Kamis, 26 Juli 2012


Memilih "Kiai Makshum"
Kalau begitu Anda sering dong, bersilaturahim ke para kiai? Bagaimana Anda menyaring sebegitu banyaknya macam kiai. Misalnya, bagaimana cara Anda memilih antara "kiai makshum" dengan "kiai kadonyan"?
Tidak ada kiai yang ma'shum. Hanya Nabi yang ma'shum. Yang ada paling kiai konsisten, lumayan konsisten, kurang konsisten, tidak konsisten, atau tidk ada kaitannya dengan konsisten atau tidak.

Ada anggapan bahwa shalawatan yang Anda kerjakan bersama teman-teman Hamas (Himpunan Masyarakat Shalawat) itu hanya romantisme saja, tidak bisa menyelesaikan masalah.
Baiklah. Ini soal "ingin" dulu ya. Sudah hampir tidak ada orang yang percaya, bahwa ada manusia yang tidak berkeinginan. Tidak hanya ingin rujak, ingin soto, tapi yang lebih besar dari itu. Tidak ingin jadi bupati, presiden, tidak ingin kaya, tidak ingin kaya.
Masalahnya begini, sekarang kalau Anda hitung secara matematik, kalau kita berkeinginan, kalau manusia berkeinginan, kan belum tentu tercapai. Kalau Tuhan berkeinginan pasti akan tercapai. Kita ada ini kan yang menjadi dasar adalah keinginan Tuhan, iradah Allah, maka kita ada. Tuhan menginginkan kita tidak sekadar ada saja, tetapi menjadi, mempunyai, ke mana, kenapa dan lain sebagainya. Lengkap. Seperti juga kalau kita merumuskan seperti itu. Tapi sekali lagi kalau kita yang menggerakkannya kan kita tidak pasti berhasil, tetapi kalau Tuhan kan pasti berhasil.
Masalahnya apakah ini jabariyah? Apakah ini saya "manut" 100% sama Tuhan? Jawabnya, kita berbagi sama Tuhan. Kalau Tuhan mengatakan, "Mainlah sepak bola!" Nah saya belajar bagaimana menendang, bagaimana menggiring, ngoper, mencetak gawang dan lain sebagainya. Nah, itu adalah kerja sama antara Tuhan dengan manusia atau pembagian tugas antara Tuhan dengan manusia.

Jadi harus kita kalkulasi. Kalau saya yang berkeinginan belum tentu berhasil. Jadi biarkan saja Tuhan yang berkeinginan atas diri kita -terutama pada hal-hal yang besar.
Nah, yang saya kerjakan dalam kehidupan adalah niteni, mengamati, meneliti apa kemauan Tuhan atas hidup saya. Itu yang paling penting. Misalnya, yang pasti diinginkan Tuhan itu apa: misalnya kita menjaga kebersihan, kita harus makan, kita harus menanam.
Pokoknya harus mendayagunakan semua pemberian Tuhan kepada kita. Tangan harus kita gunakan sesuai perintah Tuhan. Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar semua hal yang baik. Itu saja yang saya kerjakan. Tetapi saya tidak berkeinginan untuk "panen".
Saya hanya "nandur", karena tugas saya adalah mengerjakan sawah, mendayagunakan tangan dan kaki saya. Orientasi "panen" ada, tetapi apakah saya akan panen atau tidak, itu menjadi urusan Tuhan.
Saya menon-aktifkan saya untuk panen, memaksimalkan saya untuk tandur. Karena tandur itu saja yang menjadi tugas saya, dan itu keinginan Tuhan yang keinginan-Nya tidak sama dengan keinginan saya. Kalau yang kita jalankan keinginan Tuhan kan beres. Kalau yang saya jalankan keinginan saya, tidak beres.
Atau ini ada dua rumus di dalam al-Qur'an: yang pertama, "Innama amruhu idza arada syai'an ayyuquula lahu kun fayakun." Yang kedua, "Fa-mankana hijratuhu ilallah warrasul fahijratuhu ilallah war-rasul, wa-mankana hijratuhu ilad-dunya fama lahajara ilaih."
