari, hal. 142, dll)

Kritik atas Descartes

Norma itu sendiri tidak jelas; apakah pengertian dan batasan  jelas dan berbeda dengan tidak jelas dan tidak berbeda. Kritik-kritik atas Rasionalisme  dan konsep-konsep innate yang tesebut sebelumnya memberangus norma ini secara prinsipal.

Pendapat Ibnu Sina

Ia mengatakan bahwa konsep-konsep seperti ada, sesuatu dan satu tidak bisa diperjelas dan didefinisikan oleh konsep apapun. Konsep-konsep itu jelas dengan sendirinya, karena mutlak dan melipet segala sesuatu. Teori ini dikenal dengan Al-a’ammiyah atau holitas. (Asy-syifa’ fil- Ilahiyyat, Ibnu Sina hal. 29, Ilmu Kulli Mahdi Haeri Yazdi, hal. 18, dll).

Pendapat M.T Misbah Yazdi

Ayatullah M. T. Misbah Yazdi dan filsuf kontemporer lainnya serta A.C. Ewing berpendapat bahwa konsep yang diperoleh melalui  persepsi langsung  (hudhuri) adalah aksiomatis. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan   ‘prsepsi langsung’ itu.

Ayatullah Misbah Yazdi mengidentikannya dengan pengetahuan hudhuri, sedangkan Ewing memandangnya lebih luas, hingga mencakup pengetahuan hushuli sensual (sense data), sebagaimana yang dianut oleh Persepsionisme, seperti Thomas Reid (1710-1796), octave Hamelin (1856-1907), Victor Cousin (1792-1867), Arthur Schopenhauer (1788-1860), Herbert Spencer (1820-1903) dan Henri Bergson (1859-1941) (Manhaj jaded, Foundamental questions of fhilosophy, Ewing hal. 97,107 terj. parsi S. Yusuf Stani, Vicabulaire Technique et Critique de La philaosophie, Andre Lalande, hal.564, terj. parsi Gulam ridha Wastiq, dll).

Pendapat Mutahhari

Simplisitas (Basathah) adalah pandangan mutakhir yang diusulkan Syahid M. Muthahhari (1338 HQ-1358HS) dalam beberapa diskursus falsafinya.  Beliau menjelaskan bahwa pwndefinisian suatu konsep adalah penguraiannya kepada unsure kesamaan (genus) dan unsure Keistimewaan (diferentia). Jika suatu konsep tidak memiliki unsure, dengan kata lain; sederhana (simple) maka ia tidak bisa didefinisikan dan berhak menyandang gelar badihi (Syarah Al-Mandhumah, M. Muthahhari, terj. Arab. M. Wahbi  1/26).Descartes di sebagian statemennya dalam Principia Philosophiae mendukung norma ini.

Pendapat Jawadi Amuli dan Mehdi Haeri Yazdi

Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Mahdi Haeri Yazdi (1923-1998) Mengembalikan seluruh konsep-konsep;badihi dan nadharinya, kepada satu induk konsep, yaitu konsep ada (wujud). Menurut mereka, puncak konsep-konsep badihi adalah konsep ada. M. Haeri Yazdi berargumen bahwa definisi logis apapun menggunakan genus, dan ia (genus) pada akhirnya didefinisikan jauhar (substansi) atau aradh (aksiden), sedangkan keduanya didefinisikan oleh konsep ada; substansi adalah wujud esensi yang tidak pada suatu objek, dan   aksiden adalah wujud esensi yang ada pada suatu objek.

Dengan demikian, bangunan pengetahuan konseptual secara analogis serupa dengan hirarki realitas. Di sini, kedudukan konsep  sejajar dengan entitas Wajibul Wujud. Ia jelas dengan sendirinya, sementara Wajibul Wujud ada dengan sendirinya (Rahiq Makhtum, Jawadi Amuli, Ilmu Kulli, M. Haeri . Yazdi, Ilmu Hudhuri edisi Parsi, F. Esykevari, dll)

Pendapat Al-Fakhrul-Razi

Fakhrurrazi, Imamul Musyakkikin, meyakini bahwa semua pengetahuan konseptual adalah badihi (Ganjineh Kherad, M. Hadawi Tehrani, hal. 1/222) Sebaliknya, John Stuart Mill (1806-1873), William James (1842-1910) dan Baldwin bersepakat  bahwa seluruh pengetahuan manusia, termasuk akan dirinya, bersifat nadhari (Vocabulaire Technique et Critique de La Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi G. R.  Wastiqq).

Kedua klaim di atas tertolak dengan validnya aksi definisi. Lain dari itu, dengan introspeksi mental sejenak, kita akan menemukan serangkaian konsep yang pada mulanya samar, lalu menjadi jelas berkat definisi. Dan segala definisi pasti berakhir sebagaiman pada poin di bawah ini.

Konsep-konsep nadhari hanya bisa didefinisikan dengan konsep-konsep badihi. Anggapan bahwa konsep-konsep badihi masih perlu didefinisikan adalah invalid, karena akan terjadi tasalsul (degresi/suksesi) yang pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan konsep yang jelas dan definitive. Dengan kata lain, segala pendefinisian mesti berhulu pada stop place (klimaks mata rantai) yang dikuasai konsep-konsep badihi. Descartes pernah menyitir bahwa upaya para filsuf untuk mendefinisikan konsep-konsep badihi hanya memupuk kekaburannya (Principia philosophia, R. Descartes, terj. Parsi M. Shani’ie, hal. 45).

