Oleh Yasraf
Amir Piliang
TULISAN Rizal Mallarangeng di Harian Kompas (19 Januari 2000) yang berjudul Konflik Maluku dan Reorientasi Ilmu Sosial secara menarik menyoroti tentang peran ilmuwan sosial dalam berbagai peristiwa konflik yang terjadi di Tanah Air akhir-akhir ini, khususnya konflik Ambon.
Ia menyimpulkan bahwa peran ilmuwan
sosial tersebut sangat timpang, yaitu terlalu terperangkapnya mereka di dalam
retorika-retorika ilmiah yang bersifat umum dan makro, dengan argumen ilmiah
yang bersifat stereotip dan tautologis, sehingga melupakan mereka pada
persoalan-persoalan sosial mikro yang justru sangat penting dalam menyingkap
realitas konflik sosial yang sesungguhnya.
Usulan Mallarangeng agar digalakkan
penelitian-penelitian mikro terhadap berbagai bentuk konflik tersebut perlu
disambut dengan baik. Akan tetapi, tentunya dengan usulan ini tidak berarti
bahwa telah tertutup pintu bagi berbagai 'cara melihat' (point of view)
yang lain terhadap berbagai fenomena konflik sosial tersebut.
Di dalam kondisi masyarakat yang
gelap gulita seperti sekarang ini, justru perlu diperluas cakrawala sudut
pandang, paradigma, metodologi, dan peran yang bersifat pluralistik dalam
meneropong berbagai persoalan masyarakat dan bangsa. Perlu diciptakan sebuah
'ruang publik ilmiah', tempat ilmuwan sosial mengungkapkan gagasan-gagasan
ilmiah mereka yang beraneka ragam.
lmuwan sosial hendaknya tidak
terpaku pada satu cara pandang, agar mereka tidak terperangkap di dalam apa
yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1982) sebagai trilogi orthodox
consensus, yaitu logika positivisme, metode fungsionalisme dan pola
masyarakat industri-sebuah perangkap yang dicurigai telah memenjarakan ilmuwan
sosial kita hingga kini. Ide-ide segar dalam ilmu sosial justru akan lebih
dapat hidup subur bila ia dibiarkan berkembang di dalam segala keluasan
cakrawala dan pluralitasnya.
Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada
tiga bentuk peran (plural) yang dapat dimainkan oleh pemikir dan ilmuwan
sosial: 1) memberikan refleksi atau tafsiran-tafsiran filosofis (philosophical
hermeneutics) terhadap berbagai bentuk konflik dan kekerasan, khususnya
dalam menyingkap berbagai aspek nilai dan maknanya bagi manusia. Di sini
berperan 'pemikir sosial'. 2) memberikan penjelasan ilmiah secara empirik (empirical
analytic science) terhadap berbagai persoalan konflik sosial dalam berbagai
aspek dan korelasinya secara empiris, baik dalam skala makro maupun mikro. Di
sini berperan 'ilmuwan sosial'. 3) memberikan peringatan atau kritik terhadap
realitas sosial atau ilmu sosial sendiri (critical theory). Inilah peran
'kritikus sosial'.
Dengan demikian, yang diperlukan
sekarang justru 'medan wacana ilmiah' yang diperluas-bukannya dipersempit-dalam
meneropong dan menyingkap berbagai masalah sosial yang ada. Mempersempit medan
perbincangan hanya akan menciptakan kesenjangan baru dalam perkembangan
ilmu-ilmu sosial di Tanah Air.
Di dalam 'medan wacana yang
diperluas', pluralistik dan multidisipliner seperti di ataslah hendaknya
berbagai fenomena konflik dan kekerasan sosial dapat diteropong. Dan, dengan
segala keterbatasannya, tulisan ini mencoba memberikan sebuah sumbangan
refleksi terhadap berbagai bentuk kekerasan yang ada, dalam upaya menemukan
berbagai nilai dan makna kemanusiaan di baliknya.
