Rabu, 13 Juni 2012


WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Perempuan
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat
sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi. India, dan Cina.
Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha,
Zoroaster, dan sebagainya.

Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di
kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istanaistana.
Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan.
Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak
sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani,
wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan
dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap
melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat
kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang
terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta"
yang terkenal dalam peradaban Yunani.
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan
sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai
abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik
keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan
diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan
bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari
peradabanperadaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita
yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri
harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru
berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi
apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka me
ngatakan bahwa "Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita."
Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar
pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai
kebenarannya."
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu.
Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara
laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat
karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani
ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.

Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang
memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak, Akhirnya
terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci.
Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan suatu pertemuan untuk
membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari
pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang
diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad
pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan
sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami
untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi
memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke
pengadilan.
Ketika Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita
pertama di dunia - menyelesaikan studinya di Geneve University pada
tahun 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya
memboikotnya dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh
pelajaran, Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan
Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan
Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang
bersedia mengajar di sana.
Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum,
menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan pandangan
yang demikian tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Al-
Quran. Disisi lain, sedikit atau banyak pandangan demikian mempengaruhi
pemahaman sementara pakar terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-
Quran sebagaimana akan disinggung berikut ini.
ASAL KEJADIAN PEREMPUAN
Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar
terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian
perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah
firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13,
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa." Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan
seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan
manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya
bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada
Allah Swt. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan
dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam
bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa,
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuansebagaimana
menganugerahkan kepada lelaki - potensi dan kemampuan
yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua
jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat

umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut
dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat
menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
serta menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan
tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-
Nisa, ayat 1:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah
menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
lelaki dan perempuan yang banyak."
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan
Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi,
Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang
ulama tafsir bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam
tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut
dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar,
tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka
memahami arti nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak
pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim
Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah
pendapat mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam,
dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah
"pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan
tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir
terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari
Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif
terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah
bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi,
misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita bersifat 'auja'
(bengkok atau tidak lurus)."
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian-
Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:
"Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan,
karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-
Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara
harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara
metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis
tersebut.
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan

bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang
tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan dapat
mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan
mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun
mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas
menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang
sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung
paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan
diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada
satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita
untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau
bahwa
unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid
Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam
Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika
Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya,
lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang
yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang
menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha-
(Tafsir Al-Manar IV: 330)
Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan
mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam
dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat
70,
"Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka
mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan
makhluk-makhluk yang Kami ciptakan."
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan,
Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup
anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki.
Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang
menyatakan,
"Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang
berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma
lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis
perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama
manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal
kejadian serta
kemanusiaannya.

Dengan konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal,
baik lelaki maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]:195)
Ayat ini dan semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis
habis segala pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan,
khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dalam konteks pembicaraan tentang asal kejadian ini,
sementara ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena Hawa,
niscaya kita tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan
semacam upaya mempersalahkan perempuan.
Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak
semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan
manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari
ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak
hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayatayat
yang membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran
Adam dan Hawa diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan
kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti,
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya...
(QS, Al-A'raf [7]: 20). Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga
itu, dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati)
sebelumnya... (QS Al-Baqarah [2]: 36).
Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan
berbentuk tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki
(Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti
dalam firman Allah,
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan
berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan
kerajaan yang tidak akan punah?" (QS Thaha [20]:120).
Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang
sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang
berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.

