Pramono U Tanthowi
Mungkin betul kata sebagian pengamat,
perkembangan wacana Islam liberal, civil society, dan demokrasi dalam
Muhammadiyah relatif terlambat, terutama jika dibanding dengan Nahdlatul Ulama
(NU). Padahal, pada awal abad ke-20, menurut Kurzman, Muhammadiyah merupakan
representasi organisasi-organisasi Islam liberal di dunia Islam, selain Ittifaq
al-Muslimin di Rusia dan Aligarh di India (2001, h.xxv). Pada masa itu,
aktivisme Islam liberal mengambil bentuk reformasi pendidikan. Meski banyak
pemikir liberal pada periode ini merupakan produk pendidikan keagamaan
tradisional, mereka memandang institusi-institusi ini tidak lagi memadai untuk
memenuhi tuntutan zaman dan berusaha memperbaruinya atau bahkan menciptakan
institusi baru yang menggabungkan pendekatan modern dan pendekatan tradisional.
Pada periode ini, ciri khas gerakan
Islam liberal adalah pengenalan pelajaran-pelajaran Barat dan tema-tema yang
khas Barat terhadap kurikulum tradisional; sesuatu yang merefleksikan sumbangan
intelektual dari kaum liberal, yakni penghargaan terhadap
"modernitas". Karena itu, Islam liberal pada periode ini secara umum
dikenal sebagai "modernisme Islam". Dalam konteks demikian,
sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah pada zaman Belanda tidak
menggunakan istilah khas Islam, namun menggunakan istilah kurikulum dan
metodologi pengajaran Belanda, meski tetap mengajarkan ilmu-ilmu keislaman,
seperti HIS, MULO, dan HIK met de Qur'an.
***
MESKI demikian, liberalisme
Muhammadiyah ini ternyata-menurut beberapa pengamat-tidak mampu bertahan lama.
Modernisme Muhammadiyah setidaknya, mengidap kelemahan mendasar.
Pertama, modernisme Islam dituduh terlalu sekuler dan westernized, seolah mengambil begitu saja pemikiran Barat, serta terlalu mengabaikan, dan karena itu tidak menguasai tradisi; baik tradisi keilmuan Islam klasik maupun tradisi dan budaya lokal.
Pertama, modernisme Islam dituduh terlalu sekuler dan westernized, seolah mengambil begitu saja pemikiran Barat, serta terlalu mengabaikan, dan karena itu tidak menguasai tradisi; baik tradisi keilmuan Islam klasik maupun tradisi dan budaya lokal.
Kedua, modernisme Islam pada akhirnya
memiliki kecenderungan konservatif (dalam pemahaman keagamaan) dan
fundamentalis (dalam sikap politik). Kecenderungan inilah yang dianggap
menyebabkan Muhammadiyah tidak responsif terhadap perkembangan wacana Islam
liberal di Indonesia dewasa ini. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya
besar di lingkungan Muhammadiyah.
Persoalan pertama, berangkat dari
kesalahpahaman warga dan pimpinan Muhammadiyah memahami doktrin al-ruju' ila
'l-Qur'an wa 'l-Sunnah (kembali kepada Al Quran dan Sunnah). Doktrin ini
sering dipahami secara verbal dan formal, dan diaktualisasi dengan menyerukan
keutamaan Islam periode awal serta menegaskan ketidaksahan penafsiran dan
praktik-praktik keagamaan masa kini.
Dengan menekankan pentingnya ijtihad
(upaya legislasi kreatif dan serius), penafsiran para juris dan teolog
masa-masa kemudian yang terkodifikasi dalam kitab kuning, oleh Muhammadiyah
dianggap hanya memiliki kebenaran relatif, karena itu boleh diabaikan.
Sementara, dengan menegaskan otentisitas praktik Islam periode awal,
praktik-praktik keagamaan periode sesudahnya seperti tercermin dalam konsep
Muhammadiyah tentang TBC (takhayul, bid'ah, dan churafat), oleh Muhammadiyah
sering dianggap sebagai penyimpangan terhadap "Islam murni", karena
itu harus diberantas. Padahal, dengan mengabaikan dua hal ini, pemikiran Islam
dalam Muhammadiyah mengalami diskontinuitas dalam proses panjang perkembangan
pemikiran Islam sejak zaman klasik hingga masa modern sekarang ini.
