Rabu, 13 Juni 2012


Phylosopi Dimitri Mahayana
Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah yang amat penting; fardhu. Fardhu adalah kewajiban yang harus dilakukan. Fardhu ‘ain artinya kewajiban bagi tiap individu. Fardhu kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang (masyarakat). Setiap Muslim harus
melakukan sesuatu yang di-fardhu-kan oleh Islam, walaupun dalam kasus fardhu kifayah, kewajiban ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah menunaikannya. Berfikir dengan kerangka fiqh, membuat seorang berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah. Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh dosa. Jika mubah tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang. Barang dagangannya "amal" . Labanya "pahala" = "surga". Ruginya "dosa" = "neraka". Dari sudut pandang ini, mungkin ada orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih gamblang lagi apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai Tauhid atau tidak?Untuk menjawab pertanyaan ini , mungkin perlu kita tinjau terlebih dahulu dua istilah dalam logika matemaatika, necessary & sufficient condition. Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat cukup. Apa yang dimaksud dengan syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A jika keberadaan (kebenaran) A memestikan/mem-pasti-kan keberadaan (kebenaran) B.
Contohnya; B : x adalah bilangan nyata positif. A : x adalah bilangan nyata yang lebih dari 3. Maka B adalah syarat mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah suatu bilangan nyata yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan nyata yang positif. Di sisi laim apa yang dimaksud dengan syarat cukup? B disebut syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran) B men-cukup-kan atau mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan (kebenaran) A. Contohnya B : ada dua benda bermuatan listrik berada pada jarak tertentu, A : kedua benda tersebut akan saling tarik menarik atau tolak menolak. B mem-pastikan A, sebaliknya A tidak mempastikan B.
Dalam filsafat, manusia didefenisikan sebagai hewan yang berfikir. Jadi jika X manusia pasti X berfikir. Berfikir adalah syarat mesti bagi ke-manusiaan. Jadi jika X tidak berfikir pasti X bukan manusia. Selanjutnya jika X berfikir maka X pasti menggunakan logika/kaidah berfkir. Jadi menggunakan logika merupakan syarat mesti bagi bagi berfikir. Jadi jika X tidak menggunakan logika pasti X tidak berfikir , dan karena itu pasti X bukan manusia. Jadi apakah berfikir dan menggunakan logika itu keharusan? Tidak. Ia bukan keharusan. Tapi suatu kemestian. Suatu keniscayaan. Thou’an au karhan. Sebagai suatu contoh lain yang sederhana, prinsip logika identitas (qanun dzatiyah), bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin kita tinggalkan dalam setiap aktifitas. Pada saat melihat bebek, kita yakin bahwa bebek adal bebek. Pada saat mendengar suara gitar, kita yakin bahwa tiap nada dan suara memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas , kita yakin bahwa panas tersebut memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita bisa mengharuskan logika, sedangkan ia ada "sebelum" kita "ada" dan ia selalu menyertai kemanapun kedipan mata memandang?

NON KONTRADIKSI VERSUS DIALEKTIKA
Rumah tua itu kosong. Namun ketika dilewati, terdengar rintihan. Kami pun berlari terbirit-birit."Pasti ada hantu di dalamnya." Demikian hadir-nya dan demikian penting prinsip non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat pun yang lolos dari kehadiran dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan yang dikutip di atas. Kalau di susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai berikut. Jika ada suara dari sebuah rumah, pasti ada yang mengeluarkan suara tersebut dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari suara itu, kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Ada berkontradiksi dengan tidak ada, dan karena kontradiksi tidak mungkin, tidak mungkin tidak ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara, yaitu (mungkin) hantu.
Ketidak-mungkinan terjadinya kontradiksi logis dalam realitas ini disebut dengan prinsip non-kontradiksi. Prinsip ini menjadi dasar sekaligus hakikat logika klasik (the very nature of classical logics). Jika diringkas secara simbolis adalah sebagai berikut, A tidak sama dengan (bukan A) dan A sama dengan A sendiri. Tidak ada satu kebenaran apapun yang bisa ditahkik tanpa menggunakan prinsip ini sebelumnya. Meyakini kebenaran prinsip non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi meyakini seluruh kebenaran lain. Dan keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata hadir dalam kesadaran setiap insan.
Orang yang meyakini prinsip non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu proposisi tertentu benar, tidak mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau proposisi tertentu benar, maka proposisi lain yang berkontradiksi dengan proposisi itu pasti salah. Sebaliknya jika suatu proposisi tertentu salah, tidak mungkin pada saat yang sama ia benar. Contohnya; jika kita meyakini proposisi bahwa " Tuhan (Allah) itu Satu." benar, maka proposisi bahwa "Tuhan (Allah) itu dua" atau "Tuhan (Allah) itu tiga" pasti salah. Kenapa ? Karena pernyataan bahwa sesuatu itu satu jelas berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan satu (yaitu dalam hal ini dua atau tiga).
Selanjutnya karena jelas bahwa proposisi "Tuhan(Allah) itu dua" atau "Tuhan(Allah) itu tiga" salah, tidak mungkin mereka benar.
Para materialis, atau lebih akurat lagi Marxis, tidak percaya pada kesahihan prinsip non-kontradiksi. Bahkan lebih jauh, mereka percaya bahwa justru kontradiksi-lah hal yang paling hakiki yang ada merupakan detak jantung seluruh gerak alam ini. Strukturnya: jika ada tesa maka ada anti-tesa yang kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu dua halyang berkontradiksi itu tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu menjadi tesa baru, menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal ini, tesa-antitesa-sintesa, berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan keberadaan.
Contoh logika dialektis ini adalah sebagai berikut.
Tesa = Eksistensi itu ada. Anti-Tesa = Eksistensi bukanlah sesuatu, karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena itu eksistensi tidak maujud (tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi nyata itu menjadi.
Tesa = Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa = Sesuatu yang hidup selalu berubah dan berkembang. Jika A berubah menjadi A’ maka A sebenarnya telah mati dan kematian A merupakan syarat bagi kehidupan A’. Sintesa = setiap maujud hidup membawa kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh kehidupannya.
Bukan menjadi tujuan makalah ini untuk mengkritik logika dialektis sebagai logika dialektis, walaupun itu sebenarnya bukan hal yang sulit. Yang menjadi concern dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut; "Apakah benar klaim kaum materialis (Marxis) bahwa logika dialektis seperti ini menggugurkan prinsi non-kontradiksi? " Jawabannya jelas, salah. Argumennya adalah sebagai berikut.
Pertama, jika prinsip non-kontradiksi gugur, maka suatu proposisi bisa sekaligus benar dan salah, sehingga tidak perlu kita yakini (bahkan tidak perlu kita bicarakan) apakah pernyataan (proposisi) kaum materialis ini benar atau pun salah.
Kedua, pengertian kontradiksi yang dimaksud oleh mereka (kaum materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik. Contohnya dalam contoh kedua. Kehidupan A’ dan kematian A diartikan sebagai suatu kontradiksi. Padahal menurut logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A’ berbeda dengan A). Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam logika klasik.
Selayaknya kita lebih berhati-hati dalam mengkritik sesuatu, apakah sesuatu yang kita kritik itu berdasar lingua-franca ( language-frame) yang benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi atau language-frame yang kita buat sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu yang tidak atau belum ia pahami dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Walhasil, alih-alih kritiknya sahih, malah ia telah mengkritik prinsip non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah cerita lucu, ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa) yang sedang di WC; "Atos? Atos?" Istrinya pun berpikir, jorok bener suaminya ini ? Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa Jawa artinya, keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat suaminya?
wallohu a’lam

Absolutisme versus Relativisme
Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa "kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas?
Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa, tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental. Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa.
Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa.
Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut.
Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi;
Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental.
Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat.
Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun.
Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua).
Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan diuraikan di bawah ini.
Rene Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le Discours de la Methode" :
"Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya."
Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah.
Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah.
Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.
Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa?
Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan dirinya sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas
Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.
Segala jenis penalaran apa [un nafi
Segala jenis pemikiranapa pun tidak absah,
Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun.
Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan ketiga.
Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles;
Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada.
Premis minor : Aku befikir.
Konklusi : Aku ada.
Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya "La discours de la methode";
"Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada."
Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika" Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu.
Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan.
Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali?
Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri.
Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya;
"Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja."
Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-, sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ;
"Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia."
"Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani."
"Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia."
Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan.
Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa?
Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri.
Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu? Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri.
Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja," Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata "gaya" jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang.
Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun." (Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya. Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya? Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut. Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah sirna.
Wallohu a’lam


Mustahilnya Positivisme
Materialis meyakini ke-real-an materi, bahkan kekekalan materi, dan tak percaya adanya hal - hal yang immaterial. Sebaliknya rasionalis, dengan menerima prinsip-prinsip niscaya rasional seperti prinsip non-kontradiksi dan kausalitas, percaya adanya hal - hal yang immaterial. Di antara kedua kutub ini terdapat segolongan besar manusia yang selalu dalam keadaan ragu-ragu (syak) dan tidak pernah bisa yakin. Jelas tidak mungkin untuk meyakini hal - hal immaterial apa pun, apalagi Tuhan, jika seseorang masih terkadang terombang-ambing oleh gelombang materialisme. Alladziina yu`minuuna bil-ghoib .... Percaya kepada yang ghaib tidak mungkin didirikan jika jiwa masih tergoyah oleh materialisme. Demikian materialisnya sebagian orang sehingga walaupun jelas dalam Qur’an disebutkan Wa nahnu aqrobu ilaihi min hablil-wariidi (Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya), mereka melakukan maksiyat - maksiyat seolah Tuhan itu tak ada. Mendasarkan dirinya pada epistemologi positivisme, sebagian besar materialis akan terjebak ke dalam aksiologi pragmatisme dan praxisme ala Francis Bacon, yang menganggap tidak perlunya mempelajari apa pun kecuali yang memberikan manfaat material langsung pada kita. Dan sesuai dengan watak kegelapan materi, mereka akan terjebak pada hedonisme yang musti berakhir dengan nihilisme. Apa itu nihilisme? Semuanya nihil dan kosong. Setelah hidup, mati dan titik. Akhir semuanya adalah kegelapan, ke-tidaktahu-an mutlak "Dari mana, untuk apa dan ke mana manusia dalam kehidupannya", dan kengerian hidup yang tak berarti.
Akar materialisme modern dan post-modern adalah faham empirisme dan positivisme. " Tidak ada pengetahuan atas sesuatu yang tidak bisa diukur." Demikian ungkapan terkenal Lord Kelvin yang merupakan hakikat empirisme. Anak empirisme, - yang jauh lebih ekstrim lagi-, adalah positivisme logik. Belajar di lingkungan Wina (Der Weiner Kreis) dari Moritz Schilck dan Rudolf Carnapp, Alfred Jules Ayer, - tokoh positivisme logik yang mengakui bahwa gagasan dalam bukunya merupakan jabaran dari ajaran Bertrand Russel dan Ludwig Wittgenstein-, mengatakan, "Suatu cara yang sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisa atau dapat ditasdik secara empirik". Berlindung di balik keberhasilan sains modern pasca-Renaisance-yang berpuncak pada karya Newton "Principia", John Locke, George Berkeley maupun David Hume telah meletakkan dasar-dasar bagi empirisme maupun positivisme, yang kemudian mempengaruhi Ayer, Russel, Wittgenstein dan banyak filosof modern maupun pasca-modern.
Doktrin empirisme dan positivisme bersandar pada beberapa proposisi dasar berikut ini.
Pengalaman inderawi adalah sumber pertama pengetahuan manusia, dan tidak ada pengetahuan rasional apa pun yang mendahului pengalaman.
Pengalaman inderawi adalah asas satu-satunya untuk menegaskan (men-tashdiq, to assent) kebenaran suatu proposisi. (Dalam bentuk ekstrimnya, suatu proposisi dianggap mempunyai makna jika ia dapat ditasdik secara empirik)
Suatu proposisi, jika mungkin mencapai pengalaman inderawi yang memberi petunjuk tentangnya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman seperti itu, mempunyai arti dan perlu dibahas.
Jelas proposisi-proposisi ini mustahil Buktinya? Terlalu banyak. Tapi di sini akan diberikan beberapa bukti yang cukup simpel.
Pertama, karena dalam pengamatan pengalaman apa pun, mau tidak mau kita mesti menerima prinsip non-kontradiksi terlebih dahulu, sehingga kita bisa mengidentifikasi bahwa A=A, dan A bukanlah bukan A. Tanpa menerima prinsip ini terlebih dahulu, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, tidak mungkin mengidentifikasi semua pengalaman indera, sehingga semua pengalaman indera kehilangan maknanya.
Kedua, pengalaman inderawi kehilangan seluruh makna obyektifnya tanpa menerima terlebih dahulu prinsip kausalitas. Apa yang diterima mata adalah image / bayangan, bukan benda yang dilihatnya sebagai dirinya sendiri. Prinsip kausalitaslah yang memberikan suatu relasi antara image dengan benda sebenarnya, bahwa image adalah suatu akibat yang disebabkan oleh benda yang dilihat.` Tanpa menerima prinsip kausalitas, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, seluruh penangkapan image indera kita tidak memestikan apa pun tentang apa yang diindera !
Ketiga, bahkan pengalaman inderawi saja tidak mampu mentahkik (membenarkan, menegaskan) adanya materi. Karena seperti yang dikatakan tadi, tanpa prinsip kausalitas, hasil pengalaman indera tak lain hanya kesan-kesan subyektif yang tidak menunjukkan adanya apa pun yang diindera.
Keempat, dan bagaimana mungkin pengalaman inderawi membuktikan kesalahan inheren pada penginderaan dengan dirinya sendiri ? Apa beda oase fata morgana dengan oase sejati bagi indera penglihatan kita? Bagaimana mungkin sesuatu yang mungkin salah mem-benar-kan (men-tashdiq) kebenaran dirinya sendiri?
Kelima, sehingga bagaimana mungkin semua eksperimen dilakukan? Jika keberadaan materi saja tidak mampu ditahkik dan kesalahan inheren tak bisa teratasi.
Keenam, dan bahkan bukankah semua proposisi yang dinyatakanp tersebut tidak dapat diindera ? Sehingga jika mereka termasuk pengetahuan primer (sumber pengetahuan), maka karena proposi pertama mempersyaratkan keter-indera-an sumber-sumber pengetahuan, jelas menurut dirinya sendiri seluruh proposisi ini bukan pengetahuan primer. Atau pun, jika mereka merupakan suatu pengetahuan yang perlu di-tashdiq, proposisi kedua meniadakam kemungkinan untuk men-tashdiq ketiga proposisi ini. Dan, mari kita persilahkan para positivis menjelaskan kemungkinan membenarkan untuk melakukan suatu eksperimen untuk menguji kebenaran ketiga proposisi ini berdasarkan proposisi ketiga?
Ada satu pertanyaan yang penting, mungkin. Kenapa mereka terjebak ke dalam pemikiran se-naif itu? Suatu analisa historis pra-Renaisance membuat saya, -yang bodoh dan hina ini-, memberanikan diri untuk membuat satu hipotesis sederhana. Pemahaman dogmatis keagamaan Eropa pra-Renaissance yang menekan akal manusia dan kemanusiaan membuat akal manusia mencari kemerdekaan dirinya pada zaman Renaissance dengan semangat anti-agama, sebagaimana sebelumnya "agama" telah menegaskan otoritasnya yang mutlak dan memojokkan "akal". Dan ini adalah akar dari sekularisme ?

wallahu a’lam

Kausalitas dan Korespondensi
 Rangka-nya rangka dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itulah prinsip kausalitas. Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika.
Prinsip kausalitas berbunyi , "Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri." Sifat penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat.
Prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam. Dan dia bukanlah merupakan hasil "korespondensi" atau "penghubung-hubungan" yang dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua pengalaman inderawi kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.
Dan bagaimana mungkin sebagian orang tersebut menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang? Maka, mestilah diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?
wallahu a’lam bish-showwab

Kembali kepada Prima-Principia
Kemustahilan adanya kontradiksi dalam semua yang maujud. Ini adalah hakikat inti prima-principia, yang disebut dengan prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh). Secara lebih terperinci prima - principia ini terdiri atas tiga prinsip; identitas (qanun dzatiyyah), non-kontradiksi (qanun tanaqudh) dan ketiadaan batas (qanun imtina`). Prinsip identitas artinya sesuatu selalu identik dengan dirinya sendiri. Prinsip non-kontradiksi artinya sesuatu pasti tidak sama dengan yang bukan dirinya sendiri. Prinsip ketiadaan batas artinya sesuatu tidak mungkin sekaligus sesuatu dan bukan sesuatu tersebut pada saat yang bersamaan.
Contohnya; Tuhan itu Ada. Dan Ada memiliki makna hanya karena menurut qanun dzatiyyah Ada itu benar-benar Ada. Kemudian, menurut qanun tanaqudh, Ada itu pasti tidak sama dengan tidak Ada. Dan lebih tegas lagi, menurut qanun imtina` , Tuhan itu Ada dan mustahil tidak Ada.
Demikianlah, tidak ada satu kebenaran apa pun yang dapat di-tashdiq tanpa mengakui prima - principia. Karena berarti benar bisa sekaligus salah, dan sebaliknya. Dan bahkan tidak ada satu konsepsi apa pun, baik tunggal maupun majemuk, yang dapat diterima tanpa sebelumnya mengakui prima - principia. Karena segala sesuatu kehilangan identitasnya dan tak mungkin diberi identitas tanpa menerima prinsip ini sebelumnya. Keberadaannya dalam akal manusia niscaya, dan jelas bukan merupakan prinsip yang bisa diturunkan dari fakta maupun prinsip lain. Karena justru prinsip ini-lah tempat semua bangunan pengetahuan manusia bertumpu. Dan kebenarannya dalam alam obyektif tidak mungkin dapat dibantah. Karena dengan menolak kebenarannya kita akan kehilangan keseluruhan makna semua yang maujud. Dan penolakan kepadanya hanyalah karena perbedaan istilah tentang kontradiksi. Sehingga secara hakiki tidak mengubah kebenaran prinsip ini yang Mutlak. Sehingga benarlah jika dikatakan prinsip dasar seluruh bangunan pengetahuan manusia adalah suatu ilmu hudhuriy. Karena prima-principia yang merupakan kenyataan yang paling nyata dari yang nyata ternyata telah hadir dalam akal manusia tanpa memerlukan suatu usaha rasional apa pun.
Bahkan sebagian filsuf yakin bahwa pada hakikatnya semua ‘ilmu bersifat hudhuriy. Karena bukankah semua ‘ilmu lain lahir dari, oleh dan untuk prima - principia ini ? Dan bahkan, prinsip kesegalaan,- tidak lain adalah prima - principia -, telah ada secara niscaya pada jiwa manusia, sehingga terkadang manusia disebut sebagai mikro-kosmos. Walaupun secara material manusia sebagian kecil dari alam materi, namun sebagai intellegebles, manusia mengandung hakikat semua yang maujud. Sehingga tak salah jika dikatakan bahwa, seluruh yang ada qua seluruh yang ada telah secara niscaya ada dalam jiwa manusia, in potentia , dengan memahami bahwa belum tentu teraktualisasi sempurna. Apakah itu yang dimaksudkan dengan Tuhan tak mungkin ditampung apapun kecuali di qalbi mu`min? Dan semoga Ia menjernihkan al-‘aql dari hawa nafsu sehingga jelas tampak semuapyang benar sebagaimana adanya, kabulkan Yaa Allah tunjukilah hatiku yang sesat lagi gelap ini.
wallahu a’lam bish-showwab

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!