HAK-HAK PEREMPUAN
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat, dan
pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan
kemanusiaan.
Secara umum surat An-Nisa' ayat 32 menunjukkan hak-hak
perempuan:
"(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan apa yang
diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dan
apa yang diusahakannya."
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum
perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak perempuan di luar rumah
Pembahasan menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di luar
rumah dapat bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain
berbunyi,
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu."
Ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar
rumah. Al-Qurthubi (w 671 H) - yang dikenal sebagai salah seorang pakar
tafsir khususnya dalam bidang hukum - menulis antara lain: "Makna ayat
di atas adalah perintah untuk menetap di rumah, Walaupun redaksi ayat
ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., tetapi selain dari
mereka juga tercakup dalam perintah tersebut." Selanjutnya mufasir
tersebut menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar
Wanita-wanita tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena
keadaan darurat.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-'Arabi
(1076 - 1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu,
penafsiran Ibnu Katsir lebih moderat. Menurutnya ayat tersebut
merupakan larangan bagi wanita untuk keluar rumah, jika tidak ada
kebutuhan yang dibenarkan agama, seperti shalat, misalnya.
Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut
paham yang mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya Al-Hijab,
ulama ini antara lain menulis bahwa para ahli qiraat dari Madinah dan
sebagian ulama Kufah membaca ayat tersebut dengan waqarna; dan bila
dibaca demikian, berarti, "tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada
di sana." Sementara itu, ulama-ulama Bashrah dan Kufah membacanya
waqimah dalam arti, "tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan
hormat." Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah
"menampakkan perhiasan dan keindahan atau keangkuhan dan
kegenitan berjalan."
Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa:
Tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah

dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan
kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk
keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.
Terbaca bahwa Al-Maududi tidak menggunakan kata "darurat"
tetapi "kebutuhan atau keperluan." Hal serupa dikemukakan oleh Tim
yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Ini
berarti bahwa ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah.
Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut?
Misalnya, "Bolehkah mereka bekerja?"
Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun
menulis, dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu bukan
berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang
wanita bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam
membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya
sebagai dasar."
Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh
menjelaskan:
Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut
mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau
tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak
cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaanpekerjaan
yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas
dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja
karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang
menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthb, dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran menulis bahwa
arti waqarna dalam firman Allah, Waqarna fi buyutikunna, berarti,
"Berat, mantap, dan menetap." Tetapi, tulisnya lebih jauh, ,'Ini bukan
berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini
mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan
selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya."
Sa'id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer -
memberikan contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan,
seperti mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu 'ain atau
kifayah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak
ada orang yang dapat menanggungnya.
Isa Abduh, seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan
bahwa surat Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran
meletakkan kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan
perempuan. Ayat yang dimaksud adalah:
"Maka Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah
sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan
menyebabkan engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah
payah."
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan

dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat
tersebut.
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi
engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja
untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak
suami atau ayah.
Pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih
dikembangkan lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah
keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi Saw., sahabatsahabat
beliau, dan para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak
jenis dan ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-
Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari,
membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum
wanita, seperti: "Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab
Peperangan Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan
Merawat Korban," dan lain-lain .
Disamping itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif pula
dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias
pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain
Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang
menjadi perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat
sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai
seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjukpetunjuk
jual-beli. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah
IbnuMas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu,
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh
Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa
Rasulullah Saw., dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan
perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun,
betapapun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam
membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja
dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara
mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun
swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat,
sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula
menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri
dan lingkungannya.

Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja,
selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan
selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki
maupun perempuan, di antaranya,
"Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)"
(HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
Para perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat
menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh
Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan
memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut
hal tersebut mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam
raya. Mereka yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki
saja, melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat
di atas, yang menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Quran
menegaskan bahwa:
"Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman, "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orangorang
yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan." (QS
Ali 'Imran [3]: 195) .
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah
berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa
perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan
dan kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak
wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang
kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh
sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw.:
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni
Aisyah). Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin
Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar "Fakhr
Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam
Syafi'i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan
banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah. Rasulullah Saw.

tidak membatasi kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan
merdeka (yang memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak
belian dan mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah
mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip
oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf,
seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang
perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya
memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena
keahliannya dalam bidang ini.
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak
membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga
seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kini,
tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu
yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis:
Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum
akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka
untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tcelgga,
pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan persoalan-persoalan
duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan
kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
Demikianlah sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang pendidikan. Kalau demikian halnya, mengapa timbul
pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali lagi, salah satu
penyebabnya adalah ayat waqarna fibuyutikunna yang dikemukakan di
atas.
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa'
biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut
berbicara tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan
ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua
butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk
fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis
Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -
perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masingmasing
kelamin.
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap
kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah
satu pihak bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral - untuk
membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi lelaki (suami)
terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi)."

Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas
dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki
(suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)."
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak,
lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta
merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi
suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari
keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan
perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan
dimana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin
yang melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan
angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang
bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di
atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua
hal, yaitu:
a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat
menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan
dengan istri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa
wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal
menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah
yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap
dimakan untuk istri dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan
terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi
melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang
tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak
membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban
moral - untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan
kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar
hukum Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu
suaminya dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya
adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya
ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya,
menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.
Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib
ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi
sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah
Saw. bersabda, "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud
kepada suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa

sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang
suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa
seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas
keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugastugas
yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat
memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata
ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan
anggaran. Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami -
untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya,
untuk tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh
sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw.
membenarkan seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang
mengunjungi rumahnya.
Pada konteks inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri
berada di rumah.
Firman Allah waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal
berdiam di rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut
kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati dapat dipahami
sebagai acuan kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita
harus terus-menerus berada di rumah dan tidak diperkenalkan
keluar, melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus
diemban oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah
tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni
"tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya."
Dan dalam konteks inilah Rasulullah Saw. menggarisbawahi sifat-sifat
seorang istri yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia
dipandang, menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri,
harta, dan anak-anaknya, bila suami jauh darinya.
Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan
adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu
mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut.
Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakarpakar
ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama
kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang
merasa kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau
rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami
ketimpangan kepribadian.
Rasulullah Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut
anaknya secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis,
sehingga membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,
"Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat
dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan
kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?

Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks
kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif
dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang
penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak,
khususnya saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu,
yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak
dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.
HAK-HAK DALAM BIDANG POLITIK
Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik?
Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan
keterlibatan mereka.
1. Ayat Ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' (Lelaki adalah pemimpin bagi
kaum wanita) (QS An-Nisa, [4]: 34)
2. Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan
dengan akal lelaki; keberagamaannya pun demikian.
3. Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra'at
(Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan).
Ayat dan hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan
bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa
wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki. Al-Qurthubi dalam tafsirnya
menulis tentang makna ayat di atas:
Para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan, karena lelaki
berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka,
juga (karena) hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut
bertempur. Sedangkan semua itu tidak terdapat pada wanita.
Selanjutnya penafsir ini, menegaskan bahwa:
Ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik
wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar.
Wanita berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu
bukan perintah maksiat.
Pendapat ini diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian
banyak mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak
harus dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks
kehidupan berumah tangga.
Seperti dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat arrijalu
qawwamuna 'alan nisa', bukan berarti lelaki secara umum, tetapi
adalah "suami" karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan
pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan
sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud
dengan kata "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu
konsideransnya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara
jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Ayat ini
secara khusus akan dibahas lebih jauh ketika menyajikan peranan,
hak, dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga Islam.
Adapun mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu

digarisbawahi bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan
redaksi hadis tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad,
An-Nasa'i dan At-Tirmidzi, melalui Abu Bakrah.
Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia
mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda,
"Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan." (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad
melalui Abu Bakrah).
Jadi sekali lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada
masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan
dalam semua urusan.
Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ditemukan satu
ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan
perempuan dalam bidang politik, atau ketentuarl agama yang membatasi
bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat
dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan
adanya hak-hak tersebut.
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam
berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah
ayat 71:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana."
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk
berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh
mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar."
Pengertian kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan
penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase
"menyuruh mengerjakan yang makruf" mencakup segala segi kebaikan
dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik
kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim
hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing
mampu melihat dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang
kehidupan.
Menurut sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi,
"Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum
Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka."
Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang
dapat menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan
tingkat pendidikan seseorang, termasuk bidang politik.
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan) agar bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada mereka
yang selalu melakukannya."

"Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah “(QS Al-Syura
[42]: 38).
Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan
adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan
salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama,
termasuk kehidupan politik. Ini dalam arti bahwa setiap warga negara
dalam hidup bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan
musyawarah. Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan
tanpa kecuali terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Quran
menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk
melakukan bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara pakar agama Islam menjadikan bai'at para perempuan
sebagai bukti kebebasan untuk rnenentukan pandangan berkaitan
dengan kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda
dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan
terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang
terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan
sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan
kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah
satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad Saw. sendiri,
yakni Aisyah r.a. , memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi
Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu terbesar
dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya Khalifah
ketiga 'Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan
nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian
banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu,
menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan
keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh
setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk
bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan
yang oleh sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum
wanita, yaitu jabatan kepala negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim,
namun perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukungan larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan
perempuan sebagai hakim,
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni,
ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan
sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau
menerima perwakilan dari orang lain.
Atas dasar kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya sekadar
pertimbangan perkembangan masyarakat - kita dapat menyatakan
Click to buy NOW!
PDF-XChange
www.docu-track.com
Click to buy NOW!
PDF-XChange
www.docu-track.com
bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut
dalam berbagai bidang.
Tentu masih banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai
hak-hak perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir
yang dapat ditarik adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara
sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir
dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi
dan tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis
kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu
merasa memiliki kelebihan daripada yang lain:
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi
lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan
juga ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu." (QS An-Nisa, [4]: 32)
***
Di atas telah dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit banyak
berbeda satu dengan lainnya. Hemat penulis, perbedaan pendapat tersebut
muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat istiadat, serta
kecenderungan masing-masing, yang kemudian mempengaruhi cara
pandang dan kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan
hadis-hadis Nabi Saw.
Tidak mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama putra-putri
abad kedua puluh, dan mengalami apa yang kita alami, serta mengetahui
perkembangan masyarakat dan iptek, mereka pun akan memahami ayatayat
Al-Quran sebagaimana pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya,
seandainya kita berada di kurun waktu saat mereka hidup, tidak mustahil
kita berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa seluruh pendapat
yang dikemukakan, baik dari para pendahulu maupun pakar yang akan
datang, semuanya bermuara kepada teks-tekskeagamaan. []
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
Perempuan
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat
sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi. India, dan Cina.
Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha,
Zoroaster, dan sebagainya.
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di
kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istanaistana.
Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan.
Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak
sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani,
wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan
dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap
melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat
kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang
terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta"
yang terkenal dalam peradaban Yunani.
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan
sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai
abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik
keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan
diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan
bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari
peradabanperadaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita
yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri
harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru
berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi
apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka me
ngatakan bahwa "Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita."
Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar
pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai
kebenarannya."
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu.
Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara
laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat
karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani
ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.

Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang
memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak, Akhirnya
terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci.
Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan suatu pertemuan untuk
membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari
pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang
diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad
pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan
sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami
untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi
memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke
pengadilan.
Ketika Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita
pertama di dunia - menyelesaikan studinya di Geneve University pada
tahun 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya
memboikotnya dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh
pelajaran, Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan
Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan
Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang
bersedia mengajar di sana.
Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum,
menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan pandangan
yang demikian tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Al-
Quran. Disisi lain, sedikit atau banyak pandangan demikian mempengaruhi
pemahaman sementara pakar terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-
Quran sebagaimana akan disinggung berikut ini.
ASAL KEJADIAN PEREMPUAN
Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar
terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian
perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah
firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13,
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa." Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan
seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan
manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya
bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada
Allah Swt. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan
dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam
bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa,
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuansebagaimana
menganugerahkan kepada lelaki - potensi dan kemampuan
yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua
jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat

umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut
dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat
menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
serta menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan
tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-
Nisa, ayat 1:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah
menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
lelaki dan perempuan yang banyak."
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan
Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi,
Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang
ulama tafsir bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam
tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut
dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar,
tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka
memahami arti nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak
pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim
Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah
pendapat mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam,
dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah
"pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan
tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir
terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari
Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif
terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah
bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi,
misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita bersifat 'auja'
(bengkok atau tidak lurus)."
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian-
Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:
"Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan,
karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-
Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara
harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara
metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis
tersebut.
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan

bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang
tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan dapat
mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan
mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun
mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas
menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang
sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung
paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan
diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada
satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita
untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau
bahwa
unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid
Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam
Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika
Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya,
lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang
yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang
menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha-
(Tafsir Al-Manar IV: 330)
Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan
mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam
dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat
70,
"Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka
mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan
makhluk-makhluk yang Kami ciptakan."
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan,
Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup
anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki.
Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang
menyatakan,
"Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang
berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma
lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis
perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama
manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal
kejadian serta
kemanusiaannya.

Dengan konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal,
baik lelaki maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]:195)
Ayat ini dan semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis
habis segala pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan,
khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dalam konteks pembicaraan tentang asal kejadian ini,
sementara ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena Hawa,
niscaya kita tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan
semacam upaya mempersalahkan perempuan.
Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak
semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan
manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari
ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak
hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayatayat
yang membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran
Adam dan Hawa diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan
kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti,
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya...
(QS, Al-A'raf [7]: 20). Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga
itu, dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati)
sebelumnya... (QS Al-Baqarah [2]: 36).
Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan
berbentuk tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki
(Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti
dalam firman Allah,
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan
berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan
kerajaan yang tidak akan punah?" (QS Thaha [20]:120).
Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang
sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang
berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.

HAK-HAK PEREMPUAN
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat, dan
pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan
kemanusiaan.
Secara umum surat An-Nisa' ayat 32 menunjukkan hak-hak
perempuan:
"(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan apa yang
diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dan
apa yang diusahakannya."
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum
perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak perempuan di luar rumah
Pembahasan menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di luar
rumah dapat bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain
berbunyi,
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu."
Ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar
rumah. Al-Qurthubi (w 671 H) - yang dikenal sebagai salah seorang pakar
tafsir khususnya dalam bidang hukum - menulis antara lain: "Makna ayat
di atas adalah perintah untuk menetap di rumah, Walaupun redaksi ayat
ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., tetapi selain dari
mereka juga tercakup dalam perintah tersebut." Selanjutnya mufasir
tersebut menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar
Wanita-wanita tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena
keadaan darurat.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-'Arabi
(1076 - 1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu,
penafsiran Ibnu Katsir lebih moderat. Menurutnya ayat tersebut
merupakan larangan bagi wanita untuk keluar rumah, jika tidak ada
kebutuhan yang dibenarkan agama, seperti shalat, misalnya.
Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut
paham yang mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya Al-Hijab,
ulama ini antara lain menulis bahwa para ahli qiraat dari Madinah dan
sebagian ulama Kufah membaca ayat tersebut dengan waqarna; dan bila
dibaca demikian, berarti, "tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada
di sana." Sementara itu, ulama-ulama Bashrah dan Kufah membacanya
waqimah dalam arti, "tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan
hormat." Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah
"menampakkan perhiasan dan keindahan atau keangkuhan dan
kegenitan berjalan."
Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa:
Tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah

dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan
kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk
keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.
Terbaca bahwa Al-Maududi tidak menggunakan kata "darurat"
tetapi "kebutuhan atau keperluan." Hal serupa dikemukakan oleh Tim
yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Ini
berarti bahwa ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah.
Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut?
Misalnya, "Bolehkah mereka bekerja?"
Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun
menulis, dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu bukan
berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang
wanita bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam
membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya
sebagai dasar."
Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh
menjelaskan:
Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut
mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau
tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak
cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaanpekerjaan
yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas
dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja
karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang
menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthb, dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran menulis bahwa
arti waqarna dalam firman Allah, Waqarna fi buyutikunna, berarti,
"Berat, mantap, dan menetap." Tetapi, tulisnya lebih jauh, ,'Ini bukan
berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini
mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan
selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya."
Sa'id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer -
memberikan contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan,
seperti mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu 'ain atau
kifayah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak
ada orang yang dapat menanggungnya.
Isa Abduh, seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan
bahwa surat Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran
meletakkan kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan
perempuan. Ayat yang dimaksud adalah:
"Maka Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah
sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan
menyebabkan engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah
payah."
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan

dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat
tersebut.
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi
engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja
untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak
suami atau ayah.
Pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih
dikembangkan lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah
keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi Saw., sahabatsahabat
beliau, dan para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak
jenis dan ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-
Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari,
membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum
wanita, seperti: "Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab
Peperangan Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan
Merawat Korban," dan lain-lain .
Disamping itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif pula
dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias
pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain
Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang
menjadi perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat
sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai
seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjukpetunjuk
jual-beli. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah
IbnuMas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu,
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh
Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa
Rasulullah Saw., dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan
perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun,
betapapun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam
membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja
dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara
mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun
swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat,
sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula
menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri
dan lingkungannya.

Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja,
selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan
selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki
maupun perempuan, di antaranya,
"Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)"
(HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
Para perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat
menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh
Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan
memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut
hal tersebut mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam
raya. Mereka yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki
saja, melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat
di atas, yang menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Quran
menegaskan bahwa:
"Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman, "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orangorang
yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan." (QS
Ali 'Imran [3]: 195) .
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah
berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa
perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan
dan kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak
wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang
kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh
sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw.:
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni
Aisyah). Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin
Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar "Fakhr
Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam
Syafi'i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan
banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah. Rasulullah Saw.

tidak membatasi kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan
merdeka (yang memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak
belian dan mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah
mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip
oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf,
seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang
perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya
memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena
keahliannya dalam bidang ini.
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak
membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga
seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kini,
tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu
yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis:
Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum
akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka
untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tcelgga,
pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan persoalan-persoalan
duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan
kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
Demikianlah sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang pendidikan. Kalau demikian halnya, mengapa timbul
pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali lagi, salah satu
penyebabnya adalah ayat waqarna fibuyutikunna yang dikemukakan di
atas.
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa'
biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut
berbicara tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan
ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua
butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk
fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis
Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -
perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masingmasing
kelamin.
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap
kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah
satu pihak bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral - untuk
membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi lelaki (suami)
terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi)."

Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas
dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki
(suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)."
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak,
lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta
merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi
suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari
keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan
perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan
dimana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin
yang melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan
angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang
bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di
atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua
hal, yaitu:
a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat
menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan
dengan istri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa
wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal
menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah
yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap
dimakan untuk istri dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan
terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi
melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang
tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak
membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban
moral - untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan
kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar
hukum Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu
suaminya dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya
adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya
ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya,
menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.
Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib
ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi
sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah
Saw. bersabda, "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud
kepada suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa

sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang
suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa
seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas
keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugastugas
yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat
memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata
ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan
anggaran. Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami -
untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya,
untuk tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh
sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw.
membenarkan seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang
mengunjungi rumahnya.
Pada konteks inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri
berada di rumah.
Firman Allah waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal
berdiam di rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut
kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati dapat dipahami
sebagai acuan kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita
harus terus-menerus berada di rumah dan tidak diperkenalkan
keluar, melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus
diemban oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah
tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni
"tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya."
Dan dalam konteks inilah Rasulullah Saw. menggarisbawahi sifat-sifat
seorang istri yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia
dipandang, menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri,
harta, dan anak-anaknya, bila suami jauh darinya.
Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan
adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu
mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut.
Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakarpakar
ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama
kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang
merasa kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau
rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami
ketimpangan kepribadian.
Rasulullah Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut
anaknya secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis,
sehingga membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,
"Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat
dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan
kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?

Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks
kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif
dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang
penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak,
khususnya saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu,
yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak
dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.
HAK-HAK DALAM BIDANG POLITIK
Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik?
Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan
keterlibatan mereka.
1. Ayat Ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' (Lelaki adalah pemimpin bagi
kaum wanita) (QS An-Nisa, [4]: 34)
2. Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan
dengan akal lelaki; keberagamaannya pun demikian.
3. Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra'at
(Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan).
Ayat dan hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan
bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa
wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki. Al-Qurthubi dalam tafsirnya
menulis tentang makna ayat di atas:
Para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan, karena lelaki
berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka,
juga (karena) hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut
bertempur. Sedangkan semua itu tidak terdapat pada wanita.
Selanjutnya penafsir ini, menegaskan bahwa:
Ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik
wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar.
Wanita berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu
bukan perintah maksiat.
Pendapat ini diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian
banyak mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak
harus dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks
kehidupan berumah tangga.
Seperti dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat arrijalu
qawwamuna 'alan nisa', bukan berarti lelaki secara umum, tetapi
adalah "suami" karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan
pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan
sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud
dengan kata "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu
konsideransnya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara
jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Ayat ini
secara khusus akan dibahas lebih jauh ketika menyajikan peranan,
hak, dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga Islam.
Adapun mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu

digarisbawahi bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan
redaksi hadis tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad,
An-Nasa'i dan At-Tirmidzi, melalui Abu Bakrah.
Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia
mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda,
"Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan." (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad
melalui Abu Bakrah).
Jadi sekali lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada
masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan
dalam semua urusan.
Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ditemukan satu
ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan
perempuan dalam bidang politik, atau ketentuarl agama yang membatasi
bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat
dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan
adanya hak-hak tersebut.
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam
berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah
ayat 71:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana."
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk
berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh
mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar."
Pengertian kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan
penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase
"menyuruh mengerjakan yang makruf" mencakup segala segi kebaikan
dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik
kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim
hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing
mampu melihat dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang
kehidupan.
Menurut sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi,
"Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum
Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka."
Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang
dapat menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan
tingkat pendidikan seseorang, termasuk bidang politik.
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan) agar bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada mereka
yang selalu melakukannya."

"Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah “(QS Al-Syura
[42]: 38).
Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan
adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan
salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama,
termasuk kehidupan politik. Ini dalam arti bahwa setiap warga negara
dalam hidup bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan
musyawarah. Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan
tanpa kecuali terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Quran
menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk
melakukan bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara pakar agama Islam menjadikan bai'at para perempuan
sebagai bukti kebebasan untuk rnenentukan pandangan berkaitan
dengan kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda
dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan
terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang
terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan
sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan
kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah
satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad Saw. sendiri,
yakni Aisyah r.a. , memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi
Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu terbesar
dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya Khalifah
ketiga 'Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan
nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian
banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu,
menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan
keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh
setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk
bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan
yang oleh sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum
wanita, yaitu jabatan kepala negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim,
namun perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukungan larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan
perempuan sebagai hakim,
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni,
ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan
sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau
menerima perwakilan dari orang lain.
Atas dasar kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya sekadar
pertimbangan perkembangan masyarakat - kita dapat menyatakan

bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut
dalam berbagai bidang.
Tentu masih banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai
hak-hak perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir
yang dapat ditarik adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara
sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir
dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi
dan tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis
kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu
merasa memiliki kelebihan daripada yang lain:
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi
lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan
juga ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu." (QS An-Nisa, [4]: 32)
***
Di atas telah dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit banyak
berbeda satu dengan lainnya. Hemat penulis, perbedaan pendapat tersebut
muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat istiadat, serta
kecenderungan masing-masing, yang kemudian mempengaruhi cara
pandang dan kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan
hadis-hadis Nabi Saw.
Tidak mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama putra-putri
abad kedua puluh, dan mengalami apa yang kita alami, serta mengetahui
perkembangan masyarakat dan iptek, mereka pun akan memahami ayatayat
Al-Quran sebagaimana pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya,
seandainya kita berada di kurun waktu saat mereka hidup, tidak mustahil
kita berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa seluruh pendapat
yang dikemukakan, baik dari para pendahulu maupun pakar yang akan
datang, semuanya bermuara kepada teks-tekskeagamaan. []

Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!