Kebadihian dan ekstempralitas  suatu konsep tidak berarti tidak memerlukan penjelasan. Meski, penjelasan yang dimaksu di sini adalah penyadaran (akan hal-hal yang sudah jelas namun terlalaikan) (Rahiq Makhtum, Jawadi Amuli, 1/177, Asy-syifa’, Ilahiyyat, Ibnu Sina, hal.29, dll).


Logika

Sesungguhnya logika dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari epistemologi. Namun, karena penting dan tema-temanya sangat luas, ia dipisahkan dan dijadikan sebagai bidang tersendiri.


 EKSISTENSI OBJEKTIF

Maujud objektif, sebagaimana telah dijelaskan, adalah wujud itu sebagai wujud, yang merupakan realitas universal segala sesuati.

Mazhab Qom membagi wujud objektif atau realitas menjadi dua; entitas obhjektif sejati dan entitas objektif artifisial .

Sebenarnya, entitas objektif buatan ini bukanlah entitas objektif sejati karena ia tidak memiliki eksistensi real objektif. Sebenarnya ia adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif.


ENTITAS OBJEKTIF BUATAN

Entitas objektif buatan (Al-waqi’ Al-I’tibari) adalah maujud subjektif  yang diasumsikan (diandaikan, dianggap) sebagai realitas objektif.

Ciri-ciri ‘Maujud (objektif) buatan’
Entitas buatan (Al-maujud Al-I’tibari) memiliki sejumlah ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut:
  1. Entitas buatan bisa diletakkan dan dicabut.
  2. Entitas buatan mengalami perubahan dan perpindahan
  3. Entitas-entitas buatan tidak berbenturan dan bertentangan. Dengan lain bermacam entitas buatan dapat berkumpul dalam satu wadah.
  4. Hal-hal sejati tidak mesti diterapkan atas hal-hal buatan, karena domain ‘entitas buatan’ berbeda dengan domain ‘entitas sejati’.
  5. Sesuatu yang mustahil dalam hal-hal sejati menjadi mungkin dalam hal-hal buatan.
  6. Entitas buatan adalah akibat dari dua sebab; material dan efesien.
  7. Entitas buatan dapat diciptakan dan diadakan pihak yang berkompeten membuatnya. (Al-Falsafah Al-ulya, 100-101)

Para filsuf ontologi menyebutkan sejumlah contoh maujud tak hakiki (entitas artifisial, al-maujud al-I’tibari), yang masing-masing memiliki pengaruh secara khusus,sebagai berikut:
  1. Posesi atau kepemilikan.
  2. Pasangan
  3. Jabatan dan tugas
  4. Tanah Air dan negara
  5. Mata uang dan alat taransaksi
  6. Kelompok-kelompok
  7. Lencana dan simbol
  8. Tanda dan rambu-rambu
  9. Pakaian dan makanan
  10. Kemenangan dan kekalahan dalam perang
  11. Kebersihan dan kekotoran
  12. Ritus dan upacara-upacara keagamaan
  13. Tradisi dan kultur
  14. Permainan dan perlombaan
  15. Ucapan dan bahasa
  16. Tulisan dan garis
  17. Satir, pribahasa
  18. Pujian dan celaan
  19. Kekaguman dan cinta berlebihan
  20. Kontrak dan tranasaksi-transaksi
  21. Perjanjian dan perundingan antar negara (Ushul al-falsafah, juz 1, hal. 251, Al-falsafah Al-ulya, 99-100).

Dua Macam maujud objektif buatan
Manusia hidup dalam berbagai kelompok masyarakat. Karena itulah mereka menggunakan bahasa sebagai media berkomunikasi dan berinteraksi antar mereka. Karenanya Maqzhab qom membagi  entitas objektif buatan (yang sebenarnya sama dengan entutas subjektif) menjadi dua;

1.           Eksistensi (entitas subjektif) tekstual atau redakasional (Al-Wujud Al-Katbi). Yaitu ke-ber-ada-an simbolik berupa tulisan dengan garis-garis dan titik yang membentuk huruf tertentu sebagai sebagai pengganti wujud objektif benda yang kita inginkn. Contohnya, ketika kita menyebut benda objektif yang selalu digunkan sebagai tempat makan, kita memberinya eksistensi simbolik berupa bunyi dengan sebutan “piring” ( p i r i n g) agar tidak harus menghadirkan “piring objektif”  setiap saat kita mengingat atau memikirkannya.
2.           Eksistensi (entitas subjektif) verbal (Al-Wujud Al-Lafdhi). Yaitu ke-ber-ada-an simbolik berupa suara sebagai pengganti benda objektif  ketika kita menginginkannya.


ENTITAS OBJEKTIF SEJATI

Entitas objektif sejati  (Al-Waqi’ Al-Haqiqi). Adalah maujud objektif yang mempunyai efek eksternal.

Wujud sejati atau entitas hakiki terbagi dua;
1.     Maujud yang memiliki ke-ada-an  mandiri (Al-wujud Al-mustaqil), disingkat ‘maujud mandiri’.
2.     Maujud yang memiliki ke-ada-an  yang tidak mandiri (Al-wujud Al-rabith), disingkat ‘maujud tidak mandiri’.