Pengertian yang pertama, kalau kita punya keinginan harus dicari kesesuaiannya dengan iradat Tuhan. Kalau sudah sesuai, misalnya pagi-pagi saya mandi ndak, o iya mandi dong. Sesuai dengan perintah menjaga kesehatan. Gampang saja masalahnya. Cara saya harus sesuai dengan kemauan Tuhan, tidak boleh semau saya, tidak boleh semau orang lain. Kalau maunya orang lain, maunya saya sama dengan maunya Tuhan maka saya berani untuk menjalankan. Dengan itu produknya adalah "kun-fayakun".
Maka sekarang saya berada pada tempat yang saya sendiri tidak bisa bayangkan, saya sendiri tidak menginginkan. Ya terserah rumusan Anda mengenai saya itu apa. Misalnya: saya bisa melaksanakan tugas pejabat, saya bisa melaksanakan tugas kiai tanpa saya menjadi kiai, saya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan seniman tanpa saya menjadi seniman, sastrawan budayawan atau apapun.
Saya mengerjakan apa yang dilakukan oleh teman-teman LSM tanpa saya punya lembaga LSM. Bahwa saya ambil anak-anak yatim dan tenaga-tenaga kerja, tanpa saya menjadi Depnaker atau menjadi panti asuhan anak yatim. Di sini tidak ada panti asuhan, di sini bersifat pribadi.
Saya acara kemana-mana tanpa saya harus menjadi intelektual, tanpa saya harus menjadi tokoh, tanpa harus menjadi ulama, tanpa menjadi apapun. Karena semua itu adalah perintah Tuhan. Perintah Tuhan bisa langsung., bisa dari orang lain, bisa dari benda, bisa dari peristiwa, bisa melalui intuisi dan segala macam.
Maka inilah yang disebut produk "kun- fayakun". Setiap hari ketemu Banser tanpa saya menjadi pengurus NU. Saya tiap hari dikawal Banser ketika beracara dengan ribuan orang NU atau siapapun tanpa saya harus menjadi ketua NU atau Muhammadiyah. Terserah Andalah bagaimana merumuskan, saya tidak mengatakan ini besar, bagus atau segala macam, tapi pokoknya ini fungsi.
Nomor dua, hijrah. Kalau kita hijrahnya ke Allah dan Rasul ya kita dapat Allah dan Rasul dan dunia, karena dunia milik Allah. Tapi kalau hijrah kita kepada dunia, maka kita belum tentu dapat dunia dan pasti tidak dapat Allah dan Rasul. Wong dunia milik Allah dan Rasul kok - jadi kita ndak dapat apa-apa, meskipun kalau Allah bermurah hati ya kita dapat dunia.
Sebab menurut hukum dagang saja, saya sudah memperoleh laba, tapi laba dalam keabasahan Allah, bukan laba dalam teori kapitalisme. Jadi kalau Anda membayangkan saya menjadi lurah, camat, bupati, sampai presiden jangan berharap itu adalah keinginan saya, tapi itu semua harus benar-benar kehendak Tuhan (iradat Allah). Karena kalau saya berkeinginan, maka saya tidak murni. Saya kencing karena metabolisme tubuh saya mengharuskan saya untuk kencing.
Begitu pula dengan menjadi, penyair, mekanismenya harus begitu, harus tidak boleh berkeinginan, tetapi kalau Allah sudah mengharuskan ya harus maju. Ini saya, tidak harus berlaku pada orang lain. Tapi kalau Anda ingin memahami saya ya harus bisa menerima seperti itu. Kalau tidak paham, sampai akhirat pun sampeyan tidak akan bisa ketemu saya. Dan Anda akan mengarang tentang saya di otak Anda. Saya ndak seperti itu. Kalau toh semua orang di Indonesia mengatakan seperti yang diasosiasikan mereka, bayangan-bayangan akal dan hati mereka, ya ketahuilah itu bukan saya. Tolong pahami, bahwa itu bukan saya. Itu hasil karangan mereka tentang saya.