Persoalan kedua, setidaknya disebabkan
karena ada dua alasan mendasar. Pertama, dalam sejarahnya di Indonesia selama
abad ke-20, pembicaraan mengenai Islam sering lebih kental warna politiknya,
melebihi manifestasi-manifestasi dalam bentuk lain. Hal ini, secara faktual,
karena Islam di Indonesia tidak saja menghadapi dominasi politik Barat melalui
kolonialisme Belanda, tetapi juga terlibat persaingan sengit ideologis dengan
kekuatan-kekuatan politik lain. Tahun 1920-an, Soekarno menyatakan, ada tiga
aliran ideologi yang mendasari gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia:
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Pada masa itu, polemik-polemik
ideologis bukan melibatkan antara Islam dan Barat, tetapi justru dengan sesama
pejuang kemerdekaan sendiri. Dalam konteks inilah kita menyaksikan polemik Agus
Salim-Soekarno, Natsir-Soekarno, Tjokroaminoto-Semaun, dan lain-lain.
Persaingan ini terus berlangsung dan
menguat pada dasawarsa 1950-an. Hal ini dapat dimengerti mengingat Islam
menghadapi persaingan amat kuat dengan kekuatan ideologis lain yang muncul
dalam format politik. Nasionalisme, Sosialisme, Komunisme, bahkan Kristen dan
Katolik, saat itu juga muncul dalam wajah politik dengan partai-partai sebagai
manifestasi paling konkret. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan politik Islam
juga menampilkan wajah Islam yang lebih politis dan ideologis, dan karena itu
bersifat eksklusif dan konfrontatif. Sementara itu, Muhammadiyah sebagai
anggota istimewa Masyumi, tentu saja terlibat langsung persaingan
politis-ideologis itu.
Kedua, kecenderungan konservatif dan
fundamentalis ini dapat dilacak dari gerakan pembaruan Muhammadiyah, yang
menurut Amin Abdullah lebih bercorak a faith in action (1994).
Dengan begitu, gerakan pembaruan Muhammadiyah tidak sekadar mengembangkan
wacana pemikiran, tetapi menggabungkan dimensi teologis-filosofis sekaligus
menekankan dimensi sosial-praksis. Maka dalam sejarah, ayat-ayat Al Quran
tentang kemanusiaan yang diajarkan Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya,
selalu tidak terhenti pada hafalan dan pemahaman, tetapi dituntut untuk
dilaksanakan. Ketika mengajarkan beberapa ayat tentang pentingnya ilmu
pengetahuan (QS. 96:1-5), penyembuhan penyakit (QS. 26:80), serta penyantunan
orang miskin dan yatim piatu (QS. 107:1-7), Ahmad Dahlan menuntut muridnya
melaksanakan ayat-ayat itu dalam amalan nyata. Dari landasan seperti ini,
Muhammadiyah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial dalam
jumlah massif. Pendekatan Ahmad Dahlan ini, dapat disejajarkan dengan tafsir
liberatifnya Farid Essack (2000).
Sayang, generasi-generasi penerus
tidak lagi sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu. Akibatnya, yang
dapat ditangkap dari gerakan pembaruan Muhammadiyah hanya (dan semata-mata)
aspek sosial-praksis. Misalnya, warga dan pimpinan Muhammadiyah sering
menganggap, pembangunan sekolah atau perguruan tinggi merupakan amal usaha yang
berkonotasi sosial-praksis semata. Padahal, ia memerlukan sebuah strategi
intelektual dan kultural jangka panjang. Selain itu, Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM) juga terjebak untuk mengambil alih teknologi modern pada
aspek ilmu dan teknologinya saja, yakni terbatas pada applied science.
Padahal, di balik ilmu dan teknologi, ada bangunan filosofis yang
melatarbelakangi bangunan teknologi itu. Sementara bangunan epistimologis dan
filosofis yang melatarbelakangi iptek belum dijajaki Muhammadiyah secara
serius. Ini terbukti belum ada kajian filsafat dan ilmu-ilmu sosial serta studi
agama yang bersifat empiris dalam lingkungan PTM.