Untuk bergantung pada wujud mandiri, wujud tak mandiri tidak memerlukan adanya penghubung beruapa wujud ketiga. Artinya, ada suatu ikatan atau relasi di antara kedua wujud tersebut, namun tidak berupa wujud lain yang menjadi perantara. Seandainya hubungan  wujud tak mandiri dengan wujud mandiri diperantartai oleh wujud lain,  maka ia (wujud ketiga yang diasumsikan sebagai perantara tersebut), karena berupa wujud yang tak mandiri, memerlukan wujud keempat yang juga tidak mendiri sebagai penghubung,  dan begitulah seterusnya.  Hubungan atau rabth (bukan wujud ketiga yang menjadi penghubung atau rabith) ada dalam dua wujud tersebut; mandiri dan tak mandiri. (Nihayatul-Hikmah, 38, Wujud Rabith wa Mustaqil, 234).

Mulla Sahdra membagi entitas entitas atau realitas sejati menjadi dua sebagai berikut:
1.   Entitas objektif hakiki mandiri. Yaitu realitas yang menjadi substansi eksistensial.
2.   Entitas objektif hakiki tidak mandiri. Yaitu realitas yang menjadi predikat pada substansi eksistensial.

Dua Macam ‘maujud sejati tak mandiri’
‘Maujud bergantung’ bermacam dua;
  1. Maujud atau entitas bergantung yang berdiri di antara dua sisi, yang disebut dengan Al-Wujud Al-Maquli, seperti wujud relasi-relasi (Al-Idhafat wa An-Nisab).
  2. Maujud Wujud bergantung yang berdiri pada satu sisi semata, yang disebut dengan Al-wujud Al-Ma’luli, seperti wujud ‘akibat’ bila dikaitkan dengan sebabnya.

Entitas atau realitas yang memiliki wujud mandiri wujud mandiri hanyalah satu yaitu wujud Tuhan sebagai kausa prima, sedangkan wujud selainNya hanyalah ‘wujud bergantung’ atau relatif.

Dua macam ‘maujud (objektif sejati) mandiri’
Ada dua maujud yang memiliki wujud mandiri terbagi dua;
1.   Wujud mandiri yang ada dengan sendirinya atau untuk  dirinya. Yaitu wujud yang menegasi ketiadaan dari quiditasnya sendiri, seperti spesies-spesies substansial yang meliputi manusia, kuda dan sebagainya.
2.   Wujud mandiri yang ada untuk selain dirinya.  Yaitu yang menegasi ketiadaan dari quiditasnya juga menegasi ketiadaan dari sesuatu yang lain, atau menolak ketiadaan yang melekat atas quiditas dirinya, seperti wujud ‘sebab’, seperti wujud ‘ilmu’ yang menolak ketiadaan (ketiadaan ilmu) dari dirinya juga menolak kebodohann yang merupakan ketiadaan yang melekat atas penyandangnya (substansi yang menyandang ilmu, Budi, mislanya). (Nihayatul-Hikmah, 40, Al-Falsafah Al-Ulya, 90).

Mujud (objektif sejati) dinamis dan statis
Entitas objektif juga dapat dibagi dua;
  1. Entitas bergerak (dinamis, Al-mawjud Al-Mutaharrik).
  2. Entitas menetap (statis, al-mawjud As-sakin).
Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, kaum materialis  dialektik beranggapan bahwa gerak, dengan semua ragamnya, adalah akibat dari kontradiksi internal dalam setiap benda. (An-nazhariyah al-maddiyah fil-ma’rifah, 92). Sedangkan kaum, spiritualis membagi setiap entitas menjadi dua; entitas bergerak (dinamis, muajud mutaharrik) dan entitas statis (maujud tsabit).

Definisi ‘gerak’
Gerak telah dididefinsikan dengan beberapa macam.
1.    Definisi kaum spiritualis, yaitu perpindahan dari potensi ke aksi secara bertahap. Kaitan ‘bertahap’ ditambahkan dalam definisi ini demi mengeluarkan perpindahan secara drastis satu kali. Namun definisi ini bermasalah, karena ia tidak mencakup gerak vertikal degradatif (Al-harakah ath-thuliyah an-nuzuliyah).
2.   Definisi kaum materialis, yaitu pertentangan internal antara materi-materi alam. (Teori Materialisme dalam pengetahuan, Roger Garaudy, 92).

Dua macam gerak
Gerak juga terbagi dua;
  1. Gerak vertikal.
  2. Gerak horisontal.

Dua macam gerak vertikal
Gerak vertikal bermacam dua;
  1. Gerak vertikal menanjak atau promosional atau transendental (Al-harakah Althulliyah Al-shu’udiyah. Yaitu yaitu gerak menuju kesempurnaan, seperti ‘keberkembangan’ dalam raga-raga yang berkembang, atau proses kesempurnaan intelektual dan moral manusia. Dengan kata lain, gerak promosional transendental adalah gerak eksistensial sebuah ‘entitas bergerak’. Gerak demikian adalah semata-mata keberadaan yang ditimpali dengan keberadaan.
  2. Gerak vertikal menurun (Al-harakah Al-Thuliyah Al-nuzuliyah). Yaitu gerak menuju kekurangan atau degradasi ke belakang dan ke bawah.