Nah, dari perhitungan matematik ini saja, saya memilih yang beruntung dalam konteks Allah. Karena, keberuntungan dalam konteks Allah adalah yang sejati dan abadi. Sementara keberuntungan dari diri saya itu kontemporer dan relatif. Kalau kita berhijrah kepada dunia ibarat kita bikin perusahaan, belum tentu tidak bangkrut. Kalau kita sudah kaya raya belum tentu lantas tidak terjadi miskin.
Tetapi kalau kita berhijrah kepada Allah dan Rasul, kaya dan miskin itu berdasarkan definisi dari Allah dan Rasul. Dan saya pasti kaya -berdasarkan definisi Allah dan Rasul. Wong, saya ditipu orang, dibenci orang, bagi saya itu kekayaan. Makanya saya selalu bilang, ilmu itu mahal harganya. Kekayaan Allah itu mahal harganya, dunia ini tidak cukup untuk membayar.
Jadi kalau sekadar kehilangan uang sekian juta sebenarnya tidak cukup untuk membayar ilmu yang saya dapatkan dari peristiwa di mana Allah terlibat betul di situ.
Kedua, manusia itu "ahsani taqwim". Saya ingin tanya, lebih tinggi mana manusia dibanding presiden, di banding dunia ini, dibanding uang dan jabatan. Lebih kaya mana, lebih tinggi mana? Allah menciptakan kita ini "hsani taqwim" bahkan lebih tinggi dari malaikat, bahkan malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Bahkan makhluk pertama adalah Nur Muhammad.
Jadi kita itu sangat tinggi derajatnya dalam konteksnya Tuhan dan konteks realitas sunnahnya Tuhan. Dan setahu saya, yang lebih rendah itu akan mencari yang lebih tinggi, bukan yang tinggi mencari yang rendah. Jadi kalau ada manusia mencari uang, mencari jabatan, mencari dunia, berarti dia sedang melorotkan derajatnya.
Apakah dengan demikian tidak boleh kerja untuk mencari uang? Lho, kita bekerja bukan untuk mencari uang, kita bekerja untuk menjalankan amanat Tuhan. Tuhan akan mengasihi kita, akan memberi uang kepada kita. Uang itu hanya akibat dari pekerjaan, akibat baik yang disebut rezeki Allah, dari kepatuhan kita menjalankan perintah Allah. jadi saya sebagai manusia, punya gengsi yang tinggi kepada keinginan, kepada kebahagiaan, dari kesedihan, dari segala macam faktor-faktor yang sebetulnya hanya unsur dari manusia.
Mosok Anda kalah tinggi dengan kaki Anda, kalah tinggi dengan tangan Anda, kalah tinggi dengan uang Anda. Kita lebih tinggi dengan semua itu, kita punya gengsi. Punya gengsi itu artinya kita punya harga diri. Menurut Allah, kita ini punya derajat yang sangat tinggi.
Jadi, saya tidak ingin mencari uang untuk dapat uang. Saya tidak perlu peingin menjadi penyair kalau untuk dapat menulis puisi, dan segala macam yang terjadi pada saya bukan karena saya menginginkannya. Jadi kalau Anda pernah membayangkan bahwa saya pernah diberi oleh Pak Harto uang tiga milyar, diberi sogokan dan sebagainya, apakah itu bukan refleksi dari impian Anda sendiri? Sebab saya tidak pernah menginginkan itu semua.
Saya tidak perlu minta-minta, kita tidak perlu mencari uang karena uang yang mencari kita. Maksudnya, kalau kita profesional, kreatif, peka, terampil, Fenomenologis, uang akan mencari kita. Kalau kita rajin, pinter, baik, jujur, rezeki yang akan mencari kita. Jadi sama seperti Wahyu Allah, fungsinya, mekanismenya, dia akan mencari tempat yang tepat.
Kalau ada orang kaya, punya uang banyak melalui korupsi, itu bukan rezeki. Rezeki adalah hasil konsisten dari pekerjaan yang baik. Jadi yang diperlukan adalah, menumbuhkan diri Anda, memaksimalkan kepribadian, kejujuran, kebaikan, keprofesionalan, dan keterampilan diri.
