Negara Syariat atawa Negara Sekuler?
Zuhairi Misrawi
Setahun terakhir, kampanye formalisasi syariat turut meramaikan wacana
politik nasional. Gaungnya kian menggema, tidak hanya di pusat, akan tetapi
menyeruak ke pelbagai daerah. Paling tidak, lahirnya peraturan daerah yang
menyemangati syariat semakin memperkuat asumsi, bahwa kelompok yang akan
menjadikan syariat sebagai “blue print” politik semakin kuat. Sidang Tahunan
dibanjiri ribuan massa dari organisasi keagamaan, seperti Hizbut Tahrir, Front
Pembela Islam (FPI) dan beberapa ormas lainnya guna memberikan “tekanan
politik” kepada para wakil rakyat untuk mencantumkan kembali Piagam Jakarta
dalam UUD 1945.
Fenomena tersebut semakin mempertegas kebutuhan paradigmatik: Akankah
negara ini menjadi “negara syariat” atau “negara sekuler”. Kendatipun peta
politik nasional mengisyaratkan keunggulan faksi “negara sekuler”, namun sulit
rasanya menghilangkan gelombang faksi “negara syariat”. Karena itu, kita mesti
merayakan perbedaan tersebut dalam ruang diskursus yang kondusif dan menjauhi
segala bentuk kekerasan dan pemaksaan, sehingga kita mampu mewujudkan impian
bersama: menjadi bangsa yang dapat menghargai keragaman dan meritualkan
kebebasan berpendapat.
Negara Syariat
Diskursus “negara syariat” sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana
Islam Politik. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini bisa dilihat dari maraknya organisasi
keagamaan yang lantang menyuarakan isu “negara syariat” di pelbagai dunia
Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India, Pakistan dan
Bangladesh) dan FIS (Aljazair).
Karena itu, sebagai sebuah diskursus, “negara syariat” adalah wacana
mondial umat Islam yang mempunyai agenda penting untuk menggiring syariat ke
dalam tubuh negara. Ahmad Sanhuri (1926) menyebut upaya menegarakan syariat
dengan istilah al-hukumah al-islamiyah
al-naqishah (pemerintahan Islam minimalis). Artinya, kalau dahulu kekuasaan
Islam bersifat mondial yang diartikulasikan dalam sistem khilafah, yang mana seluruh dunia Islam menunjuk seorang pemimpin, namun saat ini Islam Politik
diekspresikan dalam bentuk pemerintahan Islam minimal dengan membentuk “negara
syariat”. Kecenderungan seperti ini adalah karakteristik dunia Islam
pasca-kejatuhan dinasti Ottoman di Turki.
Historisitas “negara syariat” tersebut dapat disebut sebagai pilihan
termungkin yang bisa dilakukan kalangan Islam Politik untuk menjadikan syariat
sebagai sistem kenegaraan. Hanya saja yang dipertanyakan masyarakat, apakah
yang menjadi agenda utama pasca-peluncuran “negara syariat”? Kalau hanya
sekadar menginginkan “islamisasi”, kenapa harus menggunakan negara sebagai
alatnya? Pertanyaan seperti ini penting sekali guna menghilangkan kecurigaan
yang kian menggelembung dalam kognisi masyarakat global mengenai kehadiran
kalangan pro-negara syariat yang disebut-sebut sebagai kalangan fundamentalis.
Bukankah syariat dapat dilaksanakan dengan bebas bagi para pemeluknya walau
tidak menggunakan sistem “negara syariat”.
Jika mengamati entitas pelbagai gerakan keagamaan kontemporer yang
mengagendakan formalisasi syariat dapat diambil dua kesimpulan penting.
Pertama, “negara syariat” lahir sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan
sistem sekuler. Ini menjadi alasan yang sering disebut-sebut guna membangun
masyarakat yang islami. Yusuf al-Qaradlawi, misalnya, termasuk pemikir muslim
garda depan yang menyuarakan “negara syariat” sebagai alternatif dari
ketimpangan sistem sekuler yang telah memporak-porandakkan nilai dan moralitas.
Menurut Qaradlawi, Islam mempunyai seperangkat nilai dan pemikiran guna
membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Quran dan Sunnah
rujukan utamanya. Pemikiran seperti ini merupakan pandangan yang umum digunakan
kalangan pro-syariat, termasuk di tanah air. Ada semacam kesadaran teologis
yang sangat kental, bahwa syariat dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan
seluruh problem yang dihadapi bangsa ini. Hanya saja, yang seringkali dilupakan
mereka, bahwa syariat sebagai doktrin keagamaan dapat dipahami berbeda-beda.
Ini dibuktikan, bahwa syariat dipraktekkan dalam bentuk fikih yang mengundang
perbedaan pendapat (ikhtilaf).
Jikalau berbicara soal fikih, ini tak terelakkan akan terkait dengan
persoalan-persoalan sosio-kultural, terutama politik.