Gerak demikian adalah ketiadaan yang ditimpali dengan ketiadaan sebelumnya.

Lawan ‘gerak degradasional’  adalah ‘kebertinggalan’ atau stagnasi (as-sukun)yang berarti kelestarian dalam kesempurnaan yang telah tercapai, karena ia ketiadaan tiada, yang berarti keberadaan.

Gerak horizontal
Pasangan ‘gerak vertikal’ adalah ‘gerak menyamping’ atau gerak horizontal. Ia adalah pergerakan dari suatu situasi ke situasi lain yang masing-masing sama atau sejajar dalam kualitas kesempurnaan, sehingga pergerakan tersebut tidak meniscayakan kekurangan maupun kesempurnaan, seperti gerak transportatif (al-harakah al-intiqaliyah) atau gerak posisional (al-harakah al-wazh’iyah).

Gerak semacam ini hakikatnya adalah ketiadaan yang berseiring dengan ketiadaan atau ‘pemakaian’ dan ‘pelepasan’ (lubs wa khul’).

Lawannya adalah stagnasi (as-sukun) yang tidak mengalami ‘pemakaian’ (keberadaan) dan sekaligus ‘pelepasan’ (ketiadaan).

Gerak horizontal adalah gerak non eksistensial (fuqdan) dan eksistensial (wujdan). (al-falsafah Al-ulya, 191, 193).

Gerak berantara dan gerak tak berantara
Para ahli ontologi membagi gerak, dari aspek isinya, menjadi dua;
1.       Gerak berantara atau perperantara  (Al-harakah At-tawasuthiyah). Yaitu entitas yang berada antara awal dan akhir, sehingga apabila diandaikan ia berada di salah satu dari batas-batas jarak yang ditempuhnya, ia tidak berada di batas sebelumnya dan tidak juga berada di batas setelahnya. Itu berarti ‘ke-berantara-an’ adalah sesuatu yang ada secara objektif, karena ia adalah tetap dan tidak mengalami kebaharuan (pembaruan) dan tidak berjenjang. Kerbaruan (At-tajaddud) dan keberjenjangan (At-tadarruj) dilihat dari sisi relasi-relasi yang secara bersusulan berhubungan dengan setiap batas jarak yang ditempuh. Relasi-relasi (An-nisab) di luar ‘keberantaraan’ (At-tawassuth), ia sederhana, tidak terbagi dan tidak mempunyai bagian.
2.       Gerak tak berantara (Al-harakah Al-qath’iyah). Yaitu entitas yang yang dibayangkan berupa garis memanjang dan bersambung sebagai akibat dari gerak berantara. Garis tersebut kian bertambah setiap saat. Ia adalah ukuran yang mengalir dan tidak stabil (sayyal ghairu qar), seperti garis yang memajang (memuai) dari turunnya tetesan hujan yang turun dari langit. (Al-falsafah Al-ulya, 193).

Elemen-elemen gerak
Gerak terdiri atas enam elemen yang tak terpisahkan. Yaitu sebagai berikut:
  1. Penggerak. Karena gerak adalah hakikat yang relatif (berkaitan dengan sesuatu di luar dirinya), maka berarti gerak berada di antara dua pihak; pihak pemberi gerak (penggerak, al-muharrik), dan pihak penerima gerak (yang bergerak, al-mutaharrik). Karena gerak adalah sebuah fenomena kosmologis, maka ia tidak akan ada tanpa sebab efesien (sebab pelaku, al-illah al-fa’ilah). Penggerak adalah kausa efesien bagi gerak, meski bukan kausa sempurna (al-illah at-tammah).
  2. Yang bergerak. Ia juga disebut sebagai ‘subjek gerak’. Karena gerak adalah predikat yang melekat pada sesuatu, dan karena sifat adalah hakikat yang tidak bisa berdiri sendiri, maka gerak tidak akan ada tanpa pelaku gerak (al-mutaharrik).
  3. Titik awal atau titik mula (al-mabda’). Karena gerak, sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebuah predikat bagi sesuatu, maka ia pasti didahului dengan ketiadaan. Ketiadaannya terjadi dalam salah satu dari dua proses; Pertama, dirinya (gerak) tiada ketika subjeknya (subjek gerak) ada. Kedua, gerak tiada ketika subjeknya   tiada. Itu berarti gerak bermula. Ketika gerak akan ada atau bermula, maka berarti gerak berprinsip.
  4. Titik akhir. Yaitu menjadi titik pemberhentian gerak. Begitu gerak berakhir, maka seketika terjadi atau bermula-lah stagnasi (as-sukun). Ada kalanya titik awal (al-mabda’) dan titik akhir (al-muntaha) bertemu dalam sebagian gerak, sebagaimana dalam gerak-gerak siklus.
  5. Pola gerak (ath-thariq). Cara gerak terdiri atas kategori-ketegori, yang apabila ia beragam maka beragam pula geraknya. Apabila kategorinya kualitatif, maka gerak terjadi secara kualitatif. Apabila kategorinya kuantitatif, maka gerak terjadi secara kuantitatif.
  6. Waktu gerak. Karena gerak adalah entitas kosmik yang tidak tetap, dan karena kontak terus menerus harus selalu ada dalam entitas-entitas kosmik tersebut, maka gerak termasuk salah satu dari macam-macam ukuran, dan karena ukuran bisa dibagi, maka ia memelukan pengukur. Pengukur gerak adalah waktu. Karenanya, setiap gerak bermasa selalu.