Jangan pikir saya tidur. Saya lebih kerja keras, lebih dari semua teman-teman. Saya menumpuk segitu pekerjaan, menulis itu hanya sambilan. Itu hanya sambilan saya toh? Yang dikenal di koran, di TV, itu kan pekerjaan sambilan. Misalnya, Cermin (Indosiar) tiap hari ada di situ; itu kan kerjaan sambilan, syutingnya saja sehari untuk dua bulan lebih. Sambilan.
Kenapa Anda cari uang? Tumbuhkan diri Anda sesuai dengan teori-teori alam maupun teori modern di dalam resultante yang baik, sehingga uang mencari Anda. Di situ yang namanya nepotisme, kolusi, korupsi menjadi salah, itu begitu. Karena dalam proses kualifikasi sistem yang benar, kalau Anda jadi presiden akan mencari menteri yang memang ahlinya, bukan karena anak siapa, tetapi yang memang ahlinya, profesional, Anda memang ahli, Anda akan menempati tempat itu tanpa Anda mimpikan.
Saya ingin mengatakan, kalau ada fitnah-fitnah seperti itu saya ingin bertanya, "Kamu dapat apa, dapat honor dari mana untuk menfitnah saya seperti itu? Kamu dikasih siapa? Kamu tidak untung sama sekali dan hanya rugi dunia dan akhirat. Rugi dunia, kamu ndak dapat apa-apa, rugi akhiratnya kamu dapat fitnah besar.
Sementara saya tidak rugi apa-apa, semakin kamu menfitnah semakin rezeki Allah dijatahkan kepada saya. Karena di dalam casting yang orang-orang ciptakan, seolah-olah saya kaya raya, seolah-olah saya hidup makmur, itu semua juga salah. Karena seandainya pun saya punya suku cadang untuk hidup makmur, cara hidup saya tetap bukan carfa hidup orang makmur. Anda tahu makan saya, kamu tahu bagaimana sehari-hari saya.
Kemewahan saya cuma dua, kaki dan tangan saya. Kaki saya itu kendaraan, tangan saya itu komputer. Itu karena maksimalitas kerja yang saya kehendaki. Bukan karena kemewahan. Jangan lantas mentang-mentang demi egalitarianisme terus saya disuruh "mbrangkang" (merangkak). Saya mau maksimal, komputer saya haru bagus, kendaraan saya bagus. Karena saya membutuhkan kelancaran untuk efektivitas kerja saya. Selebihnya saya yang mewah apa? Anda tahu semua untuk banyak orang. Saya tidak mau anak yatim di Zaituna dijadikan lembaga untuk minta uang kepada siapapun, semua biaya saya tanggung pribadi.
Saya nyewa rumah tempat semua teman-teman yang saya tanggung. Semua saya tanggung pribadi. Jadi untuk apa saya minta uang sama Pak Harto? Semestinya kan dulu-dulu ketika dia masih jaya.
Saya cuma peringatkan, saya kalau malam ke Pak Mari (warung tongseng Mrecon di Pojok Beteng Kulon Yogyakarta), saya --bukan kepada saya, tapi kepada teman-teman, teman-teman itu kok bikin dosa kok besar-besar amat, wong saya kayak gini, makan seadanya. Mereka pikir saya punya rumah di Jakarta? Saya ndak punya rumah. Di Kelapa Gading sebentar lagi sudah selesai kotraknya. Kalau saya ndak kuat meneruskannya ya saya harus balik lagi ke sini.
Sudahlah, bilang sama teman-teman, itu mubadzir. Kenapa mengembangkan fitnah seperti itu. jika dapat membuktikan, kenapa tidak mereka umumkan saja: menemukan fakta bahwa saya diberi rumah oleh Pak Harto, oleh Mbak Tutut diberi anu, diberi mobil oleh Bambang. Umumkan fakta itu, umumkan di koran. Jadikan buku kalau perlu, nggak apa-apa.
