Rabu, 13 Juni 2012



Peradaban Gender 3000 SM – 1100 Masehi
 
Antara 3000 SM sampai sekitar 1100 Masehi di berbagai belahan bumi sebagaimana tercatat dalam sejarah tertulis, lelaki menganggap diri lebih unggul mengatasi perempuan dalam apa saja.  Hal ini antara lain bisa disimak lewat peninggalan-peninggalan sejarah dan galian-galian arkeologis di Asia Barat, Mesir dan Eropa purba. Sikap superioritas lelaki itu menjadi lebih serem, antara lain karena mewujud dalam norma-norma hukum dan tatacara pergaulan sosial. 
Dalam konteks norma-norma yang semacam itu, perempuan digiring menjadi hak milik mirip ternak. Sekian lembu atau sekian domba bisa berarti sekian perempuan. Mula-mula manakala masih kecil menjadi milik ayahnya, berangkat dewasa menjadi milik suaminya, dan jika suaminya meninggal menjadi milik anaknya lelaki. Hal tidak senonoh ini karena bergudang-gudang faktor. Paling tidak senonoh adalah lantaran hukum dll tersebut mempunyai fondasi dan pijakan yang amat berliku-liku. Fondasi tersebut acapkali tidak konsekuen. Ia meliuk-liuk menapak di sana sini, antara lain untuk memuaskan kepentingan kekuasaan politik dan menyesuaikan diri dengan hasrat  kaum mayoritas yang ditopang keyakinan religi dengan karakter theistik tak penting tunggal atau plural. Monotheistik atau politheistik sama-sama tegar, eksklusif, tertutup, dan intoleran. Yang kuat, yang banyak, yang paling jago teknik pengeroyokannya, akan selalu unggul jadi legislator, eksekutor dan yudikator sekaligus. 
Peradaban  tersebut sebagian juga sempat mempengaruhi Yunani. Di negara dewa-dewi itu para hetairai -kaum ksatria terpelajar– sejatinya masih mencatat ihwal keunggulan perempuan atas para pederast alias lelaki. Sayang. Fondasi keunggulan itu, untuk ukuran tertentu, kurang bagus. Yaitu “cuma” dengan modal  rayuan maut, kemolekan fisik, dan kelihaian main erotika asmara. Keunggulan perempuan atas lelaki dengan model yang relatif sama, juga terjadi di Roma. Mereka itu tergolong kaum terhormat, juga termasuk manusia bebas, meski rata-rata kurang cerdas selain cuma pintar megal-megol. Kebebasan dan keunggulan perempuan dengan taraf sedemikian itulah yang gilirannya bahkan ikut andil dalam mempercepat ambruknya kekaisaran Roma.
Meski secara kronologis tidak bisa dibikin keseragaman di tiap kawasan mengenai evolusi peradabannya, tetapi secara sederhana bisa dikatakan,  rentang waktu sekitar 19 abad, antara 800 SM sampai 1100 SM, telah mencatat ketegaran kultur monotheistik Asia Barat. Yakni peradaban Ibrani. Peradaban ini merasa tidak butuh memadukan atau membuat kompromi antara hukum agama dan hukum sekular. Puncaknya: Pentateuch. 
Pentateuch adalah campuran kultur Asia Barat dengan kekuatan senjata yang diturunkan di Sinai. Kultur religi dan kultur kekuasaan, sebab dari Sinai, sama-sama mempunyai wewenang Yahwe. Mengandung perintah yang bersifat mengikat untuk ditaati. Tak ada tawar menawar. Tak ada diskusi!
Dalam konteks peradaban di atas, sejatinya sikap zaman neolithicum tetap awet. Dominasi lelaki atas perempuan merajalela di banyak bidang kehidupan. Dan ketika Gereja -yang bersendikan dasar-dasar faham Ibrani- mengambil alih dunia Barat sebagai penerus kekaisaran Roma, maka relasi-relasi sosial dan seksual yang berlaku tidak lebih adalah fosil-fosil kultur Ibrani purba. Agar klop dengan Asia Barat dan atau untuk menangkal sakwasangkanya, para bapa gereja sudah siap, dengan menambahkan sikap-sikapnya sendiri. Seks kemudian diubah menjadi dosa dan homoseksualitas dikutuk sebagai membahayakan negara.
Hal kurang lebih sama sejatinya juga terjadi di Asia Timur, Tenggara, Selatan, dan Asia Jauh (artinya jauh dari peradaban Eropa Barat purba), katakan saja di Timur. Yakni bahwa lelaki dominan atas perempuan. Di dua belahan bumi tersebut, Timur dan Barat, ihwal perkara kesuburan keturunan menjadi fokus dalam relasi lelaki perempuan alias seksualitas. Dua jagat tersebut sejatinya mempunyai tujuan yang sama. Tetapi sebab latar budaya yang berbeda, mereka berpisah dalam menyiasati tujuan yang sama itu.