Kausa efesien gerak
Kausa efesien (sebab pelaku) gerak bermacam tiga;
    • Sebab pelaku natural (al-illah al-fa’ilah ath-thabi’iyah). Yaitu penggerak yang merupakan karakteristik ‘sesuatu yang bergerak’ yang tak berperasaan.
    • Sebab pelaku instingtif (al-illah al-fa’ilah al-iradiyah). Yaitu kehendak yang menjadi penyebab gerak.
    • Sebab pelaku determinan (al-illah al-fa’ilah al-qasriyah). Yaitu sesuatu di luar subjek yang menjadi penyebab gerak. (al-falsafah Al-ulya, 191, 193)

Gerak dan kategori-kategori
Sebagaimana kita ketahui bahwa kategori secara umum dapat dibagi dua; aksiden-aksiden yang berjumlah sembilan dan sebuah substansi. Berdasarkan kaitannya dengan gerak, seluruh kategori (Al-maqulat) dapat dibagi tiga bagian.

Bagian pertama terdiri atas kategori-kategori yang mengalami gerak. Yaitu  kuantitas (al-kam) seperti pertumbuhan, kategori kualitas (Al-kaif) seperti gerah dari merah muda ke merah tua, kategori posisi (Al-wazh’) seperti gerak dari posisi berdiri ke posisi duduk, kategori tempat (Al-ain) seperti pergi dan kembali.

Bagian kedua terdiri atas kategori-kategori yang tidak mengalami gerak. Yaitu  aksi (Al-fi’l), kategori reaksi (Al-infi’al), kategori waktu (Mata), kategori relasi (Al-izhafah), dan kategori pemilikan (Al-jidah).

Bagian ketiga adalah ketegori yang diperselisihkan, yaitu substansi.

Para filsuf kuno beranggapan bahwa substansi tergolong kategori yang tidak mengalami gerak, sebab substansi  meniscayakan lenyapnya subjek gerak, yaitu ‘yang bergerak’, karena ‘yang bergerak’ dalam semua kategori yang mengalami gerak adalah substansi. Seandainya substansi menjadi rute gerak, maka niscaya gerak terjadi atau menjadi ada tanpa ada ‘yang bergerak’ sebagai subjeknya, pahal itu mustahil, karena rute gerak substansial adalah substansi sendiri, bukan lainnya. (Al-falsafah Al-ulya, 201-203).

Sedangkan Mulla Shadra beranggapan bahwa substansi mengalami gerak. Itulah sebabnya, ia dikenal karena panadangannya yang spektakuler tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah Al-jawhariyahi). Gerak substansial sangat perlu untuk diketahui.

Gerak Substansial
Gerak substansial, yang dimaksud Mulla shadra, adalah adalah perjalanan (perpindahan) dari sebuah substansi ke substansi lainnya, sehingga substansi menjadi rute bagi diri substansi sekaligus menjadi rute perpindahan bagi substansi tersebut. Jadi, yang bergerak (Al-mutahharik) dalam semua macam gerak adalah substansi, bukan selainnya. Contohnya adalah gerak yang dialami makanan. Asumsikan bahwa substansi yang dikonsukmsi manusia itu adalah substansi padat, ia bergerak menuju kesempurnaan ketika dimakan, lalu menjadi tanaman dan substansi berkembang. Ia melanjutkan prosesnya dan menanjak dalam peringkat-peringkat tumbuh-tumbuhan hingga mencapai peringkat tertinggi. Tahap berikutnya adalah peringkat paling rendah kebinatangan, yang merupakan gerak dalam kategori substansi, lalu memasuki peringkat kemanusiaan dan menjadi substansi insani. Dengan kata lain, perpindahan dari makanan ke sperma, dari sperma ke binatang adalah gerak substansial. (Al-falsafah Al-ulya, 202-206).

Subjek ‘Gerak’
Subjek gerak substansial adalah subjek yang mengalami segala macam gerak lainnya, yaitu substansi (Al-jauhar). Hanya saja, subjek yang mengalami gerak-gerak lainnya adalah substansi berupa spesies yang tertentu (juahar nau’i mutasyakhkhish), sedangkan subjek gerak substansial adalah substansi berupa genus yang telah dibatasi oleh spesies dan person (speisies dan person dalam terminologi filsafat, bukan biologi dan ilmu alam. Substansi genusual tersebut bergerak dalam spesies-spesies yang berada dalam himpunannya (himpunan genus tersebut). Jadi, subjek yang bergerak adalah substansi (Al-mutaharrik), dan rute geraknya juga substansi.


  

Maujud objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud objektif juga terbagi dua;
1.     Entitas bermula (hadits). Yaitu maujud yang didahului oleh ketiadaan atau ke-ada-an sesuatu lain.
2.     Entitas tak bermula (qadim, azali). Yaitu maujud yang tidak bermula dari ketiadaan dan tidak didahului oleh wujud selain dirinya.