Dari pada rasan-rasan, mengurangi rezekimu. Kamu hidup jadi sengsara, iri tiap hari, dengki tiap hari, hatimu tidak tenang, orang makan di restoran kamu marah, ada mobil lewat kamu tersinggung, orang merokok Jie Sam Soe kamu nelongso. Itu karena Anda kerjanya memimpikan, kembali ke soal keinginan-keinginan tadi.
Keinginan itulah yang bikin orang hancur. Ndak usah ingin gitu lho. Kita kerja saja, kerjakan sunnah-Nya. buktinya Kiai Kanjeng pentas terus di tengah krisis. Sekarang kita ada dua tempat yang orang memintanya untuk pentas, satu di luar Jawa (Ambon, Kendari, Palu, Ujung Pandang), terus ada permintaan 10 kota di pulau Jawa. Apa sih, sebenarnya Kiai Kanjeng sama saya iktu, apa? Tidak trendi, tidak macam-macam, kok barokah mengalir? Karena kita tidak nafsu, tidak dengki, tidak iri sama orang lain. Alhamdulillah. Wong anak-anak martabakan (penujal martabak) di Jakarta di masa krisis saja laris, kok. Biasanya jam 23.00 baru habis, sekarang jama 21.30 sudah habis. Karena apa? Karena ikhlas. Sak dermo, sak onone, seadanya. Bekerja keras.
Apa hubungannya dengan romantisme shalawatan? Tolong Anda pelajari shalawatan itu ya. Orang-orang menyangka Cak Nun ini nggak bisa menjawab masalah secara rasional, maka lari ke mistik. Kan begitu? Dengan begitu lari ke khayal, begitu.
Pertama, Anda baca Al-Qur'an, kalau Rasulullah berada di suatu tempat, tempat itu terbebas dari adzab.
Nomor dua, ada percintaan segitiga. Allah di puncaknya, samping kiri kita, sebelahnya lagi Rasul. Baca Quran lagi. "Laqad jaa akum rasuuln min anfusikum…". Sepanjang hidupnya Rasulullah itu diperuntukkan bagi kesejahteraan lahir dan batin umatnya di dunia dan akhirat. Dia ndak mau jadi raja, padahal dia bisa jadi raja. Mau jadi apa saja, tapi dia mau turun untuk mengabdikan dirinya kepada Allah melalui kesejahteraan dunia akhirat umatnya.
Kalau kita ingin sukses hidupnya, mari hidup kita berdialog juga dengan hidupnya Rasulullah. Jadi shalawatan itu harus kita sadari, pokoknya nomor satu, bukan menuhankan Rasulullah dan bukan menganggap Rasulullah itu anak Tuhan. Titik. Shalawatan itu hanya dialektika, karena kita menjadi Islam ini melaluin Rasulullah.
Kalau tidak melalui Rasulullah kita bukan orang Islam. Kita berdialektika. Kalau kita berempati kepada Rasulullah, maka doa Rasulullah itu akan kabul kepada kita, karena Rasulullah tetap hidup sampai sekarang. Itu bukan khayal.
Kalau kalian menyembah materialisme, itu kalian anggap khayal. Kalau Anda menyembah materialisme, berarti tidak ada imajinasi, tidak ada asosiasi, padahal itu semua ruhani.
Di saat seperti sekarang, kalau politik saya bilang begini: apa Anda mau menggantungkan hidup kepada pemerintah? Apa kalian pikir Habibie bisa menghidupi kalian semua? Apa kalian pikir pemerintahan Kabinet Reformasi Pembangunan ini bisa menjadi juragan yang menjamin hidup kalian? Apa betul kalian akan bilang "kepada-Mu kami akan bergantung" (iyyaka nasta'in)? makanya saya pakai shalawatan. Karena juragan kita yang sejati itu Allah, mandornya Rasulullah.
Satu hal. Juragan Anda itu Allah. Mandornya Rasullah. Sekarang Anda saya tanya: jika Anda nyopir taksi, Anda keliling ke mana-mana. Siapa yang menentukan pada suatu titik Anda dicegat penumpang.?