***
AKUMULASI berbagai faktor itu,
menyebabkan wacana pemikiran Islam dalam Muhammadiyah seperti mengalami
stagnasi, untuk tidak mengatakan melangkah mundur. Dengan demikian, persoalan
ini harus segera dicarikan jalan keluar. Jika tidak, Muhammadiyah yang selama
ini dianggap sebagai organisasi Islam modernis, dalam bidang pemikiran Islam
akan berwajah sangat konservatif.
Jika menyadari berbagai kelemahan ini,
Muhammadiyah harus segera mengambil langkah strategis dengan membentuk
pusat-pusat studi keislaman, baik melalui jaringan PTM, maupun melalui berbagai
LSM. Kelompok-kelompok seperti ini harus didorong, dimotivasi, dan diberi
kesempatan mengembangkan gagasan dan pemikiran Islam secara bebas. Kesempatan
dan kebebasan ini menjadi penting, karena selama ini wacana pemikiran Islam
dalam Muhammadiyah, seolah-olah hanya didominasi generasi tua dan elite saja.
Agar tidak ketinggalan dalam wacana
pemikiran Islam, Muhammadiyah tidak perlu meninggalkan doktrin a faith in
action-nya. Yang perlu dilakukan bukan meninggalkan orientasinya pada
bidang sosial-praksis, tetapi menambah tekanan pada bidang teologis-filosofis,
agar mampu menangkap ide dan semangat pembaruan yang dikembangkan generasi awal
Muhammadiyah. Doktrin yang diambil Muhammadiyah dengan menggabungkan aspek
teologis-filosofis dan sosial-praksis merupakan eksperimen umat Islam Indonesia
untuk keluar dari pusaran diskursus teologis sejak zaman klasik-yang notabene
hanya bercorak rasional-intelektual an sich-ke arah wilayah yang
bersifat historis-empiris-praksis.
Berbagai persoalan yang dikemukakan
itu, tentu bukan dimaksudkan untuk mengungkap kelemahan-kelemahan Muhammadiyah,
namun lebih sebagai kesadaran dan otokritik agar Muhammadiyah tidak terlena
dengan berbagai keberhasilan yang telah dicapai. Dan, hal ini sama sekali bukan
untuk mengecilkan peranan Muhammadiyah dalam proses pengembangan pemikiran
Islam di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, kritik terhadap bentuk pemahaman
keislaman Muhammadiyah yang sudah mapan dan baku sangatlah perlu. Agar
Muhammadiyah dapat menampung dan mencari pemecahan berbagai keluhan dan
ketidakpuasan yang muncul di kalangan masyarakat luas, sekaligus dapat
mengantar Muhamadiyah mengantisipasi persoalan umat dan zaman yang sedang terus
bergulir-berubah.
Jika dilihat lebih jauh, berangkat
dari doktrin a faith in action, membuat gagasan-gagasan mengenai Islam
liberal, demokrasi, pluralisme, dan civil society, dalam Muhammadiyah
dianggap penting, namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Bagi
Muhammadiyah, lebih baik langsung berperilaku liberal, demokratis, dan
pluralis, daripada banyak bicara liberalisme, demokrasi dan pluralisme, tetapi
sebaliknya berperilaku antiliberal, antidemokrasi dan antipluralisme. Dengan begitu,
betul kata Robert W Hefner, suara-suara pembaruan politik dan
demokratisasi dalam masyarakat Islam di Indonesia selalu mencakup sejumlah
orang yang lebih luas ketimbang kalangan terbatas para teolog liberal dan
neomodernis (1999). Penting untuk menekankan persoalan ini, karena beberapa
pengamat Barat berpandangan, Muslim Indonesia yang secara serius memiliki
komitmen terhadap pembaruan demokratis hanyalah para teolog liberal, dalam
jumlah sedikit. Namun, harus dipahami juga, komitmen terhadap demokrasi
sebenarnya mencakup kalangan lebih luas.
Akibatnya, (sekadar untuk tidak
berkecil hati) kalangan Islam modernis sebenarnya bisa menjadi pihak pertama
dalam mendukung dan mendorong perubahan demokratis di Indonesia, sebab sumber
daya politik mereka akhirnya jauh melebihi yang lain.
Penulis adalah Ketua (bidang politik
dan kebijakan) DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Tulisan ini dikutip dari KCM, edisi, Sabtu, 26 Januari 2002
Tulisan ini dikutip dari KCM, edisi, Sabtu, 26 Januari 2002
0 komentar:
Posting Komentar