Sabtu, 16 Juni 2012


Oleh Sindhunata 

Bangsa dan negara adalah konsep politik, yang tegas dan jelas, apabila keduanya dipisahkan satu sama lain. Namun, bila keduanya disatukan menjadi negara bangsa atau negara kebangsaan, konsep ini menjadi tidak terlalu jelas lagi. Menjadi makin kabur, jika konsep negara kebangsaan itu dimengerti dalam rangka nasionalisme. Memang bangsa dan negara adalah konsep politik yang bisa bersaing satu sama lain. Suatu bangsa bisa meliputi beberapa negara, misalnya, Jerman dan Italia sampai dengan pertengahan abad ke sembilan belas. Sebaliknya suatu negara bisa mencakup beberapa bangsa, seperti negara Prusia di Jerman pada abad delapan belas dan sembilan belas, dan negara Cekoslowakia di abad dua puluh sampai dengan keterpecahannya baru-baru ini.

Dalam konkurensi di atas, tidaklah jelas, mana yang lebih dominan, bangsa atau negara. Yang jelas, bila dipadukan menjadi negara kebangsaan, keduanya mempunyai potensi untuk menindih satu sama lain, dan intensi untuk memisahkan diri satu dari yang lain. Menjelang akhir abad dua puluh tampak gejala mencolok, betapa rapuhnya konsep negara kebangsaan.

Negara kebangsaan yang sekarat

Sebagian para pakar melihat nasib negara kebangsaan itu dengan rasa kekhawatiran, sebagian lainnya bahkan melihat dengan pesimisme mendalam. Misalnya, dalam Konferensi The Struggle for Indonesia yang digelar oleh Strategic Intelligence di Jakarta, Samuel P Hutington mengatakan, bahwa negara berbangsa sedang diruntuhkan oleh munculnya masyarakat dan kepentingan pluralistik di dalam batasan negara. (Kompas, 28 Mei 2000)

Hutington, penulis buku terkenal The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, menuturkan, bangsa-bangsa dan negara-negara itu berbeda secara mendasar. Bangsa-bangsa adalah masyarakat etnis atau budaya, sumber jati diri untuk masyarakat. Negara-negara adalah institusi politik, sumber dari kekuasaan. Tidak ada alasan dalam logika atau pengalaman tentang mengapa sumber-sumber identitas dan kewenangan harus bertemu dan hal itu belum pernah terjadi selama sejarah manusia.

Jika bangsa-bangsa sedang mencari jati dirinya, sementara negara yang menghimpun mereka tak mampu memberi jawabnya, bisa dibayangkan, bahwa negara kebangsaan akan kolaps. Dengan ancaman pluralisme peradaban dewasa ini, tepat bila Hutington menyebut institusi negara berbangsa itu sekarang berada dalam keadaan sekarat.

Lebih tajam lagi adalah pandangan sejarawan kawakan, Eric Hobsbawm. Hobsbawm mengatakan, negara kebangsaan sering hanya merupakan idiologi belaka tanpa kebenaran sejarah. Pikiran di balik ideologi adalah pikiran yang anakronistis: sekarang demikian, maka dulu juga demikian, padahal dulu tidak demikian. Maksudnya, negara kebangsaan yang sekarang ada seakan-akan sudah sejak dulu ada. Ini adalah kebohongan sejarah. Tugas intelektual sejarah adalah membongkar kebohongan itu. Karena itu betapa perlu sejarawan kritis terhadap masa lalu, mengingat masa lalu sering dipergunakan sebagai legitimasi untuk masa sekarang.

Hobsbawm memperingatkan, anakronisme yang bohong itu bahkan sudah dipakai dalam penulisan sejarah zaman dulu. Misalnya tentang Kerajaan Macedonia. Sebelum abad masehi dimulai tak pernah ada negara nasional Yunani atau suatu kesatuan politik untuk orang-orang Yunani. Kerajaan Macedonia tak berhubungan dengan negara nasional Yunani, toh itu yang dipaksakan. Orang Yunani sendiri malah menganggap Macedonia itu sebagai kerajaan barbar. Pendeknya, tak beralasan meninjau Macedonia seakan mereka adalah suatu negara nasional (Die Zeit,16 September 1994).