Siapa? Bisa diatur pemerintah? Ian penumpang sehari untuk satu taksi, misalnya. Kan nggak bisa begitu-begitu diatur. Saya ingin mengatakan kepada masyarakat, di tengah keputusasaan sosial politik dan sosial ekonomi seperti mereka alami sekarang ini, mereka masih punya jalan, bahkan jalan itu lebih sejati. Yaitu syafaat Rasul.
Jadi rasulullah itu memang bisa dimintai syafaatnya, karena dia tariqahnya habis-habisan. Bahkan kita menyembah Rasulullah, nggak. Haram menyembah Rasulullah. Tidak. Tapi dia berdialektika dengan kita dan dengan Allah. Itu cinta segi tiga.
Menurut saya dan menurut semua teman-teman yang mengalami shalawatan kemana-mana, ini justru gerakan yang tidak bisa dihalangi oleh siapa-siapa. Kalau saya mau berpolitik, itu tinggal saya kasih kabel. Semua yang berpolitik saja itu kan tidak bisa menjalankan itu ke mana-mana.
Misalnya, wah PKB atau PAB mau datang ke sebuah kampung. Nanti akan terpilih orangnya. Yang tidak senang ndak datang. Tidak terbiasa toh Indonesia berpolitik seperti itu? Yang sekarang saya lakukan itu justru apa yang tidak dilakukan oleh partai politik. Saya datang ke rakyat tiap hari di mana-mana. Dari tiga ratus sampai tiga ribu orang. Dan itu sebenarnya kalau saya mau memakai untuk mobilisasi politik, untuk penggalangan massa kan sangat efektif. Lha wong shalawatan itu membikin manusia nangis-nangis, kan gitu pada umumnya. Tapi saya tidak mau memakai itu. Kembali ke soal "ingin" tadi.
Saya datang hanya untuk beberapa hal.
Satu, kalian masih punya juragan yang sejati untuk nafkah kalian, yaitu Allah dan Rasulullah. Kerja keraslah sambil meminta syafaat Rasulullah, akan Allah berikan kepada kalian rezeki ekstra. Bukan minta syafa'at Rasul tok sambil tidur, ndak kerja keras.
Nomor dua, kita lakukan pendidikan politik dengan shalawatan itu. kalian mengerti enggak masalah-masalah ini. Kalian Imamnya siapa? Koran? TV? Atau selebaran gelap, isu atau orang di warung atau siapa? Kalian harus cari sumber yang serius. Dalam shalawatan itu kita bisa lebih menjernihkan pandangan kita terhadap masalah-masalah yang terjadi.
"Mbok Gini, kita jangan diapusi lagi. Mbok jangan gampang didustai lagi. Mbok kita sitem memilih pemimpin. Pinter milih presiden. Mbok kita mulai pinter-pinter milih pemuka-pemuka masyarakat atau negara.
Nomor empat, ya universal, perspektif itu terjadi. Kalau ada dialog-dialog politik menjadi lebih jernih karena dilindungi shalawatan. maksud saya, orang di situ malu untuk ngomong tidak benar. Menjadi tidak berani untuk ngomong untuk tidak, karena atmosfir sejak awal adalah atmosfir shalawatan. jadi letak khayalnya di mana? Letak romantismenya di mana? Kalau supaya tidak romantis, lantas saya bikin tim sukses untuk menjadi presiden, apa begitu? Apa dengan cara itu saya lantas akan jadi presiden? Di Indonesia kan tidak bisa pakai sosiologi demikian.
Itu di Amerika. Di Indonesia tradisinya masih tradisi keumatan. Kalau pemimpin yang murni itu diangkat oleh rakyat dan umat. Itu berarti manipulasi, seperti Pak Harto. Atau kudeta pemaksaan, penindasan.
Pemimpin yang murni itu dianggap oleh rakyat. Anda nggak perlu tim sukses. Tapi jangan dianggap, bahwa shalawatan itu untuk menjadi pemimpin. Tidak benar. Saya tidak ingin menjadi pemimpin. Sama dengan saya tidak ingin makan. Kalau saya makan karena memang kewajiban. Pada jam-jam tertentu saya wajib makan.


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!