Ideologi, Hegemoni,
Dan Kontra Hegemoni
Damar
Juniarto
1.
Pengantar
Tak dapat dipungkiri, kita hidup terasing dan
tertindas dalam Abad Kapitalisme. Pergeseran tahun ke abad yang baru, yakni
abad ke-21, tidak berarti banyak bagi kita, kecuali kehidupan yang kian susah
dan berat bagi kelas pekerja. Bayang-bayang akan naiknya harga listrik, BBM,
biaya pendidikan, tarif kesehatan berderet-deret menakutkan hingga terasa
mencekik leher kita. Memang, sehari-harinya kita cuma bisa menyaksikan iblis Kapitalisme
menjerat dan mencengkeram kaum pekerja: buruh, petani-nelayan, kaum miskin
kota, dan masyarakat tertindas lainnya. Tak cukup dengan mengembosi pemasukan
mereka (UMR/gaji), tetapi agen-agen Kapitalis juga berupaya mencuci otak dan
membodohi kaum pekerja dengan ilusi-ilusi akan kehidupan yang mewah, tertib,
seragam. Dengan sistematis, musuh-musuh kaum pekerja itu telah berupaya
menutupi konflik-konflik kelas yang terjadi dengan bumbu-bumbu yang indah-indah
untuk didengar, dilihat, dan dibaca.
Kaum pergerakan/progresif-revolusioner, sebagai
yang telah disadarkan, selalu berupaya agar kelas-kelas pekerja yang tertindas
bangkit melawan; melaksanakan revolusi demokratik agar tercapai diktator
proletariat yang sejati. Namun, saksikanlah! Revolusi tak menjadi semudah yang
diucapkan. Pada kenyataannya, kesadaran semata tidak cukup mendorong terjadinya
revolusi. Perjuangan kelas haruslah melibatkan ideologi dan gagasan-gagasan;
terutama gagasan akan bagaimana masyarakat terbebas dari penindasan. Ideologi
dan gagasan-gagasan ini harus hidup untuk mengalahkan supremasi kaum borjuis
yang mendominasi ekonomi dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tapi kondisi
ideal ini tak mudah ditemukan. Yang ada, ideologi dan gagasan-gagasan itu
karam. Kita telah dikalahkan oleh mesin-mesin ideologi dan gagasan yang
dimiliki oleh musuh-musuh kita. Mesin-mesin pencetak keseragaman itu paling
nyata dalam masyarakat Kapitalis berwujud media komunikasi. Media komunikasi
merupakan alat ampuh untuk menyeret wacana lain agar tunduk di bawah wacana
yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis.
Dalam gerak-gerak perjuangan kelas, tampak sekali
bahwa perjuangan kita seringkali dipicu justru oleh isu-isu yang dilontarkan
oleh kelas penguasa/kaum borjuis. Kendali akan wacana tak berada di sisi
kelas-kelas pekerja, tetapi dimiliki oleh para pemilik modal. Kondisi ironis
ini membuat perjuangan kelas-kelas pekerja untuk mencapai revolusi demokratik
tak maksimal karena ketidaksiapan membalas wacana kelas penguasa.
Ketidakmampuan merebut ruang publik membuat wacana- wacana yang dikeluarkan
oleh pelopor revolusi demokratik menjadi kontra-produktif. Apa sebabnya?
2.
Hegemoni & Kontra-Hegemoni: Tataran Teoritis
Tradisi Marx -mungkin lebih tepat Engels- hanya
menyebut sedikit kata kunci tentang situasi di atas, yakni konsep
"kesadaran palsu". Ideologi sebagai 'kesadaran palsu' pada awalnya
dipahami oleh kaum Marxist sebagai suatu yang bernilai negatif, karena ia
memungkiri realitas, menafikan konflik-konflik kelas dengan menyelubunginya dengan
wacana-wacana yang menindas. Barulah di tahap perkembangan selanjutnya,
ideologi dipakai untuk membekali perjuangan kelas. Caranya, dengan menetapkan
kontra wacana terhadap sejumlah wacana menindas yang digunakan oleh kelas
penguasa/kaum borjuis. Barangkali dari pemikiran akan adanya wacana yang
menindas dari kelas penguasa/kaum borjuis terhadap kelas pekerja/kaum
proletariat, istilah hegemoni digunakan.
Meski bukan orang pertama yang menggunakan kata
"hegemoni" - pertama kali digunakan sebagai slogan gerakan Sosial
Demokrat Rusia antara 1890-1917 - adalah Gramsci, seorang Marxist dari Italia,
yang kerja-kerja politiknya dilingkupi oleh kekaguman akan keberhasilan
revolusi Bolshevik di Rusia untuk menggulingkan Tsar Nicolai II. Pemikiran
Gramsci tentang hegemoni menjadi penting untuk dipelajari karena ia sanggup
menghubungkan persoalan ekonomi dengan kemampuan institusi superstruktur dalam
mencapai/mempertahankan kekuasaan.
Pokok pemikiran Gramsci yang penting untuk
disarikan adalah:
1.
Perjuangan kelas haruslah
selalu melibatkan ideologi dan gagasan; gagasan bagaimana revolusi dicapai atau
dicegah.
2.
Ia menekankan bahaya
supremasi kaum borjuis akan dominasi ekonomi dan kepemimpinan moral dan
intelektual yang harus ditumbangkan.
Kepemimpinan moral dan intelektual inilah yang
ditegaskan oleh Gramsci sebagai intisari hegemoni, yang didefinisikan secara
panjang dengan:
"Kelompok dominan di dalam masyarakat,
termasuk kelas penguasa yang fundamental tapi tak eksklusif, mempertahankan
dominasi mereka dengan cara menjaga 'kesadaran spontan' kelompok subordinatnya,
termasuk kelas pekerja, melalui konstruksi yang dinegosiasikan dari hasil
konsensus politik dan ideologi yang melibatkan baik kelompok dominan dan yang
didominasi."