Tiga ‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud objektif  hadits terbagi tiga;
  1. Entitas bermula dengan kebermulaan waktu (hadits zamani).
  2. Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits ztati).
  3. Entitas bermula dengan kebermulaan eksistensial (hadits bil-haq).

(Al-falsafah Al-ulya, 215-223, Nihayatul-hikmah, 276-2790).

Dua macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1.       Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2.       Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari ketiadaan.
 
Maujud objektif ‘Mendahului’, ‘Didahului’, dan ‘Beriringan’
Mazhab Qom membagi enntitas objektif sejati menjadi tiga;
  1. Entitas mendahului (Al-maujud Ak-mutaqaddim).
  2. Entitas didahului (Al-maujud Al-mutaakhkhir).
  3. Entitas beringinan (Al-maujud Al-muqarin). (Al-falsafah Al-ulya, 211-214, Nihayatul-hikmah, 279-281).

Keterdahuluan
Arena ‘keterdahuluan’ sebenarnya cukup sehingga meliputi wujud objektif sejati dan objektif buatan. Karena itulah ia  bermacam-macam. Antara lain sebagai berikut:
1.    Keterdahuluan berdasarkan aspek ‘keunggulan’ (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bisy-syaraf), seperti keterdahuluan ‘yang kuat’ atas ‘yang lemah’.
2.    Keterdahuluan berdasarkan aspek kewajaran (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-thab’i), seperti kausa tidak sempurna atas akibat.
3.    Keterdahuluan berdasarkan aspek kesebaban (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-illiyah), seperti keterdahuluan kausa sempurna atas akibatnya.
4.    Keterdahuluan substansial (A-taqaddum wa At-ta’akhkkhur Al-jauhari), seperti keterdahuluan genus dan defernsia (kategori pembeda) atas spesies (An-naw’).
5.   Keterdahuluan berdasarkan aspek kesejatian (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-haqiqah), seperti keterdahuluan wujud (ke-ada-an) atas quiditas (ke-apa-an atau mahiyah).
6.   Keterdahuluan berdasarkan urutan momentum (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur Ad-dahri), seperti keterdahuluan penciptaaan atas alam. (Elm e Kulli, 130-131,

Entitas ‘hidup’ dan entitas ‘tidak hidup’
Entitas atau setiap sesuatu yang memiliki ke-ada-aan objektif bermacam dua;
  1. Entitas hidup.
  2. Entitas ‘tidak hidup’
(Al-falsafah Al-ulya, 225-227, Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 416, Nihayatul-hikmah,   ).

Entitas (objektif sejati) sensual dan entitas non sensual
Dalam pembagian terakhir, Mazhab Qum mebagi setiap entitas objektif menjadi dua;
  1. Entitas terinderakan (Al-maujud Al-mahsus), yang lazim disebut Al-maujud Al-maujud Al-maddi. Ia disebut juga dengan materi, lebih tepatnya adalah raga. Sebagian orang menyebutnya alam.
  2. Entitas ternalarkan atau entitas tak terinderakan, yang lazim disebut Al-maujud Al-ma’qul atau Al-maujud Al-mujarrad. Ia  disebut juga dengan non materi. (Al-falsafah Al-ulya, 229-230).

Salah satu dari entitas tak terinderakan adalah pengetahuan. Para filsuf ontologi Islam menganggap pengetahuan sebagai sebuah maujud yang abstrak, dan karenanya ia tak terpisahkan dari ontologi. Inilah salah satu dari ciri pembeda antara filsafat Islam, terutama filsafat Mazhab Qom, dan filsafat Barat. 




ENTITAS OBJEKTIF TERINDERAKAN


Apabila  ke-ada-an telah dibedakan dari ketiadaan,  dan  ke-apa-an telah dibedakan dari ke-ada-an, maka tibalah saatnya kita mempertanyakan apakah ‘yang ada’ itu hanyalah ‘yang berbenda’ (terinderakan) ataukah ‘yang ada’ bermacam dua; ‘berbenda’ (terinderakan) dan tidak berbenda (ternalarkan)?

Antara Ontologi, Kosmologi, dan Epistemologi
Kini kita meninggalkan wacana ontologi atau metafisika murni dan memesuki wacana kosmologi. Pada   hakikatnya, kosmologi merupakan salah satu bagian atau turunan dari ontologi. Namun karena sangat luas, dan demi mengikuti sistematika yang telah dibakukan oleh dunia Barat, maka kita memisahkannya dari ontologi.

Secara tradisional, kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang, dan kausalitas. Tugas kosmologi mungkin dapat dibedakan dari tugas ontologi oleh suatu perbedaan tingkat. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini, dan analisis ontologis berusaha mencari hubungan-hubungan dan pembedaan-pembedaan yang kiranya berlaku dalam dunia mana pun juga. Barat memisahkan filsafat tentang materi dan alam semesta dari ontologi.

Dalam filasafat Mazhab Qom, epistemologi juga bukan bagian yang terpisahkan dari ontologi atau ‘filsafat pertama’, karena bidang ontologi meliputi entitas tak terinderakan. Salah satunya adalah al-aql (intelek). Itulah sebabnya, kosmologi dan epistemologi tidak dipelajari sebagai bidang filsafat tersendiri, meski dewasa ini ada sejumlah filsuf Mazhab Qom mulai ikut-ikutan memisahkannya dari ontologi.