Penulisan sejarah anakronistis itu juga dapat kita jumpai dalam rangka pembentukan negara kebangsaan dan nasionalisme kita. Paling mencolok adalah tulisan Muhammad Yamin, yang menuturkan bahwa kesatuan itu ada sejak Sumpah Palapa Gajahmada tahun 1331. Dokumen yang membenarkan hal tersebut adalah buku Nagarakretagama, yang ditulis pada tahun 1365. Dengan amat anakronistis, Yamin bahkan mengatakan, bahwa anggapan Nagarakretagama itu lebih tua lagi daripada tahun 1365, malahan negara kebangsaan Indonesia sudah ada sejak zaman purbakala.

Konteks penulisan sejarah Yamin ini jelas, yakni perjuangan membentuk nasionalisme demi kemerdekaan. Konteks tersebut membutuhkan legitimasi. Dan Yamin membuat suatu legitimasi yang meyakinkan, walau legitimasi tersebut jauh dari kebenaran dan kenyataan historis empiris. Dalam pemikiran Hobsbawm, penulisan Yamin ini mau tak mau harus digolongkan dalam kebohongan sejarah yang harus dibongkar. Pembongkaran itu mungkin berakibat pahit bagi konsep negara kebangsaan. Namun, jika pembongkaran itu tidak dilakukan, kita tidak pernah sampai pada dasar sesungguhnya dari pembentukan negara nasional.

Apakah dasar dari pembentukan negara kebangsaan kita? Adakah dasar pembentukan negara kebangsaan kita suatu kenyataan atau suatu ide? Ide apakah gerangan yang terkandung dalam kebangsaan kita? Sekelumit penjelajahan sejarah kita di bawah ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Kebangsaan sebagai konsep politik

Dalam sejarah Indonesia, periode paling jelas yang menandai lahirnya negara kebangsaan adalah periode pegerakan nasional. Pada saat itu belum tampak sama sekali konsep negara kebangsaan. Yang menonjol hanyalah konsep kebangsaan. Dan kebangsaan sendiri bukan dimengerti sebagai himpunan suku-suku, melainkan sebagai semacam "transendensi atas suku-suku", sesuatu yang mengatasi suku-suku. Benih ini tampak, misalnya, dalam perjuangan perkumpulan Budi Utomo.

Semula perkumpulan Budi Utomo adalah "organisasi orang Jawa". Kemudian ketentuan ini diperluas menjadi organisasi Jawa umumnya, termasuk Madura (Lihat: Akira Nagazumi: Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Budi Utomo 1908-1918, 1989). Tujuannya adalah emansipasi orang Jawa dan Madura. Dalam perjalanan selanjutnya, pengertian ini dirasa terlalu sempit. Betul bahwa anggota Budi Utomo adalah kaum priyayi Jawa. Akan tetapi, apakah dengan demikian tujuannya hanyalah untuk mengemansipasikan orang Jawa? Tidakkah organisasi itu juga perlu untuk mengusahakan "persatuan seluruh Hindia"?

Atas dasar pertanyaan tersebut, Budi Utomo sendiri kemudian terpecah dalam dua kubu, kubu yang membela Jawanisme dan kubu yang memperjuangkan cita-cita kesatuan Hindia Belanda. Mereka yang pro- Jawanisme cenderung memandang kultur Jawa sebagai basis persatuan mereka. Kubu lawannya adalah mereka yang memandang kesatuan Hindia sebagai cita-cita mereka, dan tak bisa menerima homogenitas etnis atau kultural sebagai basis persatuan mereka. Bagi kubu yang kedua ini, persatuan Hindia tak mungkin dimengerti sebagai persatuan kultural. Persatuan Hindia harus dilihat sebagai persatuan politik dan harus diupayakan lewat kegiatan politik pula.(Ibid. hlm. 93)

Dalam kasus Budi Utomo ini tampak benih awal problem kebangsaan kita. Kebangsaan kita tak mungkin dimengerti sebagai himpunan keragaman kultural dan etnis yang de facto ada, melainkan sebagai persatuan yang dicita-citakan dari keragaman tersebut. Persatuan tersebut de facto belum ada, karena itu harus diupayakan lewat suatu kegiatan politik.