Asumsi di balik teks di atas ialah: Kelas dominan
telah berhasil meyakinkan kelas pekerja untuk menerima kepemimpinan moral,
politik, dan kebudayaan tanpa reserve, Mereka yang berkuasa mengarahkan
mayoritas populasi pada suatu kesadaran yang mereka susun
Penerapan kesadaran ini tak selalu berjalan
halus, kadangkala bisa mengkombinasikan antara paksaan fisik hingga
indoktrinasi intelektual, moral, kebudayaan.
Oleh karena itu, hegemoni merupakan serangkaian
gagasan yang digunakan sebagai alat kelompok dominan untuk menguasai kesadaran
dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat.
Hegemoni dibangun atas dasar negosiasi-negosiasi
kaum borjuis/kelas penguasa, dan selama ini fungsi kepemimpinan hegemonik
bekerja dalam dua model:
1.
Kontrol dengan pemaksaan:
termanifestasi melalui sejumlah paksaan fisik atau ancaman (selalu digunakan
apabila kepemimpinan hegemonik rendah atau rentan)
2.
Kontrol dengan kesepakatan:
akan muncul manakala individu secara sukarela menyatu dengan pandangan kelompok
dominan.
Bagaimana hegemoni yang menindas itu dilawan?
Bagi Gramsci yang penting, upaya revolusi intelektual (kontra Hegemoni)
seharusnya berasal dari kelas pekerja daripada dimasukkan dari luar. Apabila
kelas pekerja mau berhasil menghegemoni, ia harus berhasil mendorong munculnya
intelektual-intelektual yang menciptakan ideologi baru.
3.
Pers dalam Perspektif Gramsci
Yang paling pokok dalam perspektif ini, pers
dapat menjadi alat hegemoni baik kelas penguasa maupun dari kelas pekerja.
Pertarungan antarinstitusi pers adalah di tingkatan kepemimpinan wacana dan
perebutan ruang publik. Dalam masyarakat Kapitalis, seringkali ruang publik
legal dimonopoli oleh kaum kapitalis/borjuis. Dengan kemenangan monopoli hak
edar, dengan leluasa mereka mendistorsi informasi, memutar yang hitam jadi
putih, membodohi massa Rakyat. Ruang-ruang publik yang tersisa bagi pers yang
dijadikan alat hegemoni kelas pekerja menjadi terpenjara dalam
kelompok-kelompok kecil dengan jumlah eksemplar yang terbatas dan terus-menerus
dihantui kendala pendanaan. Pada praktiknya, karena kelemahan tersebut, pers menjadi
salah satu alat ampuh penguasa untuk mendapatkan kepemimpinan moral dan
politik.
Namun, hendaklah kaum
progresif-revolusioner/pergerakan tidak berputus asa! Karena, menurut Gramsci,
strategi hegemonik tak semuanya dimiliki oleh kaum borjuis. Belajar dari
kegagalan hegemoni Thatcherisme di Inggris, nyata benar bahwa hegemoni hanyalah
berhasil mengikat kelompok dominan akan satu wacana, sedang kelompok subordinat
tak selamanya terikat mutlak. Oleh karena itu, manakala masih ada kebocoran,
ruang-ruang publik haruslah segera direbut. Hingga suatu saat, kelas pekerja
dapat mengembangkan hegemoni sebagai strategi untuk mengontrol negara. Caranya,
dengan melibatkan kepentingan kekuatan sosial dan kelompok-kelompok pergerakan
lain untuk menemukan titik temu kepentingan. Apabila kelas pekerja ingin
mencapai hegemoni, perlu dibangun aliansi dengan kelompok minoritas. Koalisi
baru ini harus menghormati otonomi gerakan, sehingga setiap kelompok dapat
menyumbangkan perannya menuju masyarakat sosialis.
Tak selalu cara merebut ruang publik dilakukan
dengan kekerasan, yang penting adalah aktivitas-aktivitas politik kaum
pergerakan tak kenal lelah. Aktivitas-aktivitas itu bermain di dalam dua medan
tempur, yakni:
1.
Perang manuver: secara
frontal, tujuannya untuk meraih kemenangan secepatnya, dan direkomendasikan
untuk dilakukan dalam kekuasaan yang tersentralisasi dan ketidakmampuan untuk
mengembangkan hegemoni yang kuat agar terbentuk masyarakat madani (mis.
Revolusi Rusia 1917).
2.
Perang posisi: perjuangan
panjang, lintasorgan dalam masyarakat madani, kekuatan sosialis dapat memimpin
ideologis dan kebudayaan, dan sebaiknya dilakukan apabila punya sejumlah
strategi
4.
Kontra-Hegemoni Atau Anti-Hegemoni?
Apa perbedaan agenda antara
Anti-Hegemoni dan Kontra-Hegemoni? Kata Anti-Hegemoni dipahami sebagai upaya
menentang segala bentuk hegemoni tanpa batas hingga tak ada lagi hegemoni.
Konsekuensi, tidak ada kerja terstruktur dan konseptual. Sedangkan,
kontra-hegemoni adalah upaya untuk menentang hegemoni yang menindas. Bedanya, di
tataran strategi yang melibatkan kematangan berorganisasi dan melakukan
aktivitas politik. Kerja kontra-hegemoni akan otomatis terhenti apabila telah
tercapai masyarakat yang terbebas dari segala bentuk penindasa
0 komentar:
Posting Komentar