Materi Metafisika  dan Logika Mazhab Qom
Perlu diketahui bahwa materia dalam ontologi tidaklah sama dengan materi atau benda dalam kosmologi. Materia dalam ontologi tidak berbentuk benda, karena ia sebenarnya tidak akan ada tanpa forma. Sedangkan materi dalam kosmologi, terutama dalam filsafat Barat adalah raga, yang merupakan gabungan dari forma (yang memberikan aktualitas) dan potensia atau materia (yang hanya menerima aktualitas). Oleh sebab itu kita menyebutnya ‘materia’ dalam ontologi dan ‘materi’ dalam kosmologi. Al-Falsafah Al-Ulya, 159).

Materi dalam Fisika modern lebih cocok dengan Al-jism atau raga dalam ontologi dan kosmologi Mazhab Qom. Yaitu substansi yang merupakan gabungan dari Al-maddah  (materi) dan Ash-shurah (forma). Sedangkan Al-maddah (yang juga diterjemahkan matter oleh para penjerjemah yang kurang mendalami filsafat Islam), dalam filsafat Islam, adalah  sesuatu (ma’na) yang menyandang forma (shurah). Ia tidak berbentuk, karena ia hanyalah potensi semata. Ia tidak akan pernah ada (sebagai maddah) sebelum memperoleh foma (ash-shurah) yang memberinya aktualitas (Al-fi’liyah). (At-Thashil, 587). Hal inilah yang kerap menimbulkan kerancuan.

Materi (Mawad Al-qadhiyah) dalam epistemologi, atau dalam filsafat eksistensi subjektif Islam, juga tidak sama dengan pengertian materi dalam ontologi (filsafat eksistensi objektif) dan kosmologi. Materi dalam epistemologi dan logika Islam adalah bahan-bahan yang mengisi proposisi atau pernyataan, sebagai pasangan dari forma.

Raga dalam Ontologi Mazhab Qom
Raga adalah substansi yang memiliki tiga dimensi. (Syarhul-Mawaqif, 351). Raga (Al-jim) adalah sesuatu yang dikenali dengan indera. (Tafsir Ma ba’da ath-thabi’ah, 1476).

Agar dapat membedakan raga dan non raga, kita perlu mengenali ciri-ciri khas materi sebagai berikut:
  1. Ia berada dalam tiga dimensi dan terdiri atas tiga garis bersiku.
  2. Ia terinderakan.
  3. Ia mengisi ruang.
  4. Ia memanjang dalam tiga arah.
  5. Ia berakhir dan terbatas.
  6. Ia berbobot.
  7. Ia bertempat.
  8. Ia bermasa.
  9. Ia berada dalam posisi tertentu.
  10. Ia dapat dibagi secara natural maupun rasional. (Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, hal. 139-140, Al-falsafah Al-ulya, 170-177).


Materi dan raga adalah sebuah substansi yang merupakan gabungan dari dua partikal substansial, yaitu materi

’Materi’ dalam Fisika
Pengertian ‘materi’ ini sekurang-kurangnya dapat dipisahkan menjadi dua kelompok pengertian yang mencakup pengertian ‘materi’ yang dikemukakan sebelum berkembangnya ilmu fisika modern dan pengertian yang dikemukakan setelah berkembangnya ilmu fisika modern.

Materi adalah setiap entitas padat, cair dan gas atau ion yang dapat diinderakan. Sebenarnya, definisi ini tidaklah sempurna, karena ia hanya menunjukkan ciri-ciri khas benda. (Fisika Modern, 7, Kamus Filsafat, 586-587).
Sebelum berkembangnya ilmu fisika modern, istilah materi (matter) ini menjadi populer terutama pada masa skolastik, setelah Thomas Aquinas (1225-1274 M) memperkembangkan ajaran Aristoteles. Beliau mengemukakan adanya dua macam materi, yaitu materi prima dan materi sekunda. Yang dimaksudkan dengan materi prima (prime matter) atau hyle adalah potensialitas murni yang tidak mempunyai pencirian positif apapun. Hyle atau materia prima ini akan merupakan barang sesuatu tertentu yang bereksistensi dengan cara bersatu dengan bentuk atau morph. Gabungan antara hyle dan morph inilah yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai mislanya saja emas, preak, atau yang lainnya. Dan gabungan antara hyle dan morph sebagai bentuk substansial (bentuk yang menyebabkan barang sesuatu menjadi barang sesuatu tertentu) yang demikian ini digolongkannya sebagai materia sekunda. (Rudolf Allers, 1975).

Dewasa ini pengertian materi pada umumnya diartikan semakna seperti yang dimakudkan Thomas Aquinas sebagai materia sekunda tersebut. Herndaknya dimaklumi bahwa selama ini para filsuf belum mempunyai pendapat yang sama mengenai signifikansi dari materi atau benda material ini. Oleh karena itu, dalil utama dari materialisme yang berbunyi “every thing that is, is material.” (Setiap sesuatu apapun yang ada itu bersifat material) selama ini masih mempunyai cakupan arti yang bermakna ganda.

