Sabtu, 16 Juni 2012


’’Sense of Crisis’’ dan Jaminan Keadilan Sosial

Oleh Edy Purwo Saputro

Indonesia tidak pernah sepi dari kontroversi. Setelah kontroversi keluarnya Memorandum II yang mengarah ke SI-MPR (1 Agustus 2001), kontroversi Kepmennakertrans yang memicu aksi buruh di sejumlah daerah, kontroversi defisit anggaran yang memicu keluarnya kebijaksanaan penyesuaian harga BBM yang mulai berlaku 16 Juni sehingga mengakibatkan tuntutan kenaikan tarif angkutan umum, dan saat ini mencuat kontroversi pengadaan mesin cuci bagi anggota dewan.

Fakta itu secara tidak langsung justru menunjukkan kontroversi tampaknya menjadi salah satu fenomena yang berkembang di Indonesia. Tentunya sangat ironis, terutama dikaitkan dengan realitas semakin berlarutnya krisis dalam tiga tahun terakhir. Hal itu sekaligus menunjukkan lemahnya sense of crisis. Lalu bagaimana?

Apa yang diberitakan oleh pers tentang kontroversi di balik rencana pengadaan mesin cuci bagi anggota dewan tentunya menjadi bumerang bagi kewibawaan anggota DPR. Belum lama ini mereka sudah menyetujui kenaikan harga BBM. Selain itu, pihak yang juga merasa tersudutkan atas kasus ini adalah Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Bahkan, secara ekstrem ada yang mengatakan, rencana peng- adaan tersebut tidak lepas dari praktek kolusi. Pemahaman tentang kasus itu pada dasarnya tidak hanya mengacu pada aspek sense of crisis, tetapi juga aspek moralitas, dan ambiguitas, terutama dikaitkan dengan beban kehidupan masyarakat yang semakin terjepit.

Kearifan

Yang justru mengherankan, ternyata antaranggota dewan juga saling melontarkan pro-kontra di balik rencana pengadaan mesin cuci itu, yang menurut berita mencapai anggaran sekitar Rp 3 miliar. Meskipun demikian, yang terasa aneh, lontaran pro-kontra itu justru berkembang ketika masyarakat, terutama melalui pers, mulai menyoroti! Jadi, bisa disimpulkan, kalau saja masyarakat (khususnya ekspose oleh pers) tidak melontarkan kritikan, bisa dipastikan pengadaan mesin cuci tersebut akan terealisasi.

Kondisi itu tentu sangat bertentangan dengan peran DPR yang seharusnya, yaitu memberikan contoh yang baik bagi masyarakat dan bukan justru sebaliknya. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan, apakah mereka pantas mengkritik rencana kepergian Gus Dur ke tiga negara, yaitu Australia, Filipina dan Selandia Baru, yang menurut rencana menghabiskan anggaran Rp 7 miliar, sementara di sisi lain mereka juga menganggarkan pengeluaran mesin cuci Rp 3 miliar. Ironis sekali!

Kontroversi kasus itu justru mengingatkan kita pada kasus rencana impor mobil mewah untuk KTT G-15 akhir Mei lalu. Komplain sejumlah pihak atas rencana mengimpor sejumlah mobil mewah KTT pada dasarnya menunjukkan bahwa legalitas dari penyelenggaraan KTT ternyata mampu memberi keuntungan bagi segelintir pihak.

Fakta itu bukan tidak beralasan, sebab dalam sejumlah agenda penting sebelumnya, ternyata kebijakan impor mobil juga sudah sering kali dilakukan, dan selanjutnya akan dilakukan suatu proses lelang (yang tidak lain arahnya adalah sisi perpindahan tangan kepada pihak-pihak tertentu). Jadi, arahnya adalah upaya pengalihan kepemilikan mobil mewah dengan dalih prosedural impor untuk memperlancar kegiatan KTT.

Bahkan, terkait kasus impor mobil mewah KTT itu, Asosiasi Importir Kendaraan bermotor Indonesia (AIKI) memprotes penunjukan dua agen tertentu (dan hal ini juga bisa terkait dengan pemilihan merek tertentu atas mesin cuci), sebab ada indikasi proses penunjukan itu tidak transparan dan secara riil sebenarnya banyak pengimpor yang mampu untuk mendukung pengadaan impor mobil mewah KTT tersebut (Bisnis Indonesia, 31/3-2001). Padahal, dari pemberian fasilitas impor itu, ternyata pajak bea masuk yang dikenakan hanya 5 persen (di bawah ketentuan yang seharusnya berlaku, yaitu 45 - 80 persen).