***
SALAH satu aspek yang memerlukan
refleksi adalah persoalan 'kematian' (death) yang diakibatkan oleh
berbagai bentuk konflik dan kekerasan yang terjadi, serta kedudukan politik di
dalamnya. Berbagai peristiwa kekerasan, sejak masa Orde Baru hingga kini, telah
menelan puluhan ribu jiwa. Ribuan orang di antaranya mati dengan sia-sia:
akibat ikut-ikutan massa, akibat peluru nyasar, akibat salah pengertian, akibat
adu domba, akibat provokasi. Inilah kematian yang diakibatkan oleh sebab yang remeh-temeh,
yang dangkal, yang ringan-the banality of death.
Kematian, kata filsuf Montaigne,
sesungguhnya merupakan sesuatu yang sakral, yang penuh nilai, yang disucikan.
Inilah, misalnya, kematian para pahlawan reformasi di dalam peristiwa berdarah
Trisakti dan Semanggi, yang diiringi dengan ratap tangis pilu, kepedihan yang
mengiris dan dukacita yang sangat dalam.
Akan tetapi, politik menciptakan
'desakralisasi kematian' serta 'pendangkalan makna kematian', dengan
menjadikannya sebagai 'komoditas politik' (commodification). Para korban
kekerasan dalam kacamata politik, kini tak lebih dari serangkaian angka-angka
statistik, yang hanya dikaitkan dengan keuntungan-keuntungan politik: berapa
pengaruh kekuasaan dapat diperoleh, berapa kursi kekuasaan dapat diraih dari
'komoditas kematian' tersebut!
Politik pada akhirnya tidak hanya
menjadi sebuah 'mesin kekuasaan', akan tetapi sekaligus menjadi sebuah mesin
kematian. Artinya, mesin politik memroduksi kekuasaan dengan cara 'memroduksi
kematian' sebagai raison d'etre-nya.
Kematian (massal) itu kini telah
menjelma menjadi sebuah bentuk 'pertukaran simbol' di dalam politik. Ia menjadi
semacam apa yang, di dalam ekonomi politik, dikatakan Marx sebagai 'fetisisme
komoditas', yaitu segala sesuatu (termasuk kematian) yang dimuati dengan
nilai-nilai tukar (termasuk nilai tukar politik). Kelompok politik tertentu,
misalnya, memroduksi kerusuhan untuk sebuah kursi jabatan, merekayasa
pembantaian untuk sebuah kelanggengan kekuasaan.
Politik, lalu menjelma tak ubahnya
seperti fenomena 'perusahaan kapitalis', yang menanamkan modal politik (political
capital) dalam 'memroduksi' sesuatu (penculikan, penjarahan, pembantaian,
teror, provokasi), untuk dipertukarkan di dalam sebuah pasar politik (political
market) dalam rangka mendapatkan keuntungan politik (political profit:
pengaruh, kekuasaan, kursi, kedudukan, wilayah).
Cara-cara 'komodifikasi kematian'
ini dicurigai dilakukan-diarahkan hingga kini-oleh apa yang dapat disebut
sebagai 'kelompok politisi horor' bermodal besar. Terlepas dari posisi mereka
di dalam kancah politik formal, yang jelas, bila mereka berhasil mencapai
tujuan (memperoleh, merebut, atau mempertahankan kekuasaan), maka 'strategi
horor' akan selalu digunakan dalam mengekspresikan hasrat kekuasaan mereka.
Bila berkuasa, mereka akan
menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang tidak didasarkan atas kedaulatan
rakyat, sebagaimana prinsip demokrasi (demos+cratia), akan tetapi oleh
'kedaulatan kekerasan atas rakyat'. Ia menciptakan semacam horrocracy
(horror=rasa takut+cratia=sistem pemerintahan), yaitu sebuah sistem
pemerintahan yang dibangun di atas landasan kekerasan (violence)
terhadap rakyatnya sendiri yang dikuasai, seperti yang juga ditegaskan oleh
Giddens.