Untuk menjembatani perbedaan pendapat ini, maka kemudian materi atau benda material tersebut didefinisikan sebagai peradaan yang terdiri dari bagian-bagian proses yang mencakup berbagi kualitas fisis. Kualitas-kualitas fisis ini antara lain posisi ruang dan waktu, ukuran, bentuk, kealaman, massa, kecepatan, soliditas, inersia, kandungan listrik, gerak (spin), kekakuan (rigiditas), suhu, dan kekerasan (hardness).

Daftar kualitas fisis tersebut masih bersifat terbuka bagi penambahan, namun yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa semuanya itu terdiri atas berbagai ciri yang merupakan objek ilmu fisika. (Keith Campell, 1967).

Secara singkat, sifat-sifat fisis tersebut dapat diungkapkan sebagai: sifat publik, sifat dapat dikontrol, non mental, alami, atau tercerap indera.

Pernyataan-pertanyaan seperti “apa yang terhitung sebagai suatu peradaan fisis?” dan “apa yang terhitung sebagai milik dari kebanyakan peradaan fisis tersebut?” tidaklah dikemukakan jawabannya yang pasti. Konsekuensi dari kenyataan tersebut, jawaban-jawaban terhadap pertanyaan: “apakah suatu benda material tersebut?” dan “apakah yang dimaksudkan oleh materialisme dengan ‘materi’ tersebut?” juga tidak mendapatkan jawaban-jawaban yang pasti pula. Yang jelas, dapatlah dikemukakan bahwa kesadaran, ketertujuan, aspirasi, dan kecakapan mencerap atu mengindera tidaklah tergolong kualitas materi tersebut.

Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih luas, uraian Louis Kattsoff (1953) yang mengkaitkan pengertian materi dengan pengertian evolusi yang akan dikutip berikut ini perlu dimengerti dengan baik.

“Istilah pokok yang melandasi ajaran materialisme adalah ‘materi’. Isitilah pokok yang melukiskan perkembangan ialah ‘evolusi’. Materialisme modern menolak pengertian mengenai atom-atom yang bersifat keras. Sebagai penggantinya digunakan istilah-istilah seperti ‘relasi’, ‘pola’, ‘proses’, dan ‘tingkatan’.

Jika orang mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan istilah ‘materi’, jawabannya mungkin berupa pengertian-pengertian kelestarian, sebab akibat, keadaan sebagai benda mati, dan suatu kerangka ruang dan waktu. Dikatakan bahwa istilah ‘materi’ hendaknya dipakai untuk hal-hal yang bersifat material, baik yang bersifat makroskopis maupun yang bersifat mikroskopis. Dan inilah hal-hal yang bersifat lestari dalam kerangka ruang dan waktu.

Dikatakan pula bahwa pelbagai tingkatan kenyataan perkembangan melalui proses yang rumit yang berasal dari materi dalam tingkatannya yang lebih rendah. Meski demikian, pada hakekatnya evolusi merupakan pemolaan kembali, suatu penyusunan yang baru dan yang lebih berliku-liku dari materi. Dalam hal ini tidak ada hal-hal lain yang terrsangkut.”

Berdasarkan penelitian sain, telah diketahui bahwa materi dan energi adalah dua forma bagi satu kuantitas fisik, yang apabila muncul sejumlah energi, maka kemunculannya sama dengan perubahan materi dalam jumlah yang sama, demikian sebaliknya. Atas dasar penemuan ini, maka sifat-sifat padat, cair dan gas, mengisi ruang dan sebagainya  hanyalah aksieden-aksiden yang baru melekat benda.

Materialisme, Spiritualisme dan Dualisme

Klaim bahwa indera adalah alat satu-satunya bagi pengetahuan assentual memberikan konsekuensi fundamental, yaitu materialisme. Sedangkan klaim bahwa hati adalah adalah alat yang paling tepat untuk menangkap realitas memberikan konsekuensi spiritualisme atau dualisme.

Menanggapi ada dan tidak adanya entitas dan realitas di balik materi, para penganut realisme terbagi dalam tiga aliran besar;
1.    Materialisme. Yaitu aliran yang mengklaim bahwa materi tidak bermula dan tidak berakhir. Semula pandangan ini dicetuskan oleh Heraklitos (480-576 SM) yang berkata: “alam hanya satu, tidak diciptakan Tuhan atau manusia manapun. Ia telah, sedang dan akan ada serta hidup selamanya. Ia akan menyala dan padam selalau sesuai dengan norma-norma pasti”.
2.    Spiritualisme. Yaitu aliran yang  menolak keberadaan materi dan hanya meyakini keberadaan spirit absolut, dan bahwa manusia dan roh-roh terbatas lainnya adalah produkNya. Aliran ini berpandangan bahwa realitas terakhir, yang mendasari realitas adalah roh. (Kamus Filsafat, 1035, Kamus Teori, 106, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah).

Dalam perkembangan sejarahnya, immaterialisme atau idealisme mengalami perubahan dan berpencar-pencar, seperti immaterialisme Berkeley (Kamus teori, 108, Kamus Logika The Liang Gie).

Dualisme. Yaitu aliran yang meyakini adanya dua macam realitas; realitas material dan realitas spiritual, dan menganggap keberadaan realitas spiritual lebih utama dan mulia dari realitas material. (Kamus Filsafat, 173-174, Pengantar Filsafat, 73-74).

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!