Jadi, kemudahan fasilitas tersebut akan sangat merugikan dalam penerimaan negara. Artinya, realitas itu sangat bertentangan dengan komitmen kemandirian yang dicanangkan pemerintah, termasuk juga menyalahi amanat revisi anggaran yang disetujui DPR.

Selanjutnya, ketika tekanan dari masyarakat semakin kuat, pemerintah akhirnya berusaha bersikap arif, yaitu memanfaatkan mobil fasilitas negara. Selain itu, sementara pihak juga berharap agar pemerintah dapat memanfaatkan sejumlah mobil bermasalah terutama mobil-mobil selundupan yang masih dalam proses pemeriksaan. Konsekuensi terhadap tuntutan untuk memanfaatkan mobil-mobil bermasalah itu, pemerintah kemudian mengurangi jumlah impor mobil mewah untuk KTT menjadi 50 unit. Artinya, kalau dikalkulasi, jumlah impor 50 unit mobil mewah itu hanya sekitar Rp 150 miliar (Jawa Pos, 30/3-2001). Kalaupun akhirnya pemerintah membatalkan impor mobil KTT, hal itu bukan atas dasar inisiatif sendiri, tetapi atas desakan rakyat!

Kontinuitas

Terkait dengan kontroversi kasus ini, sangat beralasan kalau salah satu anggota DPR, Slamet Effendi Yusuf menyayangkan rencana pengadaan mesin cuci yang dianggapnya tidak mencerminkan rasionalitas pemikiran, dan lebih setuju kalau anggota DPR didukung untuk pengadaan staf ahli guna memacu kinerja anggota DPR. Selain itu, Teten Masduki, koordinator ICW menegaskan, sudah saatnya DPR menghentikan alokasi pembiayaan yang lebih memberatkan APBN dan lebih berkonsentrasi pada aspek pemberdayaan perannya, terutama dikaitkan eksistensi (Suara Pembaruan, 23/6-2001).

Mengacu pada sejumlah kritikan yang berkembang, hampir bisa dipastikan, rencana pengadaan mesin cuci akan batal dan kalau benar-benar batal, fakta yang ada menunjukkan bahwa sense of crisis anggota dewan sangat kecil. Jadi, realitas itu justru mengingatkan kita, keberpihakan kepada rakyat kecil justru muncul jika ada kritik dari bawah dan bukannya terinspirasi dari dalam diri sendiri, yang tidak lain adalah peran dan tanggung jawab DPR sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, wajar kalau Gus Dur juga cuek menghadapi kritikan DPR atas road show-nya ke tiga negara yang menghabiskan dana Rp 7 miliar.

Asumsi minor yang bisa dipetik dari kasus itu, DPR sudah menyelewengkan kepercayaan rakyat, terutama dikaitkan dengan perannya yang harus menyuarakan semua aspirasi rakyat, termasuk juga dalam kaitan ini adalah tuntutan mengembangkan potensi pemberdayaan rakyat. Jadi, jangan salahkan rakyat kalau mereka enggan membayar pajak, sebab alokasi penggunaannya nanti justru lebih untuk menunjang fasilitas pejabat yang nota bene tidak mencerminkan sense of crisis. Kalau memang hal itu terjadi, operasional pemerintahan bisa kacau dan imbasnya adalah berlarutnya krisis (implisit pada akumulasi kecemasan sosial dan kecemasan politik, serta keresahan).

Oleh karena itu, langkah utama yang harus dipakai, bagaimana melihat kasus itu sebagai suatu proses pembelajaran bagi semua pihak, tidak saja bagi eksekutif, tetapi juga legislatif dan masyarakat. Ketiga komponen itu harus mengupayakan suatu sistem pemerintahan yang transparan sehingga mampu mengimplementasikan nilai sense of crisis dalam arti yang sebenarnya, dan bukannya justru mengejar pemuasan diri. Artinya, aspek kontrol dari ketiga komponen itu menjadi sesuatu yang sangat penting, dan kalau hal itu dapat dilakukan dengan baik, alokasi pembiayaan untuk pos-pos yang kurang bermanfaat dapat diminimalkan. Dengan kata lain kita berupaya melakukan nilai efisiensi dan skala prioritas demi keadilan - kemanusiaan. Semoga. (Sumber: Suara Pembaruan Daily, 27/06/2001).

*) Penulis adalah dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!