Di belahan jagat Barat, laku seksual dirintangi atau orang menahan diri karena kenikmatan seks dianggap bakal menghambat kesuburan keturunan. Makin sedikit seks, makin bagus kesuburan keturunan. Di jagat Timur, termasuk Arab, justru sebaliknya. Masyarakat memberi peluang ngeseks sebanyak mungkin bagi lelaki yang dianggap subur. Dalam konteks zamannya, lelaki dianggap subur jika kaya, berkuasa, berwibawa, berpengaruh, dan bisa berbuat aneh-aneh semisal membuat mukjizat dan sejenisnya. Tingkat kekayaan dan tingkat kekekuasaan dll sejenis itu mempengaruhi tingkat kesuburan seorang lelaki. Hanya lelaki! Perkara subur tidaknya seorang perempuan jarang sekali menjadi subyek, kecuali menjadi obyek alias pelengkap penderita atau pelengkap pembahagia. 
Tidak mengherankan jika di Asia Barat dan khususnya di negara-negara Arab, selain poligami dinilai baik, mempunyai puluhan gundik dan  ratusan harem dianggap hebat. Makin banyak gundik, makin kaya dengan harem, makin berstatus!
Dalam kerangka faham Timur, seks adalah bagian bentuk kehidupan yang niscaya. Bukan sesuatu yang berada di luarnya. Dalam kehidupan niscaya ada seks. Tanpa seks, kehidupan tak bisa dibayangkan. Seks bagaikan punya nafas sendiri, dalam bentuknya yang sempurna menjadi gerbang dan jalan serta lorong menuju ke keleluasaan atau kemerdekaan rohani. Barangsiapa mengganggu seks berarti mengganggu kehidupan, dus, jahat! 
Masih dalam kerangka faham tersebut, seks dan kehidupan di balik langit, khususnya di Asia keseluruhan sampai zaman abad pertengahan, merupakan dua bidang yang tak bisa dipisahkan. Taoisme di Cina dan Tantra di India amat tegar mengajarkan disiplin seks, dalam arti membela kenikmatan-kenikmatannya. Memang, secara gender hukum kultural sosial, kaum perempuan di Asia dan Arab pada zaman ini tidak kurang tertindasnya sebagaimana dialami saudari-saudari mereka di belahan jagat Barat. Tetapi dalam praktek kehidupan sehari-hari pada umumnya mereka lebih bebas dan longgar. Masyarakat di Cina, India dan Arab sampai zaman pertengahan adalah masyarakat yang poligam. Harem-harem dan gundik-gundik di Arab selama lebih seribu tahun menjadi bahan fantasi dan sumber obsesi di belahan dunia Barat yang monogam. 
Dalam pada itu, sedikit mundur secara kronologis, orang-orang Arab, didorong semangat dan spirit baru keIslaman, di awal abad pertengahan menggulung seluruh kawasan Laut Tengah dan melumpuhkan kebudayaan akbar Persia. Dari kaum nomadis yang "kasar" mereka berubah menjadi kaum "klas menengah" di dalam ukuran kultur dan peradaban Barat yang dinilai unggul. Ini dalam arti, di satu pihak, sebagian kultur Barat meresap bertransformasi dalam sikap pikir mereka.  Di lain pihak, sentuhan dan sepakterjang mereka juga membekas di dalam banyak peninggalan peradaban Barat. Ini misalnya tampak dalam karya-karya seni, sastra, medis, arsitektur dan berbagai karya teknologi. 
Dan tentu saja, orang-orang Arab dengan kultur gurun  pasir yang tegar tersebut, juga memberi warna dalam urusan seks. Di samping mewariskan karya budaya yang bersifat campur berkat avonturisme kolonialnya yang tak penting alasan religi dan alasan sejenisnya, mereka juga meninggalkan sikap seksualnya yang otentik. Misalnya dalam hal relasi lelaki perempuan, seks, mereka memperkenalkan sebuah sistem unik yang disebut "cinta sejati". Yang muaranya adalah enak dan kepenaknya ngeseks yang indahnya bukan main. 
Sistem tersebut amat panjang begini dan begitunya. Bisa menjadi buku tebal tersendiri. Singkatnya, yang terpenting, hal tersebut bukan saja mempengaruhi dan banyak memberi inspirasi para penyair, seniman dan para troubadour dalam kultur Barat, tetapi juga mempengaruhi keseluruhan citra perempuan di Barat pada zaman tersebut.


Oleh L Murbandono Hs.
 

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!