Kacamataku dan Kacamatamu: Menguji Teori secara Pragmatis Oleh Martin
Slama Kebanyakan pembaca KUNCI, saya kira, adalah mahasiswa ilmu-ilmu
sosial-budaya dan orang yang berminat pada perkembangan kebudayaan secara umum
yang sering juga punya pendidikan akademis. Dengan demikian mereka pernah
disentuh oleh apa yang disebut "teori". Entah di ruang kuliah ketika
si dosen memperkenalkan teori ini atau itu, entah pada waktu membaca buku yang
juga “berteori" (apakah secara terbuka atau tidak) atau—memang—pada waktu
membaca KUNCI sendiri. Apalagi kebanyakan pembaca Kunci pada suatu saat harus
menulis serius tentang kebudayaan, apakah pada waktu menulis skripsi di bidang
ilmu-ilmu sosial atau, misalnya, untuk mempersiapkan makalah untuk suatu
seminar atau pertemuan ilmiah lain. Kesulitan yang sering muncul pada titik itu
adalah menghubungkan apa yang ditulis oleh orang lain—biasanya si ilmuwan
terkenal—dengan tulisan diri sendiri. Untuk dapat menangani kesulitan itu perlu
kita periksa bagaimana kita memandang "si teori itu". Maksud saya,
apakah kita cenderung melihat teori sebagai "puncak penciptaan"
ilmu-ilmu sosial yang harus dihafalkan secara kaku atau sebagai sesuatu yang
bisa digunakan, dipakai saja; apakah kita melihat teori sebagai suatu "budaya
adiluhung" yang perlu dipelihara tetapi lebih baik tidak disentuh karena
takut melakukan kesalahan, ataukah sebagai alat yang dapat mengembangkan
pikiran dan tulisan diri sendiri. Seorang sastrawan Perancis, Charles
Baudelaire (kalau saya tidak salah ingat), pernah menggunakan gambar sebagai
berikut: dia mengatakan bahwa bukunya sepantasnya dianggap seperti kacamata
yang sebaiknya dilepas saja kalau tidak punya gunaan lagi untuk sang pembaca;
dalam konteks kita itu berarti teori adalah kacamata yang dapat memperlihatkan
dunia dengan pandangan tertentu. Itu saja. Saya rasa sudah jelas bahwa dalam
tulisan ini saya mau mengusulkan pengertian yang terakhir ini mengenai teori,
yaitu teori sebagai alat atau kacamata yang ada untuk dipakai secara pragmatis
(pragma, kata Yunani itu, berarti 'aksi’ atau 'tindakan’) yaitu untuk berbuat
sesuatu dengannya. Apalagi saya—setelah sepuluh bulan tinggal di Yogya—melihat
bahwa pendekatan yang pragmatis itu terhadap teori kurang dipraktekkan di
kalangan terpelajar di kota pelajar ini yang sering, misalnya, mengakibatkan
kemacetan dalam menulis skripsi. Sering juga sang pencipta teori disebut saja
supaya orang (atau dosen) tahu bahwa si penulis "tahu" atau paling
tidak pernah dengar; teori tidak dipakai untuk mengetahui suatu hal sehingga
tidak menghasilkan pengetahuan, melainkan hanya ulangan (tetap seperti di
sekolah dimana "ujian" disebut "ulangan"). Apa yang saya
maksudkan dengan menggunakan teori secara pragmatis, saya mau menjelaskan lebih
mendalam melalui suatu contoh. Imagined Communities, buku Ben Anderson itu
(cetakan kedua dengan bab-bab baru: 1991), boleh dikategorikan sebagai suatu
studi klasik yang "wajib" dibaca oleh orang yang berminat dalam
ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan (yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
pula). Anderson dalam bukunya menawarkan suatu gagasan pokok untuk dapat
menjelaskan apa yang disebut nasionalisme. Dia bertanya mengapa orang yang
belum pernah bertemu bisa merasa sama, merasa bersaudara, misalnya sebagai
orang Indonesia, Inggris atau India dan seterusnya. Karena itu persaudaraan
ini—kalau tidak bisa dialami langsung—harus dapat dibayangkan dulu. Apa itu
yang memungkinkan bayangan yang menyeberang lingkungan sosial setempat adalah
pertanyaan berikut dengan jawabannya bahwa apa yang memungkinkan "komunitas-komunitas
terbayang" itu adalah media cetak dengan koran, majalah dan buku sastranya
yang baru pada akhir abad ke-19 muncul di Hindia-Belanda dan yang berfungsi
menurut logika pasar, yaitu ada proses jual-beli supaya pihak pemilik media
mendapat keuntungan; sehingga bisnis itu dinamakan oleh Anderson
"kapitalisme cetak" atau print capitalism. Memang, Anderson juga
menawarkan faktor-faktor lain (transportasi massal, peta-peta yang menunjuk
pada batasan negara-bangsa, dll.) untuk perkembangan nasionalisme, tetapi
kapitalisme cetak itu mendapat perhatian yang paling besar darinya. Nah, disini
kita punya suatu teori, suatu kacamata untuk dapat melihat identitas kolektif
utama dalam abad ke-19 dan ke-20 yaitu identitas nasional. Dengan mengarahkan
perhatian kita ke media cetak, Anderson juga menunjukkan bahwa identitas
nasional itu bukan sesuatu yang alamiah, yang sudah ada selama-lamanya (seperti
sering diutamakan oleh ideologi-ideologi nasionalis), tetapi merupakan sesuatu
yang baru dapat dibayangkan dengan adanya teknologi cetak sebagai pengedar
gagasan bangsa sekaligus bukti untuk kemungkinannya (tidak ada perbedaan antara
pembaca koran tertentu di Yogya dan di Medan, misalnya; mereka adalah satu
komunitas). Setelah kita sudah memahami inti teori Anderson mengenai
nasionalisme, saya mau menunjukkan bagaimana teori itu digunakan oleh seorang
ilmuwan lain yang bernama Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity at Large.
