Jumat, 15 Juni 2012




Negara Syariat atawa Negara Sekuler?
Zuhairi Misrawi


Setahun terakhir, kampanye formalisasi syariat turut meramaikan wacana politik nasional. Gaungnya kian menggema, tidak hanya di pusat, akan tetapi menyeruak ke pelbagai daerah. Paling tidak, lahirnya peraturan daerah yang menyemangati syariat semakin memperkuat asumsi, bahwa kelompok yang akan menjadikan syariat sebagai “blue print” politik semakin kuat. Sidang Tahunan dibanjiri ribuan massa dari organisasi keagamaan, seperti Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa ormas lainnya guna memberikan “tekanan politik” kepada para wakil rakyat untuk mencantumkan kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945.
Fenomena tersebut semakin mempertegas kebutuhan paradigmatik: Akankah negara ini menjadi “negara syariat” atau “negara sekuler”. Kendatipun peta politik nasional mengisyaratkan keunggulan faksi “negara sekuler”, namun sulit rasanya menghilangkan gelombang faksi “negara syariat”. Karena itu, kita mesti merayakan perbedaan tersebut dalam ruang diskursus yang kondusif dan menjauhi segala bentuk kekerasan dan pemaksaan, sehingga kita mampu mewujudkan impian bersama: menjadi bangsa yang dapat menghargai keragaman dan meritualkan kebebasan berpendapat.

Negara Syariat

Diskursus “negara syariat” sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana Islam Politik. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini bisa dilihat dari maraknya organisasi keagamaan yang lantang menyuarakan isu “negara syariat” di pelbagai dunia Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India, Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair).
Karena itu, sebagai sebuah diskursus, “negara syariat” adalah wacana mondial umat Islam yang mempunyai agenda penting untuk menggiring syariat ke dalam tubuh negara. Ahmad Sanhuri (1926) menyebut upaya menegarakan syariat dengan istilah al-hukumah al-islamiyah al-naqishah (pemerintahan Islam minimalis). Artinya, kalau dahulu kekuasaan Islam bersifat mondial yang diartikulasikan dalam sistem khilafah, yang mana seluruh dunia Islam menunjuk seorang pemimpin, namun saat ini Islam Politik diekspresikan dalam bentuk pemerintahan Islam minimal dengan membentuk “negara syariat”. Kecenderungan seperti ini adalah karakteristik dunia Islam pasca-kejatuhan dinasti Ottoman di Turki.
Historisitas “negara syariat” tersebut dapat disebut sebagai pilihan termungkin yang bisa dilakukan kalangan Islam Politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan. Hanya saja yang dipertanyakan masyarakat, apakah yang menjadi agenda utama pasca-peluncuran “negara syariat”? Kalau hanya sekadar menginginkan “islamisasi”, kenapa harus menggunakan negara sebagai alatnya? Pertanyaan seperti ini penting sekali guna menghilangkan kecurigaan yang kian menggelembung dalam kognisi masyarakat global mengenai kehadiran kalangan pro-negara syariat yang disebut-sebut sebagai kalangan fundamentalis. Bukankah syariat dapat dilaksanakan dengan bebas bagi para pemeluknya walau tidak menggunakan sistem “negara syariat”.
Jika mengamati entitas pelbagai gerakan keagamaan kontemporer yang mengagendakan formalisasi syariat dapat diambil dua kesimpulan penting. Pertama, “negara syariat” lahir sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler. Ini menjadi alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang islami. Yusuf al-Qaradlawi, misalnya, termasuk pemikir muslim garda depan yang menyuarakan “negara syariat” sebagai alternatif dari ketimpangan sistem sekuler yang telah memporak-porandakkan nilai dan moralitas.   
Menurut Qaradlawi, Islam mempunyai seperangkat nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Quran dan Sunnah rujukan utamanya. Pemikiran seperti ini merupakan pandangan yang umum digunakan kalangan pro-syariat, termasuk di tanah air. Ada semacam kesadaran teologis yang sangat kental, bahwa syariat dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi bangsa ini. Hanya saja, yang seringkali dilupakan mereka, bahwa syariat sebagai doktrin keagamaan dapat dipahami berbeda-beda. Ini dibuktikan, bahwa syariat dipraktekkan dalam bentuk fikih yang mengundang perbedaan pendapat (ikhtilaf). Jikalau berbicara soal fikih, ini tak terelakkan akan terkait dengan persoalan-persoalan sosio-kultural, terutama politik.
Pilihan terhadap sebuah mazhab secara sosio-antropologis sebenarnya lebih sebagai pilihan politis dari pada pilihan doktrinal. Kenapa fikih mazhab Syafi’i diterapkan di dunia Arab bagian Timur, dan kenapa dunia Arab bagian barat memilih Hanafi dan Maliki? Ini tak lain, terkait dengan faktor-faktor politik penguasa yang mengimani sebuah mazhab dengan maksud unifikasi. Karena itu pandangan pemikir post-modernis seperti Michel Foucault, yang menyebutkan agama sebagai kekuatan politik (religion is a political force) dapat dibenarkan. Artinya, terdapat relasi funsional antara wacana dan kuasa. Pertanyaannya, jikalau akhirnya “negara syariat” hanya akan menjadi “gerakan politik”, bukankah akan mengalami kegagalan yang serupa dengan sistem sekuler, tatkala tak mampu membumikan kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan.
Kedua, “negara syariat” disebut sebagai resistensi terhadap modernitas. Pemikir agama-agama, seperti Karen Amstrong termasuk dalam mazhab tersebut. Dalam pengamatannya terhadap pelbagai gerakan keagamaan kontemporer mempertegas adanya kecenderungan umum melawan modernitas yang disimbolisasikan dengan kapitalisme global. Modernitas tidak hanya membawa “berkah”, akan tetapi membawa “musibah” bagi identitas-identitas lokal. Karena itu, gerakan seperti ini, menurut Karen dapat diabsahkan guna membangun resistensi. Diskursus melawan modernitas tidak hanya menjadi pandangan umum gerakan keagamaan, tapi juga wacana dan gerakan yang didendangkan dunia ketiga.
Jika “negara syariat” dapat diletakkan dalam konteks resistensi atas modernitas, tak mustahil akan mendapat dukungan dari masyarakat dunia. Karena siapapun sudah tidak betah lagi dengan penindasan global. Namun persoalan utamanya, “negara syariat” sebagai resistensi atas modernitas hanya sebagai “sasaran antara”, yang mana targetnya adalah “negara maksimal” dan “negara minimal”, dan keduanya berdimensi politis. Kalau itu yang terjadi, maka benar apa yang disebut ketua umum PP. Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif, bahwa gerakan pro-negara syariat hanya akan meraih “piala kekalahan” (Jurnal Tashwirul Afkar: 2002)