Konotasi pemerintahan semacam ini
tentunya tidak dapat dilepaskan dari pemerintahan rezim Orde Baru, yang
dicurigai telah memroduksi berbagai 'ladang kematian' demi kekuasaan, meskipun
'kebenaran' mengenai hal ini masih diliputi kabut tebal hingga kini.
***
KEMATIAN (massal), dengan demikian,
mendapatkan tempatnya di dalam relasi sosial, sebagai sebuah alat 'kekuasaan' (power).
Bila Michel Foucault berbicara
mengenai hubungan erat antara pengetahuan dan kekuasaan (power/knowledge)
di dalam berbagai bentuk wacana sosial (social discourse), maka di dalam
wacana politik (masa kini) terbentuk hubungan trilogi power/knowledge/death.
Artinya, kekuasaan mempunyai hubungan erat dengan pengetahuan yang dikembangkan
untuk menciptakan kematian, demi kekuasaan itu sendiri.
Meskipun (potensi) kekuasaan, di dalam
iklim reformasi dewasa ini menggeliat di mana-mana ('kekuasaan' berlandaskan
suku, daerah, agama, gender); akan tetapi, ironisnya, bersamaan dengan itu
potensi kematian juga menyebar di mana-mana.
Iklim reformasi ternyata belum mampu
mengurangi 'produk kematian' akibat komodifikasi politik. Berbagai penjelasan
empiris sosiologis tentunya dapat menjelaskan ini. Akan tetapi, tulisan ini
tidak mencoba memasuki wilayah penjelasan empiris tersebut, melainkan wilayah
tafsiran, khususnya mengangkat berbagai persoalan 'makna' dari berbagai
peristiwa sosial tersebut.
Pertama, adalah persoalan rasa takut
(horror) dan 'citra horor'. Berbagai peristiwa kekerasan telah
menciptakan sebuah citra republik ini sebagai sebuah republic of horror.
Citra tersebut telah menciptakan berbagai bentuk ketakutan, baik pada rakyat
maupun pada orang asing (misalnya, ketakutan untuk menetap, untuk
berinvestasi). Diperlukan waktu yang lama untuk menghilangkan citra ketakutan
ini.
Kedua, adalah persoalan 'kecepatan'.
'Produksi kematian massal' oleh mesin-mesin komodifikasi politik, berlangsung
dengan tempo (velocity) yang tinggi. Berbagai peristiwa, berita dan
tontonan 'kematian' datang dan pergi silih-berganti dengan kecepatan tinggi,
bagaikan hantu fantasmagoria kapitalisme. Kecepatan ini, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Paul Virilio di dalam Speed & Politics (1986),
menciptakan sebuah kondisi, di mana 'kapasitas refleksi' manusia
terkubur di dalam deru kecepatan produksi (kematian) itu sendiri. Kematian
menjadi sebuah fenomena 'keseketikaan' atau temporality, yang di dalam
kecepatannya masyarakat kita tidak mampu lagi menyaring makna apa-apa darinya.
Ketiga, persoalan 'melupakan'. Dalam
kecepatan tinggi, berbagai peristiwa kekerasan tersebut hanya menciptakan
'kejutan-kejutan horor seketika', yang segera digantikan oleh 'kejutan horor'
berikutnya. Masyarakat, lalu dikondisikan untuk mudah 'melupakan'
rangkaian peristiwa kematian sebagai serial 'kematian yang ringan' (banality),
layaknya kematian dalam serial sinetron. Dengan melupakan, masyarakat tidak
dapat belajar apa-apa darinya.
Memang, berbagai persoalan refleksi
di atas tentunya tidak dapat dilepaskan dari masih hidupnya di atas tubuh
bangsa ini 'parasit bangsa', berupa 'mesin politik horor', yang setiap waktu
dapat memroduksi kematian. Maka, di samping refleksi yang memerlukan kejernihan
itu, membersihkan parasit itu adalah tugas segera bangsa ini, yang tidak dapat
ditunda-tunda.
(* Yasraf Amir
Piliang, Dosen Program Magister Seni & Desain ITB, Peserta Program
Doktor Sosiologi Unpad).
0 komentar:
Posting Komentar