Dalam perkembangannya yang sangat awal, mayoritas anggota Budi Utomo menyadari, bahwa Jawanisme sendiri tidaklah memadai untuk menjadi landasan perjuangan mereka. Ini tampak, misalnya, dalam keputusan mereka untuk tidak menggunakan bahasa Jawa dalam rapat-rapat mereka. Kaum terpelajar yang menjadi anggota Budi Utomo mahir dalam bahasa Belanda. Akan tetapi, mereka mengakui, kemahiran bahasa Belanda itu adalah langka. Sementara mereka juga maklum, bahasa Jawa dengan tingkatannya yang berbelit-belit bukanlah bahasa yang tepat untuk rapat-rapat, apalagi bahasa tersebut tidak dapat dimengerti oleh orang Sunda dan Madura.

Maka, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa rapat mereka. Dalam kongresnya yang pertama, usulan rancangan anggaran dasar diuraikan dalam bahasa Melayu rendah, agar semua orang bisa mengerti. Dan pada kongres ke dua, diusulkan penggunaan bahasa Melayu, agar semua orang Jawa bisa mengerti. Oleh sebagian anggota, tepatnya kelompok yang radikal, usulan penggunaan bahasa Melayu itu juga dimaksudkan untuk mendobrak kebekuan tradisi.

Tujuan utama Budi Utomo adalah emansipasi kelompok. Akan tetapi, dalam konteks Hindia, mereka sadar, bahwa tujuan itu tak mungkin dicapai tanpa dibarengi dengan mengusahakan persatuan Hindia. Demi yang terakhir ini, mereka melepas bahasa Jawa dan memakai bahasa Melayu sebagai bahasa resmi perjuangan mereka. Penggunaan bahasa Melayu ini kiranya termasuk upaya politik mereka untuk makin efektif mengusahakan persatuan Hindia.

Dari sini kita boleh sedikit menyimpulkan, bahwa persatuan Hindia tak mungkin bisa diraih dengan hanya mendengung-dengungkan kesatuan kendati keragaman kultural. Persatuan dalam keragaman kultural itu harus diupayakan secara politik, dan itu berarti keberanian dari kelompok-kelompok etnis di dalamnya untuk melepas sebagian kebanggaan kultural yang dipunyainya. Demi persatuan Hindia, Budi Utomo sudah mengambil langkah-langkah politik. Toh oleh anggota kelompoknya yang radikal, langkah-langkah tersebut dianggap terlalu lamban. Sebagian anggota kelompok radikal adalah cikal bakal yang kemudian melahirkan Indische Partij dan Sarekat Islam. Sarekat Islam akhirnya menjadi pengecam keras Budi Utomo.

Menurut Sarekat Islam, para pejabat pemerintah, yang kebanyakan adalah priyayi, adalah kelompok yang ikut menindas dan menyengsarakan rakyat. Padahal anggota Budi Utomo kebanyakan adalah priyayi. Sarekat Islam menganggap, emansipasi tidak cukup dilakukan dengan kata-kata seperti dijalankan oleh Budi Utomo. Emansipasi itu harus dilaksanakan dalam aksi. Dan aksi ini bertujuan membela kepentingan rakyat banyak, kaum pribumi, jadi bukan sekelompok golongan saja.

Seperti dicetuskan dalam pertemuan Surabaya Mei 1912, program aksi Sarekat Islam dicanangkan dengan jelas. Yakni, mengembangkan semangat dagang di kalangan penduduk pribumi, membantu anggota yang kesulitan, yang tidak lantaran kesalahan mereka sendiri, pembangunan dan peningkatan jiwa dan semangat kebendaan dalam kalangan penduduk pribumi, melawan pikiran-pikiran keliru mengenai Islam dan mengembangkan hukum dan kebiasaan Islam (Ibid. hlm.146).

Suatu perubahan sosial di Hindia, itulah yang menjadi program emansipasi Sarekat Islam. Maka lain dengan Budi Utomo, yang lebih ingin meraih emansipasi dengan penyadaran lewat pendidikan, Sarekat Islam menganggap emansipasi itu sebagai aksi lewat pembangunan semangat dagang dan keislaman.

Dalam waktu dekat ternyata Sarekat Islam mendapat dukungan massa banyak. Munculnya Sarekat Islam memberi dimensi baru bagi cita-cita persatuan Hindia: persatuan itu harus mencakup massa rakyat banyak, kaum pribumi, dan itu harus dijalankan dengan suatu perubahan nasib orang banyak secara material. Titik berat keprihatinan Sarekat Islam adalah aksi politik, yang mengarah pada perbaikan nasib massa pribumi di bidang ekonomi.

Kebangsaan dan perjuangan kelas.

Pendapat, bahwa cita-cita persatuan dan kemerdekaan Indonesia akan tercapai bila mencakup perbaikan nasib massa rakyat banyak itu, muncul lagi dalam polemik antara Partindo dan PNI-Baru (1932). Menurut PNI Baru, tak ada gunanya, bila di bawah Indonesia merdeka, rakyat masih tetap menderita. PNI Baru, di mana Hatta dan Sjahrir berada di belakangnya, berpendapat bahwa pertentangan kelas juga ada di Indonesia (Lih.Parakitri T Simbolon: Akar-akar Kebangsaan Indonesia, 1995, hlm. 719). Di Indonesia ada kelas kapitalis (orang Eropa), kelas menengah (Cina dan Arab) dan kelas marhaen (Bumiputera). Karena itu perjuangan kemerdekaan harus seirama dengan perjuangan kelas. Rakyat tidak boleh menderita di bawah Indonesia merdeka. Karena itu struktur perekonomian Indonesia harus diperbaharui lewat pengembangan koperasi, sekaligus di bidang produski, konsumsi dan kredit.

Partindo dianggap mengabaikan hal ini. Mereka melawan kapital asing, tetapi memihak kapital bangsa sendiri. Mereka mengembar-gemborkan swadhesi tetapi tidak mengusahakan lembaga modal yang mampu bersaing dengan produk asing. Oleh PNI Baru, persatuan yang diupayakan Partindo sebenarnya hanyalah "persatean". Daging kerbau, sapi, dan kambing, dapat disatukan jadi sate, tetapi pandangan rakyat, borjuis, dan bangsawan, tidak bisa. Memaksakan menyatukan mereka, sama dengan memaksa masing-masing mengorbankan pendapatnya. (Ibid. hlm.721)

Dalam polemik PNI Baru terhadap Partindo, tampak cita-cita seperti yang dirintis Sarekat Islam, yakni bahwa ide persatuan Indonesia tak mungkin diwujudkan tanpa keadilan sosial, yang artinya adalah keadilan lebih-lebih bagi rakyat banyak.

Dari uraian di atas tampak, bahwa kebangsaan bukanlah himpunan keragaman kultural belaka. Kebangsaan adalah suatu konsep politik, yang perwujudannya hanya bisa diraih lewat upaya-upaya politik pula. Dan upaya politik paling penting adalah menciptakan keadilan sosial, tegasnya keberpihakan pada mereka yang lemah.

Jadi kebangsaan bukanlah suatu kenyataan, melainkan suatu cita-cita, aspirasi dan tuntutan yang khas Indonesia. Hal itu disuarakan dengan amat jelas Soekarno, ketika ia berbicara mengenai nasionalisme. Kata Soekarno, "nasionalisme Indonesia merupakan "nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-Barat-an". Nasionalisme itu tidak ada hubungannya dengan chauvinisme ataupun dengan "nasionalisme yang serang menyerang, suatu nasionalisme perdagangan yang menghitung-hitung untung atau rugi." (Denys Lombard; Nusa Jawa Silang Budaya, 1996. hlm. 168).

Keprihatinan pada keadilan sosial yang prorakyat kecil muncul kembali dengan tegas dalam konsep Soekarno mengenai Nasionalisme Marhaenistis. Marhaen adalah nama seorang Sunda, yang bagi Soekarno merupakan cerminan kondisi sebagian besar bangsa Indonesia, yang sengsara tetapi bukan proletar.

Kata Soekarno, "Djempol sekali djikalau negeri kita bisa jadi seperti negeri Djepang atau negeri Amerika atau negeri Inggris! Armadanja ditakuti dunia, kotanja haibat-haibat, bank-banknja meliputi dunia, benderanja kelihatan di mana-mana!... Kaum nasionalis jang demikian itu lupa bahwa barang-barang jang haibat-haibat itulah adalah hasil kapitalisme, dan bahwa kaum Marhaen di negeri-negeri itu adalah tertindas... Mereka hanja ingin Indonesia merdeka sahadja sebagai maksud penghabisan, dan tidak suatu masjarakat jang adil zonder ada kaum yang tertindas. Mereka lupa bahwa Indonesia-Merdeka hanjalah suatu sjarat sahadja untuk memperbaiki masjarakat Indonesia jang rusak itu. Mereka adalah burgelijk revolutionair... tidak Marhaenistis revolutionair. Nasionalisme kita tidak boleh nasionalisme jang demikian itu..."(Ibidem)

Dari sekelumit petikan sejarah di atas, konsep kebangsaan kita itu sebenarnya tegas dan sederhana. Kebangsaan itu adalah suatu persatuan Indonesia merdeka yang mengusahakan keadilan sosial, lebih-lebih bagi mereka yang tertindas. Kebangsaan macam itulah yang seharusnya diwujudkan oleh negara kebangsaan Indonesia. Sayang hal itu tak terjadi, dan kita sering terselewengkan dari konsep kebangsaan yang khas kita tadi.

Kekaburan identitas nasional

Penyelewengan itu terjadi pertama-tama, di mana kita menganggap kebangsaan itu lebih sebagai masalah kultural daripada sebagai masalah politik. Kebangsaan itu lalu seakan hanyalah himpunan dari pelbagai keragaman kultural. Jika kebangsaan itu dimengerti secara kultural semata-mata, maka kebangsaan itu juga akan dimengerti sebagai sesuatu yang mengacu pada pencarian identitas nasional kita belaka.

Di sini patut diingat, bahwa identitas nasional itu sebenarnya adalah sesuatu yang abstrak. Seperti dikatakan Odo Marquard, identitas nasional itu hanyalah eine Art Zweckmaesisskeit ohne Zweck (sesuatu yang bertujuan tanpa tujuan). Maksudnya, untuk apakah kita mencari dan merumuskan identitas nasional, jika pencarian dan perumusan itu akhirnya sama sekali tidak mengenai diri dan ikhwal hidup kita secara konkret?

Harus diakui, bahwa orang sulit dapat merasakan identitasnya dalam makrokosmosnya yang nasional. Secara konkret orang hanya dapat merasakan identitasnya dalam mikrokosmosnya yang lokal. Bukan dalam negara nasional ia dapat merasakan tanah airnya yang konkret tetapi dalam tanah tumpah darahnya yang lokal.

Maka daripada berbicara tentang identitas nasional, negara lebih baik memberi kesempatan warganya untuk menikmati hidupnya dan identitasnya secara konkret, yaitu dalam mikrokosmosnya yang kecil dan terbatas, bukan dalam makrokosmos negara kebangsaan yang luas dan abstrak.

Dalam kaitan ini kita boleh segera mengkritisi masalah SARA, yang kini sering menjadi malapetaka bagi bangsa kita. SARA adalah akibat dari pencarian dan pengkokohan identitas nasional secara berlebih-lebihan. Orang kurang sempat hidup menurut identitas mikrokosmosnya, karena dituntut terus-menerus hidup menurut identitas nasionalnya dalam makrokosmos negara kebangsaan yang abstrak.

SARA dianggap ancaman bagi identitas nasional. Maka begitu muncul, SARA harus dihabisi. SARA lalu menjadi momok. Celakanya momok ini digunakan sebagai alat politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Politik macam ini hanyalah memendam bom waktu saja. Suatu saat orang tak dapat lagi hidup dengan identitasnya yang abstrak. Mereka akan meminta kembali kesempatan untuk menghidupi identitasnya secara konkret. Dan itu berarti berontak terhadap makrokosmos negara nasional yang hanya ribut dengan identitas nasional tanpa memperhatikan identitas yang konkret dalam mikrokosmos yang konkret pula.

Sepintas konsep kebangsaan yang melulu kultural tampaknya dapat memberi kesempatan masih-masing kelompok atau warga masyarakat untuk menentukan identitasnya secara lokal. Anggapan ini keliru. Tak mungkin kelompok atau warga masyarakat dapat dan bebas mencari dan menghayati identitas kulturalnya, jika mereka tidak mempunyai hak politik untuk hal tersebut.

Jadi bukan kultur tetapi politik yang memungkinkan orang untuk bebas menghayati kebudayaannya. Di sinilah terletak kejelian founding fathers, para pendahulu kita: mereka memandang kebangsaan bukan sebagai konsep kultural tetapi politik. Hanya dengan kebangsaan yang menjamin hak politik warga negara untuk menentukan dirinya sesuai dengan kulturnya, maka masing-masing kelompok etnis dan budaya yang tergabung di dalamnya akan terjamin menghayati identitasnya.

Justru karena kebangsaan itu konsep politik, yang menjamin kebebasan bagi warga atau kelompok untuk bebas menghayati keragaman kulturalnya, maka kebangsaan tak pernah mempunyai identitas yang pasti dan jelas. Di sini kebangsaan tak menjaminkan suatu identitas nasional. Memakai bahasa Martin Walser, kebangsaan itu hanyalah sekadar sejarah. Sebab tidakkah bangsa atau nation itu adalah ungkapan dari penjadian yang dibentuk dan dinyatakan oleh sejarah, di mana kelompok-kelompok masyarakat itu bergulat untuk menjadikan dan membentuk diri mereka secara bersama-sama?

Penindasan kebangsaan oleh negara

Kebangsaan itu terjadi dan terbentuk sesuai dengan penjadian dan pembentukan sejarah. Karena sejarah itu terbuka, maka pembentukan dan penjadian itu tak mengenal finalitasnya. Celakanya, begitu digabungkan dengan negara menjadi negara kebangsaan, maka kebangsaan itu mau tak dikenai dengan batasan-batasan.

Kebangsaan itu bukan negara. Akan tetapi, kebangsaan itu mempunyai negara. Dengan kata lain, bukan negara melainkan kebangsaan itulah yang seharusnya menentukan dan mengatur negara. Akan tetapi, yang kebanyakan terjadi, lebih-lebih di negara kita, negaralah yang mengatur kebangsaan kita sedemikian rupa sampai negara akhirnya menjadi kebangsaan sendiri.

Maka negara mengatur kebangsaan itu sampai ke akar-akarnya, dan kemudian menelan kebangsaan itu sampai akhirnya negara identik dengan kebangsaan sendiri. Apa yang dimaukan oleh negara, dan itu sering berarti apa yang dimaukan oleh penguasa, harus terjadi pada bangsa. Itulah yang terjadi semasa Orde Baru di bawah Soeharto mau pun Orde Lama di bawah Soekarno.

Sekian lama kebangsaan kita ditindas oleh negara, dengan segala aparat penindasannya, mulai dari ideologi Nasakom, Demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, kemudian P4, SARA, ketertiban dan keamanan sampai tentara dan sebagainya di zaman Orde Baru. Kebangsaan kita bukan lagi sejarah tetapi ideologi penguasa. Oleh ideologi itu kebangsaan kita hampir mati tercekik. Bukti kematiannya adalah fakta, bahwa hidup berbangsa kita demikian homogen sampai di tingkat lokal, padahal di tingkat lokal itu kebangsaan kita sebenarnya demikian heterogen. Pantaslah jika sekarang di tingkat lokallah paling terjadi keresahan dan kegelisahan kelompok masyarakat untuk mencari dan menemukan identitas dan keunikannya sendiri.

Membebaskan kebangsaan kita dari penindasan kekuasaan negara dan cekikan ideologi penyeragaman itulah kiranya yang perlu dikerjakan di era reformasi ini. Untuk itu jangan lagi kita terjerumus dalam obsesi pencarian identitas nasional. Kita hanya harus kembali kepada kebangsaan sebagai konsep politik. Lalu kita mencari langkah politik yang tepat agar kita bisa membuka kembali kebangsaan sebagai sejarah.

Dan langkah politik itu kiranya adalah demokrasi. Hanya dengan demokrasi, kita dapat menghidupkan kembali kebangsaan sebagai keragaman yang hidup dengan konkret. Di sini kita tidak perlu menentukan, bagaimana keragaman di tingkat lokal itu harus terjadi. Kalau demikian kita nanti terjerumus ke dalam penyeragaman lagi.

Kita hanya perlu menciptakan iklim demokratis yang dapat memberikan kembali hak-hak politik bagi masing-masing warga atau kelompok, agar mereka dapat sendiri mencari dan menentukan identitas dirinya, sambil membuat sejarah mereka sendiri. Jika itu terjadi, mereka akan merasa krasan berada dalam suatu negara kebangsaan Indonesia, karena mereka merasa aman dan dihargai.

Penghargaan identitas lewat keadilan sosial

Patut diingat, sebelum manusia berbunga dengan identitas kulturnya, mereka perlu terlebih dahulu tumbuh dari tanah materialnya. Artinya, tak mungkin manusia bisa menghayati kebudayaannya secara maksimal, jika mereka tidak hidup dari kecukupan material. Sebelum berbudaya, mereka juga harus terlebih dahulu makan.

Kecukupan sandang dan pangan, serta kelayakan hidup material bukan hanya tanda kecukupan kebutuhan pokok tetapi juga sebentuk penghargaan, yang memungkinkan manusia dapat menghayati identitasnya sesuai dengan kebudayaannya. Maka, kecukupan sandang-pangan dan kelayakan hidup material termasuk dalam pembangunan kebangsaan. Seperti sudah dilihat di depan, hal ini ternyata juga sudah dilihat dengan amat jeli ketika para pendahulu kita merumuskan, bahwa keadilan sosial adalah bagian dari upaya politik untuk membangun kebangsaan.

Sayang, sampai kini keadilan sosial itu belum diusahakan, atau kalau toh diusahakan keadilan sosial tidak diintegrasikan menjadi bagian yang amat penting dari pembangunan kebangsaan. Sekarang di Indonesia mulai muncul ketidakpuasan etnis atau pertikaian etnis. Orang menangkap masalah itu dari permukaannya saja, seakan masalah tersebut adalah masalah kultural. Padahal bila ditinjau lebih jauh, masalah itu sesungguhnya menyangkut masalah keadilan sosial.

Daerah-daerah dengan kelompok etnisnya ditelantarkan begitu saja dalam keterbelakangan ekonomisnya, sementara kelimpahan dan kemakmuran mewabah di Ibu Kota dan Pulau Jawa. Ketimpangan ini membuat daerah-daerah berontak. Pemberontakan mereka mengesankan suatu protes kultural: mereka ingin menentukan nasib sendiri sesuai dengan identitas kultural mereka masing-masing. Padahal sesungguhnya mereka merasa tidak puas karena dianaktirikan oleh politik kebangsaan yang mengabaikan keadilan sosial.

Negara kebangsaan kita akan kolaps, jika lupa mengusahakan pembangunan keadilan sosial. Apalagi di abad global, perhatian akan keadilan sosial itu mutlak perlu. Sebab globalisasi dengan mudah menelan kelompok yang lemah dan miskin. Kalau negara tidak mengupayakan perlindungan dan keamanan material bagi mereka lewat program keadilan sosial, mereka akan segera terpinggirkan. Mau tak mau mereka akan berontak.

Agar pemberontakan mereka efektif, mereka akan menggunakan simbol-simbol kultural. Mereka akan menjeritkan harga diri mereka yang diinjak-injak lewat bahasa-bahasa etnis yang khas mereka. Mereka jadi haus akan identitas kultural mereka. Jika demikian, soalnya akan lebih sulit diatasi. Bahaya ini dengan mudah mengambrukkan negara kebangsaan kita yang sekarang ini sudah sangat goyah dan rawan.

*) Sindhunata, Penanggungjawab/Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta.
(www.geocities.com/HotSprings/9085/sosial.htm)

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!