Pilihan terhadap sebuah mazhab secara sosio-antropologis sebenarnya lebih
sebagai pilihan politis dari pada pilihan doktrinal. Kenapa fikih mazhab
Syafi’i diterapkan di dunia Arab bagian Timur, dan kenapa dunia Arab bagian
barat memilih Hanafi dan Maliki? Ini tak lain, terkait dengan faktor-faktor
politik penguasa yang mengimani sebuah mazhab dengan maksud unifikasi. Karena
itu pandangan pemikir post-modernis seperti Michel Foucault, yang menyebutkan
agama sebagai kekuatan politik (religion
is a political force) dapat dibenarkan. Artinya, terdapat relasi funsional
antara wacana dan kuasa. Pertanyaannya, jikalau akhirnya “negara syariat” hanya
akan menjadi “gerakan politik”, bukankah akan mengalami kegagalan yang serupa
dengan sistem sekuler, tatkala tak mampu membumikan kemanusiaan, keadilan dan
kesetaraan.
Kedua, “negara syariat” disebut sebagai resistensi
terhadap modernitas. Pemikir agama-agama, seperti Karen Amstrong termasuk dalam
mazhab tersebut. Dalam pengamatannya terhadap pelbagai gerakan keagamaan
kontemporer mempertegas adanya kecenderungan umum melawan modernitas yang
disimbolisasikan dengan kapitalisme global. Modernitas tidak hanya membawa
“berkah”, akan tetapi membawa “musibah” bagi identitas-identitas lokal. Karena
itu, gerakan seperti ini, menurut Karen dapat diabsahkan guna membangun
resistensi. Diskursus melawan modernitas tidak hanya menjadi pandangan umum
gerakan keagamaan, tapi juga wacana dan gerakan yang didendangkan dunia ketiga.
Jika “negara syariat” dapat diletakkan dalam konteks resistensi atas
modernitas, tak mustahil akan mendapat dukungan dari masyarakat dunia. Karena
siapapun sudah tidak betah lagi dengan penindasan global. Namun persoalan
utamanya, “negara syariat” sebagai resistensi atas modernitas hanya sebagai “sasaran
antara”, yang mana targetnya adalah “negara maksimal” dan “negara minimal”, dan
keduanya berdimensi politis. Kalau itu yang terjadi, maka benar apa yang
disebut ketua umum PP. Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif, bahwa gerakan pro-negara
syariat hanya akan meraih “piala kekalahan” (Jurnal Tashwirul Afkar: 2002)
Negara Sekuler
Diskursus “negara sekuler” pun tak lepas dari
keterbatasan dan kekurangannya. Ia mengalami pembusukan dari dalam dan dari
luar. Dalam tataran nasional, kita mendapatkan ketidakmampuan dan
ketidaktegasan sistem sekuler dalam menyelesaikan perlbagai persoalan, seperti
konflik etnis, penggusuran dan krisis ekonomi. Begitu halnya dalam tataran
global, sistem global telah menjerat dunia ketiga dengan hegemoni politik dan
ekonomi sekaligus. Ini semua menjadi amunisi kalangan pro “negara syariat”
untuk membabakbelurkan sistem sekuler. Akibatnya, stigmatisasi terhadap sistem
sekuler semakin menjadi-jadi, bukan untuk keluar dari krisis kemanusiaan,
politik, budaya dan lain-lain, melainkan untuk kembali kepada syariat.
Karena itu, yang patut disadari bersama, bagaimana memahami kembali sistem
sekuler, dalam hal ini adalah demokrasi. Sebagai sebuah sistem, demokrasi
merupakan “jalan tengah” untuk keluar dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Yang
menjadi kata kuci dalam demokrasi adalah pelembagaan yang didasari atas
nilai-nilai persamaan, pluralitas, kemanusiaan dan kesetaraan. Demokrasi
meniscayakan terwadahkannya keadilan, sehingga dapat menghindari dari
otoritarianisme dan meminimalisir segala bentuk penindasan, baik yang
dilatarbelakangi agama, politik maupun ekonomi.
Dalam konteks masyarakat beragama, seperti di tanah air, sejatinya
pemikiran keagamaan tidak hanya dikampanyekan dalam hal formalisasinya,
melainkan adanya pelembagaan pemikiran yang didasarkan atas nilai kemanusiaan,
keadilan, kesetaraan dan persamaan hak. Olivier Roy (1994) dalam The Failure of Political Islam mempunyai
kritikan yang tajam bagi kalangan Islam Politik yang hanya berkutat pada
kekuasaan dan mengenyampingkan dimensi kemanusian, pluralitas, keadilan dan
kesetaraan. Menurutnya, model yang diterapkan di Iran merupakan contoh terbaik
yang tersedia dalam komunitas muslim, karena menjadikan sistem sekuler sebagai
upaya melembagakan pemikiran keagamaan (the
Iranian model is in fact a “secular” model, in the sense that it is the state
that defines the place of the clergy and not the clergy who define the place of
politic). Dengan demikian, sebenarnya persoalan kita bukan hanya sekadar
mendirikan “negara syariat” atau “negara sekuler”, melainkan berupaya
melembagakan keadilan, kemanusiaan, kesetaraan dan kebhinnekaan.[]
Zuhairi Misrawi. Alumnus
Universitas al-Azhar, Kairo-Mesir dan Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris,
P3M, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar