Rabu, 13 Juni 2012


 Oleh Dr. Dimitri Mahayana

sepiala saja , penuh dan berbuih, kan kuteguk dengan mulut berguman
dunia-dunia berputar-putar, kerna kepala berputar-putar, maka tangan lurus bak kitiran
setegukan saja, kusedikit merintih, tuak hati memerah bergelegakan
leher-leher bermerahan, pipi-pipi pun panas , maka langkah terhoyong-hoyong kiri dan
kanan
lupakan diri adalah membenamkan diri ke dalam jilatan api Cinta sepenuhnya
tangan dan kaki menjadi abu, pula tulang-tulang dan segenap badan, juga jiwa dan ingatannya
lenyapkan diri adalah dengan meneguk Spiritus Cinta dan terhuyung jatuh bakarlah usus sepenuhnya
maka saat hati terbakar, memutih menjadi abu, tumbuh sekuntum mawar Cinta yang wanginya lebihi setaman, kelopaknya adalah Allah-Allah-Allah
di negri ketiadaan, tiada awan melainkan Cadar Nya
di negri ketiadaan, tiada sungai melainkan SegarNya
di negri ketiadaan, tiada laut melainkan IlmuNya
di negri ketiadaan, tiada Jiwa melainkan JiwaNya
di kota ketiadaan, tiada bangunan melainkan ArsyiNya
di kota ketiadaan, tiada sekolah melainkan FirmanNya
di kota ketiadaan, tiada seni melainkan CintaNya
di kota ketiadaan, tiada merah melainkan GincuNya
di rumah ketiadaan, tiada atap melainkan AmpunanNya
di rumah ketiadaan, tiada piala melainkan AnggurNya
di rumah ketiadaan, tiada lilin melainkan ApiNya
di rumah ketiadaan, tiada suara gitar melainkan Desah KesendirianNya
di kamar ketiadaan, tiada kasur-ranjang tapi kefaqiran
tak pula selimut tapi kedinginan
di kamar ketiadaan, tiada sejadah apapun tapi jiwa gemetaran
tak pula gadis cantik molek rupawan
di noktah ketiadaan, Aku-lah Kebenaran
di noktah ketiadaan, Aku-lah Gusti Pangeran
di noktah ketiadaan, Bercerlangan Zat Tuhan
di noktah ketiadaan, Gemilangan Wangi Zat Tuhan
                       
Hud-hud berkelana melayang, mencari Ruh Yang Turun pada Malam Suci Seribu Bulan. Ia bergumam, mustinya adalah Malam Suci-Nya dan titik, kerna Ia lebih dari Seribu Bulan. Tapi Ia bergumam pula, tapi lebih baik Malam Suci Seribu Bulan karena Ia Yang Sejati Tak Terbatas Tak Terperikan Dalam Kesendirian Dalam Keagungan Dalam Kesilauan Dalam Ketidaktahuan Dalam Lautan Keberadaan, tanpa terbatas, bahkan oleh Diri-Nya Sendiri.
Puja dan puji pun digumankan Hanya Pada Sang Maha Asmara, mawar-mawar yang selalu merekah di hati-hati yang patah, yang durinya bila terkena teramat pedih menggores bak suara rebab. Atau seperti suara seruling Majnun di malam hari yang senyap, di padang belantara yang luas, di musim dingin yang mencekam, yang berintihan bertangisan berjeritan Layla, Layla, Laylaaa.. Atau seperti wadag Rumi yang mengelilingi Jiwa dan Irama Sang Maha Cinta dari Tabriz, Syamsyuddin Sang Pecinta, berputar-putar seperti gasing berkeliling kepala pun pusing jantung dan hatipun seolah berhenti berdetak, tarbus melayang-layang tinggi , Duhai Syamsyuddin Sang Maha Asmara.
Sungguh yang tiada memahami Asmara bukanlah bagian dari kami, kata seorang darwisy. Sungguh yang tiada memahami geletar Asmara bukanlah bagian dari mukmin, kata seorang saleh. Sungguh yang tiada memahami senar dan grip-grip Asmara bukanlah bagian dari muhsin, kata seoran faqir. Tapi Hud-Hud katakan padaku, perkara yang benar adalah siapa dan apa yang tak senantiasa menggeletar terhempaskan Gelombang Samudera Asmara bukanlah bagian dari alam maujud. Alias ketiadaan mutlak.
Crengg….., senar gitar Espanola menyentuh lembut lembar-lembar Asma Waduudu dari goresan janji Alastu yang dulu kupatrikan didepan Kekasih. Getarannya lembut seperti alis lentik yang melindungi kelopak lembut dan mata-mata besar berkejap nan tatapannya teramat dalam. Alastu menghunjam lembut di rerelungan terdalam hati, geloranya sejuk bak sumber mata air cemerlang gemilang. Dimulai dengan penolakan akan segala dan penegasan akan Aku yang satu, Alastu menyumberi rasa-rasa lembut, takut dan harapan Cinta Ilahiyyah. Piala Alastu,- yang berisikan Anggur-Anggur Berusia Tujuh Abad- , memabokkan jasad maupun batin maupun batin dari batin dan Batin dari Segala Batin sehingga sang penenggaknya akan menjadi Pemabuk Sejati. Yang lupa akan dirinya sendiri seluruhnya. Yang lupa akan segala-galanya seluruhnya. Ia menjadi sempit sekali dihimpit oleh al-qoobidhu sehingga menjadi bak titik ketiadaan, tapi pada saat yang sama ia menjadi luas melayang terbang ke milyunan alam manifestasi-Nya diluaskan oleh al-baasithu. Sebuah titik noktah tak bervolume tak berwaktu tak ber-ruang tak terperi adalah titik -tu, dan sungguh bentuk lampau dalam -tu mungkin adalah penunjukkan akan kekekalannya.
Al-waduudu mengarungi alam keberadaan dengan membawakan Anggur-Anggur Tujuh Abad dan menuangkannya di kedai-kedai tuak dalam piala Alastu. Bergelimpangan para hamba pecinta mencicipi setegukannya, apa - lagi sepiala penuh. Ohhh, serasa bumi menjadi langit dan langit menjadi bumi dan serasa alam material mengkerut lenyap tak lebih dari setitik saja, atau lebih kecil dari itu, atau tak terfikirkan lagi, atau memang ia hanyalah bayangan keberadaan dalam ketiadaan. Setiap manifestasi al-waduudu terpaksa membatasi yang lain, Rambut-Nya membagi alam-alam menjadi tak hingga, Pipi-Nya membuat alam-alam mengkristal karena rindu pada-Nya, Senyum-Nya membuat kiamat alam-alam kerna teramat rindu pada-Nya, apa lagi elusan-Nya?
Teruntuk Ma-Cin di ufuk kecerahan,





Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!