Cultural Dimensions of Globalization (1996). Antropolog asal India itu—seperti
dapat dilihat dari judul bukunya—bukan hanya tertarik pada fenomena
nasionalisme, melainkan dia mencoba mengerti apa yang dewasa ini disebut dengan
globalisasi budaya, yaitu fenomena kebudayaan yang tidak terikat kepada
negara-bangsa lagi. Meskipun demikian, pikiran Anderson mengenai nasionalisme
tetap berperan penting dalam tulisan Appadurai. Kenapa? Kita baca dulu apa yang
dikatakannya: Appadurai melihat bahwa dewasa ini dunia media dan teknologi
informasi sangat bervariasi. Selain media cetak ada radio, televisi, film,
kaset, video, VCD hingga internet. Kebanyakan dari media/teknologi yang baru
atau relatif baru itu tidak lagi ditujukan kepada pasar dalam negeri, melainkan
mengalir kepada konsumen/penggunanya yang secara geografis dan/atau politis
hidup berjauhan; atau sebaliknya media/teknologi itu ditemukan dan digunakan
oleh orang yang pada awalnya tidak diperkirakan sebagai pengguna (misalnya di
Australia sekarang ada stasiun televisi yang dikelolah oleh orang Aborigin).
Singkat kata: negara tidak lagi merupakan kerangka utama untuk media. Setelah
pengamatan itu yang sudah "dibimbing" oleh pikiran Anderson,
Appadurai melakukan langkah berikutnya dalam jalur yang sama dengan bertanya:
kalau dulu media cetak mendukung identitas nasional, identitas-identitas apa yang
didukung oleh media yang berperan global dewasa ini? Kemudian Appadurai
menunjuk pada beberapa contoh dimana akibat media global terlihat: teroris
berpakaian seperti Silvester Stallone dalam film Hollywoodnya yang berjudul
Rambo; ibu rumah tangga nonton telenovela yang selalu membahas linkungan sosial
utamanya yaitu "keluarga"; dan dalam pertemuan keluarga Muslim orang
mendengarkan kaset dakwah dari seorang ulama yang tak pernah datang ke
negerinya. Contohnya masih banyak lagi (dan Appadurai bukan hanya tertarik
kepada identitas kolektif, melainkan juga kepada identitas perorangan), tapi
yang dapat kita simpulkan adalah bahwa masalah identitas yang didukung oleh
media global muncul di berbagai lapangan, misalnya teknologi informasi
menghubungankan seorang imigran dengan negara asalnya; agama sebagai identitas
kolektif, yang sebenarnya sudah lama ada, baru-baru ini dapat dialami sebagai
sesuatu yang transnasional oleh lebih banyak pemeluknya; hingga budaya
lokal—dimana pertanyaan "Siapakah kita?" jadi sangat
aktual—berhadapan dengan lalu lintas global yang terus menerus menawarkan
petikan-petikan identitas dari bermacam-macam wilayah dunia ini. Tanpa
memperhatikan peran media global serta teknologi informasi, identitas
kebanyakan orang dewasa ini tidak dapat dimengerti—paling tidak itulah tesis
Appadurai. Beginilah contoh yang saya pakai untuk memperlihatkan penggunaan
teori secara pragmatis. Appadurai mengambil saja gagasan Anderson, yaitu adanya
hubungan antara media dan identitas kolektif sekaligus mengubah dan
menerapkannya untuk masa sekarang. Kalau kita juga tertarik pada globalisasi
budaya, kita bisa ikut berjalan dengan Appadurai dengan menguji pikirannya: di
Indonesia makin banyak orang nonton program televisi yang diproduksi di luar
negeri, serta film dan VCD; internet makin populer; anak kampung main di
PlayStation; ada industri keparawisataan mancanegara; orang Indonesia cari
kerja di luar negeri, dll. Apa peran media dalam kehidupan orang yang disentuh
oleh lintas-lintas global itu? Apa hubungannya dengan pembentukan identitas
mereka? Pertanyaan seperti inilah yang bisa menjadi titik tolak suatu tulisan
ilmiah serta penelitian. Tetapi kalau cara berfikir Appadurai tidak
menghasilkan jawaban yang memuaskan untuk apa yang kita teliti, kita cari saja kacamata
yang lain. Karena ada banyak teori. Dan satu alat tidak cocok untuk semua
pekerjaan... Martin Slama Mahasiswa Program S3 di Universitas Wina, Austria.
Sekarang menjadi peneliti tamu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar