Minggu, 29 Juli 2012


Oleh Yasraf Amir Piliang

            TULISAN Rizal Mallarangeng di Harian Kompas (19 Januari 2000) yang berjudul Konflik Maluku dan Reorientasi Ilmu Sosial secara menarik menyoroti tentang peran ilmuwan sosial dalam berbagai peristiwa konflik yang terjadi di Tanah Air akhir-akhir ini, khususnya konflik Ambon.
            Ia menyimpulkan bahwa peran ilmuwan sosial tersebut sangat timpang, yaitu terlalu terperangkapnya mereka di dalam retorika-retorika ilmiah yang bersifat umum dan makro, dengan argumen ilmiah yang bersifat stereotip dan tautologis, sehingga melupakan mereka pada persoalan-persoalan sosial mikro yang justru sangat penting dalam menyingkap realitas konflik sosial yang sesungguhnya.
            Usulan Mallarangeng agar digalakkan penelitian-penelitian mikro terhadap berbagai bentuk konflik tersebut perlu disambut dengan baik. Akan tetapi, tentunya dengan usulan ini tidak berarti bahwa telah tertutup pintu bagi berbagai 'cara melihat' (point of view) yang lain terhadap berbagai fenomena konflik sosial tersebut.

            Di dalam kondisi masyarakat yang gelap gulita seperti sekarang ini, justru perlu diperluas cakrawala sudut pandang, paradigma, metodologi, dan peran yang bersifat pluralistik dalam meneropong berbagai persoalan masyarakat dan bangsa. Perlu diciptakan sebuah 'ruang publik ilmiah', tempat ilmuwan sosial mengungkapkan gagasan-gagasan ilmiah mereka yang beraneka ragam.
            lmuwan sosial hendaknya tidak terpaku pada satu cara pandang, agar mereka tidak terperangkap di dalam apa yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1982) sebagai trilogi orthodox consensus, yaitu logika positivisme, metode fungsionalisme dan pola masyarakat industri-sebuah perangkap yang dicurigai telah memenjarakan ilmuwan sosial kita hingga kini. Ide-ide segar dalam ilmu sosial justru akan lebih dapat hidup subur bila ia dibiarkan berkembang di dalam segala keluasan cakrawala dan pluralitasnya.
            Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada tiga bentuk peran (plural) yang dapat dimainkan oleh pemikir dan ilmuwan sosial: 1) memberikan refleksi atau tafsiran-tafsiran filosofis (philosophical hermeneutics) terhadap berbagai bentuk konflik dan kekerasan, khususnya dalam menyingkap berbagai aspek nilai dan maknanya bagi manusia. Di sini berperan 'pemikir sosial'. 2) memberikan penjelasan ilmiah secara empirik (empirical analytic science) terhadap berbagai persoalan konflik sosial dalam berbagai aspek dan korelasinya secara empiris, baik dalam skala makro maupun mikro. Di sini berperan 'ilmuwan sosial'. 3) memberikan peringatan atau kritik terhadap realitas sosial atau ilmu sosial sendiri (critical theory). Inilah peran 'kritikus sosial'.
            Dengan demikian, yang diperlukan sekarang justru 'medan wacana ilmiah' yang diperluas-bukannya dipersempit-dalam meneropong dan menyingkap berbagai masalah sosial yang ada. Mempersempit medan perbincangan hanya akan menciptakan kesenjangan baru dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial di Tanah Air.
            Di dalam 'medan wacana yang diperluas', pluralistik dan multidisipliner seperti di ataslah hendaknya berbagai fenomena konflik dan kekerasan sosial dapat diteropong. Dan, dengan segala keterbatasannya, tulisan ini mencoba memberikan sebuah sumbangan refleksi terhadap berbagai bentuk kekerasan yang ada, dalam upaya menemukan berbagai nilai dan makna kemanusiaan di baliknya.

***

            SALAH satu aspek yang memerlukan refleksi adalah persoalan 'kematian' (death) yang diakibatkan oleh berbagai bentuk konflik dan kekerasan yang terjadi, serta kedudukan politik di dalamnya. Berbagai peristiwa kekerasan, sejak masa Orde Baru hingga kini, telah menelan puluhan ribu jiwa. Ribuan orang di antaranya mati dengan sia-sia: akibat ikut-ikutan massa, akibat peluru nyasar, akibat salah pengertian, akibat adu domba, akibat provokasi. Inilah kematian yang diakibatkan oleh sebab yang remeh-temeh, yang dangkal, yang ringan-the banality of death.
            Kematian, kata filsuf Montaigne, sesungguhnya merupakan sesuatu yang sakral, yang penuh nilai, yang disucikan. Inilah, misalnya, kematian para pahlawan reformasi di dalam peristiwa berdarah Trisakti dan Semanggi, yang diiringi dengan ratap tangis pilu, kepedihan yang mengiris dan dukacita yang sangat dalam.
            Akan tetapi, politik menciptakan 'desakralisasi kematian' serta 'pendangkalan makna kematian', dengan menjadikannya sebagai 'komoditas politik' (commodification). Para korban kekerasan dalam kacamata politik, kini tak lebih dari serangkaian angka-angka statistik, yang hanya dikaitkan dengan keuntungan-keuntungan politik: berapa pengaruh kekuasaan dapat diperoleh, berapa kursi kekuasaan dapat diraih dari 'komoditas kematian' tersebut!
            Politik pada akhirnya tidak hanya menjadi sebuah 'mesin kekuasaan', akan tetapi sekaligus menjadi sebuah mesin kematian. Artinya, mesin politik memroduksi kekuasaan dengan cara 'memroduksi kematian' sebagai raison d'etre-nya.
            Kematian (massal) itu kini telah menjelma menjadi sebuah bentuk 'pertukaran simbol' di dalam politik. Ia menjadi semacam apa yang, di dalam ekonomi politik, dikatakan Marx sebagai 'fetisisme komoditas', yaitu segala sesuatu (termasuk kematian) yang dimuati dengan nilai-nilai tukar (termasuk nilai tukar politik). Kelompok politik tertentu, misalnya, memroduksi kerusuhan untuk sebuah kursi jabatan, merekayasa pembantaian untuk sebuah kelanggengan kekuasaan.
            Politik, lalu menjelma tak ubahnya seperti fenomena 'perusahaan kapitalis', yang menanamkan modal politik (political capital) dalam 'memroduksi' sesuatu (penculikan, penjarahan, pembantaian, teror, provokasi), untuk dipertukarkan di dalam sebuah pasar politik (political market) dalam rangka mendapatkan keuntungan politik (political profit: pengaruh, kekuasaan, kursi, kedudukan, wilayah).
            Cara-cara 'komodifikasi kematian' ini dicurigai dilakukan-diarahkan hingga kini-oleh apa yang dapat disebut sebagai 'kelompok politisi horor' bermodal besar. Terlepas dari posisi mereka di dalam kancah politik formal, yang jelas, bila mereka berhasil mencapai tujuan (memperoleh, merebut, atau mempertahankan kekuasaan), maka 'strategi horor' akan selalu digunakan dalam mengekspresikan hasrat kekuasaan mereka.
            Bila berkuasa, mereka akan menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang tidak didasarkan atas kedaulatan rakyat, sebagaimana prinsip demokrasi (demos+cratia), akan tetapi oleh 'kedaulatan kekerasan atas rakyat'. Ia menciptakan semacam horrocracy (horror=rasa takut+cratia=sistem pemerintahan), yaitu sebuah sistem pemerintahan yang dibangun di atas landasan kekerasan (violence) terhadap rakyatnya sendiri yang dikuasai, seperti yang juga ditegaskan oleh Giddens.
            Konotasi pemerintahan semacam ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari pemerintahan rezim Orde Baru, yang dicurigai telah memroduksi berbagai 'ladang kematian' demi kekuasaan, meskipun 'kebenaran' mengenai hal ini masih diliputi kabut tebal hingga kini.

***

            KEMATIAN (massal), dengan demikian, mendapatkan tempatnya di dalam relasi sosial, sebagai sebuah alat 'kekuasaan' (power).
            Bila Michel Foucault berbicara mengenai hubungan erat antara pengetahuan dan kekuasaan (power/knowledge) di dalam berbagai bentuk wacana sosial (social discourse), maka di dalam wacana politik (masa kini) terbentuk hubungan trilogi power/knowledge/death. Artinya, kekuasaan mempunyai hubungan erat dengan pengetahuan yang dikembangkan untuk menciptakan kematian, demi kekuasaan itu sendiri.
            Meskipun (potensi) kekuasaan, di dalam iklim reformasi dewasa ini menggeliat di mana-mana ('kekuasaan' berlandaskan suku, daerah, agama, gender); akan tetapi, ironisnya, bersamaan dengan itu potensi kematian juga menyebar di mana-mana.
            Iklim reformasi ternyata belum mampu mengurangi 'produk kematian' akibat komodifikasi politik. Berbagai penjelasan empiris sosiologis tentunya dapat menjelaskan ini. Akan tetapi, tulisan ini tidak mencoba memasuki wilayah penjelasan empiris tersebut, melainkan wilayah tafsiran, khususnya mengangkat berbagai persoalan 'makna' dari berbagai peristiwa sosial tersebut.
            Pertama, adalah persoalan rasa takut (horror) dan 'citra horor'. Berbagai peristiwa kekerasan telah menciptakan sebuah citra republik ini sebagai sebuah republic of horror. Citra tersebut telah menciptakan berbagai bentuk ketakutan, baik pada rakyat maupun pada orang asing (misalnya, ketakutan untuk menetap, untuk berinvestasi). Diperlukan waktu yang lama untuk menghilangkan citra ketakutan ini.
            Kedua, adalah persoalan 'kecepatan'. 'Produksi kematian massal' oleh mesin-mesin komodifikasi politik, berlangsung dengan tempo (velocity) yang tinggi. Berbagai peristiwa, berita dan tontonan 'kematian' datang dan pergi silih-berganti dengan kecepatan tinggi, bagaikan hantu fantasmagoria kapitalisme. Kecepatan ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Paul Virilio di dalam Speed & Politics (1986), menciptakan sebuah kondisi, di mana 'kapasitas refleksi' manusia terkubur di dalam deru kecepatan produksi (kematian) itu sendiri. Kematian menjadi sebuah fenomena 'keseketikaan' atau temporality, yang di dalam kecepatannya masyarakat kita tidak mampu lagi menyaring makna apa-apa darinya.
            Ketiga, persoalan 'melupakan'. Dalam kecepatan tinggi, berbagai peristiwa kekerasan tersebut hanya menciptakan 'kejutan-kejutan horor seketika', yang segera digantikan oleh 'kejutan horor' berikutnya. Masyarakat, lalu dikondisikan untuk mudah 'melupakan' rangkaian peristiwa kematian sebagai serial 'kematian yang ringan' (banality), layaknya kematian dalam serial sinetron. Dengan melupakan, masyarakat tidak dapat belajar apa-apa darinya.
            Memang, berbagai persoalan refleksi di atas tentunya tidak dapat dilepaskan dari masih hidupnya di atas tubuh bangsa ini 'parasit bangsa', berupa 'mesin politik horor', yang setiap waktu dapat memroduksi kematian. Maka, di samping refleksi yang memerlukan kejernihan itu, membersihkan parasit itu adalah tugas segera bangsa ini, yang tidak dapat ditunda-tunda.
(* Yasraf Amir Piliang, Dosen Program Magister Seni & Desain ITB, Peserta Program Doktor Sosiologi Unpad).


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!