Negara Sekuler

Diskursus “negara sekuler” pun tak lepas dari keterbatasan dan kekurangannya. Ia mengalami pembusukan dari dalam dan dari luar. Dalam tataran nasional, kita mendapatkan ketidakmampuan dan ketidaktegasan sistem sekuler dalam menyelesaikan perlbagai persoalan, seperti konflik etnis, penggusuran dan krisis ekonomi. Begitu halnya dalam tataran global, sistem global telah menjerat dunia ketiga dengan hegemoni politik dan ekonomi sekaligus. Ini semua menjadi amunisi kalangan pro “negara syariat” untuk membabakbelurkan sistem sekuler. Akibatnya, stigmatisasi terhadap sistem sekuler semakin menjadi-jadi, bukan untuk keluar dari krisis kemanusiaan, politik, budaya dan lain-lain, melainkan untuk kembali kepada syariat.
Karena itu, yang patut disadari bersama, bagaimana memahami kembali sistem sekuler, dalam hal ini adalah demokrasi. Sebagai sebuah sistem, demokrasi merupakan “jalan tengah” untuk keluar dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Yang menjadi kata kuci dalam demokrasi adalah pelembagaan yang didasari atas nilai-nilai persamaan, pluralitas, kemanusiaan dan kesetaraan. Demokrasi meniscayakan terwadahkannya keadilan, sehingga dapat menghindari dari otoritarianisme dan meminimalisir segala bentuk penindasan, baik yang dilatarbelakangi agama, politik maupun ekonomi.
Dalam konteks masyarakat beragama, seperti di tanah air, sejatinya pemikiran keagamaan tidak hanya dikampanyekan dalam hal formalisasinya, melainkan adanya pelembagaan pemikiran yang didasarkan atas nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan persamaan hak. Olivier Roy (1994) dalam The Failure of Political Islam mempunyai kritikan yang tajam bagi kalangan Islam Politik yang hanya berkutat pada kekuasaan dan mengenyampingkan dimensi kemanusian, pluralitas, keadilan dan kesetaraan. Menurutnya, model yang diterapkan di Iran merupakan contoh terbaik yang tersedia dalam komunitas muslim, karena menjadikan sistem sekuler sebagai upaya melembagakan pemikiran keagamaan (the Iranian model is in fact a “secular” model, in the sense that it is the state that defines the place of the clergy and not the clergy who define the place of politic). Dengan demikian, sebenarnya persoalan kita bukan hanya sekadar mendirikan “negara syariat” atau “negara sekuler”, melainkan berupaya melembagakan keadilan, kemanusiaan, kesetaraan dan kebhinnekaan.[]


Zuhairi Misrawi. Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo-Mesir dan Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris, P3M, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!